Women's Day, Penawar atau Racun Bagi Perempuan?


Di tengah hiruk pikuk Covid-19 yang belum juga mereda, aktivis perempuan dan komunitas peduli perempuan di seluruh dunia tengah merayakan Hari Perempuan Sedunia yang dikenal juga dengan International Women’s Day (IWD) 2021. Tema yang mereka angkat tahun ini adalah #ChooseToChallenge.

8 Maret 2021, hari itu menandai seruan untuk bertindak  dan mempercepat kesetaraan gender. Women day’s adalah salah satu hari terpenting bagi mereka di tiap tahunnya. Mereka menuntut haknya sebagai seorang perempuan. Bahkan mereka berani mengambil pilihan dan tantangan. Dilansir dari laman resmi IWD, tema ini diangkat dengan alasan bahwa perempuan dapat memilih untuk melakukan penentangan dan menyuarakan bias dan ketidaksetaraan gender (Internationalwomensday.com).

Women day’s telah berlangsung selama lebih dari satu abad dengan pertemuan pertama diadakan pada tahun 1911. Sebelumnya, pada tahun 1908, diberbagai dunia khususnya di Barat, terjadi kerusuhan besar, penindasan, dan ketimpangan yang dialami perempuan sehingga memacu mereka untuk mengkampanyekan adanya perubahan besar. Akhirnya tahun 1977, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meresmikan Hari Perempuan Sedunia sebagai perayaan tahunan untuk memperjuangkan hak perempuan dan mewujudkan perdamaian dunia.

Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan selalu menghiasi perayaan Internasional Women Day’s disetiap tahunnya. Kesetaraan posisi maupun peran perempuan dan laki-laki dikenal dengan ide feminisme. Paham feminisme ini lahir karena adanya diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan di berbagai belahan dunia, termasuk di negara-negara Barat.

Kala itu, wanita menjadi korban akibat peradaban Barat yang gelap. Wanita dianggap sebagai objek seksualitas dan statusnya di bawah laki-laki. Sehingga untuk memperbaiki kehormatannya agar tidak diremehkan melalui pemberdayaan agar eksetensinya diakui publik. Tapi nyatanya, ide ini justru bagaikan pedang yang menusuk perempuan itu sendiri dengan memasukkan ke sarang bahaya. Pelecehan, kekerasan, bahkan keharmonisan keluarga dipertaruhkan.

Feminisme yang digemakan ke negeri-negeri Muslim diterima sebagai wujud emansipasi terhadap perempuan. Ketika perempuan hanya mengurus rumah dianggap sebagai tak berdaya, sebaliknya mereka akan berdaya jika mampu menghasilkan rupiah untuk membantu ekonomi keluarga. Ironisnya banyak perempuan yang menjadi korbannya. Kehidupan perempuan semakin berat.

Mengutip dari situs catatan akhir tahun 2021 (catahu) yang diterbitkan oleh Komnas Perempuan, bahwa bentuk kekerasan terhadap perempuan kian meroket saat pandemi. Mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Bentuk kekerasan terbanyak adalah fisik (31% atau 2.025 kasus) disusul kekerasan seksual (30% atau1.938 kasus). Selanjutnya kekerasan psikis yang mencapai 1792 kasus atau 28% dan terakhir kekerasan ekonomi yang mencapai 680 kasus atau 10%. 
Pada catahu 2020 sampai tahun 2021, kekerasan seksual tetap berada diperingkat yang kedua. Adanya data ini, memperlihatkan bahwa rumah dan relasi pribadi belum menjadi tempat yang aman bagi perempuan. Bahkan sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar mengatakan, Indonesia saat ini berstatus darurat kekerasan seksual (Kompas.com, 09/03/2021).

Dapat dilihat gagasan kesetaraan gender nyatanya tidak menghasilkan kehidupan yang lebih baik bagi perempuan. Perempuan menjadi korban kejahatan sehingga keamanan perempuan tak terjamin, kehidupannya sengsara dan kemuliaannya tercoreng sebab besarnya tuntutan di pundaknya. 

Itulah potret buram feminisme. Perempuan dieksploitasi tenaga bahkan pikirannya. Padahal kemuliaan mereka tak terletak pada jabatan atau profesi mereka. Tak perlu berusaha bersaing dengan laki-laki agar terhormat. Sebab keduanya telah diberikan oleh Allah masing-masing peran sesuai fitrah penciptaannya. Maka jelas feminisme bukanlah solusi untuk memuliakan perempuan. Lalu, apa solusi untuk mengembalikan posisi perempuan dengan mulia?

Islam diturunkan oleh Allah sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Sebab Allah satu-satunya yang mengetahui kebaikan untuk makhluk ciptaanNya yaitu manusia. Maka laki-laki dan perempuan memiliki peran yang berbeda dan dengan peran tersebut tak membuat rendah satu dengan lainnya. Dalam hal ibadah, dakwah dan ilmu baik laki-laki dan perempuan sama dalam menjalankan kewajibannya. Rasulullah Saw pernah bersabda, “Sesungguhnya kaum wanita adalah setara dengan kaum pria.” (HR. Abi Daud dan Nasa’i).

Perempuan akan terjaga dan terhormat dalam Islam. Sebab surga berada di bawah telapak perempuan yaitu ibu. Maka syariat Islam yang sempurna akan memuliakan perempuan dengan tugasnya sebagai Ummu Warobbatul Bait dan Al-Umm madrosatul Ula. Seorang perempuan pendidik generasi yang akan mewujudkan peradaban yang cemerlang melalui didikannya. 

Namun peradaban kapitalisme saat ini hanya melihat pada keuntungan semata dengan memandang perempuan sebagai pasar kapitalis yang dieksploitasi tubuh, tenaga dan pikirannya. Maka problem ini harus segera diselesaikan, dengan mengembalikan posisi perempuan sesuai fitrah penciptaan perempuan yaitu dengan kehidupan Islam.

Sudah saatnya masyarakat diatur dengan syariat Islam, khususnya perempuan yang menjadi corong bagi Barat untuk menjatuhkan harga dirinya agar jauh dari Islam. Perempuan bangkit bukan dengan jalan feminisme, tapi dengan Islam, karena feminisme adalah racun hitam bagi perempuan yang dapat merusak akidahnya. 

Dengan memperjuangkan tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah di tengah masyarakat maka akan terjamin perlindungan dan keamanan bagi seorang Muslimah. Dapat disimpulkan, ide kesetaraan pada peringatan woman day hanyalah racun bagi perempuan untuk menjauhkan dari fitrahnya. Dan satu-satunya cara utk mengembalikan kemuliaan perempuan hanya dengan memperjuangkan tegaknya syariat Islam secara kaffah. Wallahu a'lam bishshawab.[]

Oleh: Tri Wahyuni Purbawati, S.Pd
(Pendidik dan Penulis)

Posting Komentar

0 Komentar