Ubah FABA Jadi Limbah Non B3: Inikah Sikap Abai Pemerintah Terhadap Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat?

Pemerintah menuai kritik usai mencabut limbah batu bara jenis Fly Ash Bottom Ash (FABA) hasil aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Dilansir dari CNN (16/03/2021), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berpotensi melonggarkan kesempatan korporasi melanggar aturan pengelolaan limbah. 

Sebelumnya, usulan mengeluarkan Fly Ash and Bottom Ash (FABA) atau limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batubara pada PLTU, boiler, dan tungku industri dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) disuarakan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Apindo Haryadi B Sukamdani menyebut sebanyak 16 asosiasi di Apindo sepakat mengusulkan penghapusan FABA. Mereka berargumen bahwa berdasarkan hasil uji menyatakan FABA bukan limbah B3.

Padahal faktanya, limbah FABA telah terbukti mencemari lingkungan, merusak ekosistem dan menimbulkan penyakit bahkan korban jiwa karena di dalamnya masih terkandung  unsur-unsur kimia yang berbahaya bagi kesehatan. Begitulah,  sistem kapitalisme memandang kesehatan masyarakat bukanlah sebagai prioritas utama. Yang menjadi  tujuannya adalah bagaimana para kapitalis mengeruk keuntungan materi yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan akibat yang ditimbulkan.

Berbeda dengan Islam. Dalam Islam jaminan kesehatan itu wajib diberikan oleh Negara kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani, apalagi memaksa rakyat mengeluarkan uang.


FABA Jadi Limbah Non B3 Atas Permintaan Oligarki

Pemerintah telah menerbitkan aturan yang mengeluarkan limbah batu bara dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Beleid itu adalah  Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Adapun yang dikeluarkan dari kategori Limbah B3 itu adalah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) atau limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap PLTU, boiler, dan tungku industri untuk bahan baku atau keperluan sektor konstruksi.

PP tersebut adalah aturan turunan dari Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). PP 22/2021 itu sendiri diteken Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pada 2 Februari 2021 untuk menggantikan PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Pada Pasal 458 (3) Huruf C PP 22/2021, dijelaskan bahwa fly ash batu bara  (FABA) dari kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan kegiatan lainnya tak termasuk sebagai limbah B3. Melainkan, nonB3.

"Pemanfaatan limbah nonB3 sebagai bahan baku yaitu pemanfaatan Limbah nonB3 khusus seperti fly ash batubara dari kegiatan PLTU dengan teknologi boiler minimal CFB (Ciraiating Fluidized Bed) dimanfaatkan sebagai bahan baku kontruksi pengganti semen pozzolan," demikian bunyi pasal terkait.

Sementara, pada Pasal 54 Ayat 1 Huruf a PP 101/2014 dinyatakan bahwa debu batu bara dari kegiatan PLTU dikategorikan sebagai limbah B3.

"Contoh Pemanfaatan Limbah B3 sebagai substitusi bahan baku antara lain Pemanfaatan Limbah B3 fly ash dari proses pembakaran batu bara pada kegiatan PLTU yang dimanfaatkan sebagai substitusi bahan baku alumina silika pada industri semen," jelas beleid yang kini tak berlaku lagi dengan terbitnya PP 22/2021.

Ada beberapa alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut antara lain:

Pertama.Permintaan Para Kapitalis 

Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani, menyambut baik keputusan pemerintah yang mengeluarkan FABA dari kategori limbah B3. Menurutnya, FABA dari kajian akademik itu bukan B3, malah bisa didaur ulang dan mempunyai nilai ekonomi. Bukan sekadar ditimbang lalu ditumpuk menjadi hamparan yang akan mencemari tanah dan menimbulkan  masalah baru.

Hariyadi menjelaskan bahwa negara lain juga ulang FABA untuk dijadikan bahan bangunan dan konstruksi. Ia tidak tahu kalau ada aktivis lingkungan yang mempersalahkan itu. Menurutnya, di negara lain justru diolah dan menjadi berfungsi karena punya nilai komersil.

