Doa Semua Agama, Wujud Toleransi Kebablasan Demokrasi



TintaSiyasi.com-- Awalnya Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas senang mendengar bacaan Al-Qur'an saat sambutan dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kemenag, Senin (5/4). Tapi, tiba-tiba Menag melontarkan keinginannya supaya doa selain Islam dibacakan saat ada acara di Kemenag. 

"Pagi hari ini saya senang Rakernas dimulai dengan pembacaan ayat suci Alquran. Ini memberikan pencerahan sekaligus penyegaran untuk kita semua, tapi akan lebih indah lagi jika doanya semua agama diberikan kesempatan untuk memulai doa," ujar Yaqut dikutip dari CNN Indonesia, Senin (5/4/2021).

Cukup aneh, sebagai seorang Muslim, Menag mengatakan, pembacaan doa dengan cara agama Islam seakan Rakernas Kemenag seperti acara ormas keagamaan Islam. Dengan dalil, kementerian yang ia pimpin melayani seluruh agama di Indonesia, bukan hanya agama Islam. Seolah ia ingin permintaannya diamini.

"Jadi, jangan kesannya kita sedang rapat ormas Islam Kemenag, tidak. Kita ini sedang Rakernas Kemenag yang di dalamnya bukan hanya urusan agama Islam saja," jelas Menag.

Ia menambahkan, jika banyak doa dari berbagai agama, dapat mempercepat terkabulnya doa. "Semakin banyak yang doa, probabilita untuk dikabulkan itu semakin tinggi," tambah Menag. Sungguh pemahaman yang keliru, karena Menag seolah menganggap semua agama kedudukannya sama. Padahal, tidak demikian dalam pandangan Islam.

Menurut Yaqut, hal itu merupakan otokritik untuk seluruh jajaran di Kemenag supaya memberikan contoh moderasi beragama bagi seluruh masyarakat Indonesia. Padahal, di balik isu moderasi selalu diboncengi kepentingan sekularisasi umat Islam dan arahnya bermuara menjauhkan Muslim dari agamanya.


Mengungkap Motif Menag di Balik Wacana Pembacaan Doa Semua Agama

Baru Senin kemarin Menag mewacanakan doa semua agama dibacakan. Selasa (6/4/2021), Menag kembali mengkonfirmasi, doa semua agama dibacakan hanya untuk forum di bawah Kemenag saja.

"Saya ulang ya, ini untuk forum internal sebesar rakernas di Kemenag. Tidak untuk acara-acara formal di luar itu. Apalagi acara-acara kenegaraan," kata Yaqut dalam keterangan tertulis kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/4).

Sebelumnya, Waketum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mengkritik keras ide Yaqut itu. "Menteri Agama ini kurang ngerti tentang toleransi. Toleransi itu baru punya arti, baru punya makna (jika berada) di tengah-tengah perbedaan dan kita menghargai perbedaan itu," ucap Anwar dikutip dari detik.com, Selasa (6/4/2011).

"Itu namanya Menteri yang menurut saya kehilangan akal, terlalu diobsesi oleh persatuan dan kesatuan. Persatuan dan kesatuan itu tidak rusak oleh keberbedaan," sambung Abbas. 

Untuk diketahui, pada Musyawarah Nasional MUI ke-VII tahun 2005, MUI menetapkan fatwa tentang doa bersama yang tertuang dalam Fatwa MUI Nomor 3/MUNAS VII/MUI/7/2005 tentang Doa Bersama. Dalam keputusan fatwa yang ditandatangani oleh KH Ma’ruf Amin tersebut disebutkan, doa bersama dalam bentuk, "Setiap pemuka agama berdoa secara bergiliran," maka orang Islam haram mengikuti dan mengamini doa yang dipimpin non-muslim.

Pro kontra doa bersama sudah terjadi sejak dulu. Tetapi, dengan tegas MUI melarang hal tersebut. Maka aneh, jika hal itu diwacanakan kembali. Apalagi dengan dalih moderasi agama. Narasi moderasi agama kerap dijadikan dalil pengebirian ajaran dan penghapusan ajaran Islam. Padahal, cukup jelas sekali, di balik moderasi beragama ada upaya sekularisasi nyata terhadap umat Islam. 

Jika mencermati lebih dalam di balik wacana pembacaan doa semua agama, yaitu sebagai berikut. Pertama, patut diduga ada upaya sinkretisme di balik wacana doa semua agama. Sinkretisme adalah suatu proses perpaduan yang sangat beragam dari beberapa pemahaman kepercayaan atau aliran-aliran agama. 

