Food Estate untuk Ketahanan Pangan, Solutifkah?


Satu tahun berlalu, pandemi Covid-19 belum juga berakhir. Bahkan telah bermunculan varian baru dari Covid-19 yang diklaim lebih mematikan dan lebih cepat penularannya.Tanpa penanganan yang tepat dan serius sepertinya berharap pandemi segera berlalu hanya akan menjadi mimpi.
Tidak dipungkiri seluruh aspek terdampak oleh pandemi.Tak terkecuali masalah pangan.

FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) mengidentifikasi puluhan negara terancam mengalami krisis pangan karena pandemi Covid-19.Termasuk Indonesia juga tidak terlepas dari krisis pangan tersebut. Oleh karenanya pemerintah menggagas program Food Estate ( Lumbung Pangan Nasional). Dengan harapan bisa menciptakan ketahanan pangan nasional.

Presiden Jokowi mengamanatkan program ini kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.Terdapat tiga hal yang menjadi fokus Kementerian Pertahanan dalam penataan Food Estate. Pertama, Penyusunan Badan Cadangan Logistik Strategis Nasional ( BCLSN ). Kedua, Penataan logistik wilayah dan penetapan tata ruang untuk produksi cadangan pangan di Indonesia. Ketiga, Kerja sama dengan beberapa pihak dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional.

Selain itu food estate akan dikembangkan dengan tujuan: Sebagai pusat produksi cadangan pangan dari tanah milik negara. Sebagai cadangan melalui pengelolaan penyimpanan cadangan pangan untuk pertahanan negara. Melakukan distribusi cadangan pangan keseluruh wilayah Indonesia.

Dengan program Food Estate ini Presiden berharap negara tidak lagi bergantung pada negara lain. Selama ini memang kebijakan yang diterapkan pemerintah untuk mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri adalah dengan impor. Disisi lain negara pengekspor mulai membatasi bahkan menghentikan ekspor untuk mencukupi kebutuhan dalam negerinya.

Dalam pengembangan food estate di Kalimantan Tengah, singkong diprioritaskan karena singkong mempunyai banyak olahan turunan.Misalnya tapioka, mie, dan mocaf. Kemenhan menargetkan pembangunan area lahan kawasan perkebunan singkong tahun 2021 seluas 30 ribu hektar. Perkebunan tersebut terletak di Desa Tewaibaru, Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Ini program Kemenhan untuk mewujudkan cadangan logistik strategis nasional. Hanya saja banyak para pakar yang mengkritisi program ini karena dibangun diatas lahan ex gambut. Menurut mereka food estate di lahan bekas gambut tidak layak dikembangkan.

Guru Besar IPB Prof. Dwi Andreas Santoso mengatakan bahwa program food estate kali ini tidak berbeda jauh dengan era sebelumnya. Beliau adalah anggota tim analisis lingkungan pada program sejuta hektar PLG ( Proyek Lumbung Pangan ) di era Suharto. Ia menilai program ini berpotensi menambah daftar kegagalan proyek pangan karena mengabaikan kaidah ilmiah. Alasannya karena tidak terpenuhinya persyaratan kawasan food estate:

Pertama. Kesesuaian atau kelayakan agroklimat (kecocokan dengan alam sekitar) dan tanah. Lahan ex gambut mengandung asam sulfat dan kadar keasaman tanah yang tinggi sehingga kurang subur. Kedua. Ketersediaan infrastruktur tidak memadai. Ketiga. Teknologi budidaya. Keempat. Aspek sosial dan ekonomi.

Menurut Kepala BRG Nazir Foead, belum pernah mendapati sawah dari lahan gambut memberi hasil yang memuaskan. Di Kalimantan Tengah sawah ini hanya mampu menghasilkan beras 2 ton/ hektar. Potensi kerusakan lingkunganpun amat besar. Karena lahan gambut memiliki karakteristik ekosistem berupa satu kesatuan. Jika satu bagian terganggu maka akan berdampak pada lahan gambut disekitarnya. Ini menyebabkan menurunnya kemampuan serapan air gambut yang bisa berakibat banjir atau menjadi gambut kering yang mudah terbakar. Seharusnya dilahan bekas gambut tidak dibangun proyek baru tapi dipulihkan dan dikembalikan pada karakternya.

Selain itu kapitalisasi pertanian juga tercium kuat pada konsep proyek pengelolaan food estate. Proyek direncanakan melalui investasi atau pola kemitraan. Maka ada peluang bagi korporat untuk ambil bagian dalam peran ketahanan pangan. Jika pertanian melibatkan korporasi bisa dipastikan akan diberikan izin konsesi untuk pengelolaan lahan. Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator saja. Terlebih dengan menjadikan singkong sebagai prioritas, maka ketahanan pangan nasional rasanya masih jauh untuk diwujudkan.

Karena secara umum makanan pokok di Indonesia adalah beras. Meski ada beberapa tempat yang makanan pokoknya non beras. Jadi sebaiknya program food estate memprioritaskan peningkatan produksi beras. Sehingga bisa terwujud swasembada pangan dan mengurangi impor beras.

Indonesia adalah negara agraris. Berdasarkan data BPS, produksi beras tahun 2020 mencapai 31,63 juta ton. Naik 1,00 % dibanding tahun sebelumnya sebesar 31,31 %. Angka tersebut diperoleh dari luas panen padi 10,79 juta hektare atau mengalami kenaikan 108,93 ribu hektare. Naik 1,02 % dibanding luas panen tahun 2019 sebesar 10,,68 hektare.