Pertengahan tahun lalu, 16 asosiasi di Apindo mengusulkan penghapusan abu batu bara dari daftar limbah B3. Industri Indonesia menghasilkan FABA sebanyak 10-15 juta ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan hanya 0%-0,96% untuk pemanfaatan fly ash dan 0,05%-1,98% untuk pemanfaatan bottom ash.

Begitulah cara pandang kapitalis terhadap suatu benda. Mereka hanya melihat nilai komersil dan keuntungan yang bisa diraih dari benda tersebut, tanpa memperdulikan bahaya dan kerugian yang bisa berdampak bagi orang lain.

Kedua.Pemerintah Dorong Pemanfaatan FABA

Deputi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan, Nani Hendiarti, mengatakan pemerintah mendorong pemanfaatan limbah FABA untuk berbagai keperluan namun harus tetap menerapkan prinsip kehati-hatian. Menurutnya, sebelum terbitnya PP 22 Tahun 2021, Kemenko Marves telah mendorong adanya revisi Permen LHK Nomor 10 tahun 2020 tentang Uji Karakteristik Limbah B3 untuk mengakomodasi penyederhanaan prosedur uji limbah FABA agar bisa dikecualikan dari status B3. 

Ini sebenarnya sudah dibahas secara detail dan sudah diakomodir upaya pengecualian FABA sebagai B3 dan dapat memanfaatkan FABA sambil menunggu hasil uji karakteristik toksikologi sub kronis yang memerlukan waktu cukup lama. Dengan regulasi ini, PLTU yang banyak menghasilkan FABA sudah bisa begerak cepat dalam menyiapkan skenario dan peta jalan pemanfaatannya.

Dalam acara yang sama, penasihat khusus Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Yohanes Surya mengatakan dengan keputusan itu maka bisa menurunkan biaya produksi listrik dan mendapatkan keuntungan dari pemanfaatanya. 

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan KESDM pada tahun 2018, proyeksi kebutuhan batu bara hingga 2027 sebesar 162 juta ton. Prediksi potensi FABA yang dihasilkan sebesar 16,2 juta ton, dengan asumsi 10% dari pemakaian batubara. Cara penanganan limbah abu batu bara hingga saat ini masih terbatas pada penimbunan lahan sehingga jika tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan pencemaran.

Aplikasi pemanfaatan FABA yang sudah diterapkan di lapangan sebagian besar terkait dengan bidang konstruksi dan infrastruktur. PLTU Paiton 1-2, PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) telah memanfaatkan 100 persen fly ash sebagai green pozzolan untuk material pembangunan jalan tol Manado - Bitung, di Provinsi Sulawesi Utara. PLTU Asam Asam memanfaatkan FABA sebagai lapisan jalan dalam pembuatan akses jalan. PLTU Suralaya memanfaatkan FABA sebagai bahan baku batako dan bahan baku di industri semen.

Kebijakan pemerintah yang sejalan dengan permintaan para kapitalis ini menunjukkan dugaan kuat adanya kongkalikong antara rezim dan para kapitalis. Rezim seolah menjadi kepanjangan tangan dari para kapitalis sehingga membuat kebijakan yang lebih memihak kapitalis dan mengabaikan kritikan dari rakyat. Meskipun dampak yang ditimbulkan dari limbah ini sangat berbahaya, tapi nyatanya rezim menutup telinga dari semua itu.


Dampak Status FABA Menjadi Limbah Non B3

Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati dalam keterangannya pada Minggu (14/3/2021) berpendapat aturan ini bakal berdampak pada pertanggungjawaban korporasi dalam kasus pencemaran yang sesungguhnya sudah diatur dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Sementara Koordinator Nasional JATAM Merah Johansyah menyoroti kasus-kasus pelanggaran pengelolaan limbah industri yang sudah marak ditemukan, meskipun ketika limbah PLTU masih masuk kategori limbah B3. Waktu masih masuk kategori B3 saja ketaatan pengusaha, pebisnis batu bara, PLTU itu begitu rendah. Apalagi dari status B3 menjadi limbah biasa yang pengaturan pengurusannya jauh lebih longgar.

Kekhawatiran Merah itu bukan tanpa alasan. Merah mengatakan kasus pelanggaran pengelolaan limbah yang dilakukan PLTU milik PT Indominco Mandiri yang beroperasi di Desa Santan Tengah dan Desa Santan Ilir, Kecamatan Marangkayu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, sebagai salah satu contoh yang seharusnya dijadikan pelajaran.

Merah mengungkap pada 2017, JATAM turut mendampingi warga Desa Santan Tengah dan Desa Santan Ilir untuk menggugat PT Indominco Mandiri karena diduga melakukan pelanggaran pengelolaan limbah FABA. Warga bercerita limbah ditimbun hingga menumpuk di tempat yang tidak sesuai standar dan pengelolaan yang buruk, serta dekat pemukiman.

Berikut ini dampak yang ditimbulkan akibat limbah FABA:

Pertama.Terbukti Mencemari Lingkungan

Terbitnya PP 22/2021 yang mengeluarkan limbah batu bara dari limbah B3 itu dikritisi aktivis lingkungan. Salah satunya, lembaga yang fokus pada kampanye energi terbarukan, Trend Asia. Lewat kicauan di akun Twitter resminya, Trend Asia menyatakan keputusan pemerintah menghapus limbah batubara dari kategori limbah berbahaya dan beracun (B3) adalah keputusan bermasalah dan sebuah kabar sangat buruk bagi kelestarian lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat.

"Limbah batubara sangat berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat karena mengandung senyawa kimia seperti arsenik, timbal, merkuri, kromium, dsb. Karena itu, mayoritas negara di dunia masih mengkategorikan limbah batubara sebagai limbah berbahaya dan beracun," demikian kutipan utas di akun Twitter Trend Asia pada 10 Maret 2021.

Disamping itu, pengubahan limbah-limbah B3 menjadi limbah non-B3 secara keseluruhan tanpa melalui uji karakteristik setiap sumber limbah spesifik, menunjukkan pemerintah telah bertindak secara sembrono dan membebankan risiko kesehatan di pundak masyarakat. Padahal selama ini pemerintah belum berhasil melakukan pengawasan secara seksama, menegakkan hukum secara efektif, dan mengendalikan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak pada kesehatan masyarakat. 

Sebagai contoh, kasus pembuangan limbah FABA dan SBE di Panau, Sulawesi Tengah. Penimbunan FABA mengakibatkan masyarakat terkena dampak pencemaran dari abu batu bara yang ditimbun sembarangan. 

Kedua.Menimbulkan Berbagai Macam Penyakit bahkan Korban Jiwa

Dalam bagian penjelasan Pasal 459 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, abu hasil pembakaran batu bara dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan kegiatan lainnya tak termasuk sebagai limbah B3.

Padahal menurut Koordinator Jatam, Merah Johansyah, FABA memiliki beragam partikel beracun, mulai dari arsenik, merkuri, kromium dan logam berat lainnya. Dampaknya jika terbang di udara akan menganggu kesehatan pernafasan manusia yang menghirup, lalu kalau mengalir ke air akan merusak biota laut, sungai dan pesisir, dan air juga menjadi asam. Johansyah menjelaskan, saat FABA masuk dalam limbah B3 saja perusahaan telah abai, apalagi jika dikeluarkan. 

