100 Tahun Kekhalifahan Runtuh: Ketika Professor Bicara Tentang Hukum Pembahasan Khilafah dalam Konteks Religious Nation State


Pada akhir tahun 2020 civitas akademika dan masyarakat umum dikejutkan dengan adanya proposal protokol kampus anti khilafah yang dipelopori oleh seorang dosen FH dan PascaSarjana UIM. Saya menyatakan tidak setuju dengan protokol yang menyimpang dari hakikat kita sebagai negara yang menyebut dirinya sebagai religious nation state. Model negara ini tidak sekuler, melainkan negara beragama, yang artinya dalam kebijakannya tetap mendasarkan pada ajaran-ajaran agama yang dianut oleh warga negaranya, termasuk Islam. Bukankah Pasal 29 ayat (1) UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan bahwa: "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa"? Oleh karena itu, seluruh ajaran Islam tidak boleh di"persekusi", termasuk perihal sistem kepemerintahan khilafah karena sistem khilafah memang dituangkan dalam fikih siyasah Islam. Perguruan tinggi mana pun seharusnya tidak pobhia terhadap materi fikih siyasah ini, apalagi sebuah perguruan tinggi Islam. Lalu, nalarkah ketika ada civitas akademika kampus Islam menawarkan sebuah Protokol Anti Khilafah? Untuk keperluan ini, saya sengaja mengangkat kembali artikel terkait dengan relasi antara Pancasila dan Khilafah di Negara Religious Indonesia agar tidak banyak yang gagal paham dan menjauhkan diri dari sentimen dengan mengutamakan argumen. 

Dalam kapasitas saya sebagai Pakar Hukum, saya berusaha dapat memaparkan dan menjelaskan secara  terperinci tentang status hukum dakwah khilafah di Indonesia dan apakah khilafah sebagai ajaran Islam itu bertentangan dengan Pancasila dan bagaimana hukum persekusi terhadap para pendakwah khilafah ajaran Islam? 


Status Hukum Menyampaikan Sejarah Khilafah dan mlMendakwahkan Ajaran Islam Terutama Tema Khilafah di Negeri ini? 

Detik.com Jakarta - Rabu, 2/09/2020 mewartakan bahwa Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) bersama Kementerian Agama, Kepala BNPT, Kepala BKN serta Kepala Daerah lainnya siang tadi meluncurkan aplikasi ASN No Radikal. Aplikasi ini ditujukan untuk membasmi paham radikalisme khususnya terkait dengan khilafah di lingkup Pegawai Negeri Sipil (PNS). 

Menguatkan upaya tersebut, Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi memberi usulan khusus terkait penerimaan CPNS. Ia meminta agar seleksi CPNS dibuat lebih ketat dan tidak menerima peserta-peserta yang terindikasi memiliki paham keagamaan tertentu seperti pro khilafah. 

Menanggapi upaya berbagai kementerian untuk memerangi yang mereka sebut dengan radikalisme khilafah saya sebagai Guru Besar di bidang hukum merasa prihatin karena pengelolaan negara ini tidak lagi didasarkan prinsip negara hukum. Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945. Indonesia ialah negara hukum. Pelarangan terhadap tindakan, pemikiran yang dilakukan oleh warga negara harus diatur dengan UU tidak cukup dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) apalagi hanya dengan aplikasi ASN no radikal sedangkan radikalisme itu lebih condong pada nomenklatur politik dibandingkan hukum sehingga bersifat obscure (kabur) dan lentur sesuai kepentingan rezim penguasa. 

Adakah per definisi hukum tentang apa itu artinya "terpapar radikalisme khilafah"? Ini masalah pelik karena bicara tentang ideologi seseorang. Tidak gampang membuktikan seseorang terpapar radikalisme khilafah sesuai dengan koridor hukum. Yang sering dipakai adalah koridor politik. Asal tdk setuju dengan kebijakan pemerintah, asal mengamalkan agama secara taat apakah langsung dikatakan terpapar radikalisme khilafah? 

Untuk urusan ideologi kita sudah dibingkai dengan UU Ormas Pasal 59, Tap MPRS No. XXV MPR 1966 yang dilarang adalah Ateisme, Komunisme, Marxisme-Leninisme. Sedang nomenklatur dan paham lain itu merupakan pasal karet yang sulit dipastikan dan cenderung mengikuti kehendak penguasa. Ini yang seharusnya dihindari. Sebaiknya, perincian dan paham lain itu ditegaskan melalui Peraturan Pemerintah sbg pelaksanaan UU Ormas, dan atau KUHP. Jadi rakyat itu mendapatkan kepastian hukum ketika UU Ormas dan lain-lain itu ditegakkan. 

Ketidakpastian itu akhirnya berdampak pada kecurigaan yang justru berakibat memecahbelah bangsa. Itukah yang kita kehendaki? Taruhlah ada yang terpapar komunisme misalnya, apakah langsung ditindak? Bukankah kita justru bekerja sama dengan negara yang menganut paham komunisme? Apakah tidak takut pula terpapar paham komunisme? Mengapa justri paham radikalisme yang bentuknya tidak jelas itu lalu justru lebih dijadikan alasan mempersekusi orang? Adilkah? 


Apakah Khilafah yang Merupakan Ajaran Islam Bertentangan dengan Pancasila? 

Ada fakta yang kita saksikan bersama, yakni sudah berulangkali terjadi persekusi yang dilakukan sekolompok oknum atas ulama yang mendakwahkan khilafah karena dianggap merongrong NKRI. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah: "Benarkah ajaran khilafah dilarang disebarkan karena bertentangan dengan Pancasila?" 

Untuk menentukan suatu ajaran itu terlarang  atau tidak perlu dilakukan pengujian oleh:
(1) Lembaga keagamaan yang menaunginya, kalau tentang khilafah, maka MUI berwenang mengujinya.
(2) Putusan Pengadilan atau ketentuan UU yang secara tegas menyebutkan untuk itu. 

Selama ini belum ada fatwa MUI dan Putusan Pengadilan atau Ketentuan UU yang menyatakan bahwa Khilafah itu sebagai ajaran Islam ( bidang fikih) yang terlarang dan bertentangan dengan Pancasila. 

Khilafah itu ajaran Islam tentang sistem pemerintahan ideal menurut tuntutan Alloh, Rasul dan para sahabat bukan ideologi yang disejajarkan dgn komunisme dan kapitalisme juga radikalisme. Karena sbg bagian dari ajaran Islam maka khilafah boleh didakwahkan. Tujuannya agar umat tahu tentang sistem pemerintahan ini sehingga tidak "plonga-plongo" ketika suatu saat sistem ini tegak di muka bumi sebagai mana janji Rasulullah dalam hadist yang shahih. Jadi, tidak ada salahnya jika siapapun orang, lembaga, ormas Islam mendakwahkan khilafah selama tidak ada unsur kekerasan, pemaksaan dan apalagi makar. 

Kita flashback sebentar, pada akhir tahun 2019, Menteri Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD  menerima kedatangan dari Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (3/12/2019). Usai pertemuan yang dilakukan secara tertutup, Mahfud mengatakan ada sejumlah isu yang dibahas dan juga penyelesaiannya. 

Salah satu isu yang dibahas adalah soal bagaimana ormas-ormas Islam resah akan adanya isu penyebaran paham khilafah. Ia juga menyatakan bahwa LPOI agak gerah juga terhadap isu-isu sistem lain tegasnya sistem khilafah yang sekarang yang ditawarkan yang sebenarnya itu agendanya merusak. Jadi setali tiga uang pendapat Menkopolhukam dengan LPOI. Sekali lagi, itu hasil pengkajian yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik atau sekedar asumsi yang hanya dapat dibenarkan secara politis? 

Saya dalam hati sebenarnya bergumam, dan mempertanyakan, mengapa jika "faham khilafah" itu utopia tetapi banyak kalangan bahkan pemerintah menjadi risau, dan menganggap hal itu merupakan sebuah ancaman? Mengapa tidak dibuktikan saja bahwa rakyat Indonesia menolak "faham khilafah"? Dengan cara apa membuktikannya? Referendumkah? Musyawarah Nasional (Munas) kah? Melalui penelitian independen yang melibatkan seluruh komponen bangsakah? Namun, pertanyaannya, masihkah kita bisa berbuat jujur terhadap hasil kajian, penelitian, referendum atau apa pun namanya, mengingat kejujuran hidup (honeste vivere) di bangsa ini sudah menjadi barang yang langka. Kalau segala upaya itu tidak lagi dapaf dipercaya, lalu kepada apa dan siapa lagi kita menyandarkan keyakinan dan harapan? 

Baiklah, taruhlah Menkopolhukam tidak setuju dengan penerapan faham khilafah, haruskah beliau dengan wadya balanya membenci sebagian ajaran Islam ini sebagaimana ditegaskan dalam kitab-kitab ulama berupa fikih, misalnya kitab fikh karya Sulaiman Rasyid yang telah dicetak ulang sebanyak 79 kali sejak tahun 50-an, baik di Indonesia maupun di negeri Malaysia? Haruskah membenci "faham khilafah". Bukankah itu sebagian ajaran Islam, yang bahkan oleh EmHa Ainun Nadjib dikataka bahwa khilafah itu adalah ide-Nya Allah. Pertanyaan besarnya adalah: Sebagai hamba Allah, mengapa kita tidak malu dan bahkan berani terang-terangan membenci ide Allah tersebut? 

