Online Trial HRS: Dapatkah Memicu 'Trial Without Truth and Justice'?


Sebagaimana diketahui penyebaran virus Covid-19 telah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat dan negara, tidak terkecuali proses peradilan dalam kerangka penegakan hukum. Mahkamah Agung sebagai puncak dari sistem peradilan Indonesia yang memiliki kewenangan untuk mengawasi aspek-aspek manajemen dan organisasi semua pengadilan tingkat pertama dan banding di seluruh Indonesia, menanggapi dengan cepat untuk mengatasi situasi Covid-19. 

Sejak 23 Maret 2020, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Lingkungan Mahkamah Agung RI dan Badan Peradilan yang Berada di bawahnya yang terus diperbarui, terakhir dengan SEMA No. 6 Tahun 2020 yang berlaku sejak 5 Juni 2020. Dalam surat edaran ini disebutkan bahwa pelaksanaan persidangan agar diarahkan untuk dilakukan secara elektronik atau daring. 

Khusus terkait dengan persidangan perkara pidana, terdapat kekosongan kerangka hukum yang mewadahi pelaksanaan persidangan pidana secara daring atau elektronik. Pada tanggal 25 September 2020, Ketua Mahkamah Agung menandatangani PERMA No. 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik (PERMA E-Litigasi Pidana). 

Dalam pertimbangan, PERMA ini ditujukan salah satunya untuk membantu pencari keadilan dalam mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan dan sederhana, cepat dan berbiaya ringan; dengan harapan penyelesaian perkara yang terkendala keadaan tertentu (termasuk pandemi Covid-19) membutuhkan penyelesaian secara cepat dengan tetap menghormati hak asasi manusia. 

Dalam implementasi PERMA No. 4 Tahun 2021 ternyata ada "kehebohan" pemberitaan di berbagai media cetak dan online yang mewartakan bahwa HRS secara total menolak sidang online (online trial). Sidang yang telah 2 kali dilaksanakan digelar dari dua tempat terpisah dan dilaksanakan secara virtual dengan aplikasi Zoom. Hakim, Penuntut Umum, dan Kuasa Hukum HRS menghadiri sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur. 

Sedangkan HRS mengikuti jalannya persidangan secara online di gedung Bareskrim Polri. Yang menjadi protes pihak HRS adalah diskriminasi pola persidangan yang dilaksanakan oleh pengadilan. Terkesan hakim menggelar sidang dengan pola SSK (Suka-Suka Kami) yang hanya berdasarkan pada PERMA yang kedudukannya jauh dari UU (KUHAP). 

Sementara itu Mahkamah Agung (MA) memastikan penerbitan dan pemberlakuan Peraturan MA (PERMA) Nomor 4 Nomor 2020 menjadi payung hukum yang memperkuat legitimasi pelaksanaan persidangan perkara pidana secara virtual . 

Peraturan MA (PERMA) Nomor 4 Nomor 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik ditandatangani Ketua MA Muhammad Syarifuddin di Jakarta pada 25 September 2020. Peraturan ini telah diundangkan pada 29 September 2020. Berdasarkan Pasal 20, PERMA tersebut mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Ditinjau dari sisi tujuannya, PERMA Nomor 4 Nomor 2020 merupakan terobosan yang dilakukan oleh MA untuk masyarakat pencari keadilan dan mengatasi hambatan saat pelaksanaan persidangan di berbagai pengadilan guna mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. 

MA berani menjamin bahwa persidangan secara virtual berjalan tanpa intervensi atau intimidasi pihak-pihak tertentu. Pada hakikatnya setiap terdakwa, saksi, ataupun ahli dihadapkan di persidangan dalam keadaan bebas. Penghadapan itu juga berlaku saat persidangan virtual. Karenanya saat persidangan virtual, kamera yang dipakai dapat menunjukkan keadaan sekitar para pihak. 

Jika visi pola sidang online agar menguntungkan terdakwa (pencari keadilan), lalu mengapa ada terdakwa dalam hal ini HRS menolak sidang online? Apakah terdakwa dan penasihat hukumnya dapat memilih pola persidangan, apakah offline atau online? Adilkah jika terdakwa dipaksa oleh jaksa dan hakim untuk mengikuti sidang secara online? Mengapa Majelis Hakim bersikukuh dengan penetapan sidang online tanpa mempertimbangkan keberatan pencari keadilan? 

