SP3 KPK dalam Kasus BLBI: Konsekuensi Logis Putusan MA Atas Syafrudin AT dan Menciderai Rasa Keadilan Masyarakat


Saya kutip pemberitaan di Tempo.co, Jakarta tanggal 1 April 2021 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan atau SP3 kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Adapun dua orang yang menyandang status tersangka di kasus ini adalah Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim. Alasan penerbitan perkara itu sesuai dengan Pasal 40 Undang-undang KPK. Penghentian penyidikan sebagai bagian adanya kepastian hukum sebagaimana Pasal 5 UU KPK.  Banyak yang menilai bahwa SP3 ini disebut sebagai "karya besar" masa Pemerintahan Presiden Jokowi yang kontroversial dalam usaha serius pemberantasan tipikor. Benarkah, karena SPK juga berpotensi diterbitkan atas SSK (Suka Suka Kami) KPK. 

Jika Anda mengamati kasus ini, Anda pasti tahu bahwa pada awalnya KPK menetapkan eks Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung menjadi tersangka. Ia diduga menerbitkan SKL BLBI untuk Sjamsul selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia. Syafruddin dihukum 15 tahun di pengadilan tingkat banding. Namun, Mahkamah Agung melepasnya di tingkat kasasi. Perkara ini sempat jadi polemik di tengah masyarakat hingga sempat pula dijadikan topik diskusi di ILC yang kebetulan waktu itu saya diminta menjadi salah satu narasumber (Juli 2019). SP3 atas Nursalim dan istrinya saya nilai merupakan konsekuensi logis atas putusan MA yang membebaskan Syafrudin AT yang waktu di ILC itu saya katakan sebagai wujud penegakan hukum yang terjerembab dalam aliran positivisme yang penuh ketidakadilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. 

Bila melihat tujuan utama UUPTPK sebagaimana Pasal 4 UUTipikor, maka misi UU ini adalah selain ada pengembalian kerugian keuangan negara tetapi juga memidana pelaku. Sehingga kita bisa menegaskan bahwa selain penegakan hukum juga bagaimana UU berorientasi pada perwujudan keadilan sosial (social justice). Hal ini mengamini apa yang dikatakan oleh Brian Z Tamanah dalam On the Rule of Law, yang membagi dua model ROL yakni formal dan substantif. ROL formal hanya menekankan pada penggunaan hukum sebagai alat untuk social control  bahkan sekedar dipakai sebagai alat legitimasi kekuasaan saja, sedang dalam pandangan ROL Substantif usaha penegakan hukum diarahkan hingga pencapaian kesejahtetaan sosial (social welfare). Sampai di sini tampak bahwa UU Tipikor sangat erat hubungannya dengan ideologi negara dan bangsa, yakni Pancasila. 

Kerugian negara yang sering menjadi salah satu ada tidaknya unsur pidana dalam TPK hanyalah awal saja dari effect korupsi. Multiplying effect-nya adalah pembunuhan ideologi bangsa dan negara melalui celah masuknya perilaku para pejabat negara yang bermental korup. Ini yang kita sebut dengan ideology corruption. Runtuh ideologi negara bangsa oleh karena tindakan korup itu. Nilai-nilai Pancasila juga bisa hancur karenanya. Oleh karena itu ketika seseorang itu melakukan tindakan korupsi maka ia sebenarnya telah merongrong kesaktian Pancasila. Jadi korupsi itu bertentangan dengan Pancasila. Implikasinya ketika suatu ormas orpol anggotanya banyak yang melakukan korupsi mestinya ormas atau orpol tersebut mestinya bertentangan dengan Pancasila dan seharusnya dapat dicabut BH hingga dibubarkan atau bahkan dilarang. 