Baiklah, "faham khilafah" mungkin oleh sebagian orang dan kelompok dianggap sebagai hantu bahkan monster seram yang akan menyerang dan melumatkan segala yang telah ada, tapi perlu ditegaskan di sini bahwa asumsi itu tidak dapat dibenarkan karena memang belum pernah dibuktikan. 

Bagi saya, asal itu masih sebatas ide, pemikiran maka diskursus terhadapnya seharusnya tetap dibuka di alam demokrasi ini. Tidak boleh ada persekusi terhadap orang atau kelompok orang yang membahasnya dan kelompok yang mengusung ide Alloh ini juga tidak boleh menggunakan pemaksaan kehendak, kekerasan dan tindakan ekstrim di dalam mengkaji dan mendakwahkan ide tersebut sehingga suasana kondusif tapi dinamis tetap menjadi warna perbincangan antar sesama anak bangsa. 

Bila khilafah itu ajaran Islam, maka adilkah bila pihak yang mendakwahkannya harus di-persekusi? Menurut saya tindakan itu bukan tindakan radikalisme. Mengapa? Karena dakwah itu tidak dilakukan dengan pemaksaan dan penggunaan kekerasan. Itu yang prinsip. Jadi ketika HTI yang kebetulan mengusung dan mendakwahkan ajaran Islam itu secara damai, mestinya tidak diperlakukan buruk karena dinilai terpapar radikalisme yang berakhir dengan pencabutan BH HTI secara sepihak karena penilaian itu tidak melalui due process of law sebagaimana dulu diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas. 

Nasi telah menjadi bubur, BH HTI telah dicabut. FPI pun sudah pula dibubarkan oleh Pemerintah di akhir 2020. Apa yang bisa dilakukan oleh umat Islam terhadap dakwah tentang khilafah? Kembali pada konsep bahwa khilafah ajaran Islam atau setidaknya sebagai siatem pemerintahan Islam yang telah dikenal dan dipraktikkan selama 1300 tahun, maka umat Islam tanpa kecuali tetap diperbolehkan "mendakwahkan" ajaran Islam itu dengan catatan: Tidak boleh ada pemaksaan dan penggunaan kekerasan.

Dunia pendidikan mestinya juga mengajarkannya seiring dengan pengajaran tentang sistem pemerintahan negara demokrasi, monarki, kesultanan, diktator, teokrasi dan lain sebagainya. Fair bukan? Itu pikiran jernih yang seharusnya dimiliki oleh para cerdik pandai di negeri ini. Berpikir jernih dengan argumen jauh lebih mulia dari pada mengutamakan sentimen. Jadi dengan argumentasi hukum yang saya paparkan ini menunjukkan bahwa tidak tepat menyebut HTI yang "gegara" mendakwahkan khilafah itu sebagai Laskar Pengacau Negara seperti yang pernah dituduhkan oleh Boni Hargens. 


Benarkah Ajaran Khilafah Dilarang Disebarkan karena Bertentangan dengan Pancasila dan Bagaimana Persekusi terhadap Pendakwah Khilafah? 

Untuk menentukan suatu ajaran itu terlarang  atau tidak perlu dilakukan pengujian oleh:
(1) Lembaga keagamaan yg menaunginya, kalau ttg khilafah, maka MUI berwenang mengujinya.
(2) Putusan Pengadilan atau ketentuan UU yang secara tegas menyebutkan untuk itu. 

Selama ini belum ada fatwa MUI dan Putusan Pengadilan atau Ketentuan UU yang menyatakan bahwa Khilafah itu sebagai ajaran Islam ( bidang fikih) yang terlarang dan bertentangan dengan Pancasila. 

Khilafah itu ajaran Islam tentang sistem pemerintahan ideal menurut tuntutan Alloh, Rasul dan para sahabat bukan ideologi yang disejajarkan dengan komunisme dan kapitalisme juga radikalisme. Karena sebagai bagian dari ajaran Islam maka khilafah boleh didakwahkan. Tujuannya agar umat tahu tentang sistem pemerintahan ini sehingga tidak "plonga-plongo" ketika suatu saat sistem ini tegak di muka bumi sebagaimana janji Rasulullah dalam hadist yang shahih. Jadi, tidak ada salahnya jika siapapun orang, lembaga, ormas Islam mendakwahkan khilafah selama tidak ada unsur kekerasan, pemaksaan dan apalagi makar. 

