Prostitusi dan Perdagangan Anak di Masa Pandemi


Komisioner Komisi Perlindungan Anak dan Indonesia (KPAI), Ai Maryati Sholihah dalam siaran persnya (5/2/2021), menyampaikan banyak laporan yang masuk mengenai kasus prostitusi anak di Indonesia. Sejak Januari tercatat ada 79 korban prostitusi anak. Di Pontianak sejak Juli 2020 telah dilakukan penertiban sebanyak 14 kali oleh pihak Kepolisian, di Apartemen Green Pramuka Jakarta sebanyak 47 anak terjaring dalam operasi Yustisi Polsek Cempaka Putih, di Sunter Jakarta Utara sebanyak 4 anak diamankan akibat prostitusi online, serta di Mojokerto dan Sidoarjo sebanyak 36 anak.

Selain itu situasi pandemi Covid-19 tidak menyurutkan maraknya kasus trafficking dan eksploitasi anak. Ia mengungkapkan hasil tabulasi KPAI hingga 31 Desember 2020, terdapat 149 kasus. Berbagai modus dilakukan dalam rekrutmen jaringan prostitusi ini, melalui proses offline maupun online di media sosial, modus lowongan kerja, modus jadi pacar, hingga mengajak teman (peer recruitment) untuk masuk dunia prostitusi.

Menurutnya, anak-anak yang terjalin dalam kasus prostitusi mempunyai kondisi berbeda-beda. Ada yang masih sekolah, putus sekolah, anak lari dari keluarga, lingkungan, hingga pergaulan yang mendukung dalam gaya hidup hedonis dan berpenghasilan instan.

Sudah bukan rahasia lagi, sistem pendidikan yang dipakai di negeri ini menjadikan sistem pendidikan Barat sebagai acuan. Kepandaian akal diunggulkan, keberhasilan dinilai dari seberapa tinggi jabatan seseorang dalam sebuah perusahaan, seberapa banyak harta yang dikumpulkan, dan keberhasilan duniawi lainnya. Semua itu atas dasar nilai materi. Bahwa kebahagiaan tertinggi apabila dunia dalam genggaman.

Dalam sistem pendidikan Barat, agama hanya pelengkap. Kalaupun tak ada agama, tidak masalah. Pendidikan agama bukan menjadi skala prioritas. Apalagi Barat mengakui semua agama benar, sehingga semua bebas memilih agama. Kebenaran bagi dunia Barat seperti teori relativitas Einstein. Kebenaran itu relatif, tergantung sudut pandangnya.

Jadi, selama orang tersebut menganggap benar tindakannya dan tidak mengganggu kebebasan orang lain, maka tak ada alasan untuk menolaknya. Apa pun dilakukan demi tercapainya tujuan. Tidak peduli apakah agama melarang atau membolehkan. Inilah kegagalan Barat dalam menanamkan moral agama di dunia pendidikan.

Syariat Islam secara kaffah memiliki solusi menyeluruh dan mendasar dalam mengatasi masalah prostitusi, baik secara preventif maupun rehabilitatif. Usaha rehabilitasi bisa berbentuk penyadaran, pembinaan moral dan agama, latihan kerja, pembinaan sesuai minat dan bakat masing-masing (pendidikan keterampilan) dan sejenisnya. Namun, solusi rehabilitatif tidaklah cukup dan tidak akan mampu memberantas prostitusi hingga ke akar-akarnya. Harus ada upaya preventif yang dilakukan. Secara preventif, Islam memiliki seperangkat aturan mendasar dan fundamental agar prostitusi tidak terjadi.

Pertama, Islam mengatur pergaulan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial seperti melarang khalwat (berdua-duaan dengan lawan jenis) maupun ikhtilat (campur-baur antara laki-laki dan perempuan kecuali untuk keperluan syari seperti pendidikan (misalkan sekolah), ekonomi/perdagangan (misalkan pasar) dan kesehatan (misalkan rumah sakit). Aturan ini bisa mencegah terjadinya aktivitas zina atau perilaku menyimpang seksual lainnya.

Kedua, Islam memberikan sanksi tegas terhadap pelaku zina (had/hudud) baik bagi yang belum pernah menikah (ghairu muhson) berupa hukuman jilid 100 kali maupun yang sudah pernah menikah (muhson) dengan dirajam hingga mati. Namun demikian, hukuman ini hanya bisa dilakukan oleh pemimpin Islam (khalifah) di bawah sistem khilafah. Hukuman dan sanksi dalam Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegah orang lain agar tidak melakukan pelanggaran serupa) dan jawabir (penebus siksa di akhirat). Dua fungsi ini akan bisa meminimalkan kasus zina termasuk prostitusi yang masih marak terjadi.

Ketiga, negara menutup/memblokir akses terhadap situs-situs porno, menyita buku, majalah, film dan gambar porno yang dapat menstimulasi nafsu libido. Serta mengintensifkan pendidikan agama dan penguatan akidah kepada anak mulai dari tingkat sekolah dasar hingga pendidikan tinggi.

Keempat, pentingnya memahamkan para remaja yang menginjak usia balig tentang naluri melestarikan keturunan (gharizah nau) agar tidak terjerumus pada pergaulan bebas, memahamkan nilai agung sebuah hubungan pernikahan (edukasi pra nikah) dan pentingnya menghindari seks bebas.

Kelima, di lingkungan keluarga, negara berupaya memperkuat kualitas relasi anggota keluarga sehingga harmonis dan anak tidak terjerumus pada pergaulan bebas yang hedonis, meskipun mungkin kondisi keluarganya tidak ideal (misal orang tua bercerai dan lain-lain).

Penerapan sistem kapitalis sekuler telah nyata menghasilkan berbagai macam permasalahan di masyarakat. Sudah saatnya kaum Muslimin menerapkan kembali syariat Islam secara total sehingga masalah prostitusi dan perdagangan anak dapat diselesaikan.[]

Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Remaja)

Posting Komentar

0 Komentar