Di samping effect ideologis, ada efek lain yang tidak kalah bahayanya dari TP korupsi terutama korupsi politik (politic corruption). Politic corruption ini berdampak pada munculnya korupsi berjamaah dalam arti seolah ada sindikatnya. Ini lebih sulit pencegahan dan pemberantasannya karena dilakukan secara Terencana, Terstruktur dan Monopolistik (TTM). Muncullah yang kita sebut Syndicate Corruption

Mengingat akibat korupsi yang sangat luar biasa tersebut maka secara konvesi disepakati bahwaTP korupsi merupakan extra ordinary crime. Oleh karena karakternya itu maka langkah-langkah penanganannya pun mesti extra ordinary, tidak bisa ditangani dengan cara biasa, melainkan luar biasa dan integrated. Kita sudah punya SPP (criminal justice system) tetapi dalam pandangan saya belum integrated baik dalam visi, misi dan operasi. Dalam penanganan TPK seolah masing masing lembaga hukum mempunyai "target" sendiri sesuai dengan visi misi institusinya. Bagaimana dengan kasus BLBI? Nasibnya sama oleh karena kurang integrated penanganannya dari hulu hingga hilir, maka apa yang sudah dibangun sejak awal yang memakan banyak waktu (5 tahun) dan tenaga (polri, jaksa, advokat, saksi, ahli, KPK) serta biaya yang pasti "mahal" akhirnya kandas. Ada apa dengan penegakan hukum kita hingga menimbulkan rasa pilu dan memilukan (elegi penegakan hukum)? 

Penegakan hukum biasa sering terbelenggu dengan mantra-mantra sakti positivisme hukum yang mengandalkan rule and logic dengan alasan karena kita mengkiblat pada hukum eropa kontinental yang beraroma civil law system. Benarkah? Apakah dengan kultur hukum Pancasila itu kita tidak punya cara tersendiri, cara Indonesia dalam penegakan hukum? Bukankah telah terjadi ingsutan paradigma penegakan hukum dari yang mengutamakan kepastian hukum (rule and logic) kepada  kepastian hukum yang adil? Kita lihat UUD 1945 juga UU Kekuasaan Kehakiman dan juga Rancangan KUHP kita yg mengutamakan nilai keadilan disamping nilai kepastian (rule and logic). Ini adalah langkah progresif. Cukupkah di tataran ide dan di atas kertas? Bukan! Harus diimplementasikan. Nah di sini perlu legal culture baik ILC maupun ELC. Gustav Radbruch dengan Triadism (justice, certainty and expediency (utility)) juga mengatakan: "where statutory law is incompatible with justice requairment, statutory law must be disregarded by a judge..". Maka hukum mestinya mengutamakan  pencarian keadilan. Hukum yang tidak adil itu bukan hukum (lex injusta non est lex: Thomas Aquinas). 


Terbukti Nasib Kasus BLBI: Menyedihkan 

Pertanyaannya: adilkah tidak menghukum orang yang terbukti melakukan TPikor, yg telah melalui proses panjang dan akuntabel? BPK, Polri, Jaksa Hakim PN PT, Saksi, Ahli yang kualitasnya tidak diragukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Apakah putusan bebas itu tidak menciderai rasa keadilan dalam masyarakat, sedang jelas akibat penerbitan SKL itu BPK telah menemukan kerugian negara sekitar 4, 58 T. Kalau bukan Syafrudin AT lalu siapa yang bertanggung jawab? Ataukah negeri ini memang sudah dipenuhi dengan orang-orang yang melempar tanggung jawab dan tidak mau bertanggung jawab? Apakah nasib kasus BLBI akan sama dengan pengadilan kentut yang sempat heboh di dunia medsos setelah Speedy Trial Sengketa Pilpres di MK---hanya karena locus dan tempus kentut yang dinilai tidak jelas, sementara kentutnya ada? Lalu apa bedanya antara Putusan MK atas Syafrudiin AT dan SP3 atas Nursalim dan Istrinya? Tidak ada bedanya, keduanya terbelenggu bunyi-bunyi teks yang tidak mampu menghadirkan keadilan di tengah masyarakat.  Keduanya menunjukkan adanya dugaan ketidakseriusan KPK bersama Pemerintahan dalam memberantas korupsi di Indonesia. Terkesan "amung lamis" dan ada dugaan pula adanya "hidden interest"

