Marak Pernikahan Anak Berbuntut Gugat UU Perkawinan, Solusikah?


Masa pandemi ini, pernikahan anak usia dini semakin tinggi dibanding sebelum pandemi. dikutip dari VOA kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (KPPPA) memaparkan data anak perempuan di bawah umur dinikahkan sekitar 34.000. sementara data yang dihimpun oleh Komnas perempuan lebih dari 64.000 anak perempuan Indonesia dibawah umur dikawinkan pada masa pendemi tahun 2020 lalu.

Terlepas dari perbedaan data-data yang dihimpun, yang menjadi fokus tulisan adalah maraknya pernikahan anak, apakah dengan menggugat undang-undang perkawinan menjadi solusi tuntas?

Awal munculnya isu pernikahan di bawah umur atau pernikahan dini dipicu oleh sebuah wedding organizer yakni Aisha wedding beberapa waktu silam. Dia dianggap mengampanyekan pernikahan muda di usia 12 - 21 tahun akibat spanduk yang bertuliskan "Jangan pacaran langsung nikah aja, asal sudah memenuhi syaratnya langsung nikah aja". Akhirnya pemilik WO harus berurusan dengan pihak kepolisian karena telah dinilai melanggar aturan pemerintah yang terdapat dalam undang-undang nomor 16 Tahun 2019 membahas perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa usia minimal pasangan menikah adalah 19 tahun. Artinya, pernikahan di Indonesia baik laki-laki maupun perempuan ditentukan batas usia minimal yaitu 19 tahun.

Namun, isu pernikahan anak masih terus bergulir terutama di kalangan aktivis-aktivis sekuler mereka menggugat Undang-Undang perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 karena menganggap masih ada celah pada pasal 7 ayat 2 yang mengatur bahwa orang tua calon mempelai bisa mengajukan permohonan dispensasi usia perkawinan anaknya ke pengadilan agama setempat. Aturan ini dipandang menjadi sebab pernikahan anak usia dini pada masa pandemi semakin tinggi.

Gugatan ini datang dari Nursyahbani Katjasungkana yang menjabat sebagai ketua pengurus asosiasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) yang mengatakan persoalan dispensasi atau keringanan batas minimal usia pernikahan yang diberikan kantor urusan agama (KUA) harus diusut dalam konferensi fast respon terhadap kasus promosi perkawinan anak yang digelar secara virtual (cnnindonesia.com, 13/02/2021).

Hal yang sama juga disampaikan deputi menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Lenny N Rosaline, dia mengatakan ada celah dalam UU perkawinan yang telah direvisi, dimana anak yang berusia dibawah 19 tahun tetap bisa dipenuhi permohonan kawinnya jika orang tua salah satu mempelai mengajukan dispensasi, ini yang membuat angka pernikahan anak saat pandemi semakin tinggi bahkan lebih dua kali lipat dari data sebelumnya. Kemen PPPA mengajak sejumlah kementerian lain bersinergi membuat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang dispensasi kawin, tambahnya (VOA, 11/03/2021). RPP ini nantinya akan mengatur adanya lembaga atau layanan yang bertujuan untuk menunda atau bahkan menggagalkan upaya pernikahan anak.

Jika sebelumnya telah terjadi perubahan terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang batas usia minimal perkawinan anak, kini dispensasi yang diberikan oleh Kantor Urusan Agama pun harus diusut karena dianggap penyebab tingginya pernikahan anak melebihi dua kali lipat saat pandemi. 

Saat pemerintah membatasi usia nikah anak, namun membiarkan pergaulan bebas merajalela bahkan membiarkan para kapitalis memfasilitasi tempat-tempat perzinaan. Selain itu, tontonan berbau porno mudah sekali diakses oleh anak remaja, apalagi di masa pandemi kehidupan anak semakin dekat dengan gadget yang mengakibatkan tumbuhnya gejolak seksual pada anak usia dini hingga memungkinkan anak melakukan hubungan seksual sebelum pernikahan yang berpotensi kehamilan. Hal ini sering menjadi alasan bagi orangtua mengajukan dispensasi menikahkan anaknya diusia dini. 

Artinya, revisi undang-undang yang sudah masif dilakukan sejak dulu mulai dari mengubah batas usia perkawinan hingga akan mengusut dispensasi pernikahan anak, tidak bisa dijadikan solusi tuntas. Umat semestinya mewaspadai terus bergulirnya isu sejenis untuk melegitimasi kebijakan yang lebih sekuler yang terbukti malah menimbulkan beragam persoalan baru. 

Inilah potret kehidupan di sistem sekuler, undang-undang mudah diubah sesuai pesanan penguasa, dengan maksud menjauhkan umat dari syariatnya. Sudah saatnya pemerintah menerapkan aturan yang dilahirkan dari rahimnya Islam. 

Dalam Islam batas usia anak menikah jika telah mencapai aqil baligh serta siap (mampu) menikah. Menyiapkan generasi memasuki gerbang pernikahan dimulai sejak usia dini, dengan menerapkan aturan Islam dalam diri anak termasuk mengatur pergaulan antara laki-laki dan perempuan, dilarang berkhalwat (campur baur) juga ikhtilat (berdua-duaan) dengan yang bukan mahram baik di sekolah, lingkungan masyarakat juga keluarga. Media juga akan dibersihkan dari konten merusak agama dan akidah seperti pornograpi, paham sekuler dan lainnya .

Melalui pendidikan Islam anak akan diajarkan apa hak dan kewajiban mereka setelah menikah, memahamkan bahwa menikah adalah ibadah semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT. Sehingga terciptalah generasi rabbani, penerus perjuangan menegakkan dienullah. Melahirkan anak shalih/shalihah akan menjadi penyelamat bagi kedua orangtua juga umat Islam.

Tentu semua itu dapat terwujud atas kerja sama antara orang tua, masyarakat juga negara dalam kehidupan yang menerapkan sistem Islam. Wallahu a'lam.[]

Oleh: Anita Safitri

Posting Komentar

0 Komentar