Sumber Masalah Utama Bangsa: Perilaku Pejabat dan Ketimpangan Sosial Bukan Radikalisme

Pada beberapa kesempatan saya menyatakan bahwa jenis kelamin radikalisme itu belum jelas jika ditempatkam sebagai delik dan diframing menjadi biang dari terorisme. Radikalisme belum berhasil dirumuskan sebagai delik (tindak pidana) dalam sistem hukum di Indonesia sehingga bersifat lentur dan obscure. Lentur bagikan karet yang bersifat mampu menjerat siapa pun yang dinilai "radikal" oleh rezim penguasa dengan berbagai dalil dan dalih. Obscure itu kabur, tidak jelas, ambigu pemaknaannya, bisa amelioratif dan peyoratif yang seringkali tergantung Suka Suka Kami (SSK). Tidak layak sebagai nomenkaltur hukum yang berkarakter lex scripta, lex certa dan lex stricta. Dalam praktik, umat yang mendakwahkan ajaran Islam khilafah, yang istiqomah dengan ajaran Islam langsung distempeli radikal. 

Ada hal yang lebih mengerikan lagi jika radikalisme diframing menjadi cikal bakal, atau embrio terorisme bahkan ada yang menyatakan bahwa terorisme itu kelanjutan dari radikalisme. Belum lagi sekarang ada Perpres RAN PE yang  menempatkan ekstremisme sebagai aspek intervening antara radikalisme dan esktremisme. RAN PE boleh jadi menjadi aksi semesta untuk menindaklanjuti war on radicalism yang jenis kelamin deliknya masih lentur dan obscure tadi. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah, apakah betul radikalisme yang dikatakan sebgagai embrio terorisme itu sebagai masalah utama bangsa ini? 

Anda mungkin masih ingat, dalam acara ILC TV One Selasa, 21 Juli 2020, ada yang menarik untuk dicermati dari pernyataan pengacara kondang Hotma Sitompul terkait dengan kasus Djoko Tjandra. Dirinya menyakini sudah banyak kasus-kasus serupa yang juga belum bisa tertangani oleh penegak hukum di Tanah Air, khususnya berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Oleh karenanya, Hotma Sitompul tidak ingin menyalahkan banyak pihak terkait belum tertangkapnya Djoko Tjandra. Terlebih menyalahkan sistem hukumnya. Hotma Sitompul lantas menilai bahwa tidak ada yang salah dengan sistem hukum di Indonesia. 

Menurut Hotma Sitompul, yang salah dan perlu diperbaiki dalam sistem hukum di Indonesia adalah orang-orang yang menjalankan hukumnya. Dirinya menegaskan, jika ingin memperbaiki hukum, maka perbaikilah orang-orang yang menjabat. Jadi, kalau mau ditanya bagaimana memperbaiki hukum kita, hukumnya sudah bagus, orang-orang yang menjalankan hukum itu yang harus diperbaiki. Namun,  sungguh aneh lagi ketika ditanya bagaimana caranya untuk memperbaiki orang-orang yang menjabat, Hotma Sitompul mengaku "tidak sanggup dan merasa putus asa". 

Berdasar pernyataan Hotma Sitompul, sungguh terang bahwa persoalan utama penegakan di Indonesia ini adalah perilaku manusia, lebih mengerucut lagi pada perilaku pejabat negara. Saya akan menggunakan angle perilaku pejabat ini untuk mengambil potret terkait dengan "core" misi Kabinet Kerja Jokowi Periode Kedua ini terkait dengan "perang melawan radikalisme", war on radicalisme. Model Penanganan radikalisme sangat tergantung pada perilaku hukum para pejabat negeri ini. 

Banyak kalangan, khususnya Pemerintah, atau pun juga partai tertentu berperilaku hukum atas dasar mind set menyatakan bahwa masalah besar kita adalah radikalisme dengan embel-embel agama. Akhirnya perilaku mereka adalah sering memberikan ancama kepada warga negara misalnya ancaman terhadap ASN yang terbukti menganut ideologi khilafah karena dianggap telah terpapar radikalisme. Benarkah demikian? Sekarang tunjukkan kepada saya bahwa radikalisme ada korelasi dengan "nyungsep"-nya berbagai bidang kehidupan di negeri ini. Tunjukkan kepada saya! Mana, mana, mana?! Justru hasil penelitian dari Siti Zuhro (LIPI) dan mengungkapkan bahwa sumber masalah utama negeri ini bukan radikalisme tetapi ketimpangan sosial (kompas.com/29/12/ 2019). Peneliti Belanda bernama Beren Schot juga menyatakan hal senada bahwa ia tidak setuju Pemerintah RI menggunakan narasi radikalisme untuk distempelkan kepada orang dan atau kelompok yang berseberangan dengan pemerintah (republika.co.id/22/12/2019). 

