Peradaban Islam, Zaman Emas Indeks Pembangunan Perempuan


Indeks Pembangunan Manusia (IPM) perempuan di Indonesia masih terus disoal. Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia yang hanya mencapai 93,22 poin menjadi indikasi timpangnya IPM perempuan. Poin 100 adalah nilai ideal yang menggambarkan setaranya IPM laki-laki dan IPM perempuan. 

Data Human Development Report menyebutkan IPG dunia pada 2017 mencapai 94,12. Sementara itu di lingkup ASEAN, capaian IPG Indonesia berada di peringkat 9 dari 10 negara, jauh lebih rendah bila dibanding Malaysia (97,55) dan Singapura (98,20). Demikian ulasan Arif Rahman dalam satu artikel yang dipublikasikan laman kumparan.com pada 1 November tahun lalu. 

Lebih lanjut, statistisi ahli pertama BPS ini, memaparkan bahwa masih timpangnya IPM perempuan di Indonesia, disebabkan oleh perbedaan pencapaian di bidang ekonomi. Maknanya, tingkat pendapatan perempuan lebih rendah dibanding pendapatan laki-laki. 

Budaya patriarki yang meniscayakan peran publik pada lelaki dan peran domestik pada perempuan, dituding sebagai sebab rendahnya produktivitas perempuan secara ekonomi. Oleh karena itu, demi meningkatkan IPM perempuan di bidang ekonomi, pembangunan manusia berbasis gender, dengan menghilangkan semua hal yang menghambat produktivitas perempuan, dinilai mendesak. Tak terkecuali nilai, keyakinan, agama dan tata aturan yang dianggap bias gender.

Islam, secara samar maupun terbuka, acapkali dituding sebagai seperangkat nilai dan tatanan yang bias gender. Tegasnya Islam dalam membagi peran di antara laki-laki dan wanita, sering disikapi minor. Peran sebagai istri dan ibu generasi, bukan sebagai pencari nafkah dan pemimpin dalam keluarga dan umat, dituduh menjadi penghambat kiprah perempuan di bidang ekonomi. Akibat agama, wanita tidak produktif. Benarkah? 

Jujur, bila ditelusuri secara jernih, justru kita akan menemukan jejak emas pembangunan perempuan di peradaban Islam. Andai pun hendak diukur capaian para Muslimah dan perempuan umumnya sebagai warga negara saat itu, kita akan mendapati para wanita mendapatkan akses yang sama dan luas terhadap hasil-hasil pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Tiga aspek inilah yang menjadi parameter dalam menilai taraf pembangunan manusia saat ini. 

Sepanjang Islam diterapkan dalam kehidupan bernegara, pembangunan di bidang kesehatan dilakukan sebagai implementasi konsep negara dan pemimpin sebagai pengatur dan penanggung jawab kemaslahatan rakyat. Mengikuti sunnah Nabi yang menjadikan layanan kesehatan sebagai kewajiban negara, para khalifah menempuh semua langkah untuk mewujudkan kecukupan pangan dan gizi, serta lingkungan yang sehat. Negara juga menyediakan layanan medis yang unggul, cuma-cuma bagi seluruh warga negara tanpa membedakan lagi agama, suku bangsa dan jenis kelaminnya. 

Khalifah Ummayah al-Walid bin Abd al-Malik membangun bimaristan (semacam rumah sakit) pertama di Damaskus pada tahun 707 Masehi yang memilki staf dokter dan apoteker profesional. Selanjutnya bimaristan berkembang di Baghdad, Mesir, Libia, Tunisia, Aljazair, Marokko, Turki, Spanyol. Dengan demikian, meski seorang perempuan tidak berpenghasilan, tak kan terhalang memeroleh layanan kesehatan yang layak. 

Begitu pula di bidang pendidikan. Bila hari ini akses terhadap pendidikan diukur dari lama waktu studi yang bisa ditempuh seseorang, dalam Islam capaian aspek itu jauh melampaui itu semua. Pendidikan yang diselenggarakan negara bukan sekedar untuk menghasilkan tenaga kerja yang diorder oleh para pemodal. Pendidikan pada masa penerapan Islam dilangsungkan untuk membangun manusia berkepribadian negarawan yang dipenuhi ketakwaan, juga para ahli yang dibutuhkan umat dan dunia. Pembangunan pendidikan dalam peradaban Islam ditujukan untuk semua warganegara termasuk para wanita. Tak hanya cuma-cuma bahkan berbeasiswa. 

Wajar bila dikenal banyak output pendidikan Islam yang mumpuni termasuk dari kalangan wanita. Dunia mengenal Maryam al Asturlabi, pakar bidang astronomi, dan Sherafeddin Sabuncuoglu pakar bedah dari Anatolia. Tak hanya di bidang sains dan teknologi, pendidikan Islam juga melahirkan ulama Perempuan yang mumpuni. Hal ini tampak dari Imam Hajar al Asqolani yang menerima ijazah dari 53 guru perempuan. Bahkan keterlibatan perempuan tak sebatas sebagai penikmat layanan pendidikan, tapi turut menyediakan layanan pendidikan. Sebut saja Fathimah al Fihri yang mendirikan Universitas al Qarawiyyin, universitas pertama di dunia.

Akses bidang ekonomi pun luar biasa. Jika dalam tatanan ekonomi saat ini, capaian bidang ekonomi perempuan diukur dari pendapatan yang dihasilkan dari aktivitas produksi seorang perempuan. Islam justru membuat kue pembangunan bisa dinikmati perempuan mana pun meski mereka tak bekerja. Bagi yang memilih berbisnis pun, negara Islam memberikan iklim usaha yang adil, bergairah dan bebas dari berbagai pungutan. Dari kalangan anshor, dikenal Ummu Syuraik, seorang pebisnis wanita yang sukses, yang kerap berderma dan membelanjakan hartanya di jalan Allah. 

Yang menakjubkan justru kisah ibu miskin yang merebus batu untuk menenangkan anak-anaknya yang kelaparan. Kefakiran tak membuatnya pergi meninggalkan sang buah hati demi aktivitas produksi. Kesetiaannya pada peran kodrati ini, dijawab tuntas oleh politik ekonomi Islam yang meniscayakan pemenuhan kebutuhan pokok orang per orang secara layak. Politik inilah yang menggerakkan Umar ra. menyisir warganya. Siapa yang butuh intervensi negara secara langsung, akibat tak memiliki faktor-faktor produksi, atau peran utamanya membuatnya tak mungkin berproduksi, dipastikan mendapat kecukupan. 

Demikianlah, dalam penerapan nilai dan tatanan hidup Islam yang kerap dituding bias gender, justru pembangunan manusia berjalan dengan adil dan ideal. Rahasianya terletak pada asas dan metodologi pembangunan manusia dalam Islam. Akidah Islam memberikan orientasi pembangunan manusia agar terwujud hamba Allah yang mutaqin.

Di samping itu, dihasilkan pula manusia yang bertanggungjawab dan berkeahlian dalam perannya sebagai "khalifah fil ardh" sekaligus peran kodratinya. Seperangkat syariat ibarat rel yang memastikan laju pembangunan berjalan ke tujuan. Hadirnya negara dan kepemimpinan menjadi pelaksana langsung pembangunan menuju terbukanya pintu-pintu keberkahan dari semua arah.

. وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS Al Anfal: 96). []

Oleh: Riani Kurniawati

Posting Komentar

0 Komentar