Pada sinkretisme terjadi proses pencampuradukkan berbagai unsur aliran atau paham, sehingga hasil yang didapat dalam bentuk abstrak yang berbeda untuk mencari keserasian dan keseimbangan. Jelas, dalam pandangan Islam, hal itu keliru dan tidak dibenarkan oleh Islam. Islam adalah agama yang benar, tidak boleh mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan. 

Kedua, jika Menag menjadikan alasan moderasi sebagai bentuk ketidakberdayaan. Hal itu, menunjukkan, pemerintah mengikuti lingkaran setan yang diagendakan Barat dalam mewacanakan Islam moderat. Yaitu, Islam yang mau menerima budaya dan nilai-nilai kufur yang selama ini Barat emban.

Mengapa disebut lingkaran setan, karena semakin mengikuti arus moderasi, umat Islam akan semakin terjauh dari ajaran Islam. Bahkan, bisa menanggalkan agamanya. Ini jelas berbahaya, karena Islam mengajarkan kita untuk takwa secara kafah. 

Ketiga, bentuk islamofobia radikal. Atas dasar apa negeri mayoritas Muslim, tiba-tiba tidak percaya diri, jika ajaran Islam memimpin dalam doa acara pemerintahan. Apalagi yang menyatakan seorang Muslim. Ini ironis sekali, seolah umat Islam terpenjara oleh tirani minoritas.

Keempat, ada upaya kampanye pluralisme agama. Yaitu, anggapan semua agama benar dan akan masuk surga. Negeri ini memang plural (beragam), tetapi tidak boleh mewacanakan pluralisme. Karena, setiap agama memiliki keyakinan masing-masing. 

Apalagi, dalam Islam, harus meyakini, Islam adalah agama yang benar dengan menafikan segala agama yang bukan Islam. Ini ajaran Islam, seharusnya dihargai, sebagaimana Islam juga menghargai agama lain. Jangan membuat Islam menjadi agama terpojok, ketika berusaha untuk taat, malah dituduh intoleran.

Harapannya, doa semua agama ini dihentikan. Jangan jadikan dalil toleransi atau moderasi untuk mendiskreditkan Islam. Karena, ini bisa merusak akidah umat Islam dan memaksa umat Islam untuk menerima hal-hal yang bertentangan dengan agamanya. Padahal, seharusnya pemerintah memberi perlindungan ibadah kepada umat Islam sebagai umat mayoritas, bukan semakin memojokkan dengan mengebiri ajarannya.


Dampak Umat Islam terhadap Wacana Doa Semua Agama

Semakin ke sini Menag seolah menunjukkan ketidakberpihakan kepada umat Islam. Pasalnya, masalah doa yang biasa dipimpin dengan Islam, akan direvisi menjadi banyak doa dari semua agama. Anggota Komisi VIII DPR RI, Bukhori Yusuf angkat bicara. Bukhori mengaku tak memahami logika hukum yang dipakai Menag Yaqut. "Apa yang salah jika dalam komunitas keagamaan yang majemuk, kemudian pemeluk agama mayoritas yang memimpin doa?" ujar dia dalam keterangannya, Selasa (6/4/2021) dikutip dari laman SindoNews. 

Wajar, jika muncul anggapan, Menag ingin mencampuradukkan Islam dengan agama lain. Jelas, ini hal keliru dan akan berdampak buruk untuk umat Islam. Terlebih menggunakan dalil toleransi demi terwujudnya wacana doa semua agama. Berikut paparan dampak wacana tersebut. 

Pertama, hal itu berpotensi mendangkalkan akidah umat Islam. Dalam Islam telah diajarkan meyakini Allah SWT dan tidak boleh menyekutukan-Nya. Selain itu, meyakini secara pasti, Islam adalah agama yang benar dan hanya Islam yang mampu antarkan ke surga. Begitu juga dengan berdoa, doa adalah otaknya ibadah. Berdoa haruslah meminta kepada Allah SWT saja, bukan kepada Tuhan dari selain-Nya. Maka, wajar jika umat Islam tidak boleh atau dilarang mengikuti doa semua agama atau doa lintas agama.

Kedua, mengatakan doa semua agama demi toleransi adalah bentuk penyesatan opini yang akan membingungkan umat. Pasalnya, toleransi adalah menghormati dan menghargai agama lain, begitu juga sebaliknya. Agama lain menghormati dan menghargai agama Islam. Tetapi, doa semua agama ini, seolah memaksa umat untuk mengamini dan mengikuti doa-doa dari agama lain dengan dalih toleransi. Ini namanya toleransi kebablasan dan menyesatkan. 