Dapat diyakini bahwa ketimpangan sosial tersebut disebabkan karena faktor utama adanya sistem kapitalisme yang kita anut dalam penyelenggaraan negara ini. Lagi-lagi hal ini menyangkut perilaku pejabat bersaranakan hukum yang diciptakan demi pemihakan sistem kapitalisme tersebut. Lalu, pantaskah menuding-nuding kelompak Islam sebagai biang kerok kebobrokan berbagai bidang di negeri ini sehingga ada upaya terus menerus menyasar umat Islam dengan dalih-dalih baru tentang khilafahisme dan radikalisme yang akan disandingkan dengan larangan ideologi komunisme. Menyejajarkan sistem pemerintahan Islam khilafah dengan ideologi komunisme adalah kedunguan sejarah dan hukum. 

Fakta sejarah telah membuktikan bahwa ideologi komunisme dan kapitalisme telah gagal menuntun negeri ini menjadi negeri yang adil makmur, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kertaraharja. Gagal! Kalau kita mau jujur, seharusnya kita berpaling kepada ideologi lain yang jelas dan tegas dibimbing oleh hukum-hukum Allah, Sang Pencipta Jagad Raya yang mestinya tidak diragukan lagi kebenarannya. Tentu, untuk melawan kapitalisme ini bukan dengan komunisme karena kita tidak mungkin mengulang sejarah kegagalan ideologi ini untuk menuntun umat manusia memenuhi kebutuhan fitrahnya. Negara bangsa ini seharusnya mulai mengarahkan kiblatnya dengan memberi kesempatan kepada ideologi Islam yang dikenal sebagai sistem yang bersifat  "rahmatan lil 'alamin"---rahmat, keberkahan bagi seluruh alam--- untuk mengisi ideologi Pancasila dalam melawan ideologi kapitalisme sekaligus ideologi komunisme. Itulah watak progresif Pancasila yang akan mampu menyelamatkan negeri ini dari kehancuran yang makin parah. 

Perlu saya ajukan pertanyaan, apakah kita ingin kehilangan watak progresif Pancasila dalam menuntun warga bangsa ini untuk mencapai tujuan nasionalnya sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945? Ingat, jangan kembali kepada ideologi komunisme dan kapitalisme yang telah sekarat (dying). Apakah Anda rela jika kita menjadi follower kedua "dying ideology" itu? Tentu tidak, karena jika kita ikuti maka pasti Pancasila pun akan ikut "dying" bukan? Maka, Pancasila harus dikembalikan pada fitrahnya dengan suntikan inti ideologi Islam yang pasti mampu melawan kepongahan ideologi kapitalisme dan komunisme yang keduanya amat rapuh. 

Dunia ini pantareih, demikian kata Heraklitos. Dunia terus mengalir, berubah tanpa henti. Kekokohan sebuah ideologi tidak menjamin kelestariannya ketika ideologi itu bertentangan dengan fitrah manusia dan peritimbangan akal sehat.  Keraguan terhadap sebuah konsep hingga realita terus mendorong seseorang untuk terus mencari kebenaran dalam rangka memenuhi jiwanya yang sakit. Sakitnya jiwa itu karena rasa dahaga atas kuriositas manusia itu sendiri. 

Jika kita yakini Pancasila sebagai konsensus bangsa dalam mengatasi masalah bersama, jangan kita biarkan tabula rasa Pancasila diisi oleh ideologi yang jelas terbukti gagal menuntun manusia memenuhi kebutuhan lahir batin, kebutuhan hidup di dunia dan akherat. Kita buktikan Pancasila itu berwatak progresif, yang seharusnya mampu menyerap kebaikan lingkungannya secara autopoietik. 

Oleh karena itu, pengisian tabula rasa Pancasila agar mampu menggerakan sistem hukum Indonesia untuk menghadirkan keadilan dan kebenaran di tengah masyarakat harus dengan konten yang secara fitrah dan akal sehat dijamin kebenarannya.  Tidak lain adalah ajaran Alloh dan rasul-Nya yang sebenarnya tidak membutuhkan legitimasi manusia dewasa ini. Manusia tinggal mengambil dan menerapkan hukum-hukum dari Alloh dan Rasul-Nya tersebut, tentu harus didukung dengan sistem penegakan hukum terbaik. Maukah? 

Manusia dan sistem sangat berkelindan satu dengan lainnya. Namun, sistem yang terbaik menjadi dasar kita membentuk manusia dengan perilaku yang baik. Prof Satjipto Rahardjo pernah menyatakan bahwa perilaku baik menjadi dasar penegakan hukum yang baik. Anda ingin penegakan hukum di Indonesia baik? Perbaiki sistem hukumnya, perbaiki perilaku pejabat, hilangkan ketimpangan sosial, bukan dengan teriak-teriak radikal-radikul. Tabik.! []

Semarang, Kamis: 1 April 2021

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum
(Pakar Hukum dan Masyarakat)

Posting Komentar

0 Komentar