Ia mencontohkan, 14 orang meninggal dunia akibat FABA yang ditimbulkan PLTU batu bara di Palu. Mayoritas meninggal karena kanker nasofaring, paru-paru hitam, dan kanker paru-paru. Lalu di Kalimantan Timur, abunya masuk ke sumber air warga saat hujan, dan terbang masuk ke rumah saat musim kering. Perusahaan PLTU akan ugal-ugalan mengelola limbah, terjadi polusi di mana-mana, masyarakat sekitar sakit, dan perusahaan lepas tangan karena tidak termasuk B3 dan bukan tanggung jawab perusahaan. 

Jadi, alasan nilai ekonomis FABA menjadi bahan konstruksi dan bangunan seperti batako, dan semen itu hanyalah ilusi. Itu diciptakan untuk menyembunyikan kepentingan sesungguhnya, yaitu mengurangi biaya perusahaan yang besar dalam mengelola limbah dan melepas tanggung jawab sosial dan kesehatan ke masyarakat.

Alasannya adalah pertama, penggunaan FABA sangat berbahaya karena memiliki kandungan racun jika digunakan untuk bahan bangunan yang akan menguapkan saat musim kering. Kedua, jumlah FABA yang digunakan itu kecil presentasenya, karena harus dicampur pasir, air, dan unsur lain. Selama ini sudah dijalankan juga tapi tidak berhasil. Jadi ini hanyalah alasan dan ilusi pura-pura hijau dan peduli lingkungan.

Menurut Johansyah, jika FABA memiliki nilai ekonomis harusnya dikeluarkan regulasi yang memperkuat pemanfaatan, bukan malah mengeluarkannya dari kategori limbah B3. Jadi, sangat politis mementingkan pengusaha, investor dan oligarki batu bara, lalu tidak ilmiah alasannya serta menimbulkan beban lingkungan, kesehatan dan sosial.

Ia mengusulkan Pak Presiden dan juga yang di Istana, untuk berkantor di dekat PLTU batu bara dan mencoba menghirup abu batu bara. Apakah FABA itu bukan limbah B3? Lalu, melihat juga bagaimana masyarakat sekitar sesak nafas, dan paru-parunya ada yang bolong karena abu ini.

Senada dengan itu, peneliti dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Dwi Sawung mengatakan, keputusan ini merupakan "jalan pintas" yang diambil untuk melepaskan tanggung jawab pengolahan limbah FABA demi efisiensi biaya. Menurutnya, di aturan limbah B3 sudah jelas, dari pengelolan hingga pemanfaatan. FABA itu banyak unsurnya dan tidak bisa disamaratakan, ada tingkatannya. Jadi harus dites. FABA bisa dimanfaatkan tanpa perlu dikeluarkan dari B3 cuma perusahaan mau ambil jalan singkat dan murah.

Demikian dampak buruk yang ditimbulkan oleh limbah FABA. Hal ini semakin menunjukkan bahwa selama ini kecenderungan rezim memiliki keberpihakan yang kuat kepada para pengusaha, para kapitalis dan pemegang modal sementara kepada rakyat terkait dengan efek kesehatan dan efek lingkungannya tidak mendapatkan porsi yang setara. 


Strategi Islam dalam Menjamin Kesehatan Rakyat

Di saat sistem kapitalisme mengabaikan kesehatan warganya demi keuntungan materi yang mengalir pada segelintir orang, Islam memandang justru sebaliknya. Islam menetapkan paradigma pemenuhan kesehatan ini sebagai sebuah jaminan.  

Khilafah akan mengadakan layanan kesehatan, sarana dan prasarana pendukung dengan visi melayani kebutuhan rakyat secara menyeluruh tanpa diskriminasi. Kaya-miskin. Penduduk kota dan desa. Semuanya mendapat layanan dengan kualitas yang sama. Negara berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Negara tidak menjual layanan kesehatan kepada rakyatnya. Negara tidak boleh mengkomersilkan hak publik sekalipun ia orang yang mampu membayar.  Hal ini karena Negara hanya diberi kewenangan dan tanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga negara.

