Moderasi beragama yang diserukan oleh pemerintah melalui kementerian agama sejak beberapa tahun yang lalu, kini semakin lantang disuarakan. Terkait pemahaman dalam praktek beragama umat Islam yang menurut rezim ini sering menimbulkan
perselisihan serta dianggap tidak toleransi terhadap agama lain (diluar Islam).
Sebagaimana dikutip dari pernyataan Prof. Dr. Oman Fathurahman, M.Hum, Ketua Kelompok Kerja Moderasi Beragama Kementerian Agama RI yang menganggap bahwa sering terjadinya gesekan sosial akibat perbedaan cara pandang masalah keagamaan yang dapat mengganggu kerukunan dan kedamaian yang diidamkan. (Kenapa Perlu Moderasi Agama? dalam situs INFORMASI, 18 Desember 2020)
Hanya saja disayangkan yang diminta untuk damai dan rukun hanya digaungkan dan ditujukan kepada umat Islam saja, yang mana kalau kita melihat fakta saat ini umat Islam lah yang banyak dirugikan dan diskriminasi. Sehingga tidak merasakan damai dan rukun meskipun di negeri yang mayoritas jumlah penduduknya adalah beragama Islam.
Kalaulah benar moderasi beragama itu untuk menjaga kerukunan dan kedamaian antar umat beragama seharusnya ditujukan kepada mereka yang sering mengkriminalisasi ulama, mengkriminalisasi istilah-istilah dan simbol-simbol Islam, menyerang masjid dan membubarkan pengajian-pengajian dan lain-lain.
Namun pada fakta yang kita lihat tidaklah demikian. Moderasi beragama ini lebih-lebih menyuruh umat Islam agar menerima agama/keyakinan di luar Islam dan menerima penyimpangan-penyimpangan terhadap keyakinan dan ajaran Islam serta menerima kriminalisasi yang telah dilakukan kepada umat Islam.
Hal ini menjadikan moderasi agama menjadi sebuah paradoks. Di sisi lain mereka menginginkan kerukunan dan kedamaian dalam beragama, namun di sisi lainnya mereka membiarkan terjadinya kriminalisasi Islam dan umatnya serta tidak memberikan kebebasan umat Islam untuk mengamalkan agamanya sebagai sebuah konsep hidup.
Seperti yang terjadi pada bulan Februari yang lalu ketua PGI (Persatuan Gereja-gereja Indonesia) Gomar Gultom meminta Menteri Agama dan Kemendikbud untuk merevisi buku pelajaran agama Islam terkait pembahasan tentang kitab Injil dan Taurat yang menjadi keyakinan (akidah/rukun iman) bagi umat Islam.
Padahal yang dibahas adalah rukun iman yang menjadi ranah private bagi umat Islam yaitu iman kepada kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al-Qur'an terkait bagaimana umat Islam wajib memiliki keyakinan yang benar dalam memahami kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al-Qur'an agar tidak menyalahi keyakinan yang dimaksudkan Allah dan Rasulullah Muhammad Saw.
Kemudian adanya rencana pembatalan pengajian online yang telah dijadwalkan oleh pihak PT PELNI (Pelayaran Negara Indonesia) karena dianggap ada penceramah radikal di kala umat Islam mau menyambut bulan Ramadhan. Seharusnya di bulan ramadhan inilah memperbanyak kajian-kajian Islam. Namun oleh pihak PT PELNI bukannya didukung ditengah kondisi umat yang krisis syakhsiyah Islamiyah (kepribadian Islam). Bahkan dicopotnya jabatan ketua PT PELNI karena, katanya penceramah belum mendapatkan izin.
Moderasi Agama Menyalahi Akidah dan Hukum Syara'
Di dalam konteks moderasi beragama yaitu memoderasi pemahaman dan pengamalan umat Islam dalam hal beragama. Dalam arti, bagaimana cara pandang, sikap dan praktik beragama umat Islam harus sesuai dengan konstitusi dan kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara.
Hal ini jelas telah menyalahi akidah/keyakinan dalam Islam. Karena, dalam Islam Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman yaitu yang meyakini Allah sebagai Sang Pencipta juga wajib meyakini bahwa Allah juga lah yang berhak mengatur kehidupan ini. Untuk itu Allah utus Rasul dan menurunkan Al-Qur'an sebagai hudaa (petunjuk) bagi manusia dalam menjalankan kehidupan ini.
Karena itu ketika seseorang sudah memeluk agama Islam, maka Allah akan mewajibkan bagi pemeluknya untuk mengambil Islam secara kaffah (QS al-Baqarah ayat 120) yaitu mengambil ajaran Islam secara keseluruhan. Yaitu bahwa Allah telah mengatur hubungan manusia dengan Rabb-nya, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesama manusia, termasuk bermasyarakat, dan bernegara.
Konsep moderasi agama yang bersumber dari demokrasi kapitalis yaitu pemisahan agama dari kehidupan (fashl ad-din 'an al-hayah), atau memisahkan agama dari negara (fashl ad-din 'an ad-daulah) jelas-jelas telah mengkebiri hak Allah hanya sebagai Sang Pencipta saja tanpa menganggap adanya peran Allah dalam mengatur kehidupan bernegara.
Dan ini jelas sekali selain menyalahi aqidah dan juga menyalahi hukum syara', Al-Qur'an dan sunnah nabi. Apalagi di suasana Ramadhan, bulan diturunkannya Al-Qur'an dan menjadi target khatam berkali-kali. Selayaknya tidaklah menjadikan Al-Qur'an itu hanya sebatas bacaan saja, atau hanya mengambil sebagian saja yang dibolehkan oleh konstitusi namun yang tidak dibolehkan maka tidak diambil.
Maka Allah dengan tegas menyatakan kepada orang-orang yang mengambil Islam sebagian kemudian membuang sebagian akan mendapati kehidupan yang sempit (QS al-Baqarah 85). Bahkan Allah mencela orang yang berusaha mengambil jalan tengah (moderat) yaitu beriman kepada sebagian dan ingkar kepada sebagian sebagai orang kafir yang sebenar-benarnya (QS an-Nisa ayat 150-151). Na'udzubillah min dzalik
Padahal penerapan Islam kaffah ini telah dicontohkan Rasulullah Saw sejak pertama kali mendirikan negara Islam di Madinah al-Munawwarah, yang kemudian dilanjutkan oleh para khalifah yang mendapat petunjuk (khulafa'u ar-rasyidin) hingga Khilafah Utsmaniyah sepanjang lebih kurang 13 abad yang lalu. Serta menaungi 2/3 dunia dengan berbagai suku, ras, agama, bangsa dan bahasa.
Serta telah membuktikan toleransi tingkat tinggi yang tidak pernah terealisasi oleh negara penganut demokrasi manapun sekarang ini yang bisa menandinginya.
Dengan demikian, kebaikan atau rahmat yang diperoleh dari syariat Islam ini ketika diambil secara kaffah diterapkan dalam sebuah institusi Islam yaitu khilafah Islamiyyah bukan hanya untuk manusia, tetapi seluruh makhluk dan alam semesta akan mendapatkannya. Sebagaimana firman Allah SWT:
"Tidaklah Aku mengutus engkau (Muhammad) kecuali rahmat untuk seluruh alam". (QS al-Anbiya ayat 107)
Oleh karena itu institusi yang akan menerapkan Islam kaffah tersebut harus segera direalisasikan dalam dunia ini, agar kedamaian dan kerukunan dalam hal beragama segera terwujud bukan hanya sekedar wacana semata. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Fadhilah Fitri S.Pd.I
(Aktifis Dakwah)
0 Komentar