Ciptaker Hapus Limbah Batu Bara dari Daftar Limbah Berbahaya


Undang-Undang Cipta Kerja dinilai bisa menimbulkan dampak buruk terhadap terhadap lingkungan dan pertanian. "Dampak UU Ciptaker terhadap lingkungan cukup mengkhawatirkan," kata Guru Besar Institut Pertanian Bogor Hermanto Siregar, saat dihubungi, Rabu (7/10). Menurutnya dengan prosedur amdal yang eksisting dan relatif ketat saja banyak terjadi pencemaran lingkungan. Apalagi jika dipermudah seperti yang tercantum di dalam UU Ciptaker. 
Turunan UU Ciptaker, limbah batu bara dikeluarkan dari kategori berbahaya merupakan usulan pengusaha. Pemerintah mengeluarkan limbah batu bara dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. PP tersebut adalah aturan turunan dari Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Pemerintah menghapus Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari daftar jenis limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Kategori FABA ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Limbah ini merupakan jenis limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap PLTU, boiler, dan tungku industri untuk bahan baku atau keperluan sektor konstruksi.

Pada Pasal 458 (3) Huruf C PP 22/2021, dijelaskan bahwa FABA dari kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan kegiatan lainnya kini dikategorikan sebagai limbah non-B3. "Pemanfaatan limbah non-B3 sebagai bahan baku yaitu khusus seperti fly ash batubara dari kegiatan PLTU dengan teknologi boiler minimal CFB (Ciraiating Fluidized Bed) dimanfaatkan sebagai bahan baku kontruksi pengganti semen pozzolan," demikian dikutip dari peraturan lama tersebut.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Apindo, Haryadi B Sukamdani menyebut bahwa sebanyak 16 Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sepakat mengusulkan penghapusan Fly Ash and Bottom Ash (FABA) dari kategori limbah berbahaya. Mereka berargumen bahwa beberapa hasil uji menyatakan FABA bukan limbah B3.  Selain itu, FABA juga telah dimanfaatkan sebagai material konstruksi untuk campuran semen dalam pembangunan jalan, jembatan, dan timbunan, reklamasi bekas tambang, serta untuk sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (merdeka.com, 15/3/2021).

Sebelumnya, usulan mengeluarkan FABA atau limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batubara pada PLTU, boiler dan tungku industri dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) datang dari Apindo. Sisa pembakaran PLTU sempat menjadi sorotan karena dianggap sebagai salah satu penyebab polusi udara di Jakarta. 

LSM Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyoroti dalam keterangan tertulisnya, Jumat (12/3/2021). ICEL mencatat upaya untuk menyederhanakan ketentuan pengelolaan abu batubara tidak terjadi sekali ini. Berdasarkan catatan ICEL, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK No.10 Tahun 2020, yang memberikan penyederhanaan prosedur uji karakteristik Limbah B3.

ICEL mengingatkan bahwa dihapusnya FABA dari daftar limbah B3 bisa memicu resiko pencemaran. Abu batubara bisa dimanfaatkan tanpa diketahui potensinya pencemarannya. "Dengan statusnya sebagai limbah non B3, kini abu batubara tidak perlu diuji terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan. Artinya, terdapat risiko dimana abu batubara dimanfaatkan tanpa kita ketahui potensi pencemarannya," tulis ICEL. Dalam keterangannya. ICEL juga menyoroti ancaman berbahaya bagi kesehatan warga yang dekat dengan PLTU karena beracun.
"Bentuk pelonggaran regulasi pengelolaan abu batubara ini memberikan ancaman bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Hingga saat ini, studi membuktikan bahwa bahan beracun dan berbahaya yang ditemukan dalam abu batubara dapat merusak setiap organ utama dalam tubuh manusia," jelas ICEL. Berdasarkan ancaman tersebut, ICEL mendorong pemerintah untuk mencabut pelonggaran aturan pengelolaan limbah batu bara ini.

Pakar lingkungan dari Universitas Indonesia Tarsoen Waryono menyampaikan dampak negatif limbah tersebut, seperti gatal pada kulit manusia, serta berbahaya terhadap organ pernapasan jika terhirup. Sebab, salah satu jenis limbah FABA berbentuk partikel debu halus. Tarsoen pun menganggap pemerintah tidak etis menjadikan limbah yang mematikan ini menjadi kategori limbah tidak berbahaya (cnnindonesia.com, 17/3/2021).

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah sampai mengusulkan Presiden dan jajarannya untuk berkantor di dekat PLTU batu bara sebagai sindiran. Diketahui, warga yang tinggal di sekitarnya mengalami sesak napas, bahkan paru-parunya ada yang bolong. Sebanyak 14 orang meninggal dunia akibat FABA yang ditimbulkan PLTU Batu Bara di Palu. Mayoritas meninggal karena kanker nasofaring, paru-paru hitam, dan kanker paru-paru (bbc.com, 12/3/2021).

Berbagai kalangan, dari pakar lingkungan, aktivis lingkungan, hingga masyarakat yang tinggal di daerah sekitar PLTU mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut kembali PP penghapusan FABA dari kategori limbah B3. Alasannya, selain karena banyaknya penelitian mengenai bahaya limbah tersebut, juga diduga kuat ada tekanan dari para pengusaha batu bara yang ingin melepas tanggung jawabnya untuk mengelola limbah tersebut.

Dikeluarkannya limbah batu bara (FABA) dari golongan limbah bahan berbahaya beracun (B3) melalui PP No. 22 Tahun 2021, menurut Aktivis 98 Agung Wisnuwardana, bukan hanya menguntungkan investor tapi juga membahayakan rakyat dan lingkungan. Ini sangat berbahaya sekali buat lingkungan, ujungnya akan membahayakan rakyat secara keseluruhan dan hanya menguntungkan segelintir para investor yang menanamkan modal di sektor ini (Mediaumat.news, 13/3/2021).

