Mendedah Unfair Trial: Inikah Potret Ketidakadilan dalam Penegakan Hukum di Negeri Muslim?

Kondisi penegakan hukum di negeri ini rasanya kian hari kian memprihatinkan, banyaknya ketidakadilan yang disuguhkan setiap harinya membuat dada terasa sesak dan kepala tidak habis berpikir. Indonesia yang selama ini dengan bangga memproklamirkan diri sebagai negara hukum, ternyata tak ayal hanyalah sebuah negara kekuasaan, ketika yang terjadi hukum bukanlah panglimanya akan tetapi hanya tampak sebagai prajurit yang harus tunduk pada kekuasaan. 

Pelaksanaan penegakkan hukum melalui penerapan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang disahkan, adalah bagian dari permasalahan yang semakin memperkeruh kondisi hukum yang tidak jelas orientasinya. Pasalnya, UU ITE yang diciptakan alih-alih untuk menertibkan masyarakat, justru cenderung menjadi alat penguasa untuk menjerat bagi seseorang atau kelompok yang dianggap bersebrangan pendapat atau berbeda pandangan politik dengan pemerintah. 

Kasus dugaan penghinaan terhadap Nahdlatul Ulama (NU) yang menjerat da'i kondang Sugi Nur Raharja atau yang sering disapa Gus Nur yang dijerat dengan pasal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), adalah salah satu potret bentuk bagaimana ketidakadilan dalam penegakkan hukum terkait. Bagaimana tidak, dalam penangkapan dan penahanan Gus Nur tampak pasal karet UU ITE pasal 27 dan 28 kembali dipakai. Pasalnya dalam pelaksanaannya pasal-pasal tersebut kerap digunakan untuk kriminalisasi konten-konten jurnalistik, dan digunakan untuk membungkam suara-suara kritis. 

Selain dari Gus Nur, masih banyak sejumlah tokoh atau aktivis lainnya khususnya tokoh dan aktivis yang dikenal cukup kritis dan vokal dalam aktivitas dakwah juga ditangkap dan mendapatkan ketidakadilan dalam penegakkan hukum. Sebut saja kasus yang tengah menjerat tokoh eks ormas Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab dan kelima tokoh FPI lainnya. Kesemuanya dituduh bersalah dan dijerat melalui pasal Kekerantinaan yang mengundang kerumunan di masa pandemi. 

Selaku penyelenggara kerumunan, HRS dikenakan Pasal 160 dan 216 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan untuk lima tersangka lain, dikenakan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan saja. Sementara ada banyak di luar sana tindakan yang terkategori bisa disebut mengundang kerumunan juga, namun tanpa diperkarakan apalagi dijerat melalui pasal-pasal Kekerantinaan yang serupa. Apakah betul cara pengutamaan pidana itu karakter kita sebagai negeri Timur yang menjunjung tinggi musyawarah dengan istilah Restorative Justice? Apakah sudah tertutup pintu permaafan dalam penyelesaian perkara pidana? Sulit kita menyatakan bahwa penegakan hukum di negeri muslim ini berlaku adil, bahkan penegakan hukum terkesan dipertontonkan secara unfair trial. 


Potret Ketidakadilan yang Banyak Menjerat masyarakat, Khususnya Para Tokoh dan Aktivis Islam 

Dalam kasus yang menjerat Gus Nur dan IBHRS seperti pada pengantar, adalah potret betapa penegakan hukum di negeri ini semakin kehilangan orientasi pada pencarian keadilan dan kebenaran (searching justice and the truth). Karena menurut penulis, dari sisi normatif pun ditemukan beberapa pelanggaran hukum, apalagi persoalan keadilannya. Keadilan itu tampak berada di laci yang berbeda dengan laci hukum. 

Artinya hukum dan keadilan itu tidak dalam satu laci. Bahkan secara konseptual, menurut Gustav Radbruch dengan TRIADISME-nya keduanya punya potensi saling tarik menarik sehingga timbul hubungan ketegangan (spanungsverhealtnis). Radbruch menegaskan bahwa "where statutory law is incompatible with justice requirement, statutaory law must be disregarded by a judge". Namun, dalam pemerintahan otoriter, hukum negara (kepastian hukum) justru diutamakan dengan mengabaikan keadilan. Hukum justru dipakai untuk melegitimasi segala tindakan pemerintah meski keliru sekalipun. 

