Retorika Pemberantasan Korupsi: Inikah Keniscayaan Ulah Penguasa dalam Sistem Demokrasi Kapitalistik?


Dalam sebuah acara peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi Stranas PK 2021-2022 yang ditayangkan secara virtual pada Selasa (13/4/2021), beberapa petinggi negeri berbicara lantang tentang upaya pencegahan dan pemberantasan tindak korupsi yang kian menjamur dalam sistem demokrasi kapitalistik saat ini.

Stranas PK adalah komitmen kuat pemerintah bersama Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai upaya menciptakan pemberantasan korupsi yang sistemik, kolaboratif, dan berdampak nyata. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan Stranas PK akan fokus pada 12 aksi di tiga fokus sektor, "Sistem pencegahan korupsi sudah semakin kita perkuat dari hulu ke hilir. Jadi bagi siapapun yang masih nekat pasti akan disikat tanpa bulu" (Tempo.co, 13/4/2021).

Menteri Keuangan Sri Mulyani berbagi resep rahasia mencegah tindakan korupsi uang negara. Jurus rahasia itu, pertama, dari sisi perizinan dan tata niaga. Kedua, sistem keuangan negara, dan ketiga, mitigasi melalui penegakan hukum dan reformasi birokrasi. Ia beretorika bahwa mencegah dan membangun sistem yang antikoruptif secara komprehensif akan sangat menentukan apakah sebuah bangsa bisa meneruskan perjalanan menjadi berpendapatan tinggi, bermartabat, memiliki kesejahteraan yang adil (CNN Indonesia, 13/4/2021).

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menyatakan pencegahan korupsi harus lebih digalakkan di Indonesia karena penindakan yang dilakukan KPK melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) tidak membuat koruptor kapok. Ia lantang mengatakan, "Saya minta KPK lebih kokoh, KPK tidak boleh jadi alat politik, alat kekuasaan. Fungsi KPK ini ada tiga yakni, pengawasan, pencegahan, dan penindakan. Pencegahan ini menjadi salah satu faktor yang penting, jangan hanya penindakan saja yang menonjol" (CNN Indonesia, 13/4/2021).

Benarkah fokus pemerintah ada pada upaya pemberantasan korupsi yang nyata mengancam negeri ini? Pasalnya, segala retorika penguasa tentang upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak sejalan dengan pelaksanaannya. Dalam sistem demokrasi kapitalistik, kasus korupsi semakin meningkat dan penanganannya semakin melemah. Masihkah harus bertahan dengan sistem ini?


Upaya Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Demokrasi Kapitalistik Sebatas Lips Service

Dalam kesempatan yang sama, para petinggi negeri bicara cara pencegahan dan pemberantasan korupsi. Satu suara mereka meyakini bahwa tindak korupsi harus segera diberantas. Namun pada faktanya, rakyat disuguhi berbagai adegan yang menggiring pada narasi terorisme dan radikalisme. Dua kata ini, akhir-akhir ini yang mendominasi perhatian pemerintah, diduga kuat demi menggiring kelancaran jalan moderasi Islam. Bisa jadi ini demi memuaskan dan memuluskan pesanan para musuh-musuh Islam yang bersembunyi di balik war on terorism dan war on radicalism.

Padahal telah nampak jelas dari awal tahun 2021, laju percepatan korupsi di Indonesia telah tumbuh kian subur. Sebuah laporan transparansi internasional mengenai indeks persepsi korupsi negara-negara di dunia telah merilisnya dari awal tahun. Di dalamnya disebutkan bahwa indeks persepsi korupsi untuk Indonesia telah mengalami penurunan. Tahun lalu dengan skor 40 sekarang 37, tahun lalu Indonesia berada pada posisi 85, namun sekarang berada di posisi 102, dan ini setara dengan Gambia (Fokus Khilafah Channel, 31/1/2021).

