TintaSiyasi.com-- Menanggapi wanita haidh boleh berpuasa yang ditulis Imam Nakhai dalam akun Instagram @mubahalah.id, Pengasuh Pondok Pesantren Nahdlotul Muslimat (NDM) Surakarta Ustaz Utsman Zahid as-Sidany menegaskan, pernyataan Nakhai ngawur.
"Pernyataan Nakha'i bahwa di dalam al-Quran tidak ada dalil-nya (tentang haramnya wanita haidh berpuasa), ini menunjukkan kengawuran," tuturnya kepada TintaSiyasi.com, Senin (3/5/2021).
Ia menjelaskan, di dalam Al-Qur'an memang benar, tidak ada teks yg berbunyi:
لا يجب الصوم بل يحرم على الحائض والنفساء
"Tidak wajib, bahkan haram, puasa atas wanita haid dan nifas."
"Tapi bukan berarti tidak ada dalil. Bukan begitu cara memahami Al-Qur'an. Kalau caranya seperti itu kacau balau semua," tegas Dai Muda tersebut.
Ia menjelaslan dengan dalil dalam Al-Qur'an yaitu, firman Allah:
وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا
"Apa saja yang dibawa oleh Rasulullah, maka ambillah, dan apa saja yang kalian dilarang oleh Rasulullah darinya, maka berhentilah." TQS. Al-Hasyr:07.
"Dan kita tahu bahwa apa yang dibawa dan dilarang oleh Rasulullah itu bukan hanya yg dicantumkan dalam Al-Qur'an, tapi juga apa yg beliau tegaskan di dalam sabda beliau dan juga apa yg ditegaskan oleh Al-Qur'an sebagai sumber hukum, yaitu qiyas dan Ijma Sahabat," bebernya.
Ia menegaskan, dalam hadis Nabi Muhammad SAW sudah tegas soal larangan wanita haidh berpuasa. "Nah, di sini, hadis Nabi SAW telah jelas. Begitu juga ijma sahabat telah terjadi. Seperti ditegaskan oleh para ulama, misalnya an-Nawawi dalam al-Majmu'," imbuhnya.
Ia mempertanyakan, apa tujuan Nakha'i mengeluarkan pernyataan tersebut. "Jadi maunyanya Nakha'i itu apa? Mengacak-acak hadits dan ijma' sahabat dan ulama?" tanyanya.
"Selain itu, jika kita mau jeli, sebenarnya Al-Qur'an telah mengisyaratkan haramnya puasa bagi wanita haid dengan haramnya menjima wanita yang sedang haid! Bukankah ini nash Al-Qur'an? Jelas!" tukasnya.
Oleh karena itu, ia menjelaskan, jika Al-Qur'an mengharamkan menjima wanita haid, lalu dikatakan wanita haid wajib atau boleh puasa, itu aneh dan berlawanan. "Itu artinya paradoks! Sebab, Al-Qur'an menegaskan sendiri halalnya berjimak di malam hari Ramadhan?" katanya.
Karena menurutnya, tidak bisa menyamakan wanita haid dengan wanita yang sedang sakit. Apalagi ada anggapan keliru, jika wanita tersebut kuat puasa dan tidak terganggu oleh haidnya, maka dia wajib puasa, seperti orang yg sakit ringan sekali. Menurutnya, anggapan keliru itu seolah dapat diartikan, wanita haid boleh dijimak di malam hari Ramadhan. Ia menegaskan, hal itu keliru dan bertentangan dengan dalil-dalil lainnya.
Bantahan
Dalam hadis Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
‘Kenapa gerangan wanita yang haid meng-qadha’ puasa dan tidak meng-qadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qadha shalat.” (HR. Muslim no. 335)
Ia menjelaskan, sebenarnya hadis ini jelas menunjukkan bahwa wanita haid tidak boleh puasa saat sedang haid, sebagaimana tidak boleh shalat.
"Tapi, Nakha'i di sini telah berbuat kelucuan. Dia bermain-main dengan perkataan Mu'adzah, yaitu, wanita yg bertanya kepada Aisyah, dengan menyatakan yang pada pokoknya kata تقضي sering diartikan men-qadha', artinya melakukan di luar waktunya berarti merupakan istilah fikih belaka," bebernya.
Bahkan, ia menegaskan, Al-Qur'an tidak pernah menggunakan istilah tersebut untuk pelaksanaan ibadah di luar waktunya. Lalu, ia ungkapkan, Nakha'i membawakan ayat dalam Al-Qur'an surat al-Jumu'ah terkait makna kata تقضي. Setelah itu dia mengatakan yang pada pokoknya: Karena itu sangat mungkin kata تقضي dalam hadis tersebut justru bermakna melaksanakan di dalam waktunya. Sehingga, Nakha'i mengartikan hal itu, wanita haid melaksanakan puasa, tapi tidak melaksanakan shalat.
Tetapi, ia melihat, kekeliruan Nakha'i, karena dia tidak melanjutkan penjelasan ke inti hadis, yaitu perkataan Aisyah:
كنا نؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة
"Sehingga, jika kita pakai versinya Nakha'i maka terjemahan hadisnya sebagai berikut: Kami diperintahkan melaksanakan puasa (saat) haid, dan tidak diperintahkan shalat (saat haid)," jelasnya.
Ia menjelaslan, jika redaksi utuh hadis diterjemahkan sesuai versi Nakha'i maka bunyinya: Mu'adzah bertanya kepada Aisyah: Mengapakah gerangan wanita haid melaksanakan puasa (saat haid, dan tidak melaksanakan shalat (saat haid)? Asiyah berkata: (Karena) Kami (para wanita haid) diperintahkan mengerjakan puasa (saat haid) dan tidak diperintahkan melakukan shalat (saat haid).
"Pertanyaannya, kalau wanita sedang haid tidak diperintahkan shalat (saat sedang haid), itu artinya keringanan, jadi boleh shalat? Jelas tidak dapat diterima!" tegasnya.
"Pertanyaan lainnya, kalau kata Nabi (versi Nakha'i) wanita diperintah puasa saat haid, mengapa Aisyah tidak pernah puasa saat haid?" tanyanya kembali.
Ia memaparkan, dalam sebuah hadis Bukhari dan Muslim bahkan Aisyah mengatakan:
كانَ يَكونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِن رَمَضَانَ، فَما أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إلَّا في شَعْبَانَ، الشُّغْلُ مِن رَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ، أَوْ برَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ
"Dulu aku sering sekali memiliki utang puasa Ramadhan dan aku tidak bisa meng-qadha' (membayarnya) kecuali di bulan Syaban karena sibuk melayani Rasulullah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Ia merasa lucu dengan pernyataan Nakha'i. Karena, berdasarkan penjelasan di atas, juga hadis yg terakhir terkait Aisyah menggunakan kata qadha', dengan arti melaksanakan di luar waktunya. "Nampak bahwa Nakha'i sedang bermain-main dengan hadis Aisyah dan bersumsi sendiri untuk memenuhi keinginannya," tandasnya.[] Alfia Purwanti
0 Komentar