Pelanggaran hukum dalam penetapan, penangkapan hingga penahanan dan pemeriksaan di pengadilan atas Gus Nur maupun tokoh lainnya seperti IBHRS dan rekan-rekannya dimulai sejak banyak pejabat negara meneriakkan slogan: Negara tidak boleh kalah dan aparat dilindungi hukum. Salah satu akibat penerapan slogan itu misalnya dalam praktik buruk penegakan hukum, misalnya: 

Pertama. Standar Tidak Jelas: Suka Suka Kami (SSK). 

Di sisi lain, hukum di masa kini terkesan tak memiliki standar yang jelas. Penegakan Hukum bisa dibilang suka-suka APH. Polisi menangkap jika mau, membiarkan laporan jika mereka suka. Polisi juga menangguhkan jika mereka berkehendak, mengabaikan permohonan penangguhan jika mereka tak berkehendak. Tak ada ukuran objektif, polisi suka suka memperlakukan tersangka bahkan baru sekedar terduga. Beberapa fakta berikut menunjukkan gaya penegakan hukum yang terkesan SSK. Beberapa bukti SSK sebagai berikut: 

Pertama. Penahanan dilakukan sebelum pemeriksaan pendahuluan, pemanggilan untuk dimintai keterangan. Saksi-saksi juga belum dihadirkan. 

Seperti contoh pada kasus Gus Nur, ia langsung ditangkap dan ditahan di Bareskrim. Padahal belum pernah ada pemanggilan untuk pemeriksaan pendahuluan untuk mendapatkan dua alat bukti. Dengan dalil tuduhan delik apa seseorang ditahan? Selain SSK hal ini juga bertentangan dengan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014. 

Kedua. Penangguhan penahanan dengan jaminan. 

Indikasi adanya perlakuan yang suka-suka terhadap hak tersangka meskipun sama-sama mengajukan penangguhan dan sama-sama dijamin,  ternyata upaya penangguhan penahanan Gus Nur ditolak oleh penyidik. Jika semua pihak, termasuk polisi bertindak sesuka hati, maka hal itu sama saja menghilangkan fungsi negara. Sebab, negara hadir untuk memberi batasan-batasan agar setiap hak warga negara terpenuhi. 

Kedua. Diskresi Cenderung Diskriminatif. 

APH mempunyai hak untuk to do or not to do, ada diskresi dalam kerangka menegakkan hukum ataukah ada policy of non enforcement of law. Hukum yang adil adalah hukum yang memperlakukan sama untuk kasus yang sama (sejenis). Memperlakukan berbeda untuk kasus yang beda. Jadi mesti ada equality before the law. Jika tidak maka yang akan terjadi adalah penegakan hukum yang ambyar, misalnya:
dengan melakukan Kriminalisasi Ulama (Gus Nur)  vs "pembiaran" para "buzzer" pendukung rezim (Abu Janda, Denny Siregar, Ade Armando dll). 

Ketiga. Pemerintah tidak mematuhi putusan MK. 

Ada  1 putusan MK yang ditabrak oleh Pemerintah, c.q. kepolisian dalam penetapan tersangka dan penahanan Gus Nur, yaitu:
Penetapan Tersangka tanpa pemeriksaan terhadap IBHRS. Polisi tidak mematuhi Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014. Putusan MK itu menegaskan bahwa Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya. 

Keempat. Persidangan juga tidak dilakukan secara fair trial. 

Pertama. Tidak dihadirkannya saksi dan korban 

Ketidakhadiran Yaqut Cholil Qoumas dan KH Said Aqil Shiraj, menghilangkan kewenangan menuntut bagi jaksa berdasarkan ketentuan pasal 27 ayat (3) UU ITE. Karena genus delik pasal ini adalah pasal 310 KUHP yang merupakan delik aduan. Tidak ada perkara tanpa kehadiran korban, sehingga dakwaan jaksa berdasarkan ketentuan pasal 27 ayat (3) UU ITE ini gugur. 

Ketidakhadiran Yaqut Cholil Qoumas dan KH Said Aqil Shiraj selaku Ketum Ansor dan PBNU juga menghilangkan unsur 'menimbulkan kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA'. Karena korbannya, yang didalam dakwaan Jaksa disebut Ansor dan PBNU tidak ada yang hadir  di persidangan. Sehingga unsur 'menimbulkan kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA' tidak dapat dibuktikan. Alhasil, unsur dakwaan jaksa berdasarkan ketentuan pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak dapat dibuktikan. 

Kedua. Tidak dihadirkannya terdakwa dalam persidangan. 

Padahal, pemeriksaan perkara di Pengadilan tanpa kehadiran secara langsung Terdakwa telah menyalahi ketentuan pasal 145  KUHAP. Sehingga seluruh pemeriksaan perkara tidak sah secara hukum dan bertentangan dengan UU, sepanjang Terdakwa tidak dihadirkan secara langsung di persidangan. 

Ketiga. Pemeriksaan Terdakwa Tidak didampingi oleh Penasihat Hukum. 

Tim Kuasa Hukum juga tidak bisa mendampingi Terdakwa karena ketidakhadiran Terdakwa direspons oleh Tim PH dengan kebijakan Walk Out. Hal itu, berkonsekuensi pada pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan Terdakwa tanpa didampingi pengacara telah menyalahi ketentuan pasal 54  KUHAP. Sehingga seluruh pemeriksaan perkara bisa disimpulkan tidak sah secara hukum dan bertentangan dengan UU, sepanjang Terdakwa tidak didampingi oleh Tim Penasehat Hukum. 

Beberapa hal tersebut saja sudah mampu membuat tercerabutnya nilai keadilan dalam penegakan hukum di negeri ini  yang sangat mungkin telah dan menjadi kenyataan. Dengan demikian, sebenarnya industri kejam di dunia penegakan hukum telah berdiri. 


Dampak Buruk dari Ketidakadilan Terhadap Masa Depan Penegakkan Hukum di Negeri Muslim 

Berbicara tentang ketidakadilan, maka akan ditemukan sebagai satu kondisi tidak idealnya suatu kebenaran yang seharusnya diletakkan sesuai dengan tempat yang seharusnya, tidak dengan ketentuan hukum yang berlaku dan cenderung berpihak kepada sebelah pihak saja. Menilik pada kondisi atau fakta penegakkan hukum seperti yang dijelaskan di muka, maka bukanlah hal mustahil jika ketidakadilan yang terus-menerus dibiarkan, akan memunculkan dampak yang buruk bagi kelangsungan kehidupan bernegara, khususnya penegakkan hukum di negeri ini. 

Lantas, apa saja hal yang mungkin saja terjadi jika ketidakadilan ini terus terpelihara apalagi dilakukan oleh para penegak hukum dan penyelenggara negara sendiri? Menurut pengamatan kami, banyak sekali hal-hal yang berpotensi akan semakin memperburuk kondisi, terutama bagi masa depan penegakkan hukum kita. 

Pertama, Hukum akan berpotensi akan menjadi alat untuk menindas yang lemah. Ketika payung hukum dalam kendali sistem sekularisme kapitalisme seperti sekarang, keadilan akan semakin langka untuk ditemukan. Kepentingan materi bagi yang berkepentingan dalam penegakkan hukum, akan menjadi cara yang dihalalkan untuk tidak berlaku adil, sehingga mengabaikan kebenaran yang seharusnya ditegakkan. Maka tak heran ketika hari ini keadilan hanya akan dimiliki bagi mereka yang mempunyai kekuasaan, uang dan harta yang banyak, namun akan terasa sulit didapatkan bagi mereka yang di bawah, di sinilah letak hukum yang seharusnya menjadi pelindung justru telah berubah menjadi alat penindas bagi yang lemah. Hukum akan menjaddi tumpul ke atas dan begitu tampak tajam ke bawah. 

Kedua, ketidakadilan yang selalu dipertontonkan akan berdampak buruk kepada karakter masyarakat, dan akan memunculkan terjadinya berbagai kekacauan di segala sektor. Masyarakat yang jengah dan semakin tidak menaruh kepercayaan lagi kepada aparat penegak hukum, akan berpotensi melakukan tindakan-tindakan yang justru tidak lagi mengindahkan aturan hukum. Seperti perilaku main hakim sendiri. Di samping itu juga, tindakan kriminalitas akan semakin tinggi karena distribusi hak dan kewajiban tidak lagi seimbang dan tidak mampu lagi diharapkan. 

Praktik-praktik industri hukum di kalangan para aparat maupun elit pejabat akan semakin merajalela khususnya demi kepentingan materi ataupun dalam perebutan kekuasaan dengan menempuh cara-cara kotor, seperti suap dan sejenisnya. Hukum tidak akan lagi dipandang sebagai sesuatu yang bisa mengatur kehidupan bermasayarakat, karena dari penerapannya yang cenderung menyimpang. 

Ketiga, manusia akan hidup bebas tanpa aturan, namun di saat bersamaan juga akan kehilangan kebebasannya. Masyarakat bisa berbuat brutal tanpa harus memperhatikan rambu-rambu aturan sebagai akibat dari hilangnya kepercayaan atas penegakkan hukum. Namun di saat yang sama kebebasan masyarakat juga akan disertai dengan ketakutan dan penuh kewas-wasan, khususnya dalam kebebasan untuk berbicara atau memberikan pendapat, karena standar kebenaran hanya dimiliki para pembuat hukum saja. 

Keempat, akan semakin turunnya kepercayaan masyarakat terhadap para penegak hukum dan pemerintah, terutama kepada pemimpinnya. Mampu bersikap adilnya seorang pemimpin adalah sesuatu yang utama yang harus dimiliki seorang pemimpin.  Namun apa jadinya ketika ketidakadilanlah yang justru diperlihatkan ke tengah rakyat, maka masyarakat akan kecewa dan otomatis kepercayaan kepada pemimpin dan pemerintahnya akan semakin rendah bahkan menghilang. Masyarakat akan enggan menghargai lagi pemimpinnya dan menjadi cuek, apatis terhadap segala kebijakan sebagai bentuk implementasi dari hukum dan pemerintahan. 

Kelima, masyarakat kehilangan tempat berlindung atas hak-haknya. Ketika ketidakadilan semakin sulit didapatkan dari pemerintah, ketika keberadaan para aparat penegak hukum sudah tidak mampu lagi menjadi pengayom bagi masyarakat, dan justru telah berubah menjadi sesuatu yang dijauhi masyarakat, maka masyarakat akan menjadi hilang semangat dan putus asa. Oleh karena tidak ada satupun hal yang bisa melindungi hak-hak mereka. Sehingga mereka hanya akan bergantung kepada kekuatan masing-masing individu dan keyakinan kepada Tuhan penciptanya.  Dengan kata lain, hanya yang kuatlah yang akan sanggup bertahan. Masyarakat hilang rasa keamanan dan perlindungan. Dan hilanglah pula hubungan rasa kasih sayang, keharmonisan dan kepedulian antara masyarakat, penguasa dan aparat penegak hukumnya. 

Itulah dampak terburuk menurut pengamatan kami jika ketidakadilan demi ketidakadilan penegakkan hukum ini terus dibiarkan, tanpa adanya evaluasi atau instrospeksi diri dari para penegak hukum terlebih-lebih oleh pemerintah negeri ini.


Hukum Islam sebagai Strategi Terbaik dalam Menciptakan Keadilan dalam Penegakkan Hukum di Negeri Muslim 

Adapun kini, ketika berbagai protes masyarakat atas dzalimnya penerapan UUITE yang cenderung dijadikan alat gebuk, maka upaya untuk merevisi UU ITE dilakukan oleh penguasa. Namun sebelum direvisi Polri sudah menerbitkan Surat Edaran yang intinya memerintahkan kepada jajaran Polri untuk menerapkan Restorative Justice dalam menangani TP Pelanggaran UU ITE.  

Sebagaimana diberitakan KOMPAS.com  23 2 2021-Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan Surat Edaran terkait penerapan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ada 11 poin dalam surat tersebut, salah satunya mengatur bahwa penyidik tidak perlu melakukan penahanan terhadap tersangka yang telah minta maaf. Surat Edaran Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif itu diteken Kapolri pada 19 Februari 2021. 

Melalui surat itu, Kapolri meminta seluruh anggota Polri berkomitmen menerapkan penegakan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat dalam penerapan UU ITE. Karena itu, Sigit meminta jajarannya mengedepankan edukasi dan langkah persuasif dalam penanganan perkara UU ITE, khususnya dengan sarana Restorative Justice (RJ). 

Namun pertanyaan yang perlu diajukan adalah, mengapa baru sekarang ide RJ ini muncul setelah banyak korban berjatuhan karena dituduh melakukan delik UU ITE? Patut diduga Surat Edaran ini keluar untuk menarik bumerang yang telah memakan korban lawan-lawan politik dan sentimen-sentimen pribadi. Buzzer dan pihak pihak pro rezim patut diduga hendak diselamatkan dengan Surat Edaran ini. Dengan cukup minta maaf, masalah tidak akan diteruskan polisi. Jadi Surat Edaran ini hanya berfungsi sebagai dalil sekaligus dalih menolak laporan dan menghentikan penyelidikan atau penyidikan. 

Kami menilai, seharusnya jika pemerintah benar-benar ingin melakukan perubahan sekaligus perbaikan dalam penegakkan hukum, maka seharusnya pemerintah perlu melakukan penegakan hukum secara progresif agar keadilan dan sosial welfare itu dapat diwujudkan. Cara berhukum progresif yang lebih mengutamakan keadilan substantif sehingga lebih condong pada mission oriented  dibandingkan dengan procedure oriented. Cara berhukum yang demikian harus disertai dengan karakter khusus dalam penegakan hukum, yaitu rule breaking. 

Hukum Islam sebagai hukum yang datangnya dari Yang Maha Adil, maka dipastikan penegakannya akan menjamin hadirnya keadilan bagi siapa pun, khususnya bagi pelaku dan korban perbuatan yang dinilai sebuah kejahatan. Restorative Justice itu pun mengadopsi sistem hukum Islam. Dalam Islam yaitu adanya qishas ada diyat. Lembaga permaafan sangat terbuka dalam hukum Islam, sehingga dalam hal ini negara boleh memfasilitasi kedua belah pihak untuk didamaikan dengan kesepakatan bersama. Jika para pihak telah setuju, seperti yang terjadi pada kasus antara Gus Nur dengan NU sudah ada kesepakatan menyelesaikan perkara dengan baik, maka negara tidak perlu memprosesnya. 

Namun secara teoretik, hukum seperti ini hanya bisa terlaksana jika syariat Islam diterapkan secara kaffah. Untuk bisa menerapkan syariat Islam kaffah, dengan sistem pemerintahan apa bisa dijalankan? Sistem Demokrasikah? Sistem Monarkhikah? Sistem Oligarkikah? Bukan, melainkan hanya dengan sistem pemerintahan Islam yang melindungi segenap warga negara, tanpa membedakan latar belakang, ras, suku dan agamanya. Sistem itu bernama Immamah atau kekhalifahan yang secara teoretikal dapat dilacak dan dipertanggungjawabkan. Dan telah pernah dipraktekkan dalam kurun waktu tigas belas abad lebih lamanya. 


Penutup 

Kasus yang menjerat Gus Nur dan IBHRS seperti pada pengantar, adalah potret betapa penegakan hukum di negeri ini semakin kehilangan orientasi pada pencarian keadilan dan kebenaran (searching justice and the truth). Karena menurut penulis, dari sisi normatif pun ditemukan beberapa pelanggaran hukum, apalagi persoalan keadilannya. Keadilan itu tampak berada di laci yang berbeda dengan laci hukum. Dan karenanya telah tercerabutlah nilai keadilan dalam penegakan hukum di negeri ini yang sangat mungkin telah dan menjadi kenyataan. 

Dampak-dampak buruk yang bisa saja terjadi jika ketidakadilan terus-menerus dibiarkan di negeri muslim adalah:
Pertama, Hukum akan berpotensi akan menjadi alat untuk menindas yang lemah. Kedua, berdampak buruk kepada karakter masyarakat, dan akan memunculkan terjadinya berbagai kekacauan di segala sektor. Ketiga, manusia akan hidup bebas tanpa aturan, namun di saat bersamaan juga akan kehilangan kebebasannya. Keempat, akan semakin turunnya kepercayaan masyarakat terhadap para penegak hukum dan pemerintah, terutama kepada pemimpinnya. Kelima, masyarakat kehilangan tempat berlindung atas hak-haknya. 

Hukum Islam sebagai hukum yang datangnya dari Yang Maha Adil, adalah strategi terbaik dalam menjamin hadirnya keadilan bagi siapa pun, khususnya bagi pelaku dan korban perbuatan yang dinilai sebuah kejahatan. Restorative Justice itu pun mengadopsi sistem hukum Islam. Dalam Islam yaitu adanya qishas ada diyat.  Namun secara teoretik, hukum seperti ini hanya bisa terlaksana jika syariat Islam diterapkan secara kaffah dalam sistem yang bernama Immamah atau kekhalifahan yang secara teoretikal dapat dilacak dan dipertanggungjawabkan.[]

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpgainst

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum & Liza Burhan

Posting Komentar

0 Komentar