Masih Tersisakah Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab di Negeri Ini?

Indonesia adalah negara yang memilih Pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Pancasila adalah semacam set of philosophy yang dijadikan pijakan nilai bagi pengelolaan berbangsa dan bernegara. Sebagai seperangkat nilai filosofis, maka pancasila masih membutuhkan underliying system agar bisa terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu definisi perkata dari pancasila masih sangat multiinterpretatif, bergantung ideologi apa yang dijadikan perspektif, apakah Islam, kapitalisme sekuler atau komunis atheis?
 
Jadi untuk menjawab pertanyaan apakah masih tersisa nilai kemanusiaan yang adil dan beradab di negeri ini tidaklah mudah. Sebab konsep kemanusiaan, keadilan dan keadaban menurut tiga ideologi itu sangat berbeda dan bertolak belakang. Sebab ketiga ideologi ini memiliki perbedaan asas. Kapitalisme demokrasi berasaskan sekulerisme yang bersumber dari akal dan nafsu manusia, komunisme ateis berasaskan materialisme yang bersumber dari akal dan nafsu manusia, sementara Islam berasaskan aqidah tauhid yang bersumber dari Allah (Al Qur’an) dan RasulNya (Al Hadis).
 
Secara filosofis, makna kemanusiaan adalah memanusiakan manusia. Frase ini memiliki makna yang mendalam, yakni bagaimana menempatkan manusia sebagaimana manusia yang diingikan oleh Yang Pencipta. Tugas negara adalah menerapkan ideologi dan sistem aturan yang bisa mewujudkan rakyatnya menjadi manusia seutuhnya sebagaimana tujuan Tuhan Yang Maha Esa  menciptakan manusia.
 
Karena itu jika di Indonesia justru diterapkan ideologi kapitalisme sekuler yang mengabaikan peran Tuhan dalam urusan berbangsa dan bernegara, maka tidak akan mempu mewujudkan nilai kemanisiaan ini. Manusia tidak akan dipandang sebagai manusia, namun hanya dipandang dari segi kebermanfaatan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, tak peduli apakah beriman kepada Tuhan atau tidak.
 
Dalam pandangan sekulerisme, agama ditempatkan sebagai urusan pribadi, bukan urusan publik. Itulah mengapa negara sekuler tidak mengenal hukum halal dan haram dalam menyusun sistem perundang-undangan. Segala sesuatu yang memberi manfaat bagi rakyat dan mendatangkan keuntungan materi, maka sekulerisme akan mendukungnya, seperti miras, pelacuran dan perjudian. Bahkan perilaku amoral yang lebih hina dari binatangpun seperti homoseksual diperbolehkan sekulerisme dengan dalih HAM. Sekulerisme justru akan menjerumuskan manusia kepada sifat-sifat kebinatangan.

Pada dasarnya, manusia adalah satu-satunya makhluk yang perbuatannya mampu mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak Tuhan dan menjadi sejarah dan ia makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan pembawan dan syarat-syarat yang diperlukan. Manusia merupakan satu kesatuan jiwa dan raga dalam hubungan timbal balik dengan dunianya dan sesamanya. Ada unsur lain dalam diri manusia yang dengannya manusia dapat mengatasi dunia dan sekitarnya serta dirinya sebagai jasmani, unsur itu namanya jiwa.
 
Dengan kesejatian inilah manusia menunaikan baktinya kepada Allah sebagaimana fitrahnya. Al Qur'an telah banyak mengungkapkan tentang apa dan siapa manusia sebenarnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS Ar Ruum: 30).  
 
Karena itu manusia akan menjadi manusia yang dikehendaki Allah ketika meliputi  tiga dimensi. Pertama, dimensi kehambaan (QS Adz Dzariyat: 56), yakni bahwa manusia adalah hamba-hamba Allah yang selalu taat dan terikat dengan hukum Allah dengan penuh keimanan.
 
Kedua, dimensi intelektual (QS Ali Imran: 110), yang artinya bahwa manusia adalah makhluk Allah yang diberikan akal sebagai  bentuk kemampuan berfikir.  Manusia berakal dan beriman, sebagaimana para ulama atau ilmuwan yang dengan  ilmunya dijadikan bekal untuk berdakwah dan berkarya membangun peradaban mulia. Muslim adalah umat terbaik yang lahirkan untuk manusia.
 
Ketiga, dimensi kekhalifahan (QS Al Anbiyaa : 107), yang maknanya bahwa manusia adalah makhluk yang mendapatkan  amanah kekhalifahan (kepemimpinan peradaban). Amanah kekhalifahan berkewajiban untuk  menata dan memelihara bumi berdasarkan syariah Allah untuk mewujudkan misi menebar rahmat bagi alam semesta.
 
Sementara membincangkan keadilan sesungguhnya sedang memperbincangkan hukum yang berlaku dalam suatu negara. Sebab keadilan itu identik dengan sistem hukum. Pengadilan adalah tempat ditemukannya hukum-hukum yang adil. Hakim adalah orang yang harus menghukumi dengan adil. Hukum itu hanya ada dua, hukum Islam atau hukum jahiliah. Secara esensi, hukum yang bersumber dari ideologi kapitalisme demokrasi sekuler dan komunisme atheis adalah hukum jahiliah. Sementara hukum Islam bersumber dari Al Qur’an, Al Hadist, Ijma’ dan Qiyas.
 
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin?.” (QS. Al Maidah: 50).
 
Nah dalam pandangan Islam keadilan adalah ketika diterapkan hukum Allah dan RasulNya, sebab Allah adalah Tuhan Yang Maha Adil, sementara Rasulullah adalah orang yang menerapkan hukum Allah secara kaffah di negara Madinah. Perhatikan beberapa ayat berikut:
 
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat." (QS An Nisaa: 58).
 
"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Al Maidah: 8)
 
Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik". (QS Al An’am: 57).
 
"Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidaklah beriman, sampai mereka menjadikanmu -Muhammad- sebagai hakim/pemutus perkara dalam segala permasalahan yang diperselisihkan diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam diri mereka, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’: 65)
 
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (Al An’am: 57). “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan.Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (QS. Asy Syura: 21)
 
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati. hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. Al Maidah: 49).
 
Dari cara memanusiakan manusia dan ditopang oleh hukum-hukum Islam inilah akan lahir bangsa beradab. Peradaban akar katanya adalah adab yang merupakan terminologi Islam. Adab mengacu kepada pola pikir dan pola sikap yang didasari oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Peradaban artinya pola pikir dan pola sikap suatu bangsa beserta seluruh hasil karyanya sebagai pengenjawantahan dari sistem hukum yang dianutnya.
 
Dari definisi diatas, maka lahirlah peradaban Islam dimana hukum-hukum Allah dijadikan sebagai asasnya. Demikian juga lahir peradaban sekuler Barat yang menjadikan akal dan nafsunya sebagai pijakannya. Sementara peradaban komunisme ateis berpijak dari paham materialisme ateis. Peradaban Islam adalah peradaban mulia yang tidak ada tandingannya di dunia ini. Sementara peradaban sekuler dan komunis adalah peradaban  rusak yang hanya mengantarkan manusia kepada derajat materi dan bahkan binatang.
 
Islam adalah jalan hidup yang tidak hanya berdimensi ritual, Islam juga memiliki  dimensi ilmu dan peradaban. Karena itu kemajuan Islam bukan hanya ditimbang dari sisi ritualistik semata, melainkan juga ditimbang sejauh mana Islam memancarkan rahmat bagi kehidupan manusia dan alam semesta. Kemuliaan Islam bukan hanya untuk dirasakan oleh individu tapi untuk seluruh manusia di dunia.
 
Dalam perspektif historis, pengetahuan dari berbagai bidang keahlian, peradaban ilmiah dengan berbagai macam bentuknya dapat dirasakan oleh penduduk dunia dalam bentuk peradaban Islam. Peradaban Islam punya andil besar dalam  membina peradaban kemanusiaan yang manusia dan mulia. Kecintaan muslim kepada agama dan ilmu telah memberikan sumbangsih dalam pergerakan ilmiah, dalam karya-karya mereka bahkan hingga mencapai puncak kecermelangannya. Peradaban Islam hadir dengan memberikan manfaat universal.
 
Pemikiran Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia, seperti politik, sosial kemasyarakatan, perekonomian, kebudayaan, dan akhlaq. Islam hadir dengan membawa aturan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain. Aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya tercakup dalam aqidah dan ibadah.
 
Sedangkan aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri tercakup dalam hukum-hukum tentang makanan, pakaian, dan akhlaq. Selebihnya adalah aturan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain, semisal, masalah mu’amalah, ‘uqubaat, dan politik luar negeri.
 
Menurut Sosiolog muslim, Ibnu Khaldun, suatu peradaban akan runtuh disebabkan oleh lima hal. Pertama, ketidakadilan, yang menyebabkan jarak antara orang kaya dan miskin begitu lebar. Kedua, merajalelanya penindasan, yang kuat menindas yang lemah. Ketiga, runtuhnya adab atau moralitas para pemimpin negara. Keempat, pemimpin yang tertutup, tidak bisa dinasehati, meski berbuat salah. Kelima, bencana alam besar-besaran.
 
Sebagaimana diketahui bahwa Pancasila sila kedua berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila ini dapat dimaknai dan direalisasikan jika merujuk kepada akar katanya. Islam dengan kesempurnaan konsepnya telah menawarkan keadilan yang benar dan peradaban yang mulia. Konsepsi Islam berbeda yang konsepsi kapitalisme dan komunisme, sebab Islam membangun konsepsi kehidupan berlandaskan apa yang dikehendaki oleh Allah.
 
Sementara konsepsi kehidupan kapitalisme bersifat sekuleristik, dimana kehendak Tuhan tidak dilekatkan dalam mengatur kehidupan. Sementara komunisme berpaham ateistik dimana eksistensi Tuhan tidak diakui. Paham kehidupan komunisme didasarkan oleh dialektika materialisme, dimana segala sesuai berasal dari materi dan akan kembali menjadi materi melalui sebuah proses yang disebut evolusi materi.
 
Karena itu membangun Indonesia yang adil dan beradab yang akan melahirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus didasarkan oleh paradigma Islam ini. sebab kata adab, beradab dan peradaban berasal dari akar kaya yang sama yakni kemuliaan pola pikir dan pola sikap berlandaskan tauhid. Masyarakat beradab adalah masyarakat yang beriman, bertaqwa, maju dan mulia.
 
Masyarakat beriman dan bertaqwa adalah masyarakat yang dikehendaki juga oleh konstitusi negara ini. Lebih jauh dari ini, masyarakat beradab akan mendatangnya keberkahan dari Allah, baik keberkahan dari langit maupun bumi. Nah, oleh karena itu tidak akan pernah ada kemanusiaan yang adil dan beradab di negeri ini selama demokrasi masih bercokol di negeri ini. Sebab nilai kemanusiaan yang adil dan beradab hanya bisa diwujudkan secara sempurna jika diterapkan syariah Islam secara kaffah, sebab syariah berasal dari Allah Yang Maha Adil dan Sempurna.[]
 
Oleh: Dr. Ahmad Sastra

Kota Hujan, 21/03/21 : 08.20 WIB

Posting Komentar

0 Komentar