Apalagi doa semua agama ini diwacanakan oleh pemilik kekuasaan, yaitu negara, otomatis memaksa umat Islam untuk menggunakan doa semua agama tersebut. Justru ini bentuk penyesatan yang nyata. Karena, negara tidak menghormati dan menghargai agama Islam yang melarang umatnya untuk mengikuti doa selain dari Islam. Tak sepatutnya, Menag mewacanakan doa semua agama itu.

Ketiga, mejauhkan umat Islam dari agamanya akibat sekularisasi wacana tersebut. Akibat sistem aturan yang sekuler membuat umat makin jauh dari agamanya. Padahal, sebagai negara yang katanya melindungi kebebasan HAM, sangat disesalkan mengeluarkan wacana doa semua agama.

Inilah buah dari sistem sekulerisme kapitalisme, lahir aturan-aturan yang bertentangan dengan Islam. Selain itu, akibat kebebasan dan demokrasi telah memaksa umat untuk meninggalkan ajaran Islam sedikit demi sedikit.

Selain itu, demokrasi sekuler terbukti gagal menjaga akidah umat Islam. Seharusnya ini menyadarkan umat Islam, demokrasi tidak patut dijadikan pengatur urusan umat. Yang pantas mengatur umat Islam dan mampu menjaga akidah umat adalah sistem Islam. Yaitu, sistem yang dibangun berlandaskan akidah Islam dan mampu menerapkan syariat dalam segala aspek kehidupan. Tidak lain, sistem itu adalah khilafah yang sudah dicontohkan dan diwariskan Nabi Muhammad Saw.


Pandangan Islam dan Strategi Islam tentang Doa

Semua manusia pasti hidupnya punya harapan, cita-cita, target dan sejenisnya. Selain diupayakan terwujudnya dalam sebuah ikhtiar atau usaha, biasanya selalu beriringan dengan lafal-lafal tertentu yang ditujukan kepada Zat yang diyakininya sebagai Zat yang Maha segalanya termasuk yang bisa diharapkan mengabulkan permintaannya. Hal inilah yang dikenal dengan doa. Sebuah aktivitas sebagai perwujudan dari naluri  mensucikan sesuatu (ghorizatut tadayun) yang fitrah dimiliki oleh setiap manusia.

Islam sebagai ajaran agama dari Zat yang Maha Mengetahui fitrah manusia, juga telah mensyariatkan perihal doa. Dalam kitab pilar-pilar pengokoh nafsiyah disebutkan beberapa padangan Islam berkaitan dengan hal tersebut. Pertama, doa merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT sebagaimana perintahnya dalam Q.S Al Ghafir: 60 yang berlafaz “ud’unii astajib lakum” yang bermakna “berdoalah kepadaku nisya akan aku kabulkan bagimu. Berdoa hukumnya sunah yang sangat dicintai oleh Allah SWT. Dalam sebuah hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh at Tirmidzi dari Nu’man bin Basyir juga dinyatakan bahwa doa adalah “mukhul ibadah” yang bermakna inti dari ibadah. 

Kedua, bagi orang-orang yang berdoa harus disertai dengan mengikuti syariat Allah SWT dan Rasul&Nya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dinyatakan bahwa “Ia berdoa kepada Allah SWT, tetapi makan dan minumannya dari barang yang diharamkan, maka bagaimana mungkin dia akan dikabulkan doanya. 

Terkait dengan mustajabnya doa memang tidak harus beriringan sepenuhnya dengan keinginan. Dalam kitab adab al mufrod dikatakan bahwa terkabulnya doa tidak mesti harus terwujud di dunia. Doa kadang bisa dikabulkan di dunia kadang juga Alloh akan menyimpannya di akhirat kelak. Dan di akhirat itu akan ada pahala yang sangat besar dan banyak. Atau jika tidak demikian maka Alloh SWT akan mengabulkannya dalam bentuk memalingkan dirinya dari keburukan sesuai dengan kadar doanya. Dengan demikian, maka kita harus terus berdoa meskipun mustajabnya bisa langsung di dunia atau dikabulkan di akhirat atau dalam bentuk dijauhkan dari mara bahaya. 

Perihal mustajabnya doa, ada banyak hadis Nabi Saw yang menunjukkan kapan dan di mana tempat yang tepat untuk bisa dikabulkannya doa oleh Allah SWT. Hal ini sekali lagi menunjukkan betapa Islam sangat memperhatikan ibadah ini yang barang tentu tidak selengkap perhatiannya dalam ajaran agama lain. Waktu yang utama dalam berdoa adalah saat sujud, di tengah malam dan saat setelah shalat wajib. 

Sebagaimana hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menyatakan, “posisi hamba yang paling dekat dari Rab-Nya ialah pada saat sujud, maka perbanyaklah doa”. Dalam riwayat at Tirmidzi, Abu Umamah pernah bertanya  kepada Rasulullah Saw: doa manakah yang paling di dengar oleh Allah SWT? Maka Rasulullah Saw menjawab: “jauful lail, wa duburis sholawatil maktubah” (doa di tengah malam dan setelah sholat wajib). 

