Tak Habis Pikir

Tak habis pikir, padahal
Tak ada kawan abadi dalam demokrasi,  semuanya lawan bagi kepentingan. 
Kawan ada ketika menguntungkan, 
Namun dikorbankan tatkala tak lagi yang bisa diandalkan. 

Tak habis pikir, padahal
Kutu loncat istilah biasa dalam demokrasi. Pindah warna menjadi hal lumrah dalam berpolitik. Merah, kuning, biru menjadi abu-abu karena tidak ada idealisme.

Tak habis pikir,  padahal
Dulu penghujat, sekarang menjadi  orang yang dihujat. Sekarang janji besok diingkari juga menjadi perkara biasa.  Semuanya ada atas dasar kepentingan dan keuntungan semata. Tidak pernah setia pada cita-cita bersama. 

Tak habis pikir, 
Bagi mereka politik adalah profesi,  partai adalah perusahaan, rakyat adalah material.  Begitulah demokrasi. Rakyat hanya tumbal untuk diambil suara dan legalitasnya. Selebihnya mereka yang berkuasa. 

Tak habis pikir
Atas nama rakyat undang-undang dibuat,  atas nama rakyat pula undang-undang di abaikan. Tumpul ke atas tajam ke bawah menjadi perkara biasa bagi mereka yang punya dana.

Bagi mereka tidak ada musuh abadi, semuanya adalah kawan bagi kepentingan oligarki. Perkara kecil diciptakan sebagai tambal untuk kasus besar. Pemain kecil menjadi tumbal bagi para pemain kawakan. Semua sah dalam demokrasi. 

Tak habis pikir
Munafik hanya istilah agama,  dalam demokrasi itu hal biasa.  Walaupun rakyat jelata menjadi tumbal itu tidak apa-apa. Karena semuanya sah dan tidak melanggar etika. 

Salah dan benar ambigu bagi mereka. 
Dulu gebrak meja besok malah menjadi teman setia. Sekarang di puja dan dan dibela, tapi esok niscaya hanya tinggal nama saja. Sekarang menghina besok menjadi penjilat utama. Itu biasa dalam bernegara. 

Tak habis pikir
Nyawa manusia hanya deret angka, tidak ada nilainya.  Hilang satu, dua bahkan 1000 tidak dianggap bencana. Musibah yang terjadi dianggap keputusan tuhan semata.
Bahkan curah hujan tinggi dan pemanasan global menjadi kambing hitam kebijakan. Akhirnya rakyat pula yang menjadi korban. 

Begitulah demokrasi,  
Akal sehat mendadak tidak berfungsi.  
Hati tak sanggup lagi menakar diri.  
Mulut tak mampu berbicara lantang menolak kebatilan. Semuanya dikendalikan oleh kebodohan dan keserakahan dan akhirnya hukum Tuhan pun tidak lagi jadi pedoman. 

Akhirnya kata pun tidak mampu lagi melawan. Karena semuanya  disoal. Berteriak diinjak diam dihinakan. 
Jiwa-jiwa pesimis hanya bisa diam menunggu waktu sebagai pemutus kedzaliman. Keadilan menjadi perkara mahal yang dinantikan. Pahlawan menjadi sosok yang diimpikan walaupun harus menunggu sampai ajal menjelang.[]

Kota serang,  30 Januari 2021

Oleh: Abi Nauma

Posting Komentar

0 Komentar