Tatap Muka di Era Pandemi, Apakah Siap?


Pembelajaran daring di Indonesia telah mencapai titik dilema. Bagaimana tidak, banyak orang tua yang mengeluhkan bahwa banyak kendala teknis yang harus dihadapi peserta didik dalam mengikuti pembelajaran daring yang menyebabkan terhambatnya proses pembelajaran. Apalagi pada daerah pedalaman yang masih sangat minim akan fasilitas pembelajaran daring, mulai dari sinyal, koneksi internet sampai instalasi listrik yang tidak memadai.

Di satu sisi, orang tua yang “terbiasa” menyerahkan anaknya ke sekolah untuk belajar, kini harus mendapatkan beban tambahan untuk mendampingi dan mengawasi anaknya belajar di rumah, banyak yang tidak sabar, tak jarang pula akhirnya lepas tangan dan membiarkan anaknya lebih asik membuka aplikasi-aplikasi sosmed ketimbang menyimak penjelasan pelajaran yang mereka nilai tidak menarik.

Keadaan inilah yang semakin mendorong orang tua peserta didik untuk mendesak pemerintah membuka kembali sekolah tatap muka. Meskipun dalam perjalanannya terdapat kubu pro dan kontra di tengah masyarakat akan adanya kekhawatiran terjadinya kluster baru yang muncul dari sekolah tatap muka.

Desakan ini pun dijawab oleh Menteri Pendidikan dengan keputusan uji coba pembelajaran tatap muka pada bulan April dan Juni 2021. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai bulan April dan Juni 2021 bukanlah momentum tepat untuk melakukan uji coba terbatas sekolah tatap muka. KPAI mengatakan seharusnya bulan-bulan tersebut digunakan untuk mempersiapkan infrastruktur dan protokol kesehatan di lingkungan sekolah.

"KPAI berpandangan seharusnya April-Juni adalah waktunya melakukan penyiapan, bukan ujicoba secara terbatas. Ujicoba PTM terbatas seharusnya dilakukan pada Juli 2021," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti, dikutip dari siaran persnya, Sabtu (3/4/2021). KPAI menyatakan hanya 16,3 persen sekolah yang sudah siap melakukan pembelajaran tatap muka. Angka ini berdasarkan hasil pengawasan KPAI pada Juni-November 2021 dari 49 sekolah di 21 kabupten/kota pada 8 provinsi (www.liputan6.com).

Kebijakan ini adalah kebijakan yang harusnya ditinjau ulang oleh pemerintah kita. Penyiapan komponen sekolah untuk dapat beradaptasi dengan kebiasaan baru di era pandemi harus benar-benar disiapkan dengan matang oleh pemerintah. Sekolah juga harus menjalin koordinasi dengan dinas kesehatan di daerahnya untuk melakukan pengawasan akan kelayakan dan kesiapan sekolah dalam menjalani pembelajaran tatap muka yang aman bagi peserta didiknya.

Apalagi hingga saat ini belum ada jaminan vaksinasi Covid-19 akan mencegah kita dari tertularnya virus Corona yang semakin mengganas bahkan semakin banyak variannya di Indonesia. Meskipun tenaga pendidik dan peserta didik telah mendapatkan vaksinasi, tetap ada kemungkinan untuk tertular virus ini. Padahal generasi kita adalah aset emas, tidak selayaknya dijadikan sebagai kelinci percobaan yang belum jelas hasilnya akan seperti apa.

Kebijakan ini semakin membuka mata kita bahwa tujuan pendidikan di negara kita memang masih sangat jauh dari aktivitas mendidik dan melahirkan generasi yang memiliki kepribadian Islam. Pendidikan saat ini tak ubahnya adalah ajang untuk mencetak alat produksi demi memenuhi kebutuhan pasar. Mencekoki manusia dengan pengetahuan yang sifatnya ilmiah saja, tapi jauh dari karakter mulia dan luhur sebagai manusia. Proses pendidikan seperti inilah yang telah melahirkan generasi lemah dan rapuh sehingga mereka tidak memiliki identitas diri sebagai pencetak peradaban. Kegiatan sekolah hanyalah sebagai formalitas mereka untuk mendapatkan ijazah dan mendapatkan pekerjaan yang pada akhirnya mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Mau bagaimana lagi, standar kesuksesan kita saat ini memang dinilai dari sejauh mana kita bisa mengumpulkan materi dalam kehidupan kita. Inilah buah pahit sistem kapitalisme yang melahirkan paham sekularisme yang memisahkan kehidupan kita dengan agama.

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki pandangan khas terhadap sistem pendidikan yang dilaksanakan demi melahirkan generasi yang berpola pikir Islam (aqliyah Islamiyah) dan berpola sikap Islam (nafsiyah Islamiyah) kemudian melahirkan generasi yang berkepribadian Islam (syakhsiyah Islam). Sistem pendidikan Islam menjadikan akidah Islam sebagai landasan atas setiap kebijakannya. Pendidikan, dibangun atas kemaslahatan umat bukan atas dasar kebutuhan pasar apalagi sampai mengorbankan keselamatan generasi.

Sistem pendidikan Islam memiliki visi yang jelas di dalam setiap kebijakannya. Negara sebagai pelaksana wajib menjamin keberlangsungan sistem pendidikan yang murah bahkan gratis tapi tetap berkualitas bagi seluruh warga negaranya melalui pengaturan sistem kepemilikan dalam Islam dan baitul maal sebagai penjamin seluruh kebutuhan rakyatnya terpenuhi dengan optimal. Kesehatan dan keselamatan rakyat adalah perhatian yang utama. Penanganan wabah dengan komprehensif tanpa menimbang-nimbang lagi keuntungan dan kerugian bagi negara akan diambil oleh negara demi menghentikan penyebaran virus. Selain itu tes massal, penyediaan fasilitas kesehatan dan edukasi masyarakat terus dilakukan oleh negara. Melalui baitul maal negara pun akan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyatnya, sehingga tidak akan ada lagi narasi rakyat yang harus nekat bekerja dengan mengorbankan dirinya terpapar virus karena terhimpit ekonominya. Demikianlah Islam memiliki pengaturan yang komprehensif dalam sistemnya yang saling terkait antara satu dengan lainnya tak dapat dipisahkan. Sistem inilah yang akan menyelamatkan manusia secara utuh dan kemudian mengangkat derajat manusia menjadi makhluk berpendidikan dan memiliki karakter mulia. Wallahu a’lam.[]

Oleh: Maziyahtul Hikmah, S.Si

Posting Komentar

0 Komentar