Institusi Khilafah yang dipimpin Khalifah adalah penanggung jawab layanan publik. Khilafah wajib menyediakan sarana kesehatan, rumah sakit, obat-obatan, tenaga medis, dan sebagainya secara mandiri. Itu adalah tanggung jawabnya.  Rasulullah saw. bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari).

Rasulullah saw. dan para Khalifah telah melaksanakan sendiri layanan kesehatan. Nabi saw. (sebagai kepala Negara Madinah) pernah mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi saw. mendapatkan hadiah dokter dari Raja Muqauqis, dokter tersebut beliau jadikan sebagai dokter umum bagi masyarakat (HR Muslim).

Anas ra. menuturkan bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara lalu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh (HR al-Bukhari dan Muslim).

Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah memanggil dokter untuk mengobati Aslam secara gratis (HR al-Hakim).

Semua itu merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan wajib dilakukan Negara dan bukan yang lain. Negara harus mandiri dan tidak bersandar maupun bekerjasama dengan pihak lain (swasta).

Pada masa penerapan Islam sebagai aturan kehidupan bernegara, hampir setiap daerah terdapat tenaga medis yang mumpuni. Negara tentu sangat memperhatikan penempatan tenaga ahli kesehatan di setiap daerah. Islam tidak membatasi kebolehan pasien menginap selama sakitnya belum sembuh tanpa dipungut biaya apapun.

Sebagai bagian integral dari sistem kehidupan Islam secara keseluruhan, sistem kesehatan Khilafah dibangun di atas fondasi yang kokoh dan benar untuk menjamin kehidupan. Allah SWT telah memberikan tanggung jawab dan kewenangan penuh kepada Pemerintah/Khalifah untuk mengelola penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan pendidikan, termasuk pendidikan kedokteran.  Tugas mulia ini tidak boleh dilalaikan sedikit pun. Apapun alasannya.

Sistem pendidikan Islam, termasuk pendidikan kedokteran, benar-benar sempurna pada tataran input, proses maupun output. Kebijakan sistem pendidikan Khilafah bebas biaya. Kurikulum berdasarkan akidah Islam. Ini menjadi jalan sebaik-baiknya bagi lahirnya para peserta didik pendidikan kedokteran, baik dari segi jumlah maupun kompetensi.

Pendidikan kedokteran bebas biaya. Kurikulum pendidikan kedokteran yang berdasarkan akidah Islam. Ini akan melahirkan para dokter yang berkompeten.

Khilafah hanya akan menyelenggarakan pelayanan kesehatan di atas prinsip-prinsip pelayanan/sosial dan sesuai  dengan etik kedokteran Islam. Para dokter yang jumlahnya memadai dengan kompetensi terbaik akan dipekerjakan pada institusi-institusi pelayanan kesehatan Khilafah. Mereka digaji secara patut dan ditugasi sesuai kapasitas.

Kebijakan Khilafah yang berorientasi pelayanan meniscayakan tersedianya fasilitas kesehatan, sarana prasarananya secara memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Sistem sanksi Islam yang bersifat pencegah-penebus, atmosfir ketakwaan dan kesejahteraan yang melingkupi menjadikan sistem kesehatan Khilafah benar-benar terjauh dari bahaya petaka malpraktek.

Di dalam Islam, jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat adalah tanggung jawab Negara. Pelayanan kesehatan wajib diberikan secara gratis (cuma-cuma) bagi masyarakat. Negara tidak boleh membebani rakyatnya untuk membayar kebutuhan layanan kesehatannya. Rasulullah saw., yang bertindak sebagai kepala Negara Islam, telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, II/143).

Khalifah Umar selaku kepala Negara Islam juga telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikitpun imbalan dari rakyatnya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, 2/143).

Dengan demikian dalam Islam jaminan kesehatan itu wajib diberikan oleh Negara kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani, apalagi memaksa rakyat mengeluarkan uang.

