Perempuan dalam Kubangan Terorisme dan Tudingan Agen Radikalisasi



TintaSiyasi.com-- “Serang Mabes Polri, Terduga Teroris Perempuan Berjilbab Biru Berani Mati.” Demikian judul berita sebuah media online mengabarkan penyerangan seorang perempuan berjilbab di Mabes Polri, Jakarta, pada Rabu (31/3/2021). Tiga hari sebelumnya, seorang perempuan juga diberitakan melakukan serangan bom bunuh diri bersama suaminya di Gereja Katedral Makasar pada Ahad (28/3).

Perempuan beraksi terorisme kembali menjadi sorotan. Peneliti hukum dan HAM LP3ES Milda Istiqomah mengatakan, ada peningkatan tren aksi teror yang melibatkan perempuan dalam beberapa tahun terakhir. Dalam kurun waktu sepuluh tahun (2010-2020), jumlah tahanan perempuan terkait aksi terorisme di Indonesia mencapai 39 orang. 

Menurut Milda, terjadi pergeseran peran perempuan dalam aksi terorisme. Selama kurun waktu 2001-2015, mereka berperan sebagai invisible rules (di belakang layar), bertugas sebagai operasional fasilitator, pembawa pesan dan perekrutan. Pun berperan sebagai ideological supporter yang meregenerasi ideologi jihad kepada anak-anaknya. Baru pada 5-6 tahun terakhir, perannya bergeser menjadi visible rules, seperti pengeboman di Surabaya dan Makasar (kompas.com, 3/4/2021). 

Pengamat terorisme UIN Walisongo Najahan Musyafak menyebut, keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme adalah hidden threat atau ancaman tersembunyi. Ia beralasan, peran mereka tidak nampak di permukaan, tidak terekspos media. Yang terekspos adalah pelaku aksi di arena terbuka, seperti pelaku bom bunuh diri. Ia berpendapat, salah satu peran perempuan dalam pusaran terorisme ialah sebagai educator (pendidik), pelaku proses radikalisasi sampai berujung terorisme di sekolah-sekolah berpaham radikal (inews.jateng.id, 1/4/2021). 

Menjadi hal penting untuk dijawab, benarkah perempuan (Muslimah) merupakan agen radikalisasi sebagaimana tudingan beberapa pihak? 


Perempuan dalam Jeratan Narasi Radikalisme

Tren keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme telah memunculkan berbagai spekulasi. Terpapar radikalisme, lantas melakukan aksi terorisme. Demikian biasanya jalinan kisah teror yang digambarkan. Menurut Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati, fenomena ini sebagai bukti kerentanan perempuan terjerumus radikalisme. Disebabkan faktor sosial, ekonomi, perbedaan pola pikir, serta doktrin yang menginspirasi perempuan hingga nekat beraksi terorisme (TEMPO.CO, 4/4/2021).

Adapun ringkasan laporan riset oleh Wahid Foundation bertajuk Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Perempuan (Riset Lima Wilayah: Bogor, Depok, Solo Raya, Malang dan Sumenep) tahun 2017, menyebut proses radikalisasi umumnya berlangsung dari tahap intoleransi, radikalisasi ideologi, lalu radikalisasi perilaku. Riset ini mengeksplorasi definisi radikalisme ala Omar Ashour, dosen Institute of Arab and Islamic Studies, Universitas Exeter Inggris, yang membagi gerakan radikalisme dalam dua tipologi: radikalisme ideologis dan radikalisme tingkah laku. Kelompok pertama secara ideologis menolak nilai dan prinsip demokrasi namun tidak setuju dengan penggunaan cara kekerasan. Sedang kelompok kedua, menolak nilai dan prinsip demokrasi, serta berpartisipasi dalam aksi kekerasan untuk menggantikannya. 

Menurut hasil riset ini, faktor penarik perempuan masuk lingkaran radikalisme adalah pertama, melalui relasi sosial personal seperti hubungan kekeluargaan maupun pertemanan. Kedua, alasan ideologis di mana narasi kelompok radikal sering mudah dipahami dan menjawab masalah sehari-hari mengenai Islam yang benar versi mereka. Ketiga, tawaran ekonomi berupa iming-iming khilafah Islam akan memperbaiki kondisi ekonomi sehingga diminati perempuan dari kelompok ekonomi lemah.

Dari pendapat di atas, nampak adanya upaya melekatkan narasi radikalisme dengan kelompok-kelompok Islam yang gigih menolak demokrasi dan ingin mengganti sesuai visi perjuangannya. Faktanya, radikalisasi kelompok Islam memang masif terjadi. Hingga melahirkan dikotomi istilah Islam radikal, militan, fundamentalis versus Islam moderat, wasathiyah, Nusantara. Pun mengelompokkan umat Islam dalam kotak pecah-belah tersebut.

Jika menelisik lebih jauh, stigmatisasi radikalisme dan terorisme (termasuk ekstremisme) diduga kuat sebagai bagian War on Terorrisme (WoT) dan War on Radicalism (WoR) yang digaungkan Barat menandai genderang perang pemikiran melawan Islam. Barat sangat memahami, umat Islam memiliki kekuatan politik berupa sistem pemerintahan khilafah yang berpotensi menjadi negara adidaya masa depan. Pun Barat paham jika khilafah tegak, maka peradaban Barat akan hancur lebur.

Dari sinilah, skenario demi skenario direkayasa Barat demi melumpuhkan kebangkitan Islam yang kian nyata. Selanjutnya, Barat berkonspirasi dengan negara-negara Muslim pembebek menggelar proyek deradikalisasi Islam. Deradikalisasi Islam dimaknai sebagai upaya menjauhkan umat Islam dari agamanya. Barat menjalankan strategi politik busuk dengan menyematkan kata radikal kepada Islam dan Muslimin yang berseberangan dengan ideologi sekularisme kapitalis liberal. 