Persekusi terhadap Pendakwah Khilafah Sebagai Ajaran Islam 

Apa itu persekusi(persecution)? Secara umum, arti persekusi adalah suatu perlakuan buruk dan sewenang-wenang yang dilakukan secara sistematis oleh individu atau kelompok tertentu terhadap individu atau golongan lain dengan cara memburu, mempersusah, dan menganiaya, karena perbedaan suku, agama, atau pandangan politik. Ada juga yang mengatakan bahwa pengertian persekusi adalah suatu sikap/ tindakan permusuhan, pemburuan, dan penganiayaan terhadap seseorang atau golongan tertentu, terutama karena ras, agama, dan keyakinan politik. 

Berdasar definisi tersebut Peristiwa "penggrudukan kyai, ustadz oleh Banser" di Pasuruan beberapa waktu yang lalu dapat diklasifikasikan sebagai PERSEKUSI dengan bukti di lapangan telah ada: 

(1) Tindakan kekerasan (secara psikis): bentakan, paksaan pengakuan, cercaan, perintah memaksa membuat surat pernyataan, ancaman).
(2) Tindakan permusuhan terhadap kelompok karena perbedaan keyakinan agama dan politik (khilafah), anggota kelompok jelas dpt dideteksi dari ucapan-ucapan pelaku dan suasana "perburuan" oleh kelompok sangat jelas sekali. 

Konsekuensi hukumnya kembali kepada UU Ormas karena yang melakukan persekusi itu statusnya sebagai Ormas yaitu Banser Ashor.   Saad Muafi sebagai Ketua Banser Bangil Pasuruan seharusnya patut diduga telah  melakukan persekusi dan tindakan hukum yang memenuhi larangan Ormas sesuai dengan Pasal 59 ayat 3: 

a. Melakukan tindakan permusuhan terhadap agama (ajaran agama), dan kelompok (golongan, HTI), lihat penjelasan ayat ini.
b. Melakukan penistaan agama, penodaan agama dengan pernyataan tentang khilafah sebagai ideologi terlarang dan dengan demikian dianggap bukan bagian ajaran Islam. Ini pelecehan dan penodaan agama (Ps 156a KUHP).
c. Melakukan tindakan kekerasan secara verbal dan psikis terhadap Ustadz, Kyai, mengganggu ketentraman umum dengan cara gerudukan dan teriakan permusuhan.
d. Melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum dengan cara  membatasi kebebasan bergerak, melakukan kekerasan psikis dan verbal, menginterogasi dugaan pelanggaran hukum, upaya pemaksaan membuat pernyataan atau perjanjian. 

Sanksinya dapat berupa:
(1) Sanksi Administratif. Pencabutan Badan Hukum atau SKT Ormas sekigus pembubaran ormas oleh Menkum HAM.
(2) Sanksi Pidana. Anggota / Pengurus dapat dijatuhi pidana penjara mulai dari 6 bulan hingga 1 tahun (Ps 59 c dan d) atau seumur hidup  atau minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun (Ps 59 a dan b). 


Penutup 

Menurut saya tidak fair bila kita mengharamkan khilafah dan memusuhi orang yang mempelajari dan mendakwahkan khilafah, apalagi di kampus hendak disusun proposal tentang protokol kampus anti khilafah. Itu tidak fair! Mengapa, karena dalam sejarah selama 1300 tahun umat Islam memang dalam kepemimpinan dengan sistem kekhilafahan, apapun bentuk dan variasinya. Bahkan,  bukankah beberapa wilayah Indonesia sempat menjadi bagian atau wakil kekhalifahan Turki Ustmani, misalnya Demak, DI Yogyakarta? Jejaknya masih jelas. Bukankah, kita juga pernah dibantu khilafah ketika kita melawan penjajah Belanda? Apakah kita akan melupakan begitu saja jejak kekhalifahan di negeri ini? Itu tidak fair! Itu a-history! 

Khilafah itu jelas terbukti merupakan bagian dari fikih siyasah sehingga khilafah adalah ajaran Islam, bukan ajaran terlarang. Oleh karena itu mendakwahkannya bukanlah tindakan kriminal dan bukan terpapar radikalisme. Persekusi kepada pendakwah khilafah baik oleh perorangan maupun  organisasi merupakan perbuatan pidana yang dapat dijerat denagan KUHP (Pasal 156a) dan UU ITE serta UU Ormas 2017. 

Tabik...!!! []

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum
(Pakar Hukum dan masyarakat)

Semarang, Rabu: 3 Maret 2021
(100 Tahun Keruntuhan Kekhalifahan Turkey Ustmani)

Posting Komentar

0 Komentar