Ada kesan terdapat "hidden interest, agenda" untuk mempersulit bila perlu membuat kasus BLBI ini tidak terungkap atau setidaknya digiring menjadi mal administrasi dan perdata, misalnya melalui jalur lobbying. Seperti diberitakan di media online tirto.id bahwa diduga ada upaya lobby oleh 2 hakim (Syamsul dan Arifin) kepada hakim ketua (Salman). Benarkah, KY masih akan mendalaminya. Bila lobby itu terjadi maka diprediksikan akan terjadi semacam syndicate yang akan mempersulit pengungkapan (Exposures) kasus BLBI. Dengan demikian maka akan timbul efek buruk yakni semakin membuka peluang terjadinya Tipikor seperti teori GONE Jack Bologne. Ia menyatakan bahwa Tipikor terjadi karena adanya faktor GONE (Greeds, Opportunities, Needs dan Exposure). Kekuatan lobby ini menunjukkan kebenaran dalil Marc Galanter yang menyatakan: "The haves always come out ahead". 

Putusan MA yang kontroversial ini juga memberikan kesan melindungi The Big Fish di balik kasus BLBI. Maka jalan terbaiknya adalah memutus ranting dan dahan yg patah untuk menyelamatkan batang dan akar sebatang pohon. Juga ada kesan di negeri ini imunitas para pembesar khususnya Presiden dan Wakil Presiden dgn menjalankan pepatah Jawa: mikul dhuwur mendhem jero. 

Masa depan Pemberantasan Korupsi Pasca SP3 Nursalim dan Istrinya;

Pertama. Rakyat kurang percaya kepada KPK dan Pengadilan.
Kedua. Penetapan tersangka a.n. Syamsul Nursalim dan Istri pada tahun 2019 oleh KPK ternyata betul-betul terbukti bermasalah karen perkara pokoknya telah diputus sebaga PMH (Perbuatan Melawan Hukum) bukan pidana. Dengan SP3 atas Nursalim dan isterinya, berarti yang bersangkutan lepas dari kasus ini.
Ketiga. Putusan MA atas Syafrudin AT dan SP3 KPK atas Nursalim dan isterinya menjadi mimpi buruk rakyat pencari keadilan khususnya bila berhadapan dengan para politisi dan pejabat yang terlibat dalam penerbitan SKL BLBI yang merugikan negara. KPK bisa lebih dipermalukan lagi.
Keempat. Putusan dan dan SP3  ini akan menjadi preseden buruk di era Jokowi, untuk pertama kalinya KPK dipecundangi, pesakitan KPK lepas dr jerat pidana. Kasus ini berpeluang mempersulit KPK untuk menangani kasus korupsi yg terjadi akibat penyalahgunaan wewenang dan/PMH.
Kelima. KPK berpotensi hanya akan fokus menangani kasus recehan yang mengandalkan OTT. Kasus big fish lebih baik dihindari.
Keenam. Korupsi berpotensi menjadi evolutionary crime yang sulit diungkap dan makin membuka peluang dilakukannya Tipikor di masa depan? 

Itulah fakta-fakta yang timbul akibat kita terlalu mengagungkan positivisme hukum yang kaku keras, dingin dan menutup pintu kreativitas dalam menegakkan hukum melaui hukum ptogresif. 

Mau tetap berhukum secara konvensional, ataukah progresif? Tabik.! []

Semarang, 3 April 2021 

Oleh: Prof. Dr. Suteki,S.H.,M.Hum
(Pakar Hukum dan Masyarakat)

Posting Komentar

0 Komentar