Maka, bukan hal aneh jika program antiradikalisme dengan berbagai variannya masif di negeri ini. Bahkan penguasa turun tangan menjadi panglima perang WoT dan WoR. Buktinya, ini menjadi prioritas kerja Kabinet Indonesia Maju 2019-2024 dalam bidang politik dan agama. Pun demi menangkal apa yang mereka sebut dengan terorisme, radikalisme dan ekstremisme, pemerintah menggencarkan program moderasi beragama (moderasi Islam), hingga meneken Perpres Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) pada Rabu (6/1/2021). 

Demikianlah, narasi radikalisme ditargetkan menjerat kalangan umat Islam (termasuk Muslimah) yang menginginkan penerapan syariat Islam kafah. Lantas, bagaimana menyikapi masalah ini?


Perempuan Penopang Peradaban, bukan Agen Radikalisasi

Menyikapi tren keterlibatan perempuan (Muslimah) dalam aksi terorisme, Komnas Perempuan mengusulkan agar terus mendorong pemahaman Islam moderat. Pun mempromosikan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender sebagaimana disebutkan dalam UN’s Preventing Violent Extremism Plan of Action. Dengan alasan, semakin kuat nilai kesetaraan maka semakin kuat peran perempuan menyelesaikan konflik.

Lebih jauh, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigadir Jenderal Akhmad Nurwakhid mengatakan, BNPT telah menindaklanjuti persoalan ini dengan membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di 32 provinsi. FKPT bertugas memberikan sosialisasi kepada generasi muda, termasuk perempuan hingga anak-anak (TEMPO.CO, 4/4/2021).

Dari rencana program di atas, ditengarai bahwa tak hanya dijerat dalam narasi radikalisme, perempuan juga bakal dilibatkan dalam program antiradikalisme. Mengapa? Banyak pihak memandang bahwa kaum perempuan (ibu) berperan strategis dalam pencegahan radikalisme. Sebagaimana strategisnya peran mereka dalam menentukan wajah sebuah negara, bahkan peradaban dunia. Hal ini menunjukkan, perempuan tengah menjadi sorotan. Dalam posisi ini, perempuan juga sangat mungkin sebagai pihak yang dipersalahkan sehingga harus dibina. 

Namun, definisi radikalisme masih abu-abu hingga saat ini. Kabur dan bersifat lentur. Bisa ditarik ulur sesuai kehendak penguasa. Saat rezim mengarahkan telunjuk radikalisme kepada umat Islam, seorang ibu yang mengajarkan Islam kafah dan khilafah kepada putra-putrinya, berpotensi dianggap menanamkan radikalisme. Ketika seorang guru Muslimah mengajarkan jihad kepada muridnya, disebut radikal. Termasuk saat anak bisa menjelaskan makna kafir adalah siapa saja yang bukan Muslim, ini dianggap sebagai radikalisasi. 

Pada akhirnya, para ibu dipersalahkan karena mengajarkan Islam ideologis kepada anak-anak. Perempuan (ibu) dituding sebagai agen radikalisasi. Tentu ini tuduhan menyakitkan dan tidak pada tempatnya. Pun, bertentangan dengan pemahaman Islam yang benar. Karena Rasulullah SAW memerintahkan kepada kaum Muslimin termasuk kaum Muslimah untuk menyampaikan Islam kafah melalui dakwah Islam.

Sejak Rasulullah SAW diutus menyebarluaskan risalah Islam, para Muslimah generasi awal terlibat aktif dalam pergerakan dakwah. Bersama kaum Muslimin lainnya, melakukan transformasi sosial, mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam. Mereka merasakan pahit getirnya mengemban misi dakwah, melakukan perang pemikiran dan perjuangan politik di tengah masyarakat. Atas pertolongan Allah, akhirnya berhasil membangun masyarakat Islam di Madinah yang tegak atas landasan akidah dan hukum Islam.  

Pun di masa Khulafaurrasyidin dan para khalifah sesudahnya. Muslimah berperan besar dalam kancah kehidupan, termasuk dalam percaturan politik. Baik amar makruf nahi mungkar, muhasabah terhadap penguasa, bahkam turut berjihad. Istimewanya, pada saat yang sama, mampu melaksanakan peran utama sebagai ibu dan pengelola rumah tangga. Mereka berhasil mencetak generasi terbaik pembangun peradaban Islam nan mulia. Mengalahkan peradaban lain di dunia dalam rentang waktu sangat lama. 

Generasi tersebut hanya lahir dari ibu-ibu yang memahami Islam. Pun mengajarkan Islam kafah kepada anak-anaknya. Yaitu Islam sebagai ideologi yang menghadirkan aturan sempurna bagi seluruh aspek kehidupan. Tak heran, jika umat Islam pada rentang tersebut tampil sebagai khoiru ummah, sebaik-baik umat. Sesuai janji Allah SAW, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar serta beriman kepada Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 110).

Maka, menyeret perempuan (Muslimah) dalam kubangan terorisme dan menjeratnya dengan narasi radikalisme adalah upaya meminggirkan fungsi strategisnya sebagai pendidik generasi Islam. Pun, setiap upaya yang mengaitkan aksi terorisme dan radikalisme dengan umat Islam adalah bentuk kebohongan keji. Wajib kita tolak, seiring terus mengedukasi umat Muslim tentang hakikat Islam kafah.[]


Oleh: Puspita Satyawati
Analis Politik dan Media dan Dosen Online 4.0 Uniol Diponorogo

Posting Komentar

0 Komentar