Bersama terlupanya laporan indeks ini, kasus-kasus korupsi kelas kakap atau yang menyeret orang-orang terdekat penguasa juga kian samar, menghilang, terlupakan dan sulit terungkap ke permukaan. Rakyat dibuat nyata melihat, bagaimana hukum bekerja dalam sistem demokrasi kapitalistik ketika kejahatan itu dilakukan oleh mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan.

Bahkan, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri masih bisa berpikir positif ketika saat ini tak lebih dari 1.550 orang ditangkap lembaga antirasuah akibat korupsi. Sedangkan, ia membandingkan dengan 262 jita lebih warga negara Indonesia (CNN Indonesia, 13/4/2021). Tidakkah ini seharusnya menjadi perbandingan yang memalukan? Jumlah 1.550 orang yang berada dalam lingkaran kebijakan dan kekuasaan negara menggarong uang rakyat dalam jumlah mulai dari jutaan, milyaran hingga triliunan sudah lebih dari cukup menghancurkan kesempatan kesejahteraan 262 juta lebih rakyat Indonesia. Inilah wujud para penguasa di sistem demokrasi kapitalistik, jauh panggang dari api berharap mereka mampu meriayah urusan umat. Yang ada mereka dikejar oleh berbagai kepentingan, baik pribadi maupun golongan. Apalagi sistem demokrasi kapitalistik yang membutuhkan biaya mahal ini tidak bisa lepas dari yang namanya mahar politik.

Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, calon bupati atau walikota butuh dana Rp 20 hingga Rp 100 miliar untuk memenangi Pilkada.  Dalam Pilkada DKI Jakarta 2012, pasangan Fauzi Bowo dan Nara mengeluarkan dana kampanye sebesar Rp 62,6 miliar. Pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Poernama mengeluarkan dana Rp 16,1 miliar. Angka itu naik siginifikan pada Pilkada DKI 2017. Pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menghabiskan dana kampanye sebesar Rp 85,4 miliar. Pasangan Basuki Tjahaja Poernama dan Djarot Saiful Hidayat sebesar Rp 82,6 miliar (al-waie.id).

Inilah celah atau sumber terbukanya praktik korupsi di sistem demokrasi kapitalistik. Ketika telah memenangkan suara, mereka lupa untuk bekerja demi mengurusi urusan rakyat. Mereka tak lebih dari sekadar berpikir keras, bagaimana mengembalikan modal politik tersebut, terlebih apabila modal untuk mahar politik mereka berupa pinjaman dari pihak lain. Maka, tidak mengherankan apabila sistem demokrasi kapitalistik membuka celah kasus korupsi kian tumbuh subur.

Jadi, upaya pemberantasan korupsi dalam sistem demokrasi kapitalistik sebatas lips service niscaya terjadi. Padahal, rakyat butuh solusi nyata untuk menyelesaikan kasus korupsi yang semakin radikal di negeri ini, bukan sekadar retorika semu demi pencitraan para penguasa. Teramat sulit membabat habis laju tumbuh korupsi, ketika akar permasalahannya ada pada sistemnya. Sistem demokrasi kapitalistik menjadi biang keladi tumbuh suburnya korupsi. Akan sangat mustahil berharap para petinggi dan pemangku kekuasaan di lingkaran sistem demokrasi kapitalistik memberantas para koruptor negeri, ketika bibit-bibit korupsi berasal dari mereka sendiri.


Dampak Lips Service Upaya Pemberantasan Korupsi Terhadap Kelangsungan Hidup Suatu Negara

Tak dapat dipungkiri sistem demokrasi kapitalistik meniscayakan upaya pemberantasan korupsi yang digembar-gemborkan penguasa hanya sekadar lip service semata. Dalam sistem ini, sudah dapat dipastikan angka kasus korupsi semakin menggila, tak berhenti di situ, bahkan untuk penyelesaian kasus yang melibatkan orang-orang penting dalam lingkaran kekuasaan pun akan sulit terkuak ke permukaan.