Pengadaan layanan, sarana dan prasarana kesehatan tersebut wajib senantiasa diupayakan oleh Negara bagi seluruh rakyatnya. Pasalnya, jika pengadaan layanan kesehatan itu tidak ada maka akan dapat mengakibatkan bahaya (dharar), yang dapat mengancam jiwa rakyatnya. Menghilangkan bahaya yang dapat mengancam rakyat itu jelas merupakan tanggung jawab Negara. Rasulullah saw. bersabda:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ فِي اْلإِسْلاَمِ

Tidak boleh menimbulkan madarat (bahaya) bagi diri sendiri maupun madarat (bahaya) bagi orang lain di dalam Islam (HR Ibnu Majah dan Ahmad).

Mereka yang masuk kategori fakir maupun yang kaya tetap berhak mendapat layanan kesehatan secara sama, sesuai dengan kebutuhan medisnya. Sebabnya, layanan kesehatan tersebut telah dipandang oleh Islam sebagai kebutuhan dasar (primer) bagi seluruh rakyatnya.

Dengan demikian negara wajib senantiasa mengalokasikan anggaran belanjanya untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi seluruh rakyatnya. Negara tidak boleh melalaikan kewajibannya tersebut. Negara tidak boleh mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada pihak lain, baik kepada pihak swasta maupun kepada rakyatnya sendiri. Jika hal itu terjadi, maka pemerintahnya akan berdosa dan akan dimintai pertanggungjawaban secara langsung oleh Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda:

فَاْلأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Muslim).

Namun, hal ini tak berarti bahwa jasa dokter swasta atau membeli obat dari apotek swasta hukumnya haram. Pasalnya, yang diperoleh secara gratis adalah layanan kesehatan dari Negara. Adapun jika layanan kesehatan itu dari swasta (bukan Pemerintah), misalnya dari dokter praktik swasta atau membeli obat dari apotik umum (bukan apotek pemerintah), maka hukumnya tetap boleh membayar jasa dokter atau membeli obat dari apotek swasta tersebut. Hal ini didasarkan pada dalil umum kebolehan berobat dengan membayar dan dalil umum kebolehan jual-beli (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, 2/143).

Dalam Islam, potensi intelektual Muslim tidak boleh terbajak oleh kepentingan bisnis industri kesehatan. Kehidupan didesain untuk memberdayakan kehidupan manusia, bukan untuk menghidupkan mesin-mesin pemutar uang untuk industri kesehatan ala kapitalis. Kapitalisme telah gagal sebab menjadikan sumberdaya alam bahkan sumberdaya manusia sebagai aset bagi mekanisme putaran pasar/uang semata.

Dalam model kesehatan Islam, intelektual para ahli di bidang kesehatan difungsikan untuk menginovasi produk-produk kesehatan termasuk obat agar negara mampu melayani seluruh rakyatnya dengan baik. Sekali lagi, ilmu terdedikasi bukan untuk bisnis industri global. Negara punya peran untuk mengurus kemaslahatan rakyat. Tidak semua hal harus dianggap berdasar kacamata bisnis.

Para ilmuwan Islam seperti al-Biruni, Ibnu Sina, dsb mendedikasikan ilmunya untuk kemaslahatan umat. Dedikasi tersebut benar-benar sampai aplikasinya kepada umat karena penguasa punya perhatian penuh terhadap kemaslahatan umat.

Dalam Islam, industri kemaslahatan publik dikelola Negara untuk tujuan pelayanan, bukan mengejar untung. Negara (Khilafah) tampil sebagai perisai dan pengurus umat. Terbangunlah rumah sakit-rumah sakit megah dan modern pada eranya secara gratis untuk rakyat. Infrastruktur bendungan-bendungan skala raksasa dibangun negara untuk mengairi pertanian rakyat. Demikian seteusnya.

Khilafah pada masa depan akan memberikan lingkungan yang subur untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan motivasi yang didasari untuk menjaga urusan rakyat daripada mendapatkan insentif modal. Dalam dunia kedokteran, ilmuwan Persia yang dikenal dengan nama Ibnu Sina atau Avicenna, menulis buku terkenal The Canon of Medicine. Ini merupakan buku teks standar yang diajarkan di berbagai universitas di seluruh dunia hingga abad ke-18. Melalui buku tersebut, Ibnu Sina memperkenalkan; sifat menular dari penyakit menular; penggunaan karantina untuk mencegah penyebaran infeksi; kondisi neuropsikiatri seperti epilepsy, stroke, dan dementia; gejala dan komplikasi diabetes; dan penggunaan uji klinis dalam obat eksperimental.

Kemajuan yang dicapai dalam dunia kedokteran adalah karena umat Islam mengikuti perintah Allah seperti yang tercantum dalam al-Quran dan as-Sunnah dalam menjaga urusan rakyat. Salah satu Hadis Nabi saw. yang terkenal berbunyi, “Tidak ada penyakit yang Allah telah ciptakan, kecuali bahwa Dia juga telah menciptakan pengobatannya.” (HR al-Bukhari).

Keberadaan obat untuk setiap penyakit dan menjaga urusan warga negara mendorong umat Islam untuk membuat kemajuan dalam penelitian medis.

Sama halnya dengan sekarang, Khilafah ar-Rasyidah pada masa mendatang dapat membantu menciptakan lingkungan yang menunjang penelitian dan pengembangan. Misalnya, daripada membiarkan perusahaan mendapat insentif dari meneliti obat-obatan yang akan menghasilan keuntungan kembali, Daulah Islam dapat menyediakan dana penelitian yang akan dipersaingkan perusahaan-perusahaan swasta. Dengan cara ini, Khilafah dapat mengarahkan jenis investasi yang diperlukan. Dana dapat diambil dari Baitul Mal. Dalam situasi genting, pajak darurat dapat dibebankan kepada orang-orang sebagai dana untuk mencukupkan penelitian dan pembuatan obat yang penting.

Hal ini akan menjadi proses yang jauh efisien daripada sistem saat ini, yang memberi peluang perusahaan-perusahaan swasta memutuskan apa yang harus dikembangkan berdasarkan keuntungan finansial mereka. Pada akhirnya, biaya riset dan pengembaangan masih diteruskan kepada para pembayar pajak dan uang pajak tersebut digunakan Pemerintah untuk membayar harga pengobatan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta.

Negara Khilafah akan menumbuhkan semangat rakyatnya untuk meningkatkan kapasitas diri. Di antaranya untuk memberi kontribusi bagi umat, juga melakukan opini publik tentang sistem kesehatan yang merawat dan melindungi kehidupan manusia. Negara juga membangunkan kesadaran umat tentang perlunya Negara mereposisi diri dengan menjalankan pola kehidupan masyarakat sesuai tuntunan Islam, sekaligus membuang pola kehidupan kapitalis dan komunis. Negara Khilafah mengambil peran besar dalam pengelolaan riset dalam bidang kesehatan, yakni menjadikan arah riset didedikasikan penduduk bumi.

Dalam Islam, tindakan pertama yang harus diambil dalam epidemi dan penyakit menular adalah karantina. Perbedaan antara karantina di negara Khilafah dan karantina di negara-negara sekular saat ini teletak pada keterlibatan umat bersama dengan Negara. Di negara-negara sekular orang-orang justru melarikan diri dari karantina. Hanya beberapa orang yang menerimanya secara sukarela.

Sebaliknya, di dalam Khilafah, seorang Muslim memaksakan karantina pada dirinya sendiri karena itu adalah hukum yang harus dipatuhi. Jika Negara mewajibkan karantina, ia harus mematuhinya dengan keyakinan akan keadilan undang-undang karena ia hukum syariah yang datangnya dari Allah SWT. Mematuhinya adalah bentuk ketaatan kepada Allah, bukan ketaatan pada manusia.