Doa pada bulan Ramadhan juga memiliki keutamaan dan pahala yang sangat besar. Rasulullah Saw dalam hadis yang diriwayatkan oleh at Tirmidzi menyebutkan, ada tiga golongan yang doanya tidak akan ditolak yaitu orang yang shaum (puasa) hingga berbuka, imam atau pemimpin yang adil dan orang yang dizalimi. Allah SWT akan mengangkat doanya dan akan dibukakan baginya pintu-pintu langit.

Ketiga, berdoa tanpa meninggalkan hukum kausalitas. Sebagai contoh terbaik dalam perkara ini adalah apa yang diteladankan oleh baginda Rasulullah Saw. Pada saat perang Badar, tatkala persiapan menuju perang, Rasulullah Saw masuk ke dalam bangsalnya dan berdoa kepada Allah SWT meminta pertolongan-Nya. Begitu khusyu’ dan lamanya beliau berdoa sampai-sampai Abu Bakar r.a berujar: “Wahai Rasulullah! sebagian doamu telah cukup”. Di satu sisi beliau berdoa dengan penuh harap di sisi lain untuk meraih harapan yang beliau inginkan, Rasulullah Saw tetap melaksanakan kaidah kausalitas (sebab akibat ikhtiar manusia) yaitu menyiapkan pasukan, mengaturnya di tempat masing-masing dan menyiapkan strategi yang terbaik termasuk salah satunya adalah strategi untuk dekat dengan sumber mata air. 

Demikianlah sekelumit perhatian Islam terhadap doa sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT. Meskipun, tata cara berdoa tidak sama seperti tata cara ibadah lain seperti shalat dan berhaji yang harus sama persis dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Namun, khusus dalam hal berdoa bersama lintas agama yang hari ini menjadi hangat lagi kontroversinya termasuk di Kemenag, maka layak sekali kalau mempertimbangkan kembali Fatwa MUI  2005 tentang doa lintas agama yang saat itu diketuai oleh KH Ma’ruf Amin.

Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa doa dalam sebuah forum umum yang dipimpin oleh seorang Muslim, maka hukumnya mubah. Sementara doa bergantian dari berbagai pemimpin agama dalam sebuah forum umum maka hal tersebut termasuk bid’ah dan haram orang Islam mengikutinya. Termasuk haram mengamini doa dari orang non Muslim.


Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama. Jika mencermati lebih dalam di balik wacana pembacaan doa semua agama, yaitu sebagai berikut. Pertama, patut diduga ada upaya sinkretisme di balik wacana doa semua agama. Kedua, jika alasan doa semua agama karena moderasi, menunjukkan pemerintah mengikuti lingkaran setan yang diagendakan Barat dalam mewacanakan Islam moderat. Ketiga, bentuk Islamofobia radikal. Keempat, ada upaya kampanye pluralisme agama. Padahal, hal itu tidak dibenarkan dalam Islam. Sebagai Muslim, haruslah meyakini hanya Islam agama yang benar, bukan menganggap semua agama benar.

Kedua. Akibat doa semua agama, berpotensi mendangkalkan akidah umat Islam, menyesatkan opini dengan dalil toleransi, menjauhkan umat Islam dari agamanya. Inilah buah dari sistem sekulerisme kapitalisme, lahir aturan-aturan yang bertentangan dengan Islam. Selain itu, akibat kebebasan dan demokrasi telah memaksa umat untuk meninggalkan ajaran Islam sedikit demi sedikit.

Ketiga. Meskipun, tata cara berdoa tidak sama seperti tata cara ibadah lain seperti shalat dan berhaji yang harus sama persis dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Namun, khusus dalam hal berdoa bersama lintas agama yang hari ini menjadi hangat lagi kontroversinya termasuk di Kemenag, maka layak sekali kalau mempertimbangkan kembali Fatwa MUI  2005 tentang doa lintas agama yang saat itu diketuai oleh KH Ma’ruf Amin. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa doa dalam sebuah forum umum yang dipimpin oleh seorang Muslim, maka hukumnya mubah. Sementara doa bergantian dari berbagai pemimpin agama dalam sebuah forum umum maka hal tersebut termasuk bid’ah dan haram orang Islam mengikutinya. Termasuk haram mengamini doa dari orang non Muslim.[]


Oleh:Ika Mawarningtyas
Analis Muslimah Voice dan Dosen Online 4.0 Uniol Diponorogo

#Lamrad
#LiveOpperresedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar