Ironis, Indeks Ketahanan Pangan Negara Agraris Rendah: Ada Apa?


TintaSiyasi.com-- Indonesia yang mendapat julukan zamrud khatulistiwa, ternyata masih menyisakan segudang pekerjaan rumah untuk membenahi urusan pangan. Dilansir dari Tirto.id, Global Food Security Index (GFSI) yang disusun lembaga riset Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan itu. GSFI mengukur tingkat kerawanan pangan negara-negara berdasarkan empat indikator, yaitu keterjangkauan, ketersediaan, kualitas, serta faktor sumber daya alam (SDA) berikut ketahanannya. 

Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 113 negara dalam GFSI tahun 2019. Peringkat ini sebenarnya sudah membaik dari tahun-tahun sebelumnya: peringkat ke-65 tahun 2018, 69 tahun 2017, dan 71 pada 2016. Sayangnya perbaikan ini tidak secepat negara lain. Pada GSFI 2019, Malaysia mampu menempati posisi ke-28, Thailand ke-52, dan Vietnam ke-54. 

Indonesia juga tertinggal dalam Food Sustainability Index tahun 2018 yang diterbitkan tahun 2020 oleh EIU. Dalam indeks ini Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 67 negara. Indonesia jauh tertinggal dari negara lain yang memiliki masalah pangan lebih buruk berdasarkan indikator GFSI. Misalnya Etiopia yang mampu mencapai peringkat ke-27 dan Zimbabwe di peringkat ke-31. (Tirto.id, 21 Februari 2021).

Sejumlah indikator pangan dunia menunjukkan Indonesia tertinggal daripada negara lainnya dalam lima tahun terakhir. Indonesia sebagai agraris ironisnya menempati peringkat rendah dalam indeks keberlanjutan pangan.

Hal ini bukti kerusakan sistem kapitalis dan kejahatan rezim sekuler liberal. Kerusakan paradigma ekonomi kapitalis terjadi disebabkan karena dalam sistem ekonomi kapitalis mempunyai problem ekonomi yakni kelangkaan sehingga solusi yang diambil itu menambah persediaan barang tanpa memperhatikan distribusi.

Oleh sebab itulah, diperlukan sistem untuk menggantikan sistem ekonomi kapitalis yang menjadi penyebab masalah ketahanan pangan yang tak kunjung selesai. Sistem itu adalah Sistem Islam. Sistem yang sempurna yang akan mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan. 

Dalam sistem Islam, Khalifah akan menjamin seluruh kebutuhan hidup masyarakat yang menjadi tanggungannya. Menjamin ketersediaan pangan, dan mencukupi dan mendistribusikan pangan secara merata kepada rakyatnya. 


Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Indeks Ketahanan Pangan Indonesia

Secara sederhana, ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk mengaksesnya. Menurut International Food Policy Research Institute, ketahanan pangan yaitu ketika semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi ke pangan yang cukup, aman, dan bergizi yang memenuhi preferensi pangan dan kebutuhan pangan mereka. hidup yang aktif dan sehat. 

Sedangkan, pengertian ketahanan pangan menurut UU No. 18/2012 tentang Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ketahanan pangan memiliki lima unsur yang harus dipenuhi yakni berorientasi pada rumah tangga dan individu, dimensi waktu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses, menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik, ekonomi dan sosial, berorientasi pada pemenuhan gizi, serta ditujukan untuk hidup sehat dan produktif. 

Ketahanan pangan mulai gencar dikampanyekan sejak dekade 1970-an. Kala itu, krisis pangan terjadi di Ethiopia, Chad dan kawasan Sahel di Sahara Afrika, sampai Bangladesh dan Kamboja. Situasi masih diperkeruh dengan embargo OPEC dan meroketnya harga minyak yang berdampak pada lesunya produktivitas global di sektor industri dan pertanian, termasuk kelangkaan gandum. Pada 1974, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) di bawah PBB menyelenggarakan Konferensi Pangan Dunia yang pertama di Roma. Hasilnya, terjalin kesepakatan antara lebih dari 100 negara untuk meningkatkan daya tahan pangan dunia.

