Kebijakan Bimbang: Mudik Dilarang, Wisatawan Melenggang, WNA Boleh Datang



TintaSiyasi.com-- Di tengah larangan mudik lebaran, kabar masuknya warga negara asing (WNA) asal Cina diduga menambah kegalauan kaum urban. Kabag Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Arya Pradhana Anggakara membenarkan, ihwal video viral yang memperlihatkan puluhan WNA asal Cina yang tiba di Bandara Soekarno Hatta. 85 WN Cina itu tiba di Indonesia dengan pesawat China Southern Airlines (charter flight) pada Selasa, 4 Mei 2021 (TEMPO.CO, 6/5/2021). 

Pembukaan rute penerbangan dari Wuhan-Jakarta yang dilakukan maskapai Lion Air sejak Senin, 3 Mei 2021, pun mendapat sorotan. Guspardi Gaus, anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) menyesalkan kebijakan tersebut. Menurutnya, meski berupa penerbangan carter untuk mengangkut WNA asal Cina demi kepentingan pekerjaan/perusahaan, namun tetap berpotensi risiko penyebaran virus Covid-19. Apalagi kasus ini pertama kali muncul di Wuhan, Cina (sindonews.com, 5/5/2021). 

Ironis. Di tengah upaya memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19 dan tren kenaikan kasus positif, WNA diperbolehkan memasuki negeri ini. Terlebih, sekarang pemerintah sedang memperketat mobilitas masyarakat lewat kebijakan larangan mudik Idul Fitri. Bahkan dengan penjagaan superketat, sebagaimana terjadi di Garut. Demi menjaga dan menindak masyarakat yang nekat mudik ke wilayah ini, aparat keamanan telah mempersiapkan personel bersenjata lengkap di sejumlah titik rawan (kompastv, 5/5/2021).

Paradoks kebijakan tengah dipertontonkan. Tak hanya soal mudahnya WNA asal Cina masuk. Kebijakan larangan mudik namun wisata boleh dibuka, menambah daftar inkonsistensi penguasa. Seperti yang terjadi di Solo. Walikota Solo mengizinkan wisatawan berwisata dan menginap di kotanya saat lebaran. Sungguh, kebijakan bimbang nan ambigu. Membuat masyarakat bingung sekaligus bertanya-tanya, apa maunya penguasa?

Kebijakan Setengah Hati sejak Awal Pandemi

Larangan mudik lebaran memang memungkinkan untuk menekan kasus penyebaran Covid-19. Sebuah upaya pemerintah yang patut diapresiasi. Namun menurut Epidemiolog Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM Riris Andono Ahmad, peningkatan kasus Covid-19 akan tetap terjadi walau ada mudik atau tidak mudik. Karena sudah ada transmisi, banyak peningkatan kasus. 

Menurutnya, meski pelarangan mudik ada efeknya namun jika mobilitas tidak dilarang, maka peningkatan kasus menjadi keniscayaan. Ia berharap, kebijakan larangan mudik bisa dibarengi dengan pembatasan mobilitas masyarakat yang cenderung tinggi saat lebaran, seperti bersilaturahmi dan berwisata yang memicu kerumunan (harianjogja.com, 23/4/2021).

Andai sejak awal pemerintah konsisten menangani pandemi, diduga tingkat penyebaran virus Covid-19 tak akan separah ini. Pun akan meminimalisir terjadinya kegaduhan masyarakat. Sayangnya, inkonsistensi adalah wajah dominan penguasa di tengah pandemi. 

Teringat saat awal pandemi, beberapa kalangan mendesak pemerintah untuk menerapkan kebijakan lockdown. Namun, opsi ini tak diambil beralasan peduli terhadap nasib rakyat agar aktivitas ekonominya tetap berjalan. Padahal lockdown bukan hal baru dalam perundang-undangan di Indonesia. Ia merupakan amanat UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 53, 54 dan 55 UU ini bicara tentang karantina wilayah. Jika lockdown diterapkan sejak awal, diduga peredaran virus Covid-19 tak akan seganas sekarang. 

Tiga bulan pasca masuknya virus Covid-19 ke Indonesia, di tengah lejitan kurva penularan Covid-19, pemerintah menyerukan kebijakan new normal. Tanpa diiringi edukasi memadai, terkesan masyarakat salah dan latah menerjemahkannya. Transformasi perilaku untuk tetap beraktivitas normal dengan penerapan protokol kesehatan, nyatanya disambut euforia yang justru berujung pada kenaikan angka positif Covid-19.  

Setelahnya, gaung seruan pembatasan mobilisasi sebagai salah satu upaya memutus rantai penularan virus Covid-19, kian redup. Salah satunya, tertutup oleh kebijakan pembukaan pariwisata. Padahal, ketika sektor pariwisata diberi ruang, akan sangat potensial terjadi penularan secara masif. Tak heran, pasca setiap liburan atau long week end, terjadi kenaikan angka positif Covid-19 secara signifikan. 

Kini, kebijakan di masa lebaran menambah peta ambigu penanganan Covid-19. Di satu sisi melarang mudik, namun di sisi lain Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno, meminta keran pariwisata mulai dibuka pada April 2021. Ia memprediksi, sejumlah tempat destinasi wisata akan diserbu masyarakat karena larangan mudik.

Dari berbagai kebijakan tersebut, wajar jika banyak kalangan menilai, pemerintah setengah hati dalam memutus rantai penularan Covid-19. Kebijakan kontradiktif ini membuat masyarakat sulit memahami komitmen pemerintah. Pun, kebijakan yang diambil memperlihatkan pemerintah lebih fokus pada upaya perbaikan ekonomi dibandingkan kesehatan masyarakat. 

Sehingga, sejatinya mana yang lebih diprioritaskan? Menyelamatkan nyawa rakyat atau nasib kapitalis penguasa ekonomi negeri?  Menelisik pola pengelolaan negara selama ini, terkesan mengorbankan nyawa tidak menjadi masalah, asal urusan ekonomi terkendali dan kekuasaan berada di tangan. 

Padahal, bukankah negara hadir untuk melindungi sekaligus menyejahterakan rakyat? Bukankah kekuasaan dan ekonomi itu untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat? Jika rakyatnya mati, untuk apa pertumbuhan ekonomi? Bagi siapa kekuasaan terjadi?

Wujudkan Pemimpin yang Konsisten Melindungi Rakyat

Meroketnya angka positif Covid-19 di Indonesia mencapai 1.703.632 kasus (tribunnews.com, 7/5/2021), seharusnya membuka mata dan hati penguasa agar lebih bersungguh-sungguh menjalankan fungsinya. Negara harus hadir mengelola berbagai urusan. Pun menyelesaikan berbagai persoalan, baik yang melingkupi maupun sebagai efek pandemi. 

Tak hanya berhitung matematika ekonomi, penguasa mesti memprioritaskan keberlangsungan kehidupan. Pandemi Covid-19 merupakan ancaman yang bersifat eksistensial. Dampaknya tak hanya menghancurkan ekonomi. Namun juga mengancam keberlangsungan hidup manusia. Hal ini tentu membutuhkan pendekatan spesifik.

Dalam Islam, seorang imam (pemimpin, penguasa) adalah raa’in (pengurus rakyat) yang bertugas mengelola urusan rakyat dan memenuhi kebutuhan mendasarnya. Pun, ia adalah junnah (perisai), tempat berlindung rakyat dari serangan musuh dan keadaan buruk lainnya. 

Di masa pandemi ini, menjadi keniscayaan bagi penguasa menjaga keselamatan jiwa tiap warga. Merujuk pada Islam sebagai ajaran yang dianut mayoritas penduduk negeri ini, penjagaan terhadap nyawa sangat diperhatikan. Jangan sampai karena abainya penguasa, banyak rakyat yang mati sia-sia. Padahal satu nyawa begitu berharga. 

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455 dan dishahihkan al Albani)

Bak pungguk merindukan bulan. Berharap pada penguasa kapitalis sekularistik akan menghasilkan kebijakan yang konsisten berpihak pada rakyat hanya mimpi. Tersebab kehendak melayani rakyat bukanlah “ruh” penguasa kapitalis. 

Terlebih dengan pandemi ini, Allah SWT telah menampakkan kelemahan sistem buatan manusia (kapitalisme sekular) yang terbukti gagal menyelesaikan masalah pandemi. Kita saksikan, semua negara kapitalis kolaps menghadapi virus supermini Covid-19, meski mereka memiliki banyak senjata dan dana.

Maka, menjadi tugas segenap umat Islam untuk melahirkan pemimpin sekaligus sistem kepemimpinan yang istiqamah mengatur urusan dan melindungi rakyat (umat Islam). Yang menjalankan kekuasaan demi menerapkan hukum Allah SWT untuk mengatur urusan hidup manusia.[]


Oleh: Puspita Satyawati
(Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar