Pasca Unlawfull Killing KM 50: Mungkinkah HRS Mengalami "Unlawfull Justice"?

Beberapa waktu lalu, saya sempat membuat arikel terkait dengan persidangan perkara "kerumunan" HRS yang pada intinya berisi praduga saya atas kemungkinan terjadi "Trial Without Truth and Justice" jika persidangan dilaksanakan dengan prinsip "online trial" sebagaimana dikhawatirkan oleh terdakwa dan penasihat hukum HRS. Atas "buzzing" netizen serta protes HRS dan penasihat hukumnya, majelis hakim PN Jakarta Timur yang memeriksa perkara ini mencabut penetapan sidang online dan menetapkan persidangan offline sehingga HRS dapat hadir langsung melakukan pembelaan di hadapan jaksa dan majelis hakim.

Sebagaimana diketahui, HRS didakwa melakukan penghasutan terkait kerumunan di Petamburan. Atas perbuatannya itu, HRS didakwa dengan pasal berlapis. Berikut pasal yang menjerat HRS dalam persidangan perkara penghasutan terkait kerumunan di Petamburan, Megamendung dan Bandara: 

Pertama. Pasal 160 KUHP juncto Pasal 93 Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, atau; 

Kedua. Pasal 216 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, atau; 

Ketiga. Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, atau; 

Keempat. Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan 

Kelima. Pasal 82A ayat (1) juncto 59 ayat (3) huruf c dan d UU RI Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 10 huruf b KUHP juncto Pasal 35 ayat (1) KUHP. 

Jika melihat luasnya dan berlapisnya pasal yang menjerat H412S, tampaknya sulit sekali berkelit, menghindar apalagi lepas darinya.

Kendati sudah ada penetapan sidang secara offline, banyak pihak masih mengkhawatirkan soal "fairness" dalam offline trial ini sehingga proses peradilannya berpotensi terjadi unlawfull juatice, yakni sebuah peradilan yang justru diwarnai oleh ketidakpatuhan pada hukum (justice against the law). Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan mengingat telah banyak "unfairness" yang dialami oleh HRS terkait dengan dugaan pelanggaran prokes covid-19 di tiga lokasi, yakni Bandara, Megamendung dan Petamburan. Beberapa unfairness itu misalnya: 

Pertama. Penetapan tersangka tanpa melalai pemeriksaan pendahuluan; 
Kedua. Penahanan tersangka tanpa pemeriksaan hingga substansi pokok perkara;
Ketiga. Pembunuhan atas 6 laskar secara unlawfull killing;
Keempat. Penutupan rekening pribadi dan organisasi efpiai;
Kelima. Pemaksaan sidang online yg diskriminatif;
Keenam. Pemeriksaan di Pengadilan yang tidak sesuai dengan locus delicti;
Ketujuh. Penjeratan pasal-pasal berlapis (pukat harimau), khususnya Pasal 160, 216 KUHP, UU Kes dll yang tidak proporsional;
Kedelapan. Penghadangan lawyer untuk masuk ke ruang sidang;
Kesembilan. Ada potensi nebis in idem atas perkara yg sdh didenda 50 juta rupiah;
Kesepuluh. Pembubaran ormas Efpiai yang dilakukan oleh Pemerintah terkesan tidak adil. 

Fakta-fakta tersebut membuat banyak kalangan meragukan bahwa sidang HRS secara offline pun akan berjalan secara fair dan independen, tanpa tekanan dari pihak lain. Justru yang muncul adalah bahwa terkesan "perkara ini harus goal" hingga HRS masuk penjara. Atas dasar ini pula saya sempat memposting di FB bahwa saya prediksikan (1) HRS tidak akan lepas dari segala tuntutan; (2) HRS akan dijatuhi pidana lebih dari 4 tahun. Logika saya terkait dengan "dendam politik" pemilukada DKI yang bukan hanya Ahok kalah, tetapi Ahok juga masuk penjara selama 2 tahun akibat TP Penistaan Agama. Kedua kejadian ini banyak disebabkan oleh pengaruh umat Islam khususnya FPI dan HTI.

Apakah ini logis? Tergantung pula dari mana dan siapa yang menilainya. Untuk itu tidaklah berlebihan jika Tim Advokasi Habib Rizieq Shihab mengajukan Eksepsi (Nota Keberatan) atas surat dakwaan Saudara Penuntut umum Reg. Perkara No. PDM- 011/JKT.TIM/Eku/02/2021. Dalam eksepsinya yang berjudul "Mengetuk Pintu Langit Menolak Kezaliman Menegakkan Keadilan". Lalu salahkah jika ada pihak yang menduga bahwa aroma unlawfull justice dapat tercium tajam dalam proses pemeriksaan perkara HRS ini. 

Unfairness yang menerpa HRS beserta organisasinya ternyata belum berhenti sampai 10 jenis di atas. Ada pawarta baru yang disinyalir datang KPI berupa Surat Edaran (SE) yang intinya melarang stasiun TV di Indonesia untuk mengundang atau memberi kesempatan dakwah kepada eks anggota "ormas terlarang", yakni Efpiai dan Hatei. Surat Edaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Siaran pada Bulan Ramadan pada poin 6 Ketentuan Pelaksanaan huruf (d) seperti dikutip dari SE KPI Nomor 2 Tahun 2021 dinyatakan: 

“Mengutamakan penggunaan dai/pendakwah kompeten, kredibel, tidak terkait organisasi terlarang sebagaimana telah dinyatakan hukum di Indonesia, dan sesuai dengan standar MUI, serta dalam penyampaian materinya senantiasa menjunjung nilai-nilai Pancasila.” 

Secara langsung, memang kata FPI dan HTI tidak tercantum dalam SE KPI ini, namun berdasarkan keterangan dari pers (CNN), yang dimaksud ormas terlarang itu mencakup Efpiai dan Hatei. Ternyata KPI patut diduga benar-benar sudah menjadi corong tindakan Pemerintah yang saya nilai unfairness. Apa salahnya eks anggota efpiai dan hatei sehingga mereka tidak boleh berdakwah di media TV? Apa yang ada yang salah tentang ajaran Islam yang didakwahkan? Mengapa anggota kedua organisasi ini disamakan dengan eks angota PKI? 

Sementara UU Pemilu yg dikoreksi oleh MK pun memberikan kesempatan eks anggota PKI dan keturunannya untuk tetap memiliki hak politik baik untuk memilih dan dipilih. Lalu mengapa eks anggota efpiai dan hatei untuk berdakwah saja dibatasi, bahkan dilarang? Fairkah? Apa sebenarnya hidden agenda KPI dan Pemerintah terhadap umat Islam? 

KPI seharusnya tidak menjadi corong pemerintah, tetapi menjadi lembaga independen dalam memantau konten siaran bukan soal siapa yang menyebarkan konten siaran, kecuali kalau memang organisasi pendakwah itu dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan ada larangan terhadap semua eks anggotanya untuk berdakwah di seluruh wilayah NKRI. Hingga sekarang tidak ada putusan dan keputusan hukum mana pun yang memuat larangan eks anggota efpiai untuk berdakwah dengan media apa pun. 

Anda mungkin masih ingat, SKB Keroyokan yang memberangus efpiai yang diterbikan pada akhir tahun 2020. Muatan SKB Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam yaitu sebagai berikut: 

Pertama: Menyatakan  Front  Pembela  Islam  adalah  organisasi  yang tidak terdaftar sebagai  Organisasi  Kemasyarakatan sebagaimana  diatur  dalam  peraturan  perundang-undangan,  sehingga  secara  de  jure  telah  bubar  sebagai Organisasi Kemasyarakatan. 

Kedua: Front  Pembela  Islam  sebagai  Organisasi  Kemasyarakatan yang  secara  de  jure  telah  bubar,  pada  kenyataannya masih  terus  melakukan  berbagai  kegiatan  yang mengganggu  ketenteraman,  ketertiban  umum  dan bertentangan dengan hukum.   

Ketiga: Melarang  dilakukannya  kegiatan,  penggunaan    simbol  dan atribut  Front  Pembela  Islam  dalam  wilayah  hukum  Negara Kesatuan Republik  Indonesia. 

Keempat: Apabila  terjadi  pelanggaran  sebagaimana  diuraikan  dalam diktum  ketiga  di  atas,  Aparat  Penegak  Hukum  akan menghentikan  seluruh  kegiatan  yang  sedang  dilaksanakan oleh  Front Pembela Islam. 

Kelima: Meminta kepada warga masyarakat: 

a. untuk  tidak  terpengaruh  dan  terlibat  dalam  kegiatan, penggunaan simbol dan atribut Front Pembela  Islam;   

b. untuk  melaporkan  kepada  Aparat  Penegak  Hukum setiap  kegiatan,  penggunaan  simbol  dan  atribut  Front Pembela Islam. 

Jika kita cermati konten SKB tersebut, mana ada larangan terhadap eks anggota efpiai untuk berdakwah, melakukan kegiatan kecuali mengatasnamakan efpiai. 

Mencermati konten Keputusan Bersama tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam ini saja hati terasa pilu. Terus terang hati saya perih menyaksikan "style" penegakan hukum di Indonesia ini yang mengutamakan tindakan memukul dari pada merangkul terhadap ormas-ormas dan atau orang yang dinilai berseberangan dan mengkritisi pemerintah. Sebuah elegi hukum dipertontonkan oleh para penegak hukum di negara yang mengaku dirinya sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan. 

Tampaknya benar, ilmu hukum dan ilmu politik tidak lagi diperlukan di negara ini. Penegakan hukum tidak perlu menggunakan ilmu hukum, cukup "ilmu aturan" yang tidak beraturan bahkan "chaos" karena diracuni oleh arogansi kekuasaan. Kondisi ini menyebabkan krisis dalam penegakan hukum yang didesain dengan slogan "negara tidak boleh kalah dan aparat dilindungi hukum". 

Cacat hukum dalam memproduksi keputusan hukum pun tidak dapat dihindari. Jadi, atas SE KPI ini kita bisa menilai bahwa KPI telah melampau kewenangannya dan oleh karenanya dapat dikatakan offside serta berpotensi menjadi corong rezim untuk memberangus pihak-pihak yang dinilai "radikal", ekstremis dan berseberangan dengan rezim penguasa. SE KPI ini menambah daftar panjang adanya unfairness sekaligus semakin memperkuat dugaan bahwa telah terjadi unlawfull justice dalam proses penyelesaian perkara dugaan pelanggaran prokes HRS. Quo vadis penegakan hukum dan HAM di Indonesia? Unlawfull justice adalah pintu masuk elegi kehancuran penegakan hukum dan HAM di negeri ini. Tabik...!!! []

Semarang, Sabtu: 27 Maret 2021

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum
(Pakar Hukum dan Masyarakat)

Posting Komentar

0 Komentar