Suap untuk Mendapatkan Hak, Bolehkah?


Tanya:

Ustadz, ada ulama mengatakan menyuap untuk mendapatkan sesuatu yang menjadi hak kita dibolehkan. Misal orang melamar kerja, dan dia memang sudah memenuhi semua kualifikasi dan lulus tes, kemudian dia menyuap karena diminta oleh pihak pemberi kerja. Ini katanya boleh. Yang haram katanya kalau orang itu menyuap padahal tak memenuhi kualifikasi dan tak lulus tes. Mohon pencerahannya. (Suratman, Makassar).


Jawab:

Memang ada sebagian ulama yang membolehkan suap (risywah)  untuk mendapatkan hak atau untuk menolak kezaliman. Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan, ”Haram hukumnya meminta, memberi, dan menerima suap, sebagaimana haram hukumnya menjadi perantara pemberi dan penerima suap. Hanya saja, menurut jumhur ulama boleh bagi seseorang menyuap untuk mendapatkan hak atau untuk menolak kezaliman atau kemudharatan, dan dosanya dipikul oleh penerima suap, sedang pemberi suap tak berdosa.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, XXII/222).

Di antara ulama yang membolehkan suap seperti itu adalah Imam Ibnu Hazm, yang berkata, ”Adapun orang yang terhalang dari haknya lalu dia memberi (suap) untuk menolak kezaliman yang menimpa dirinya, maka yang demikian itu mubah (boleh) bagi pemberi, sedang bagi penerima berdosa.” (fa-ammaa man muni’a min haqqihi fa-a’tha liyadfa’a ’an nafsihi al zhulma fa-dzaalika mubaahun li al mu’thi wa amma al aakhidzu aatsimun). (Ibnu Hazm, Al Muhalla, VIII/118). Imam Ibnu Taimiyah juga berpendapat serupa. (Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, Juz XXXI hlm. 285, Juz XXIX hlm. 258, dikutip oleh Syeikh ‘Athiyah Muhammad Salim dalam kitabnya Al Risywah, hlm. 35-36).

Dalil mereka adalah dalil yang men-takhshish (mengecualikan) keumuman hadis yang mengharamkan suap, di antaranya:

Pertama, hadits bahwa Rasulullah Saw telah memberikan harta kepada peminta-minta padahal harta itu akan menjadi api neraka bagi peminta-minta. Umar bertanya.”Lalu mengapa Engkau tetap memberikan?” Rasulullah Saw menjawab, ”Karena mereka tetap saja memintaku dan Allah tidak menghendaki aku bersifat bakhil.” (HR Ahmad, no 10739). (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al Fatawa, Juz XXIX hlm. 258);

Kedua, pendapat Ibnu Mas’ud ra yang memberi suap di Habasyah sebesar dua dinar agar dapat bebas melakukan perjalanan, dia berkata, ”Dosanya bagi penerima, bukan pemberi.” Juga pendapat sebagian tabi’in, yaitu ‘Atha dan Al Hasan. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, XXII/222).
Namun dalil di atas tak dapat diterima, karena : (1) dalil pertama itu topik (maudhu’)-nya adalah pemberian harta kepada peminta-minta, bukan pemberian harta untuk menyuap, maka tak dapat ditarik kesimpulan umum hingga mencakup topik suap. Kaidah ushuliyah menyebutkan: ‘Umuum al lafzhi fii khushush as sababi huwa ‘umuumun fii maudhuu’ al haditsah wa al su’aal wa laysa ‘umuuman fii kulli syai`in. (Keumuman lafal dalil dalam sebab yang khusus adalah keumuman dalam topiknya dan pertanyaan [kepada Nabi SAW], bukan umum untuk segala sesuatu). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, III/242). (2) dalil kedua itu berupa pendapat/ijtihad shahabat atau tabi’in, padahal keduanya bukan sumber hukum yang mu’tabar (kuat). (Taqiyuddin An Nabhani, ibid., III/417).

Jadi, dalil yang men-takhshish (mengecualikan) keumuman haramnya suap itu tak dapat diterima, sehingga pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah pendapat yang mengharamkan semua jenis suap, termasuk juga suap untuk mendapatkan suatu hak atau untuk menolak suatu kezaliman, berdasarkan keumuman hadits yang mengharamkan semua jenis suap. Inilah pendapat yang dipilih oleh sebagian ulama seperti Imam Syaukani dan Imam Taqiyuddin An Nabhani, rahimahumallah. (Imam Syaukani, Nailul Authar, X/531; Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, II/333). Wallahu a’lam. []


Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi
(Pengamat Ekonomi Islam)

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 212

Posting Komentar

0 Komentar