Agung memandang, limbah yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) ini ketika masih digolongkan sebagai limbah B3 saja banyak industri yang melakukan pelanggaran, apalagi ini tidak dimasukkan kategori limbah B3. Akibatnya, kata Agung, menjadikan pihak industri semakin mudah membuang limbah ini. Jika dibiarkan membuang limbah ini tanpa diolah terlebih dahulu, maka akan membahayakan manusia dan merusak lingkungan.

Ujungnya rakyat yang dirugikan, tapi investor senang sebab tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mengolah limbah ini menjadi limbah yang tidak berbahaya, dan keuntungan pun semakin besar, bebernya. Agung membeberkan, ternyata yang dikeluarkan dari golongan limbah B3 tidak hanya limbah batu bara saja. Tapi limbah penyulingan kelapa sawit, limbah nikel, dan limbah besi baja ikut dihilangkan juga dari golongan B3. Ini tentu mengakibatkan kerusakan lingkungan akan semakin parah.
Agung menyebut, dikeluarkannya peraturan pemerintah ini sebenarnya tidak terlalu mengagetkan, sebab ini merupakan turunan dari UU Omnibus Law yang membuka investasi besar-besaran (khususnya investasi asing) di Indonesia. Dan untuk menarik investasi masuk ke Indonesia, maka diberikanlah kemudahan-kemudahan antara lain adalah reduksi lingkungan hidup dan upah buruh murah, ungkapnya. Ia menilai, ini dilakukan karena Indonesia sejak merdeka para penguasanya membangun negeri ini dengan basis pajak, utang dan investasi asing.

Inilah pola pembangunan dengan paradigma kapitalisme liberal yang sudah terbukti membuat kerusakan lingkungan, kesenjangan ekonomi semakin tajam dan kerusakan di berbagai bidang kehidupan, tegasnya. Berbeda dengan Khilafah, kata Agung, sistem pemerintahan Islam yang berfungsi menerapkan syariat Islam secara total tersebut menjamin keseimbangan ekonomi dan lingkungan hidup. Poinnya adalah melaksanakan pilar syariat Islam baik dari konteks individu, konteks komunitas, maupun konteks negara, pungkasnya.
Inilah konsekuensi diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme. Kebebasan kepemilikan menjadikan aset milik umat sah diprivatisasi swasta. Padahal, semua itu adalah aset yang seharusnya dikelola negara dan hasilnya diperuntukkan bagi kemaslahatan umat. Ketika kepemilikan sudah di tangan pengusaha, profit menjadi satu-satunya tujuan. Kerakusan korporasi tak pernah berbelas kasih. Mereka tak akan peduli masyarakat sekitar yang terkena dampak.

Semakin memprihatinkan kala pemerintah hanya bertugas sebagai satpam korporasi. Mereka menjaga korporasi agar tetap aman beroperasi di tengah teriakan warga yang kini hidup sengsara. Argumen bahwa pengelolaan SDA oleh asing akan profesional sehingga dapat menciptakan lapangan kerja bagi rakyat sekitar, hanyalah omong kosong yang menyakitkan. Rakyat hanya dijadikan sebagai buruh kasar dengan upah rendah yang tak layak hidup sejahtera.

Bukan hanya rakyat yang menderita, alam pun porak-poranda. Limbah industri telah nyata merusak ekosistem lingkungan. Sungai yang tercemar dan udara yang pekat abu, menjadikan alam ini pun menjerit kesakitan. Bahkan hewan-hewan pun tak hidup dalam ketenangan karena udara sejuknya telah dirampas. PLTU batu bara merupakan salah satu kontributor utama terburuk yang bertanggung jawab atas hampir (46%) dari emisi karbon dioksida dunia. 

Semua ini mengakibatkan bencana alam seperti banjir bandang, longsor, kekeringan, cuaca, dan gelombang ekstrem, abrasi, serta kebakaran hutan dan lahan. Sungguh, bergemingnya penguasa atas ulah korporasi multinasional yang merusak lingkungan dan merugikan rakyat adalah konsekuensi logis diterapkannya sistem demokrasi kapitalisme. Keberadaan mereka serupa petugas yang bertugas melindungi kepentingan korporasi dengan menerbitkan paket kebijakan yang menzalimi umat.

Berbeda 180 derajat dengan industri ala kapitalisme yang fokus pada keuntungan pemilik modal, industri dalam Islam ada semata untuk kemaslahatan umat manusia. Keberadaan penambangan misalnya, semata untuk kemaslahatan manusia. Penguasa wajib menghindarkan rakyatnya dari mudarat, termasuk limbah berbahaya.

Karena fungsi penguasa adalah pelindung umat dari segala macam bahaya dan pengurus umat dari segala macam kebutuhannya, maka Islam sangat memperhatikan keselamatan manusia dan memperhatikan kesejahteraannya. Demikian juga, Islam sangat memperhatikan lingkungan tempat masyarakat tinggal.

Syariat pun telah melarang kita untuk merusak lingkungan, termasuk industri yang menghasilkan limbah berbahaya bagi kehidupan. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik (QS Al Araf: 56).

Sungguh nahas hidup tanpa hadirnya Islam sebagai solusi. Sistem demokrasi kapitalisme yang menjadi solusi hari ini, hanya akan menghadirkan mudarat bagi negeri. Tak ada alternatif lain selain segera menggantinya dengan sistem khilafah, agar umat kembali menemui kehidupan fitrahnya. Begitu pun bumi tempat manusia hidup, akan terjaga dari kerusakan atas nama keserakahan.[]

Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.PdI
(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Remaja)

Posting Komentar

0 Komentar