Dalam konsep sistem kesehatan dalam Islam, Negara mengobati pasien penderita wabah secara gratis, profesional dan tidak mendasarkan pelayanan pada ‘kembalinya uang’. Khilafah justru diwajibkan oleh syariah untuk membantu mereka yang membutuhkan perawatan secara gratis. Khilafah mengurus kebutuhan warganya dan memastikan bahwa seluruh warganya (baik Muslim maupun non-Muslim) hidup dengan mendapatkan jaminan makanan, tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan. Hal-hal semacam itu merupakan kewajiban umum (fardhu kifayah).

Dalam tradisi kaum Muslimin ada tradisi sedekah yang telah berurat-berakar dalam masyarakat Islam sedemikian rupa. Bahkan Negara Islam akan memberikan bantuan kemanusiaan kepada mereka yang tidak hidup di bawah otoritas Islam. Hal ini berlaku dan diperlihatkan ketika Sultan Abdul Majid mengirimkan kapal-kapal penuh makanan ke Irlandia yang saat itu menderita kelaparan parah di tahun 1847.

Dalam sistem kesehatan Islam, Khalifah tidak hanya menyediakan cara yang efisien untuk meneliti dan mengembangkan obat-obatan yang penting. Khilafah juga akan memungkinkan persilangan teknologi. Perusahaan-perusahaan lain tidak akan dibatasi oleh adanya sistem paten regresif.


Penutup

Pemerintah mengeluarkan FABA dari kategori limbah B3 menjadi limbah non B3 karena permintaan para kapitalis yang ingin mengeruk keuntungan dari pemanfaatan limbah FABA. Permintaan para kapitalis ini didukung dengan kebijakan rezim sehingga rezim seolah menjadi kepanjangan tangan dari para kapitalis. Kebijakan ini jelas lebih memihak kapitalis dan mengabaikan kritikan dari rakyat. 

Dampak buruk yang ditimbulkan oleh limbah FABA antara lain berupa pencemaran lingkungan, kerusakan ekosistem, berbagai macam penyakit terutama terkait pernafasan, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Hal ini semakin menunjukkan rezim memiliki keberpihakan yang kuat kepada para kapitalis dan pemegang modal sementara kepada rakyat terkait dengan efek kesehatan dan efek lingkungannya tidak mendapatkan porsi yang setara. 

Islam menetapkan paradigma pemenuhan kesehatan ini sebagai sebuah jaminan. Khilafah akan mengadakan layanan kesehatan, sarana dan prasarana pendukung dengan visi melayani kebutuhan rakyat secara menyeluruh tanpa diskriminasi. Kaya dan miskin. Penduduk kota dan desa. Semuanya mendapat layanan dengan kualitas yang sama. Negara berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Negara tidak menjual layanan kesehatan kepada rakyatnya. Negara tidak boleh mengkomersilkan hak publik sekalipun ia orang yang mampu membayar.  Hal ini karena Negara hanya diberi kewenangan dan tanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga negara. 

Oleh: Achmad Mu’it
(Analis Politik Islam & Dosol Uniol 4.0 Diponorogo)

Referensi

1. Jejak Hitam Batu Bara-Sawit Buntut Daftar Limbah B3 Jokowi, 2021 (cnnindonesia.com)

2. Jokowi Keluarkan Limbah Batu Bara dari Kategori Berbahaya, 2021 (cnnindonesia.com)

3. Jokowi: Cabut Aturan Pelonggaran Limbah B3 Menjadi Limbah Non-B3! (Walhi.or.id)

4. Raja Eben Lumbanrau, “Pemerintah klaim abu batu bara bukan limbah B3 sudah berdasarkan 'kajian ilmiah', warga terdampak abu PLTU: 'debu bukan seperti cabe begitu dimakan langsung pedas',” 2021 (bbc.com)

5. Muhammad Amin, dr. M.Ked.Klin, Spmk, ”Sistem Kesehatan Islam,” 2020.

#Lamrad
#LiveOpperresedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar