Gentingnya Impor Garam Menghapus Asa Petambak

Kebijakan Impor Besar-besaran

Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi menjelaskan bahwa tujuan pemerintah membuka kembali impor garam dalam jumlah besar yaitu 3.07 juta ton adalah berhubungan dengan kuantitas dan kualitas garam. Kualitas garam lokal belum mampu memenuhi kebutuhan di bidang industri. Dikhawatirkan jika digunakan pun  menyebabkan kualitas produk tidak sesuai harapan (Kompas.com, 19/3/2021).

Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Maritim dan Investasi Safri Burhanuddin menjelaskan angka impor 3.07 juta ini dihitung berdasarkan produksi 2021 yang diperkirakan hanya berkisar 2.1 juta ton. Sementara kebutuhan terus naik tiap tahunnya dan mencapai 4,67 juta ton. Secara normal, hitungan kebutuhan Indonesia hanya memerlukan impor 2.57 juta ton sehingga keputusan jumlah impor menghasilkan surplus 500 ribu ton. Dan kelebihan impor beras ini untuk pemenuhan tahun yang akan datang dalam rangka menjaga kestabilan stok garam industri (Tirto.id, 17/3/2021).

Kebijakan impor ini ternyata mengancam tercapainya swasembada garam yang dicanangkan tahun 2022. Disebabkan tren kenaikan impor setiap tahunnya akan terus terjadi menyesuaikan kebutuhan bahan baku seiring bertambahnya jumlah pabrik yang menggunakan bahan dasar garam industri. Jika terealisasi seluruhnya, impor 2021 ini juga akan menjadi yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Menurut data UN Comtrade, impor garam terbesar RI pernah dicapai pada 2018 sebanyak 2,839 juta ton dan 2011 2,835 juta ton.


Penolakan Impor Garam

Sejumlah pihak menyayangkan kebijakan impor garam ini. Alasan yang dikemukakan pemerintah justru menohok para petambak lokal. Solusi yang diberikan bagaikan oase di padang gurun. Impor dalam jumlah yang besar. Telah menenggelamkan asa bagi petambak yang terbatas dalam pembiayaan produksi dan pengelolaannya. Ketua Asosiasi Petani Garam Indonesia (APGI) Jakfar Sodikin menyayangkan keputusan impor garam yang terus berlanjut, apalagi disertai pembatalan target swasembada. APGI menilai impor garam akan semakin membuat petambak terpuruk karena harga garam di tingkat petani akan semakin tertekan seiring membanjirnya pasokan garam impor.

Melalui akun Twitter @susipudjiastuti, Minggu (21/3/2021), mantan Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti menilai kebijakan impor garam dengan jumlah di atas 1,7 juta ton berdampak pada harga garam lokal yang dipasarkan. Harga garam dapat merosot mencapai Rp 1.500,00. Penolakan juga dikemukakan oleh Sekretaris Jendral Partai Demokrasi Indonesia  Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto, “Menteri sebagai pembantu presiden, di dalam mengambil keputusan politik, harus senafas dengan kebijakan politik pangan presiden dan berusaha mewujudkan kedaulatan pangan nasional serta berpihak pada kepentingan petani.” Ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (20/32021). (Ekonomibisnis.com, 21/3/2021)

Pada dasarnya komoditi garam lokal di Indonesia melimpah. Maka perlu peran negara dalam mendukung, memfasilitasi dan meregulasi pengelolaan  serta distribusi garam lokal. Sehingga kualitas dan kuantitasnya memenuhi standar penggunaan secara luas. Yaitu tercapainya kebutuhan di bidang rumah tangga, perdagangan dan perindustrian. Datangnya garam produk impor dengan harga yang lebih murah dengan manfaat lebih banyak. Jelas, disukai oleh konsumen. Persaingan kualitas, kegunaan dan harga inilah yang merugikan para petambak lokal. Kebijakan impor ini jelas wujud dari kapitalisme yang diemban negeri ini. Memudahkan para pemilik modal dengan investasinya untuk memperoleh keuntungan atas kebijakan impor yang ditetapkan pemerintah. Kebijakan yang tidak sistemis dalam pemenuhan kebutuhan garam industri yang bisa dihasilkan oleh petambak lokal. Inilah bentuk tercapainya UU Cipta Kerja. Membatalkan target swasembada garam. Kebijakan yang diambil mengutamakan kepentingan korporat.


Peta Jalan Islam Mewujudkan Kedaulatan dalam Pemenuhan Kebutuhan Pokok Rakyat

Islam merupakan sistem yang memiliki aturan yang menyeluruh. Dalam mencapai tujuan hukum-hukum yang dipergunakan untuk memecahkan mekanisme pengaturan berbagai urusan rakyat maka diperlukan politik ekonomi. Politik ekonomi Islam adalah menjamin realisasinya pemenuhan semua kebutuhan primer setiap orang secara menyeluruh, berikut mendorong pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersiernya.

Islam mendorong setiap rakyatnya untuk bekerja. Pengelolaan tanah, sumber daya alam, termasuk pesisir pantai dan lautan, serta segala kekayaan yang dapat dimanfaatkan dan difungsikan sesuai manfaatnya maka negara akan memfasilitasi dengan sebaik-baiknya. Memberdayakan rakyat yang berada di bawah naungan Islam. Memberikan bantuan fasilitas dan teknologi yang mampu mengoptimalkan produktivitas lokal. Road map agar terwujudnya swasembada produk dalam negeri akan diupayakan jangka panjang agar ketersediaan dan keberlangsungan produksi dan distribusi kontinu berjalan.


Road Map Swasembada Garam dalam Islam

Negara berikut pemerintah merupakan penanggung jawab dan pengelola dalam road map swasembada garam. Sabda Rasulullah Saw.: “Imam (Khalifah) raa'iin (pengurus hajat hidup rakyat) dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Memastikan produksi, distribusi dan konsumsi garam dapat memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Baik untuk segmen rumah tangga, perdagangan, maupun perindustrian yang membutuhkan bahan dasar garam dalam olahannya. Memastikan petambak dapat optimal dalam memproduksi kebutuhan rakyat. Memfasilitasi sarana dan teknologi secara maksimal sehingga garam yang dihasilkan memenuhi kualitas konsumen. Distribusi dijamin tersalurkan sesuai dengan kebutuhan rakyat. Melalui pasar bersih, amanah dan kondusif. Dan terakhir konsumsi olahan dari bahan yang dijamin kehalalannya sehingga konsumen merasa aman. Maka realisasi dari periayahan negara terwujud dalam pemenuhan kebutuhan rakyat dan keberlangsungan produktivitas petambak.

Dalam menjalin kerjasama perdagangan luar negeri berupa impor. Negara akan melihat sejauh mana kebutuhan yang tidak terpenuhi oleh produk lokal. Efektivitas dalam impor. Sehingga produk lokal tetap terdistribusi optimal. Tidak diperkenankan mengadakan kerja sama dengan negara lain dalam bidang pangan secara berlebihan. Sehingga negara lain yang mendikte kebutuhan negara Islam. Hal ini sebagai bentuk mewujudkan kedaulatan dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyat.[]

Oleh: Ageng Kartika S.Farm
(Pemerhati Sosial)

Posting Komentar

0 Komentar