Tahun ini petani juga sedang menanti panen beras. Meski demikian pemerintah berencana impor beras sebanyak 1-1,5 juta ton. Menurut Menko Perekonomian hal ini dilakukan untuk menjaga ketersediaan beras agar harga tetap terkendali. Sedangkan menurut Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, kebijakan impor beras dilakukan untuk menambah cadangan atau iron stock untuk Bulog. Impor beras tidak akan menggangu penjualan hasil panen petani, demikian penjelasannya.

Memang selama ini kebijakan impor selalu dilakukan pemerintah untuk menambah jumlah pasokan barang. Bukan hanya beras, pemerintah membuka keran impor gula, daging sapi, bahkan garam. Tiap tahun kebijakan impor selalu diambil, seolah tidak ada lagi solusi lainnya. Impor menjadi kebijakan instan bagi negara kapitalis.

Padahal impor akan membebani APBN negara. Impor bahan pangan yang tidak tepat juga akan mematikan ekonomi petani. Kebijakan impor beras dan pangan lainnya akan membuat petani kehilangan kepercayaan diri. Jika impor beras terus dilakukan maka produksi beras yang tahun ini diprediksi naik bakal terhempas. Isu impor membuat harga beras dikalangan petani menurun.

Negara seolah tidak memberi dukungan penuh bagi produksi beras nasional. Negara selalu berdalih mencari pembenaran untuk memuluskan impor. Tidak mau bersusah payah agar produksi beras meningkat. Padahal ketergantungan pada impor akan memperlemah ketahanan pangan negara. Intervensi pihak luar terhadap kedaulatan negara juga rentan terjadi. Kapitalisasi bahan pangan makin terbuka lebar. Ini hanya menguntungkan sejumlah pihak terutama pengusaha/korporasi, namun merugikan petani.

Kebijakan yang tidak memihak rakyat ini tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi kapitalis liberal yang diterapkan negara. Yaitu sistem yang memfokuskan kegiatan perekonomian pada pasar bebas dan perdagangan bebas. Indonesia harus tunduk pada ketentuan ini karena terikat dengan WTO (World Trade Organization). Akibatnya produk dalam negeri harus bersaing dengan produk impor. Yang sering kali berakhir dengan gulung tikarnya produk lokal. Tidak ada proteksi negara terhadap nasib pengusaha atau petani kecil.

Islam adalah agama sekaligus ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Termasuk masalah ketahanan pangan. Dalam kondisi pandemi isu ketahanan pangan menjadi lebih penting. Jika ketahanan pangan hancur, maka bahan pangan akan langka. Kelaparan meluas dan berkepanjangan. Maka kedaulatan dan kemandirian pangan mutlak diwujudkan.

Islam memberikan konsep agar negara mampu merealisir swasembada pangan dan tidak menggantungkan pemenuhan pangan melalui impor. Konsep-konsep tersebut antara lain: 

Pertama. Kebijakan meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan dengan penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih baik. Negara akan menerapkan kebijakan pemberian subsidi sarana produksi pertanian. Petani diberi dukungan dan fasilitas baik berupa modal, benih, peralatan, teknik budaya, teknologi, riset, pemasaran dan lain-lain. Negara juga membangun infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi dan sebagainya sehingga distribusi lancar. Ekstensifikasi pertanian dilakukan dengan meningkatkan luas lahan pertanian. Juga mencegah alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian misalnya perumahan, perkantoran dan lain-lain. Jika hal itu terjadi negara harus mengembalikan fungsi awal lahan.

Kedua. Mekanisme pasar yang sehat. Negara melarang penimbunan, penipuan, monopoli dan praktik riba. Pengendalian harga dilakukan dengan mekanisme pasar melalui pengendalian supplai and demand. Bukan dengan pematokan harga.

Ketiga. Manajemen logistik. Negara akan memasok cadangan lebih saat panen raya. Jika ketersediaan pangan berkurang maka distribusi pangan dilakukan secara selektif.

Keempat. Pengaturan kebijakan ekspor impor. Kegiatan ini adalah perdagangan luar negeri. Ekspor boleh dilakukan jika seluruh rakyat telah terpenuhi kebutuhan pokoknya.
Negara juga boleh melakukan impor berdasarkan kebutuhan. Selain itu impor tidak boleh menjadikan negara bergantung pada negara lain. Impor juga tidak boleh membahayakan produk lokal.

Kelima. Mitigasi kerawanan pangan. Negara menetapkan kebijakan antisipasi jika terjadi bencana alam maupun wabah.

Selain menjaga proses produksi negara juga menjamin distribusi pangan agar seluruh rakyat dapat mengaksesnya dengan harga terjangkau. Pangan merupakan kebutuhan pokok rakyat. Menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya.

Rasulullah Muhammad Saw bersabda: "Pemimpin adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan mereka." (HR. Muslim)

Demikian pengaturan Islam terkait ketahanan dan kedaulatan pangan negara. Negara akan mampu menjadi mandiri jika Islam diterapkan secara sempurna dalam bingkai negara Islam yaitu khilafah. Wallahu a'lam bishawwab.[]

Oleh: Widiyarti

Posting Komentar

0 Komentar