Ketika upaya pemberantasan korupsi hanya sekadar menjadi lip service penguasa semata, tentunya akan membawa dampak yang lebih parah bagi kelangsungan kehidupan dalam sebuah negara. Korupsi memiliki dampak negatif bagi seluruh sendi kehidupan, di antaranya:

Pertama. Hilangnya kepercayaan publik.

Ketika upaya memberantas korupsi sekadar retorika penguasa, tidak berimbas kepada penanganan yang lebih tegas dan malah semakin nampak korupsi tumbuh subur, tentunya masyarakat akan meragukan kemampuan penguasa, dan semakin tinggi rasa curiga masyarakat akan keengganan penguasa melakukan tindakan tegas kepada pelaku koruptor.

Selain meragukan kejujuran penguasa, masyarakat juga meragukan rasa kemanusian mereka. Bagaimana tidak, ketika dana bansos yang diperuntukkan bagi masyarakat yang membutuhkan di saat pandemi pun tak luput menjadi mangsa para koruptor yang berhati dingin. Namun ini, semakin dapat membuka mata masyarakat buruknya kepemimpinan dalam sistem demokrasi kapitalistik dan sudah semestinya tidak perlu berharap lagi pada sistem yang rusak ini.

Kedua. Hilangnya keadilan dan ketidakpercayaan kepada peraturan dan perundang-undangan.

Masyarakat semakin yakin bahwa dalam sistem demokrasi kapitalistik, sulit mendapatkan keadilan. Bahkan menumbuhkan keyakinan bahwa segala peraturan dan perundang-undangan yang berlaku menjadi mandul karena ketidakmampuan membabat habis pelaku koruptor.

Ketiga. Terhambatnya pembangunan fasilitas masyarakat.

Korupsi tentu akan mengakibatkan semakin tingginya biaya pembangunan segala bentuk fasilitas untuk masyarakat. Hingga dapat berujung kian menggelembungnya utang negara demi untuk menambal biaya pembangunan. Dampaknya semakin berpengaruh kepada finansial negara yang semakin mengalami peningkatan defisit APBN.

Keempat. Harga barang dan jasa kian melambung tinggi.

Tingginya biaya pembangunan infrastruktur penunjang dunia usaha, tentu akan berpengaruh kepada meningkatnya biaya produksi. Alhasil, akan melambungkan harga barang dan jasa untuk para konsumen. Dampak ini juga berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat.

Kelima. Semakin bertambahnya kemiskinan.

Dampak terparah adalah semakin meningkatnya kemiskinan di masyarakat. Korupsi memicu terjadinya inflasi, kenaikan harga barang, dan penurunan kualitas barang dan jasa. Ketiga indikator ini, dapat menjadi faktor pendorong kemiskinan yang terjadi di masyarakat.

Di atas adalah sedikit dari banyak dampak kasus korupsi dalam lingkaran setan sistem demokrasi kapitalistik, yang akan semakin membuat rakyat semakin terpuruk lebih dalam ke jurang kesengsaraan dan jauh dari terwujudnya kesejahteraan. Sistem demokrasi kapitalistik yang sejak awal menjadi akar permasalahan suburnya korupsi harus berani untuk dicampakkan.


Strategi Islam dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi

Sistem politik Islam meniscayakan pemerintah bersih dan bebas korupsi. Karena telah jelas syariat Islam mengharamkan segala bentuk suap-menyuap. Sistem Islam adalah sistem shahih yang diturunkan oleh Allah, berdasarkan Al-Qur'an dan al-Hadist dan terbebas dari segala bentuk kepentingan segelintir manusia sebagaimana dalam sistem demokrasi kapitalistik.

Dikutip dari al-waie.id, berikut strategi Islam dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, di antaranya:

Pertama. Sistem politik Islam.

Sistem politik Islam adalah sistem politik yang bisa memangkas biaya politik yang mahal. Khalifah (kepala negara), dipilih dalam waktu yang singkat (paling lama 3 hari 3 malam), jadi tidak dalam waktu yang lama seperti dalam sistem demokrasi. Pemilihan khalifah pun tidak bersifat regular, seperti lima tahun sekali yang menyedot biaya sangat mahal. Khalifah tetap sebagai kepala negara selama tidak melanggar syariat Islam. Begitu juga dengan kepala daerah yang dipilih oleh khalifah kapan saja dan dapat diberhentikan kapan saja. Jadi, negara tidak disibukkan oleh Pilkada rutin yang menguras energi dan uang. Dengan sistem politik Islam, dominasi pemilik modal dalam pembuatan UU yang berbahaya pun akan dipangkas habis. Pasalnya, dalam Islam kedaulatan ada di tangan hukum syariat, bukan manusia. Karena itu pemilik modal yang mempunyai banyak kepentingan tidak bisa mempengaruhi hukum seperti dalam sistem demokrasi.

Kedua. Teladan pemimpin.

Dan selain sistemnya, salah satu unsur terpenting dalam pemberantasan korupsi adalah teladan pemimpin. Jika ada gerakan pemberantasan korupsi, maka pemimpin tertinggilah yang semestinya memimpin gerakan ini. Pemimpin memiliki kewenangan dan pengaruh paling tinggi. Dengan kewenangan itu, ia bisa melakukan segala daya agar usaha penting ini bisa berhasil. Pemimpin yang bersih, tidak korup dan tegas dalam menindak para pelaku korupsi akan memberikan pengaruh sangat besar, bukan hanya kepada aparat birokrasi, tetapi juga kepada masyarakat luas. Akan berkembang atmosfer anti korupsi yang sangat kuat di tengah masyarakat.

Ada beberapa hal penting yang harus ditunjukkan oleh seorang pemimpin sebagai teladan dalam pemberantasan korupsi:

Pertama, pemimpin harus memiliki jiwa wara’ dan zuhud dari kemungkinan mengambil harta yang tidak halal. Apalagi terhadap yang jelas-jelas haram.

Kedua, teladan pemimpin diperlukan dalam mencegah agar tidak ada anggota keluarganya yang memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi. Jamak terjadi dimana-mana, keluarga atau orang dekat akan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki kepentingan bisnis atau lainnya. Dulu, Khalifah Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena digembalakan bersama beberapa unta lain di padang rumput milik Baitul Mal. Hal ini dinilai Umar sebagai penyalahgunaan kekuasaan negara.

Ketiga, teladan paling penting adalah dalam hal larangan menerima suap dan hadiah. Suap biasanya diberikan sebagai imbalan atas keputusan atau jasa berkaitan dengan suatu kepentingan, yang semestinya wajib diputuskan atau dilakukan oleh seorang pegawai tanpa imbalan apa pun karena ia telah digaji. Abdulllah bin Rawahah, ketika menjalankan perintah Nabi saw. untuk membagi dua hasil bumi Khaibar—separuh untuk orang Yahudi separoh lagi untuk kaum Muslim—datang orang Yahudi mencoba menyuap dirinya dengan sejumlah perhiasan agar Abdullah mau memberikan lebih dari separuh kepada mereka. Tawaran itu ditolak keras seraya berkata, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram dan kaum Muslim tidak memakan suap.” Mendengar ini, orang Yahudi menyahut, “Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tetap tegak.” (Imam Malik dalam AI-Muwaththa’). Tentang hadiah kepada pejabat negara Rasulullah saw. berkata,“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Ahmad). Rasulullah  saw. berkata,  “Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap.” (HR Abu Dawud).

Dengan teladan dari pemimpin, tindak penyimpangan akan terdeteksi secara dini. Penyidikan dan penindakan tidak sulit dilakukan. Sebaliknya, apa jadinya bila justru pemimpin itu yang melakukan korupsi dan melindungi korupsi yang dilakukan bawahannya? Lalu dengan kewenangannya bukan memperkuat lembaga pemberantasan korupsi, tetapi malah memperlemah. Semua upaya apa pun menjadi tidak ada artinya sama sekali. Akibatnya, pemberantasan korupsi hanya berhenti sebatas retorika kosong belaka.

Ketiga. Pengawasan masyarakat.

Masyarakat dapat berperan dalam menyuburkan atau menghilangkan tindak penyelewengan di kalangan birokrat. Masyarakat yang bermental instan (ingin serba cepat) akan cenderung menempuh jalan pintas untuk mendapatkan pelayanan cepat dari birokrat atau mencapai tujuan-tujuan pribadi dengan mengiming-imingi sejumlah uang atau pemberian lain. Sebaliknya, masyarakat mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan termasuk para birokratnya. Mereka akan menolak bila oknum birokrat mengajak mereka berbuat menyimpang. Pengawasan masyarakat akan mempersempit ruang gerak penyimpangan kaum birokrat. Demi menumbuhkan keberanian rakyat  mengoreksi  birokrat,   Khalifah  Umar  pada  awal kepemimpinannya mengatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, makaluruskan aku walau pun dengan pedang.”Menyambut seruan Umar, berdirilah seorang laki-laki yang dengan lantang berkata, “Kalau begitu, demi Allah, aku akan meluruskanmu dengan pedang ini.” Melihat itu, Umar amat bergembira. Bukan malah menangkap atau  menuduh dirinya menghina kepala negara.

Jadi tidak ada pilihan lain untuk memberantas habis kejahatan korupsi ini, selain harus mencabut akar permasalahannya. Dengan mengganti sistem demokrasi kapitalistik menjadi sistem shahih dari Dzat yang Maha Pencipta dan Pengatur kehidupan, yaitu sistem Islam yang menerapkan Islam secara kaffah dalam naungan Daulah Khilafah Rasyidah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw dan para Khulafaur Rasyidin.


Penutup

Upaya pemberantasan korupsi dalam sistem demokrasi kapitalistik sebatas lips service niscaya terjadi. Padahal, rakyat butuh solusi nyata untuk menyelesaikan kasus korupsi yang semakin radikal di negeri ini, bukan sekadar retorika semu demi pencitraan para penguasa. Teramat sulit membabat habis laju tumbuh korupsi, ketika akar permasalahannya ada pada sistemnya. Sistem demokrasi kapitalistik menjadi biang keladi tumbuh suburnya korupsi. Akan sangat mustahil berharap para petinggi dan pemangku kekuasaan di lingkaran sistem demokrasi kapitalistik memberantas para koruptor negeri, ketika bibit-bibit korupsi berasal dari mereka sendiri.

Dampak lips service upaya pemberantasan korupsi terhadap kelangsungan hidup suatu negara, di antaranya: hilangnya kepercayaan publik; hilangnya keadilan dan ketidakpercayaan kepada peraturan dan perundang-undangan; terhambatnya pembangunan fasilitas masyarakat; harga barang dan jasa kian melambung tinggi; dan semakin bertambahnya kemiskinan.

Strategi Islam dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, di antaranya: Menerapkan sistem politik Islam; Adanya teladan pemimpin; dan adanya pengawasan masyarakat. Jadi, tidak ada pilihan lain untuk memberantas habis kejahatan korupsi ini, selain harus mencabut akar permasalahannya. Dengan mengganti sistem demokrasi kapitalistik menjadi sistem shahih dari Dzat yang Maha Pencipta dan Pengatur kehidupan, yaitu sistem Islam yang menerapkan Islam secara kaffah dalam naungan Daulah Khilafah Rasyidah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw dan para Khulafaur Rasyidin.[]

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Oleh: Dewi Srimurtiningsih
(Analis Mutiara Umat & Dosol Uniol 4.0 Diponorogo)

Posting Komentar

0 Komentar