Menyoal Sinkretisme Agama, Adakah dalam Islam?


Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas ketika menyampaikan sambutannya dalam rapat kerja nasional (rakernas) Kemenag 2021, Senin (05/04), meminta agar doa semua agama dibacakan di acara-acara Kementerian Agama (Detiknews, 06/04/21).
Pernyataan Yaqut tersebut menuai kritikan sebagaimana yang disampaikan oleh Waketum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas. Menurut Abbas seharusnya Yaqut melihat pembicara dan mayoritas peserta yang hadir dalam suatu acara Kemenag. Apabila pembicara atau peserta yang hadir lebih banyak ke satu agama tertentu, lanjut Abbas, doanya bisa disesuaikan. Kemudian Abbas melanjutkan, bahwa Menteri Agama ini sepertinya kurang mengerti tentang toleransi. Menurut Abbas toleransi itu baru punya arti dan makna jika berada di tengah-tengah perbedaan dan kita menghargai perbedaan (faktakini.info).

Begitupula tanggapan dari ustaz Tengku Zulkarnain ketika menjadi narasumber di tvone, selasa (6/04/21). Beliau menyampaikan, dari dahulu kementerian agama tidak pernah melakukan doa dibacakan bersama-sama dalam sebuah rakernas, karena tidak ada hubungannya dengan masalah itu. Apalagi aplikasi dari rakernas itu dijalankan berdasarkan agama masing-masing. Apa yang disampaikan oleh yaqut jelas-jelas merupakan upaya untuk menyamakan semua agama demi mengusung ide toleransi beragama.

Inilah yang disebut paham sinkretisme yang berdasarkan KBBI adalah paham (aliran) baru yang merupakan perpaduan dari beberapa paham (aliran) yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan dan sebagainya (jagokata.com).

Sinkretisme merupakan paham yang lahir dari pluralisme yang menganggap semua agama sama. Paham ini merupakan bentuk tambal sulam dari kebobrokan sistem kapitalis yang gagal dalam menjaga kerukunan beragama.

Paham ini bukan hanya menyalahi hukum Islam, tapi juga bertentangan dengan akidah dan hukum Islam. Pertama, Allah Swt menyatakan bahwa selain Islam adalah kufur, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat al-Bayyinah ayat 98, yang artinya:

Kaum kafir, baik dari kalangan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) maupun musyrik, tidak akan meninggalkan agamanya, sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.”

Lalu yang kedua, Allah SWT juga menyatakan bahwa selain Islam tidak akan Dia terima, firman Allah SWT dalam surat Ali imran ayat 85, yang artinya:

Siapa saja yang memeluk selain Islam sebagai agama, maka sekali-kali tidak akan pernah diterima. Dan di Akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.” 

Dalam ayat tersebut dengan tegas Allah SWT menyebutkan bahwa agama selain Islam tidak akan diterima oleh Allah.

Dalam konteks hukum pun jelas, Allah SWT menolak sinkretisme. Islam melarang umat Islam untuk melakukan sinkretisme dengan agama lain dalam peribadatan. Sebagaimana Allah Swt berfirman yang artinya:

Katakanlah (Muhammad), "Wahai orang orang kafir aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Kalian juga tidak akan menyembah apa yang aku sembah. Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Kalian juga tidak akan menyembah apa yang aku sembah. Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku.” (Qs al-Kafirun: 1-6)

Dengan demikian tidak ada argumen yang bisa digunakan sebagai justifikasi bahwa semua agama sama. Lalu menjadikan alasan bahwa hal ini dilakukan sebagai bentuk toleransi terhadap sesama agama juga merupakan kesalahan besar.


Toleransi, Faham yang Berasal dari Barat

Sejatinya gagasan toleransi ini berasal dari sejarah masa gelap Eropa (Barat) sebagai reaksi terhadap kondisi sosial dan politik saat itu. Gereja Kristen mendominasi tata kehidupan masyarakat. Pihak gereja pada saat itu banyak melakukan penyelewengan dan penindasan terhadap rakyat dengan mengatasnamakan agama.

Sebagai respon dari kekejaman dan penindasan atas nama agama tersebut, seorang filsuf dari Inggris menggagas pentingnya toleransi dengan beberapa doktrin pemikiran.

Pertama, hukuman untuk individu yang keluar dari sekte tertentu bukanlah hukuman fisik tapi cukup dengan pengasingan. Kedua, tidak diperbolehkan adanya dominasi kebenaran sehingga menganggap satu sekte lebih baik dari sekte yang lain dengan mengkafirkan. Ketiga, tidak boleh ada keberpihakan pemerintah kepada salah satu sekte karena masalah keagamaan adalah masalah privat.

Ketiga doktrin inilah yang kemudian membentuk doktrin toleransi di dunia Barat. Nyata sekali, gagasan dan istilah toleransi merupakan respon dan reaksi atas kekejaman dan penindasan gereja dengan mengatasnamakan agama (al-Wa’ie, no. 192/1-31/08/16).

Celakanya, kemudian gagasan ini dipakai di negeri-negeri Muslim dan menjadikan Islam sebagai bidikannya. Seakan-akan ketika Islam berkuasa dan memberlakukan hukum Islam akan terjadi penindasan dan kekejaman seperti yang dialami oleh Barat pada zaman kegelapan.

Trauma sejarah inilah yang kini diusahakan untuk ditularkan kepada para “intelektual” Muslim di seluruh dunia termasuk Indonesia. Karena itu mereka menolak segala bentuk penerapan dan formalitas syariat Islam.


Islam Menjamin Toleransi Beragama

Sepanjang sejarah Islam yang berlangsung selama berabad-abad tidak pernah ditemukan tragedi kejam sebagaimana yang dialami oleh bangsa Barat pada masa pertengahan.

Sejarah penerapan syariat Islam menggambarkan sejarah kegemilangan di berbagai bidang, termasuk perlakuan yang sama terhadap warga negara non Muslim di wilayah Khilafah Islam.

Dalam Islam, warga negara khilafah yang non Muslim disebut sebagai kafir dzimmi. Kata dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti “terikat dengan perjanjian”.

Islam tidak memperkenankan adanya diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus melindungi dan menjaga keyakinan, akal, kehormatan, harta benda dan kehidupan mereka.

Berikut beberapa konsep perlakuan Khilafah Islam terhadap warga negara non Muslim yang disarikan dari al wa’ie edisi 192,1-31/08/16:

Pertama, non Muslim berhak menjalankan kepercayaan mereka. Di dalam Islam, Negara Islam dilarang memaksa non Islam untuk meninggalkan kepercayaan mereka (Qs. Al-Baqarah: 256).

Kedua, non Muslim mengikuti aturan agama mereka dalam hal makanan dan pakaian. Bahkan pendapat Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa ahlu dzimmah diperbolehkan meminum minuman keras, memakan daging babi dan menjalankan semua aturan agama mereka dalam wilayah yang diatur oleh syariat. Selama hal tersebut tidak dilakukan diruang publik (https://rasitotursinah.wordpress.com/articles/kehidupan-non-muslim-di-wilayah-islam/).

Ketiga, aturan pernikahan dan perceraian antar non Muslim dilakukan sesuai dengan aturan agama mereka.

Keempat, kesetaraan di hadapan hukum. Hal ini tergambar pada masa Khalifah Umar bin al-Khathab ra, yang membela seorang Yahudi ketika tanahnya diserobot oleh sejumlah Muslim untuk mendirikan masjid. Lalu masjid itu dirobohkan dan tanah tersebut dikembalikan pada orang Yahudi tersebut.

Kelima, kesamaan hak ekonomi. Di dalam Khilafah Islam, non Muslim dari kalangan Ahli Kitab memiliki hak yang setara dengan Muslim dalam semua hal yang berasal dari Baitul Mal. Karena itu kaum tak mampu ahlu dzimmah pun mempunyai hak untuk memperoleh bantuan dari Baitul Mal (Kas Negara).

Keenam, non Muslim memiliki hak politik. Semua non Muslim yang mempunyai kewarganegaraan, jika dia telah dewasa dan memiliki akal sehat, maka dia mempunyai hak untuk menjadi anggota Majelis Umat. Kaum non Muslim pun berhak menjadi anggota Majelis Umat, untuk menampung aspirasi kalangan mereka terhadap perlakuan hukum oleh penguasa terhadap dirinya.

Demikianlah Islam dalam memperlakukan non Muslim. Islam menjalankan toleransi bukan karena tuntutan toleransi ala Barat tapi semata-mata karena menjalankan hukum syariat sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

Maka menuduh Islam intoleran sehingga perlu adanya upaya sinkretisme dalam beragama adalah alasan tak berdasar dan merupakan bentuk kebencian yang nyata dari musuh-musuh Islam. Wallahu a'lam bishshawab.[]

Oleh: Emmy Emmalya
(Pegiat Literasi)

Posting Komentar

0 Komentar