Dalam Pasal 13 Perma ini, pemeriksaan terdakwa dilakukan di ruang sidang sesuai hukum acara. Dalam hal pemeriksaan terdakwa dilakukan secara elektronik: terdakwa yang ditahan didengar keterangannya dari tempat terdakwa ditahan dengan didampingi/tidak didampingi oleh penasihat hukum; terdakwa yang berada dalam tahanan, tetapi tempat terdakwa ditahan tidak memiliki fasilitas sidang elektronik dapat didengar keterangannya dari kantor penuntut; apabila terdakwa tidak ditahan, didengar keterangannya di pengadilan, kantor penuntut atau tempat lain yang ditentukan oleh hakim/majelis hakim melalui penetapan. 

Berdasar sistem persidangan ideal dan banyaknya alat bukti, mekanisme sidamg elektronik (online trial) menurut saya akan rentan untuk dilakukannya Peradilan Sesat karena sangat mungkin tidak berdalil dan berdalih kepada kebenaran (trial without trurth) sehingga cacat secara moral karena hanya berdalil dan berdalih pada apa yang tertangkap secara online, itu pun banyak diragukan akurasi, artikulasi apalagi persoalan makna interaksionalis simbolik para pihak atau orang yang terlibat dalam persidangan. 

Saya mencoba menelisik atas keberlangsungan persidangan perkara HRS yang penuh polemik ini. Saya cukup terhenyak karena para hakim dan jaksa terkesan sudah terjebak pada aspek kepastian hukum (PERMA No. 4 Tahun 2021) tanpa menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di dalam masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 5 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 

Apa maksud pasal itu? Tentu dimaksudkan agar hakim dan para penegak hukum tidak "caged", tidak "rule bounded" ketika memeriksa suatu perkara hukum. Kita paham betul bahwa dalam state law apapun namanya, apakah itu hukum formil ( hukum acara) maupun hukum materiil menghendaki adanya sebuah kepastian hukum. 

Namun, perlu disadari bahwa itu saja tidak cukup bila tujuan berhukum kita hendak mewujudkan keadilan. Cobalah kita tengok pergeseran paradigmatik dalam cara berhukum kita dari yang semula memuja kepastian hukum telah bergeser kepada pencarian kepastian hukum yang adil sebagaimana dituangkan dalam UUD NRI 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman

Secara teoretik, jika tidak sesuai keadilan pada prinsipnya hakim wajib mengabaikan hukum negara (Kepastian Hukum). Gustav Radbruch sebagai konseptor tiga nilai dasar hukum, menyatakan bahwa hukum yang baik hemdaknya memerhatikan 3 nilai dasar hukum, yakni: 

Pertama. Secara filosofis hukum itu harus mencerminkan nilai keadilan (Justice);
Kedua. Secara yuridis hukum itu harus mencerminkan nilai kepastian (certainty);
Ketiga. Secara sosiologis hukum itu harus mencerminkan nilai expediency, misalnya kemanfaatan (utility). 

Namun, Radbruch menyatakan bahwa: 

"...where statutory law is incompatible with justice requairement, statutory law must be disregarded by a jugde". 

Jadi intinya, Radbruch hendak menyatakan bahwa ketika hukum negara tidak bersesuaian dengan pencarian keadilan, maka hukum negara itu harua diabaikan oleh hakim. Saya meyakini bahwa ketika hakim di bawah MA berani out of the box terhadap state law apalagi sebatas PERMA maka mereka tidak sedang menghancurkan institusi pengadilan dan tidak melanggar dan menghancurkan konstitusi (The Destroyer of Constitution) tetapi justru mereka adalah sedang menjaga marwah institusi pengadilan dan juga konstitusi (The Guardian of Constitution). 

