BUMN Merugi, Kemana Mencari Solusi?


Kinerja maskapai PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dalam kondisi tidak baik. Perusahaan menanggung rugi sampai US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,43 triliun (asumsi kurs Rp 14.300) per bulan karena pendapatan yang diterima tak sebanding dengan beban biaya yang dikeluarkan (Finace.Detik.com, 4/6/2021).

Namun demikian, Garuda Indonesia dianggap masih ada harapan untuk diselamatkan dengan penolak ukuran atau benchmarking seperti kasus-kasus maskapai penerbangan di beberapa negara. Salah satunya dengan mendapatkan pinjaman dana atau penyuntikan modal dari pemerintah.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sesuai dengan kepanjangannya, merupakan perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh negara. Bukan tanpa tujuan, BUMN didirikan dengan maksud  mewujudkan kesejahteraan masyarakat, serta memenuhi kebutuhan masyarakat. 

Namun yang terjadi beberapa waktu belakangan, beberapa BUMN dinyatakan rugi. Tentu saja hal ini menimbulkan keresahan dan kritik di tengah masyarakat yang mempertanyakan kinerja layanan publik oleh penyedianya yaitu BUMN.

Kerugian yang menimpa BUMN, tak hanya terjadi pada Garuda Indonesia, tapi juga menimpa beberapa badan usaha lainnya seperti, Perusahaan Listrik Negara (PLN), Perusahaan Terbatas Kereta Api Indonesia (PT.KAI) dan Perusahaan Karya. Terbayang, trilyunan rupiah kerugian yang dialami.

Alih-alih mendapat tambahan penghasilan sehingga bisa mewujudkan kesejahteraan sesuai tujuan didirikannya. BUMN justru mengalami utang dalam jumlah besar hingga triliunan guna menutupi kerugian. Bahkan persoalan Jiwasraya yang menyebabkan kerugian negara hingga kini belum tuntas dan menyisakan persoalan.

Belum lagi persoalan intern di dalam manajemen BUMN. Rakyat seolah dipaksa untuk menyaksikan bagaimana para direksi BUMN digaji dengan nilai yang fantastis. Lalu persoalan rangkap jabatan oleh direksi yang juga menjabat di perusahaan non-BUMN. Hingga aroma bagi-bagi kursi jabatan juga terjadi di BUMN. 

Tidak hanya sampai di situ, masalah penyertaan modal negara dan investasi juga terjadi. Hal ini berarti, pihak swasta termasuk asing diberi kesempatan untuk menyuntikkan modal besar pada BUMN. Sehingga wajar jika aroma swastanisasi semakin tercium. Akibatnya pihak swasta bisa ikut menentukan nasib BUMN.

Penyerahan pengelolaan harta milik umum dan negara kepada pihak swasta tentu saja sangat disayangkan sebab dapat menghilangkan kontrol negara terhadap kinerja BUMN dan sumber daya negeri ini, yang akibatnya mempengaruhi keterbatasan anggaran negara dalam memenuhi kebutuhan dasar publik apalagi jika sampai pemerintah memanfaatkan sumber pembiayaan lain seperti penambahan hutang atau peningkatan pajak. Yang secara otomatis akan berdampak pada rakyat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya sehari-hari di saat semua harga kebutuhan sulit untuk dijangkau.

Penguasa yang  mendapat mandat dalam mengelola harta negara, dimaksudkan untuk kesejahteraan rakyatnya, namun realita yang terjadi sebaliknya, malah justru menzalimi rakyat. Demikianlah bobroknya politik sekuler dan turunannya yang berorientasi hanya pada untung rugi, menghasilkan kebijakan yang menyusahkan rakyat, regulasi yang berpihak kepada asing, utang ribawi, hingga menghasilkan segudang persoalan, sebagaimana yang terjadi pada aspek pengelolaan BUMN.


Politik dalam Islam

Bahwa Islam sebagai sebuah dien yang sempurna, memiliki pandangan politik atau pengelolaan dan memberi perhatian dalam menjaga harta milik negara. Sehingga bisa memberikan manfaat bagi rakyat. Yang menghadirkan solusi bersamaan dengan mindset mendasar yang harus dipahami terkait bagaimana secara politik sistem itu harus diatur. Bahwa di dalam Islam seorang pemimpin atau penguasa akan dimintai pertanggungjawaban akan apa yang dipimpinnya. 

Penguasa bukan pengusaha yang hanya berorientasi pada keuntungan. Dalam Islam, pengurusan BUMN berkaitan dengan sistem ekonomi. Walau ada kegiatan investasi namun wajib terikat pada syariat Islam. Agar terhindar dari investasi yang diharamkan. Islam memiliki batasan kepemilikan, suatu hal dasar yang sangat berbeda dibanding kapitalisme, yang hanya mengenal kebebasan kepemilikan. Prinsip ini membuat siapapun yang bermodal, berhak memiliki dan memperjual belikan, tak terkecuali aset-aset umum.

Sementara dalam Islam penguasa adalah pelayan dan harus memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar rakyatnya. Sehingga harus membuat pemetaan atau pengelolaan dalam sistem ekonominya. sebagaimana Islam dengan jelas mendudukan konsep yang tepat tentang kepemilikan (al-milkiyah).

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menulis kitab, An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Syaikh Abdul Qadim Zallum kemudian memaparkannya secara lebih sistematis dalam kitabnya, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah. Dipaparkan bahwa Islam membagi konsep kepemilikan secara jelas, kepemilikan individu (private property), kepemilikan publik (collective property), dan kepemilikan negara (state property).

Seluruh kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi kaum Muslim sehingga kekayaan tersebut menjadi milik bersama kaum Muslim. Yang disebut sebagai kepemilikan publik. Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun dilarang memilikinya secara pribadi. 

Ada tiga jenis kepemilikan publik. Pertama, sarana umum yang diperlukan oleh seluruh warga negara untuk keperluan sehari-hari seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energi, pembangkit listrik dan lain-lain. Kedua, kekayaan yang asalnya terlarang bagi individu untuk memilikinya seperti jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal, lapangan, masjid dan lain-lain. Ketiga, barang tambang (sumberdaya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat (seperti emas atau besi), cair (seperti minyak bumi), atau gas (seperti gas alam).

Dalam Islam lembaga yang dikelola oleh negara  akan dikelompokkan sesuai kepemilikan. Begitu pula kepemilikan dalam bentuk yang lain, seperti harta ganimah, fai, khumus, kharaj, jizyah 1/5 harta rikaz, ‘ushr, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan tanah hak milik negara. Tata kelola harta tersebut akan berbeda, dan digunakan untuk berbagai kebutuhan. Dan negara yang berkewajiban mengaturnya guna memenuhi urusan rakyat.

Tidak akan ada kompensasi dalam kepemilikan umum, sebab hal itu akan menyulitkan rakyat sehingga telah keluar dari ketetapan Allah SWT untuk memberikan keumuman bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Sebagaimana dalam sebuah hadis, bahwa ketika itu masuk dalam kepemilikan umum, maka diharamkan ada harga darinya. Sehingga negara yang mengelola kepemilikan umum tersebut, tidak boleh berorientasi pada keuntungan, bahkan tidak boleh menetapkan harga. 

Memang tidak dipungkiri dalam suatu proses produksi pasti membutuhkan biaya. Entah dalam hal tekhnologi atau yang lainnya. Maka akan dihitung berapa biaya produksi dan sejauh mana kemudian itu bisa di cover atau ditutupi dengan hasil produksi yang ada. Sehingga bisa dinikmati oleh masyarakat dengan harga yang rendah bahkan gratis. Karena harta tersebut milik rakyat, bukan milik negara.

Namun, walaupun akses terhadapnya terbuka bagi kaum Muslim, penggunaannya diatur oleh negara. Kekayaan ini merupakan salah satu sumber pendapatan Baitul Mal. Maka Khalifah, selaku pemimpin negara, bisa berijtihad dalam rangka mendistribusikan harta tersebut demi kemaslahatan Islam dan kaum Muslim. Demikian pengaturan dalam Islam yang memiliki sejumlah keunggulan. Yang terbukti sebagai sistem antikrisis, stabil dan menghasilkan kesejahteraan bagi umat. Wallahu a'lam.[]


Oleh: Sri Suarni
(Muslimah Ideologis Khatulistiwa - Pontianak)

Posting Komentar

0 Komentar