Retorika Benci Produk Luar Negeri Menguak Fakta Impor Tak Beretika


Seruan Tak Sesuai Kenyataan

Seruan benci produk luar negeri nampaknya hanya sekedar retorika politik memikat hati rakyat, karena ternyata fakta dan data impor Indonesia tidak selaras dengan apa yang digaungkan (kumparan.com). Hal senada pun ditulis dalam berita nasional.tempo.co, bahwa apa yang diserukan Presiden Joko Widodo tidak sesuai kenyataan. Fakta yang terjadi justru impor makin merajalela, produk-produk asing khususnya dari China mendominasi pasar negeri ini, dan justru mengancam dan melibas mata pencaharian rakyat negeri sendiri. Kebijakan impor ini makin nampak kezalimannya dan tak beretika, karena pemerintah justru akan membuka keran impor beras sebesar 1 juta ton (cnnindonesia.com, 4/3/2021).

Padahal produksi beras petani lokal justru tengah meningkat dalam musim panen kali ini. Untuk kesekian kalinya petani kecil, pelaku usaha kecil mikro mendapat pukulan telak akibat kebijakan impor pemerintah yang tak punya hati ini. Tekanan hidup petani di saat subsidi pupuk dikurangi dan sulit kian berat. Rakyat hanya bisa menelan ludah pahit mendengar seruan presiden benci produk luar negeri. Seruan yang cuma basa basi politik. Nampak hanya sekedar mencari pembenaran, bahwa sebenarnya orang nomer satu negeri 'berflower' ini menolak produk asing, di tengah derasnya impor. Kenyataannya justru politik "lempar batu sembunyi tangan"  mengelak dari tanggung jawab sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, malah makin menjatuhkan kredibilitasnya. Walhasil, rakyat semakin benci dengan produk kebijakannya!

Direktur ELSEI Arif Firmansyah, S.E., M.M mengatakan, yang disampaikan Jokowi tidak sinkron dengan kebijakan yang dibuat. “Secara hukum atau secara konstitusi bisa kita pantau bagaimana UU Omnibus Law atau UU Ciptaker bagian dari kebijakan pemerintah, ini tidak sinkron antara apa yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dengan kebijakan tersebut.” Faktanya, impor terus berlangsung dalam jumlah besar dan di sektor vital strategis. Seruan benci produk luar negeri juga tidak diimbangi peta jalan yang sungguh-sungguh untuk memandirikan kemampuan dalam negeri.


Indonesia dalam Kendali Asing dan Dominasi Kapitalisme

Dalam konstelasi politik dunia internasional, yang berada di bawah kendali kapitalisme global dengan mekanisme ekonomi politik liberalismenya. Indonesia sebagai negara ketiga (pengekor) tak bisa mengelak dari tekanan penjajahan dan dominasi negara-negara kuat. Tidak bisa dipungkiri negeri zamrud khatulistiwa ini tak berkutik dalam kendali asing. Fakta kebijakan impor yang dilakukan Indonesia merupakan bentuk tekanan dan kendali asing tersebut. Hutang luar negeri membawa konsekuensi Indonesia pun harus masuk jebakan kesepakatan impor. Kita tak hanya sekedar melihat kebijakan ekspor impor sebagai sebuah hubungan bilateral atau multilateral. Namun juga harus dilihat dalam dimensi politik sebagai bentuk hubungan yang bisa berpotensi bahaya dan membawa masalah. 

Jangan melihat wajah kapitalisme demokrasi terlalu lugu dan ramah. Sebab dia terlahir dari nafsu serakah manusia. Kita perlu mengasah kepekaan politis sebagai anak bangsa. Potensi yang dikhawatirkan kini telah terjadi. Indonesia sudah masuk jebakan kontrak impor yang sesungguhnya merugikan keberlangsungan ekonomi dan politik bangsa. Indonesia jatuh dalam ketergantungan dengan pihak asing. Kondisi ini memperlemah bangsa, pemerintah apalagi rakyat tak berdaya menahan arus impor, terutama untuk produk-produk pertanian. 

Para pakar, pembantu presiden, penasehat dan lain-lain pasti sadar bahwa kesepakatan impor saat ini banyak merugikan, namun apa daya hidup dalam tekanan? Bahaya dalam bidang ekonomi, menciptakan ketergantungan pada produk impor yang bisa membahayakan stabilitas politik negara, bahkan mengancam kedaulatan negara. Tingginya impor menjadi indikasi neraca perdagangan negatif serta buruknya kondisi ekonomi dalam negeri. 


Solusi Islam dalam Perdagangan Luar Negeri

Islam sebagai sebuah ideologi yang mencakup segala aspek kehidupan menawarkan solusi konkrit dan komprehensif. Semua ini telah dibuktikan pada masa kejayaan Islam selama 13 abad. Syariat Islam yang kaffah (menyeluruh) mendorong umatnya untuk menjadi kekuatan adidaya, yang melalui kekuatan tersebut mampu menebar kebaikan ke seluruh penjuru dunia, sebagai rahmatan lil 'alamin melalui sistem khilafah. Semua ini telah dibuktikan secara historis dan empiris sebagaimana yang ditulis oleh Will Durant dalam buku The Story of Civilization. 

Khilafah menjamin sehatnya persaingan usaha, memberi dukungan dalam segala bentuk untuk pengembangan produk dalam negeri, menolak tekanan global perdagangan bebas dan menetapkan regulasi impor agar tidak menjadi jalan menguasai Muslim. Filosofi ekonomi dalam Islam juga menjadi ruh perdagangan luar negeri dan  hubungan diplomatik bilateral dan multilateral. Yaitu untuk menjamin kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat dan warga negara khilafah. Negara akan memastikan barang dan jasa tidak boleh membahayakan negara dan warganya, produk yang masuk dari luar akan dilihat terlebih dahulu apakah akan mengancam keberlangsungan ekonomi dalam negeri. Dan apakah produk yang masuk bisa memperlemah stabilitas negara. Semua ini berangkat dari filosofi peran khalifah sebagai pemimpin negara yang harus menjadi ra'in dan  junnah, yaitu pengurus dan perisai/pelindung (Nidzomul Iqtishody, Taqiyuddin An Nabhani). Masihkah meragukan aturan Allah SWT yang maha sempurna? []

Oleh: Rengganis Santika A, S.TP
(Aktivis Dakwah)

Posting Komentar

0 Komentar