Nilai kepastian hukum memang penting dalam penegakan hukum di negeri mana pun, tetapi jauh lebih penting untuk "bringing justice to the people", mewujudkan dan menghadirkan nilai keadilan di tengah masyarakat. Ingatlah bahwa hukum itu bukan untuk keluhuran hukum itu sendiri melainkan hukum itu untuk keluhuran martabat manusia. 

Saya yakin, para hakim yang memeriksa perkara HRS sangat memahami hal ini. Namun, soal konsisten ataukah tidak dengan prinsip ini, tentu banyak faktor yang memengaruhinya. Bagi saya, menjaga institusi pengadilan tidak seharusnya terbatas hanya dengan cara mengeja teks tetapi dengan cara memahami konteks moralitas. Itulah cara membaca hukum secara moral. 

Online Trial, haruskah online trial? Online trial sebenarnya merupakan suatu kewenangan hakim atas persidangan agar sidang dilakukan secara cepat, murah dan sederhana. Namun demikian, online trial itu harus tetap memperhatikan hak asasi manusia yang di dalamnya dinyatakan bahwa seorang jaksa penuntut tidak boleh menunda persidangan tersangka kriminal secara sewenang-wenang dan tanpa batas waktu. 

Untuk kasus biasa (ordinary) apalagi perkara hukum yang ringan sangat mungkin dipenuhi hak terdakwa dalam online trial. Namun, dalam kasus yang besar, bagaimana mungkin dengan online trial pihak terdakwa mampu menghadirkan segala alat bukti yang cukup dan melalukan pembelaan secara utuh ketika berhadapan dengan jaksa dan saksi-saksi yang memberatkan dawaan terhadapnya. 

Dari sisi hukum acara online trial mungkin dapat diproses secara formal memenuhi prosedurnya, namun dari sisi kemanusiaan haruskah terdakwa yang dalam posisi lemah tidak memperoleh bantuan kemanusiaan dari pengadilan dalam rangka pembuktian dalilnya secara langsung? Ini hukum untuk siapa? Apakah hukum hanya untuk keluhuran hukum itu sendiri, ataukah hukum itu untuk keluhuran umat manusia khususnya dalam mengagungkan nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan. Maka, saya berani mengajukan statemen bahwa online trial trends to be trial without truth and justice

Secara normatif, kehadiran secara fisik terdakwa dan saksi di ruang sidang pengadilan diatur dalam ketentuan Pasal 185 ayat (1) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, norma Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Dengan demikian ini merupakan basis legal-konstitusional atas pengaturan pola dan mekanisme persidangan dan bersifat sangat fundamental dan tidak bisa direduksi oleh beleid di bawahnya semisal PERMA ataupun SEMA. Selanjutnya, ketika telah ada PERMA atau SEMA yang mengatur sidang secara elektronik (online), maka hakim harus mempertimbangkan keberatan terdakwa jika memang dinilai berpotensi menimbulkan ketidakadilan. 

Online Trial, berdasarkan PERMA No. 4 Tahun 2020 adalah sebuah pilihan kebijakan oleh hakim yang akan menyidangkan suatu perkara. Jadi, sebenarnya bukan sesuatu yang wajib---meskipun di masa Pandemi Covid 19--- untuk dilaksanakan apalagi berdasarkan pengalaman terdapat fakta bahw ada beberapa sidang sebelumnya yang dilakukan secara offline, misalnya kasus Napoleon Bonaparte dan Pinangki. 

Alasan bahwa terdakwa HRS mempunyai pendukung banyak bukanlah hal yang dapat diterima begitu saja. Bukankah ada aparat penegak hukum (polisi) dan bahkan bisa meminta bantuan pengamanan sidang kepada TNI. Apa sulitnya? Ada banyak langkah jika penguasa hendak berniat bringing justice to the people, tetapi terasa tak ada satupun langkah ketika memang penguasa enggan untuk bringing justice to the people. Akankah pengadilan melakukan kesalahan-kesalahan dalam penegakan hukum, dengan tetap menggelar sidang Online dengan berpotensi besar terjadinya trial without truth and justice yang diprotes pencari keadilan? Lalu, hukum itu ada untuk siapa? Tabik.! []

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum
(Pakar Hukum dan Masyarakat)

Semarang, 22 Maret 2021

Posting Komentar

0 Komentar