Konferensi dibuka dengan Deklarasi Universal tentang Pemberantasan Kelaparan dan Malnutrisi. Isinya menyebutkan, di antaranya, setiap orang berhak untuk bebas dari rasa lapar, dan pemerintah bertanggungjawab dalam produksi serta distribusi pangan. Kemudian disusunlah sebanyak 22 bulir resolusi, yang salah satunya menyatakan prioritas pembangunan desa dan pertanian. Selain itu, rekomendasi diajukan kepada jajaran pemerintah dan komunitas internasional untuk menyusun kebijakan dan program dalam rangka meningkatkan produksi dan pemanfaatan pangan, terutama di negara-negara berkembang. Resolusi terakhir mendorong berdirinya Komite Ketahanan Pangan Dunia, forum FAO untuk meninjau dan menindaklanjuti kebijakan-kebijakan terkait ketahanan pangan dan gizi.

Awalnya, ketahanan pangan dimaknai sebatas sinergi antarbangsa untuk meningkatkan hasil panen dalam rangka memenuhi pasokan pangan nasional dan global. Seiring waktu, konsep ketahanan pangan semakin multidimensional. Melansir Policy Brief FAO 2006 (PDF), KTT Pangan Dunia 1996 menyepakati bahwa, “Ketahanan pangan tercapai apabila setiap saat, semua orang punya akses fisik dan ekonomi terhadap makanan yang cukup, aman dan bergizi, yang memenuhi kebutuhan diet dan sesuai preferensinya, demi kehidupan sehat nan aktif". Secara sederhana, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan makan pada tingkat individu atau keluarga.

Masih dipetik dari Policy Brief FAO, dimensi-dimensi ketahanan pangan meliputi ketersediaan (adanya pasokan makanan baik berasal dari produksi dalam negeri maupun impor), akses (kemudahan untuk menjangkau makanan), pemanfaatan (bagaimana kesejahteraan gizi juga disokong oleh unsur-unsur non-pangan seperti air bersih, sanitasi, layanan kesehatan) serta kestabilan (sejauh mana akses terhadap pangan terlindungi dari ancaman krisis ekonomi, iklim, fenomena alam musiman).

Menilik kompleksnya cakupan dimensi ketahanan pangan, bukan hal mudah untuk mengukur tingkat keberhasilan suatu negara dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Salah satu usaha sudah dirintis oleh korporat media Inggris The Economist melalui tim riset Economist Intelligence Unit (EIU). Pertama kali pada 2012, EIU disponsori oleh raksasa pabrik kimiawi DuPont asal AS, merilis Global Food Security Index (GFSI) untuk memberi peringkat dan menilai tingkat ketahanan pangan di 105 negara.

GFSI 2012 mengadaptasi dimensi-dimensi konsep ketahanan pangan dari FAO menjadi tiga kategori penilaian utama, yakni keterjangkauan dan akses finansial, ketersediaan, serta pemanfaatan (selanjutnya disebut kualitas dan keamanan makanan). Data yang diolah berasal dari Bank Dunia, badan-badan PBB termasuk FAO, WHO sampai IMF. Tujuan GFSI adalah melengkapi riset-riset ketahanan pangan yang sudah ada, seperti laporan State of Food Insecurity in the World dari FAO, Global Hunger Index oleh International Food Policy Research Institute (IFPRI) dan Food Security Risk Index dari kantor analis risiko Maplecroft. Dengan menganalisis faktor-faktor input atau pendorong ketahanan pangan, GFSI ingin ikut berkontribusi memupuk dialog tentang solusi praktis dan reformasi kebijakan dalam rangka mengatasi kerentanan pangan di berbagai negara.

Sejak 2017, kategori GFSI bertambah satu lagi, yaitu sumber daya alam berikut ketahanannya. Tujuannya untuk melihat sejauh mana suatu negara mampu menyesuaikan diri dengan risiko-risiko perubahan iklim yang berdampak pada sumber alam dan ketahanan pangan. Selain itu, mulai 2018, sponsor GFSI digantikan oleh Corteva Agriscience, perusahaan pecahan dari DowDuPont yang berkecimpung pada sektor pertanian kimia dan benih.

GFSI 2020 baru saja dirilis. Dari 113 negara, tingkat ketahanan pangan Indonesia secara keseluruhan berada di peringkat ke-65 dengan skor 59,5 poin. Sebelumnya, posisi Indonesia bertengger pada peringkat 62 (2019), 65 (2018), dan 69 (2017).

Pada 2020, negara-negara ASEAN lain yang posisinya di atas Indonesia meliputi Vietnam (ranking ke-63), Thailand (51), Malaysia (43), dan Singapura (19). Peringkat teratas diduduki Finlandia dan Irlandia.

Pencapaian terbaik Indonesia ditemukan pada kategori ketersediaan, yaitu peringkat ke-34 (sama dengan Rusia). Persis di atas mereka ada Swedia dan Norwegia, sementara di bawahnya ada Bangladesh dan India. Dalam kategoriini, indikator yang dipertimbangkan di antaranya meliputi kecukupan stok pangan, infrastruktur pertanian, volatilitas hasil tani.

Sementara itu, Indonesia diganjar peringkat ke-55 pada kategori keterjangkauan (meliputi indikator rata-rata harga pangan, proporsi masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, sampai akses terhadap pasar dan layanan keuangan pertanian) dan peringkat ke-89 pada kategori kualitas dan keamanan bahan makanan. Pada kategori sumber daya alam dan ketahanannya, Indonesia masuk ranking ke-109, lima besar peringkat terendah. 

Dari penjelasan di atas, nampak jelas ketahanan pangan di Indonesia dinilai sangat rentan apabila sektor pertaniannya terdampak perubahan iklim (kenaikan suhu udara dan level air laut, kekeringan, banjir, badai). Selain itu, kerentanan pangan juga dipengaruhi oleh indikator kualitas dan cadangan air, degradasi lahan, sampai strategi mitigasi bencana pemerintah.

Dampak Buruk Rendahnya Ketahanan Pangan

Pada era Soeharto, ketahanan pangan diasosiasikan dengan swasembada beras, suatu prestasi yang sempat dirayakan oleh FAO pada 1985. Melansir ulasan Tirto berjudul “Swasembada Beras ala Soeharto: Rapuh dan Cuma Fatamorgana" (2018), Indonesia berhasil memproduksi 27 juta ton beras pada 1984, sementara konsumsi nasional tahun itu tak sampai 25 juta ton.

Masih dilansir dari sumber yang sama, pada zaman Orba, ketahanan pangan dimaknai sebatas pada stabilitas harga beras. Selama harganya terjangkau, ketahanan pangan nasional dinilai aman. Namun demikian, stabilitas harga beras gagal mendorong pemerataan. Swasembada juga hanya mampu bertahan 5 tahun saja. Sepanjang dekade 1990-an, Indonesia kembali mengimpor beras dalam jumlah besar, berkisar 3-6 juta ton per tahun. Pada abad ke-21, Indonesia masih impor beras meski volumenya tidak setinggi di masa lalu.

Sampai sekarang, self-sufficiency (swasembada, kemampuan mencukupi kebutuhan sendiri) memang erat kaitannya dengan strategi ketahanan pangan di Indonesia. Apabila pada zaman dulu fokus pemerintah adalah swasembada beras dan kestabilan harganya, semangat yang sama digaungkan kembali hari ini dalam program food estate alias lumbung pangan: konsep pengembangan pangan terintegrasi meliputi sektor pertanian, perkebunan sampai peternakan.

Dikutip dari Indonesia.go.id, program food estate diharapkan “dapat meningkatkan nilai tambah produksi sektor pertanian lokal, meningkatkan penyerapan tenaga kerja pertanian hingga 34.4 persen, harga pangan lebih murah dengan produksi yang melimpah, dan terbukanya potensi ekspor pangan ke negara lain". Sekarang, proyek lumbung pangan sedang digencarkan di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Timur, meliputi pertanian padi, jagung, sampai bawang.

Di balik usaha keras pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan nasional, strategi self-sufficiency demikian sebenarnya tidak sama dengan ketahanan pangan. Ditegaskan oleh Asian Development Bank (ADB) dalam laporan berjudul “At a Glance Food Insecurity in Asia: Why Institutions Matter", mengejar self-sufficiency yang tinggi merupakan suatu cara untuk mencapai ketahanan pangan lebih baik.

Di samping self-sufficiency, ADB menyorot pentingnya juga meningkatkan kualitas pemerintahan dan membuat kebijakan ekonomi yang lebih bagus di Indonesia dalam rangka mencapai ketahanan pangan tinggi. ADB mencontohkan Jepang dan Korea Selatan. Meskipun kedua negara tersebut memiliki self-sufficiency rendah, distribusi kekayaan ekonomi di sana lebih tinggi dan merata sehingga mereka bisa memiliki ketahanan pangan yang baik, papar ADB.

Mengacu pada penjelasan FAO dan Global Food Security Index (GFSI), ketahanan pangan punya sifat multidimensional yang kompleks. Ia tidak sekadar dimaknai sebagai ketersediaan pasokan makanan, seperti nampak dari strategi self-sufficiency yang sekarang tengah diusung dalam proyek food estate pemerintah Indonesia. Menilik lagi temuan GSFI 2020, Indonesia sebenarnya sudah memiliki skor dan ranking yang bagus untuk kategori ketersediaan pangan yakni peringkat 34 dari 113 negara.

Namun, ketahanan pangan tak hanya sebatas soal ketersediaan tetapi juga soal kualitas dan keterjangkauan. Isu keterjangkauan pangan ini masih sering luput dari perhatian pemerintah ketika berbicara soal pangan. 

Ada hal-hal lain yang harus diperhatikan pemerintah agar ketahanan pangan nasional bisa lebih optimal, berkualitas dan punya daya keberlanjutan tinggi. Misalnya, GFSI menyoroti bahwa Indonesia belum punya strategi yang matang untuk menghadapi risiko-risiko dari fenomena bencana alam ataupun dampak perubahan iklim. Padahal, risiko tersebut mengancam keberlangsungan sektor pertanian dan sumber daya alam.

Berdasarkan temuan GFSI, tingkat keterjangkauan pangan serta kualitas dan keamanan makanan di Indonesia masih bertengger pada peringkat tengah bawah. Pada waktu yang sama, prestasi Indonesia jeblok dalam Food Sustainability Index yang diselenggarakan oleh tim riset Economist EIU dan Barilla Center for Food & Nutrition. Food Sustainability Index bertujuan mengukur keberlangsungan sistem pangan di 67 negara berdasarkan tiga kategori, yaitu limbah dan buangan makanan, keberlanjutan pertanian, serta tantangan gizi.

Food Sustainability Index Indonesia 2018 sangat memprihatinkan. Indonesia berada pada peringkat ke-60, jauh tertinggal dari Etiopia (27) dan Zimbabwe (31).

Alasan di balik jebloknya tingkat keberlangsungan sistem pangan Indonesia bisa dikaitkan dengan rendahnya kemampuan ekonomi rakyat ketika terjadi krisis dan penurunan pendapatan. Daya beli rendah ini ikut mendorong rendahnya kualitas atau keamanan makanan, sehingga orang cenderung akan mengonsumsi makanan apapun walaupun nutrisinya rendah. Selain itu, tata kelola limbah makanan di Indonesia juga dinilai masih buruk. Terkait keberlangsungan pertanian, terdapat dugaan bahwa minat bertani mulai menurun, seiring tingginya potensi alih fungsi lahan dan masalah ketergantungan impor pada produk makanan tertentu.

Temuan GFSI 2020 dan Food Sustainability Index 2018 di atas mempertegas bahwa ketahanan pangan perlu disokong oleh usaha-usaha selain peningkatan hasil tani. Kampanye melek gizi, program pengentasan kemiskinan, dan kebijakan untuk menghadapi dampak perubahan iklim juga menjadi poin-poin penting dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional yang lebih baik.

Isu keterjangkauan pangan masih sering luput dari perhatian pemerintah ketika berbicara soal pangan. Memang, data BPS 2014-2019 menunjukkan jumlah PDB untuk sektor pertanian, peternakan, perburuan dan jasa pertanian mencapai Rp880,4 triliun pada tahun 2014 dan terus meningkat. Jumlah ini meningkat pada 2015 hingga 2018 dengan rincian sebesar Rp906,8 triliun pada 2015, Rp936,4 triliun pada 2016, Rp969,8 triliun pada 2017 dan mencapai Rp1.005,4 triliun pada tahun 2018. 

Tapi di sisi lain, berdasarkan data dari Buletin Konsumsi Pangan Kementerian Pertanian 2019, masyarakat masih menghadapi harga pangan yang tidak bersahabat. Pengeluaran untuk bahan makanan terus meningkat sebesar 10% sejak 2016 hingga 2018.  

Berdasarkan data BPS dan World Bank, penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan harga beras di Indonesia terus meningkat 26% sejak 2014 hingga sekarang. Padahal peningkatan harga di pasar internasional hanya mencapai 12%. Walaupun tersedia, rupanya pangan di Indonesia masih kurang beragam, tidak merata dan tidak terjangkau.

Tingginya harga pangan Indonesia sangat merugikan masyarakat, terutama bagi masyarakat miskin. Mereka bisa menghabiskan 50% hingga 70% dari pendapatannya hanya untuk membeli makanan.  Besarnya proporsi pengeluaran untuk makanan membuat masyarakat sangat rentan terhadap lonjakan harga komoditas pangan sehingga mempengaruhi pola konsumsi.

Kenaikan harga beras sebesar Rp1.000 dapat mengurangi konsumsi beras sebesar 0,67 kg. Hal ini menyebabkan risiko tidak terpenuhinya Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan sebesar rata-rata 2.150 kilo kalori. Tidak tercukupinya nilai AKG yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 75 tahun 2013 ini dikhawatirkan berkontribusi terhadap tingginya risiko malnutrisi dan stunting di Indonesia.

Ada banyak faktor yang menyebabkan tingginya harga pangan. Beberapa di antaranya adalah tantangan-tantangan produksi pertanian, seperti perubahan iklim dan cuaca, infrastruktur irigasi yang belum memadai, kurangnya sumber air bersih, kurangnya penggunaan teknologi, berkurangnya lahan pertanian, kurangnya SDM dan rendahnya produktivitas pertanian. 

Jelas, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan untuk meningkatkan ketahanan pangan, terutama dari segi keterjangkauan. Untuk meningkatkan ketahanan pangan, perlu adanya sinergi kebijakan dari berbagai pemangku kebijakan.

Tidak ada satu kebijakan yang dapat menghasilkan ketahanan pangan begitu saja. Dibutuhkan serangkaian kebijakan dari beberapa sektor, seperti pertanian, perdagangan, perindustrian dan sosial untuk mencapainya. Ketahanan pangan hanya bisa dicapai melalui kerja sama menuju satu visi yang selaras.

Sayangnya, kebijakan pemerintah justru paradoks, di sisi lain Negara Indonesia adalah negara agraris yang memiliki lahan pertanian sangat luas, namun anehnya pemerintah berencana impor terutama impor beras. Kebijakan aneh ini tiba-tiba dilakukan, padahal menteri pertanian mengungkapkan produksi dari sisi hulu  menyatakan surplus. Demikian juga stok beras yang yang ada di gudang Bulog juga masih melimpah.

Terlebih lagi rencana impor 1 juta ton beras dilakukan  menjelang panen raya. Impor beras pada saat panen raya menjadikan harga padi sangat murah, sehingga petani mengalami kerugian. Kondisi ini sangat ironis, di saat jutaan rakyat kelaparan, ternyata di gudang bulog ada ratusan ribu ton beras hasil impor rusak. Bahkan bisa jadi sebagian sudah membusuk karena beras itu hasil impor tahun lalu. Ini menunjukkan kejahatan rezim yang menerapkan kebijakan liberal untuk mengizinkan impor beras. 

Kebijaksanaan impor di tengah panen raya, selain tidak berpihak kepada rakyat juga akan membuat negara ini kehilangan kedaulatan pangan karena tergantung kepada impor. Kebiasaan impor ini diduga kuat karena adanya mafia rente yang mencari keuntungan dari impor beras tersebut. 

Solusi Islam Menjaga Ketahanan Pangan

Negeri subur ternyata tidak selamanya makmur. Kebijakan pertanian dan perdagangan yang amburadul terbukti telah membuat Indonesia sebagai negara agraris ini terus menerus dihantui krisis kelangkaan pangan.

Rakyat kembali jadi korban, terutama mereka para perajin dan pemilik industri kecil. Jika ini terus terjadi dalam jangka panjang, tentu akan memengaruhi pertumbuhan dan kualitas hidup rakyat.

Salah urus pemerintah dalam sektor pangan ini tampak dalam rendahnya pasokan dalam negeri serta ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga kestabilan harga. Program swasembada hanyalah isapan jempol semata. Sementara permainan kartel benar-benar telah membuat harga terus melambung tinggi, meski harga internasional menurun.

Islam dengan serangkaian hukumnya mampu merealisasikan ketahanan pangan. Secara umum hal ini tampak dalam politik pertanian yang akan dijalankan Khilafah sebagai berikut:

1. Kebijakan di sektor hulu yaitu kebijakan untuk meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi.

Intensifikasi ditempuh dengan jalan penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih baik. Untuk itu, Khilafah akan menerapkan kebijakan pemberian subsidi untuk keperluan sarana produksi pertanian. Keberadaan diwan ‘atha (biro subsidi) dalam baitulmal akan mampu menjamin keperluan-keperluan para petani menjadi prioritas pengeluaran baitulmal.

Kepada para petani diberikan berbagai bantuan, dukungan dan fasilitas dalam berbagai bentuk; baik modal, peralatan, benih, teknologi, teknik budidaya, obat-obatan, research, pemasaran, informasi, dsb; baik secara langsung atau semacam subsidi. Maka, seluruh lahan yang ada akan produktif. Negara juga akan membangun infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi, dsb., sehingga arus distribusi lancar.

Ekstensifikasi pertanian dilakukan untuk meningkatkan luasan lahan pertanian yang diolah. Untuk itu negara akan menerapkan kebijakan yang dapat mendukung terciptanya perluasan lahan pertanian tersebut.

Di antaranya adalah bahwa negara akan menjamin kepemilikan lahan pertanian yang diperoleh dengan jalan menghidupkan lahan mati (ihya’ul mawat) dan pemagaran (tahjîr) bila para petani tidak menggarapnya secara langsung. Negara juga dapat memberikan tanah pertanian (iqtha’) yang dimiliki negara kepada siapa saja yang mampu mengolahnya.

Persoalan keterbatasan lahan juga dapat diselesaikan dengan pembukaan lahan baru, seperti mengeringkan rawa dan merekayasanya menjadi lahan pertanian lalu dibagikan kepada rakyat yang mampu mengolahnya, seperti yang dilakukan masa Umar bin Khaththab di Irak.

Selain itu, negara akan menerapkan kebijakan yang dapat mencegah proses alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian. Hanya daerah yang kurang subur yang diperbolehkan menjadi area perumahan dan perindustrian.

Di samping itu, negara juga tidak akan membiarkan lahan-lahan tidur, yaitu lahan-lahan produktif yang tidak ditanami oleh pemiliknya. Jika lahan tersebut dibiarkan selama tiga tahun maka lahan tersebut dirampas oleh negara untuk diberikan kepada mereka yang mampu mengolahnya.

Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil.” (HR Bukhari)

2. Kebijakan di sektor industri pertanian.

Negara hanya akan mendorong berkembangnya sektor riil saja, sedangkan sektor nonriil yang diharamkan seperti bank riba dan pasar modal tidak akan diizinkan untuk melakukan aktivitas.

Dengan kebijakan seperti ini, maka masyarakat atau para investor akan terpaksa ataupun atas kesadaran sendiri akan berinvestasi pada sektor riil baik industri, perdagangan ataupun pertanian. Karena itu sektor riil akan tumbuh dan berkembang secara sehat sehingga akan menggerakkan roda-roda perekonomian.

Khilafah juga akan menjaga kestabilan harga dengan dua cara yakni:

1. Menghilangkan distorsi mekanisme pasar syariat yang sehat seperti penimbunan, intervensi harga, dsb.

Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar harganya naik. Abu Umamah al-Bahili berkata, “Rasulullah Saw. melarang penimbunan makanan.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi)

Jika pedagang, importir, atau siapa pun menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar. Jika efeknya besar, maka pelakunya juga bisa dijatuhi sanksi tambahan sesuai kebijakan Khalifah dengan mempertimbangkan dampak dari kejahatan yang dilakukannya.

Di samping itu Islam tidak membenarkan adanya intervensi terhadap harga. Rasul bersabda, “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak.” (HR Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi)

Adanya asosiasi importir, pedagang, dsb., jika itu menghasilkan kesepakatan harga, maka itu termasuk intervensi dan dilarang.

2. Menjaga keseimbangan supply dan demand.

Jika terjadi ketidakseimbangan supply dan demand (harga naik/turun drastis), negara melalui lembaga pengendali seperti Bulog, segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang dari daerah lain.

Inilah yang dilakukan Umar Ibnu al-Khaththab ketika di Madinah terjadi musim paceklik. Ia mengirim surat kepada Abu Musa ra. di Bashrah yang isinya: “Bantulah umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam! Mereka hampir binasa.”

Setelah itu ia juga mengirim surat yang sama kepada ‘Amru bin Al-‘Ash ra. di Mesir. Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, terdiri dari makanan dan bahan pokok berupa gandum. Bantuan ‘Amru ra. dibawa melalui laut hingga sampai ke Jeddah, kemudian dari sana baru dibawa ke Makkah. (Lihat: At-Thabaqâtul-Kubra karya Ibnu Sa’ad, juz 3 hal. 310-317).

Ibn Syabbah meriwayatkan dari Al-Walîd bin Muslim Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku telah diberitahukan oleh Abdurahmân bin Zaid bin Aslam ra. dari ayahnya dari kakeknya bahwa Umar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan ‘Amr bin ‘Ash ra. untuk mengirim makanan dari Mesir ke Madinah melalui laut Ailah pada tahun paceklik.” (Lihat: Akhbârul-Madînah, Karya Abu Zaid Umar Ibnu Syabbh, Juz 2, hal 745). 

Dalam riwayat lain, Abu Ubaidah ra. pernah datang ke Madinah membawa 4.000 hewan tunggangan yang dipenuhi makanan. Umar ra. memerintahkannya untuk membagi-bagikannya di perkampungan sekitar Madinah. (Lihat Târîkhul Umam wal Muluk, Karya Imam ath-Thobariy, Juz 4, hal. 100).

Apabila pasokan dari daerah lain juga tidak mencukupi maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor. Impor hukumnya mubah. Ia masuk dalam keumuman kebolehan melakukan aktivitas jual beli. Allah SWT berfirman: “Allah membolehkan jual beli dan mengharamkan riba (TQS Al-Baqarah: 275). Ayat ini umum, menyangkut perdagangan dalam negeri dan luar negeri. Karenanya, impor bisa cepat dilakukan tanpa harus dikungkung dengan persoalan kuota. Di samping itu, semua warga negara diperbolehkan melakukan impor dan ekspor (kecuali komoditas yang dilarang karena kemaslahatan umat dan negara). Perajin tempe secara individu atau berkelompok bisa langsung mengimpor kedelai. Dengan begitu, tidak akan terjadi kartel importir.

Demikianlah syariat Islam mengatasi masalah pangan. Masih banyak hukum-hukum syariat lainnya, yang bila diterapkan secara kaffah niscaya ketahanan pangan dapat dijamin, ketersediaan komoditas, keterjangkauan, kualitas dan keamanan pangan dapat dijaga dengan baik.


Dari uraian di atas, maka dapat kami tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Tingkat ketahanan pangan Indonesia secara keseluruhan berada di peringkat ke-65 dari 113 negara berdasarkan data GFSI 2020. Jika kita coba telisik lebih mendalam, rendahnya  indeks ketahanan pangan bukan pada faktor kesediaan. Karena pada kategori ketersediaan, Indonesia ranking 34. Artinya Indonesia cukup berkapasitas untuk menyediakan pasokan pangan buat 270 juta jiwa rakyatnya.

Sayangnya, pencapaian tersebut belum diiringi dengan kemudahan akses (ranking 55), kualitas dan keamanan pangan (ranking 89), dan yang paling buruk ketahanan sumber daya alam (ranking 109). 

Oleh sebab itu, ketahanan pangan di Indonesia dinilai sangat rentan apabila sektor pertaniannya terdampak perubahan iklim (kenaikan suhu udara dan level air laut, kekeringan, banjir, badai). Selain itu, kerentanan pangan juga dipengaruhi oleh indikator kualitas dan cadangan air, degradasi lahan, sampai strategi mitigasi bencana pemerintah.

Dampak buruk atas rendahnya Ketahanan pangan menyebabkan risiko tidak terpenuhinya Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang berkontribusi terhadap tingginya risiko malnutrisi dan stunting. Penyebabnya adalah tingginya harga pangan sehingga akses untuk mendapatkan pangan terbatas. Di samping itu juga tantangan-tantangan produksi pertanian, seperti perubahan iklim dan cuaca, infrastruktur irigasi yang belum memadai, kurangnya sumber air bersih, kurangnya penggunaan teknologi, berkurangnya lahan pertanian, kurangnya SDM dan rendahnya produktivitas pertanian. 

Untuk meningkatkan ketahanan pangan, perlu adanya sinergi kebijakan dari berbagai pemangku kebijakan. Tidak ada satu kebijakan yang dapat menghasilkan ketahanan pangan begitu saja. Dibutuhkan serangkaian kebijakan dari beberapa sektor, seperti pertanian, perdagangan, perindustrian dan sosial untuk mencapainya. Ketahanan pangan hanya bisa dicapai melalui kerja sama menuju satu visi yang selaras.

Strategi Islam dalam menjaga ketahanan pangan antara lain khilafah menjalankan politik pertanian yang dengan menerapkan kebijakan di sektor hulu yaitu kebijakan untuk meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi serta kebijakan di sektor industri pertanian yakni Khilafah hanya akan mendorong berkembangnya sektor riil saja, sedangkan sektor nonriil yang diharamkan seperti bank riba dan pasar modal tidak akan diizinkan untuk melakukan aktivitas.

Selain itu, Khilafah juga akan menjaga kestabilan harga dengan dua cara yakni pertama, Khilafah akan menghilangkan distorsi mekanisme pasar syariat yang sehat seperti penimbunan dan intervensi harga karena dalam Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar harganya naik. Kedua, Khilafah juga akan menjaga keseimbangan supply dan demand. Jika terjadi ketidakseimbangan supply dan demand (harga naik/turun drastis), Khilafah melalui lembaga pengendali seperti Bulog, segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang dari daerah lain.[]


Oleh: Achmad Mu'it
Analis Politik Islam dan Dosen Online Uniol 4.0 Diponorogo

Referensi

1. Vincent Fabian Thomas,”Menerka Sebab Pangan Indonesia Kalah dari Malaysia dan Etiopia”, 2021.

2. Sekar Kinasih, “Ketahanan Pangan Indonesia: Peringkat Jongkok, Rentan Bencana”, 2021.

3. Evan Yulian Philaret, ”Ketahanan Pangan di Indonesia Sulit Terwujud,” 2020.

4. Vincent Fabian Thomas, “Rektor IPB Sebut Indeks Pangan Indonesia Lebih Buruk dari Ethiopia”, 2021.

5. Scholastica Gerintya, "Seberapa Kuat Ketahanan Pangan Indonesia?", 2019.

6. Abu Muhtadi, “Kebijakan Khilafah dalam Mengatasi Kelangkaan Pangan”, 2020.

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpgainst

Posting Komentar

0 Komentar