Quo Vadis Pasar Muamalah: Antara Hasrat MES dan Kriminalisasi Ajaran Islam di Religius Nation State


TintaSiyasi.com-- Polemik atas penangkapan penggagas Pasar Muamalah di Depok, Zaim Saidi tempo lalu masih bergulir menjadi topik perbincangan publik. Status Zaim Saidi yang sudah dinaikkan menjadi tersangka itu dikenai Pasal 9 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana dan Pasal 33 UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Berdasar bahwa mata uang rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah di Indonesia sesuai Pasal 23 B UUD 1945 jo. Pasal 1 angka 1 dan angka 2, Pasal 2 ayat (1) serta Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang. 

Namun pemidanaan oleh Penegak Hukum melalui dasar pasal tersebut tampak kontradiktif dengan fakta apa yang dijalankan oleh Zaim Saidi selama ini, hal tersebut diperoleh keterangan dari salah satu pedagang di Pasar Muamalah bernama Anto yang menjelaskan sedikit mengenai pasar tersebut. Menurut Anto, pasar tersebut tidak membatasi transaksi hanya menggunakan dinar dan dirham. Bahkan, pembeli masih bisa menggunakan mata uang rupiah. Di pasar muamalah pembeli dibebaskan pakai apa saja. Konsepnya kebebasan saja. Mau (alat tukar) apa saja, bebas. Bisa rupiah, dinar, dirham bahkan barter. Demikian pernyataan Anto kepada wartawan kompas.com, Jumat (29/1/2021). Lalu, jika demikian kebenarannya, di mana letak kesalahan dari keberadaan pasar ini dan mengapa penggagasnya ditangkap dan dijadikan tersangka? 

Sementara itu bisa terbilang bersamaan waktu dengan kasus tersebut, diketahui Indonesia melalui pemerintah secara resmi telah membentuk Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). MES diketuai oleh Menteri BUMN Erick Thohir. Masyarakat Ekonomi Syariah ini merupakan organisasi nirlaba yang bertujuan untuk mengembangkan dan mempercepat penerapan sistem ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. MES diekspektasi menjadi wadah yang inklusif dalam menghimpun seluruh sumber daya yang ada dan membangun sinergi antar pemangku kepentingan. 

Dari realitas tersebut, membuat kita tergelitik sekaligus ingin bertanya, mengapa di saat Pemerintah dengan bangga membentuk organisasi yang lekat dengan unsur syariah yang satu, namun saat bersamaan juga malah alergi dengan unsur syariah yang lainnya, yang sama-sama berkaitan dengan ekonomi. Terkait uang dinar dan dirham, bukankah juga dibeli dengan rupiah dan rupiah pun tetap diperbolehkan sebagai alat tukar bahkan dengan barter sekalipun diizinkan? Sebagai negara Pancasila dan religious nation state, apakah "konflik hukum dan ekonomi" ini tidak bisa didialogkan sehingga tidak terkesan adanya aroma "pengkriminalisasian" terhadap ajaran Islam di bidang muamalah, khususnya pasar muamalah ini? 


Konsekuensi Indonesia Sebagai Religious Nation State terhadap Penerapan Ajaran Islam

Berdasar Pasal 29 ayat 1 UUDNRI 1945 jelas Indonesia adalah sebagai negara yang berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Apa maknanya? Makna terdalam pernyataan itu adalah bahwa Kitab Suci di atas Konstitusi. Jika melacak dari teori pembentukan hukum yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas yang membagi pembentukan hukum dalam tiga lapisan, yakni lapisan tertinggi adalah eternal law, lapisan kedua ada devine law (termasuk di dalamnya kitab suci) dan natural law, serta lapisan terakhir yaitu human law (termasuk konstitusi). 

Bicara tentang kitab suci, sebagai umat Islam tentu kita perlu berinteraksi dengan KITAB SUCI yang diturunkan oleh Allah kepada manusia. Berinteraksi dengan al-Qur'an adalah mentadaburi ayat-ayatnya. Sebagai Muslim dan makhluk yang dianugerahi akal untuk berpikir, kita dituntut untuk merenungi kandungan makna dan isi sl-Qur'an sehingga kita bisa menghayati ayat- ayat dan mengambil ibrah serta pelajaran darinya. 

Selain disunahkan untuk membacanya kaum Muslimin juga diwajibkan untuk menerapkan hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an. Itulah yang dimaksud berinteraksi dengan al-Qur'an, bukan hanya membacanya saja. Namun juga dapat dimulai dari meyakini kebenarannya, mentadaburinya maknanya, hingga akhirnya menimbulkan niat kuat untuk menerapkannya dalam segala bidang kehidupan umat manusia, tanpa kecuali, termasuk menerapkan hukum Allah segala berbagai kehidupan umat manusia. Hukumnya wajib. Karena dihukumi wajib, maka ketika kita umat Islam tidak berusaha menerapkannya, maka kita tentu akan berdosa atau setidaknya kita akan digolongkan sebagai kelompok yang sesat, fasik, munafik hingga kafir. Allah bahkan bertanya kepada kaum beriman: "lebih baik manakah Hukum Allah dengan hukum yang dibuat atas dasar nafsu manusia? Pertanyaan selanjutnya, kalau yakin hukum Allah lebih baik, mengapa umat Islam tidak mau menerapkannya dalam segala bidang kehidupannya?

Dari al-Qur’an pun kita bisa memahami sumber hukum Islam itu selain al-Qur’an ada juga Hadits, Ijma Shahabat dan Qiyas Syar’i. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa di negara yang mayoritas berpenduduk Muslim ini tidak menjadikan keempat sumber hukum Islam itu sebagai sumber hukumnya? Padahal al-Qur’an menuntut agar Islam diterapkan secara kaffah. 

 Sesuai dengan firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara kaffah ( menyeluruh). Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (QS al-Baqarah [2]: 208).

Namun pada realitasnya, meski negara Indonesia berpenduduk 87,19% bermayoritaskan beragama Islam dan mengaku beriman, pada kenyataannya ternyata tidak menjadikan sumber Hukum Islam sebagai sumber pembentukan hukumnya, karena sistem pemerintahan Indonesia tidak menganut sistem pemerintahan Islam melainkan sistem pemerintahan Demokrasi-Sekularisme yang pembuatan hukumnya hanya didasarkan pada konsensus para legislator. Hukum Islam hanya dijadikan sebagai salah satu sumber hukum di bawah sumber Hukum Adat dan sumber Hukum Modern (Barat). Oleh karena itu dalam sistem pemerintahan yang demikian, penerapan hukum Islam tidak mungkin bisa kaaffah melainkan hanya secara PRASMANAN. Mana hukum Islam yang sesuai dengan kebutuhan warga negara Indonesia dan mana yang dirasa cocok, mana yang dirasakan mau atau tidak boleh diadopsi dan diterapkan. Semua tergantung pertimbangan untung rugi yang hanya ditinjau dari kepentingan duniawi. 

Keberadaan praktik Pasar Muamalah yang diinisiasi umat Islam namun dipermasalahkan ini, adalah sebuah fakta teraktual bagaimana keberadaan ajaran Islam hanya diambil sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsu semata. Padahal apa bedanya antara gerakan Masyarakat Ekonomi Syariah dan praktik Pasar Muamalah ini, jika konsisten berpegang pada ajaran Islam yang digadang-gadang menjadi pertimbangan Pemerintah dalam pembentukan MES tersebut.

Pantaskah sebuah negara yang dikenal relegius sebagai pemeluk Islam terbesar cenderung memilah-milah dan memilih-milih syariah dan hukum-hukum-Nya? Ajaran dalam syariah yang sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsu mereka, mereka terima dan mereka amalkan. Sebaliknya, syariah yang bertentangan dengan kepentingan dan hawa nafsu mereka, mereka tolak serta mereka tinggalkan dan campakkan.

Inilah potret buram kemunduran bagi umat Islam, setelah keruntuhan Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1924 oleh Mustafa Kamal Attaturk, seorang sekuler-radikal yang didukung oleh Inggris, untuk merusak kehidupan kaum Muslim yang pada akhirnya tunduk dan membebek kepada hukum-hukum Barat sekuler. Sekalipun di negeri yang bermayoritaskan muslim, mereka tidak menjadikan syariah Islam sebagai aturan dalam bernegara, kecuali dalam urusan privat seperti ibadah ritual, pernikahan, waris dan pada hal yang sesuai dengan kepentingan yang menguntungkan saja. Inilah kondisi abnormal bagi kaum Muslim, baik di Indonesia maupun di seluruh penjuru dunia yang terus berlangsung hingga hari ini.


Akibat Terhadap Kehidupan Umat Khususnya Bidang Ekonomi Jika Islam bukan Sebagai Sumber Hukum Utama

Ironi sebuah negeri yang dikenal negara relegius bermayoritaskan pemeluk Islam seperti Indonesia itu bertambah nyata, tatkala Islam ternyata tidaklah dijadikan satu-satunya sumber hukum, sehingga yang diharamkan Islam, justru banyak diterapkan di negara ini. Misalnya, lihat saja bagaimana sistem perekonomian yang berbasis ribawi justru terpelihara subur di dalamnya. Yang nampak pada aspek-aspek perniagaannya, bunga bank, asuransi, pegadaian yang tidak sesuai dengan tuntunan syari'at, atau juga penjual belian makanan atau minuman yang diharamkan dalam al-Qur’an namun dilegalkan oleh UU. 

Belum lagi bicara soal kerja sama dalam hal prekonomian dengan negara-negara yang notabene adalah negara kafir penjajah bagi negeri-negeri kaum muslimin. Utang luar negeri berbasis ribawi yang setiap tahunnya ditumpuk, yang kerap harus dibayar dengan merelakan aset-aset negara yang seharusnya dipergunakan total untuk fasilitas kepentingan rakyat. Kesemuanya itu tidak pernah dikatakan bertentangan dengan Pancasila atau pun UUD 1945. Mengapa demikian? Karena standar kebenaran nilai Pancasila yang menjadi dasar bernegara bukanlah standar ilahi, melainkan standar materialisme dan pluralisme. Bahkan ketuhanannya pun menganut prinsip pluralisme ini. 

Dalam pandangan pluralisme tidak ada ketauhidan dan standar halal haram, melainkan standar itu adalah ada konsensus atau tidak. Oleh karena itu terkait dengan perbankan, ataupun transaksi penjual belian makanan dan minuman ukurannya juga bukanlah syariat Islam melainkan hukum-hukum ekonomi sekuler. Jadi penyelenggaraan kehidupan segala bidang di negeri ini, tidak didasarkan pada standar halal haram melainkan standar konsensus sekuler. Mengapa bisa terjadi? Karena tidak adanya penerapan sistem dalam institusi yang memaksa untuk melarang penerapan perihal kehidupan yang sejatinya bertentangan dengan syariat Islam. 

Alhasil tidak heran, ketika setiap perjuangan membumikan al-Qur’an kerap dikatakan radikal, dicap intoleran, memecah belah bangsa, anti Pancasila dan bertentangan dengan kebhinekaan. Padahal perjuangannya hanya di tataran pemikiran dan sama sekali tanpa memakai cara kekerasan, salah satunya seperti perjuangan ormas atau kelompok dakwah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang kini telah dicabut paksa Badan Hukumnya. Maka jika kita perhatikan, dapat dikatakan bahwa pembenci penerapan syariat Islam akan selalu berusaha menghambat segala upaya pengemban dakwah sekalipun itu masih berada di tataran ide pemikiran. Mereka sebenarnya sadar bahwa hal terberat dalam memperjuangkan sebuah ajaran adalah perang pemikiran, atau ide karena justru dari perang ide pemikiran inilah yang akhirnya mengerucut pada legitimasi dari suatu ajaran yang di dalamnya ada aturan-aturan bakunya.

Secara ideal seharusnya aktivitas berpikir, beride, berpendapat itu merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus dijamin oleh pemerintahan demokratis negara mana pun. Namun, ketika suatu rezim berkuasa secara represif sebagai akibat terjangkitnya Islamophobia maka ide pun dimusuhi, bermimpi pun dilarang. Ibarat orang yang phobia terhadap hantu, di kegelapan malam hari ia akan merasa ada yang seolah selalu mengawasi hingga ketika ia hanya melihat gerakan daun yang tertiup angin pun sudah lari tunggang langgang karena merasa yang disaksikan adalah hantu yang hendak menerkamnya. 

HTI yang berjuang di tataran pemikiran pun juga mengalami hal serupa yang sebenarnya menunjukkan bahwa negeri ini bukan sejati negeri demokratis. Bahkan ketika proses mengadili ormas HTI dengan tidak mengindahkan due process of law sebagaimana ditetapkan dalam UU Ormas No. 17 Tahun 2013 maka sesungguhnya Indonesia kurang mencerminkan sebagai negara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat 1 UUD NRI 1945, melainkan telah terjerumus menjadi negara kekuasaan yang represif. Siapa sebenarnya yang anti Pancasila? Anti UUD NRI 1945? Radikalisme sebagai sebuah gagasan adalah netral objektif. Baik tidak, buruk pun bukan. Justru agar terjadi dinamika, maka seseorang harus berpikir radikal dalam arti berpikir mendasar, mengakar sehingga dapat digali solusi yang mendasar pula.

Rezim seringkali memiliki definisi politik kekuasaan terhadap radikal dan radikalisme ini, bukan definisi hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara penalaran hukum. Akibatnya, radikalisme menjadi hantu yang penerapannya untuk menjerat lawan sangat bersifat lentur (ngaret) dan obscure ( kabur). Radikalisme yang dilarang oleh UU Terorisme adalah Radikal Terorisme, bukan radikalisme pemikiran yang nir kekerasan dan pemaksaan kehendak. Akhirnya, penulis pun punya definisi sendiri terkait dengan nomenklatur RADIKAL ini. Radikal dalam tatanan pemikiran kami itu adalah RAmah TerDIdik dan BeraKAL. 


Strategi Pengembangan Kegiatan Muamalah di Bidang Ekonomi dengan Menerapkan Islam sebagai Sumber Hukum Utama

Diresmikannya organisasi MES Masyarakat Ekonomi Syariah oleh pemerintah, diduga sebagai terobosan atas kondisi prekonomian negara akibat dampak dari Pandemi. Pembentukan MES disebut juga sebagai momentum untuk menunjukkan bahwa ekonomi syariah memiliki daya tahan lebih baik terhadap gejolak dan krisis. Ucap Erick Thohir pasca terpilihnya dia sebagai Ketua Umum MES 2021-2024. MES juga diharapkan oleh Presiden Jokowi bisa bergerak lebih cepat dalam upaya memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan ekonomi dan keuangan syariah (pikiranrakyat.com 21/01/2021).

Namun akankah pembentukan Masyarakat Ekonomi Syariah ini benar-benar akan menjadi solusi bagi kondisi prekonomian negara dan masyarakat yang tengah dan semakin terpuruk ini? Di saat negara sendiri justru tampak alergi syariat Islam bahkan gencar mengkriminalisasi ajaran Islam, maupun perjuangan tegaknya syariat Islam sebagai sumber hukum utama dalam bernegara. Akankah perilaku sekuler dan islamophobia yang cenderung ditampakkan oleh pemerintah selama ini, akan selaras dan sejalan dengan tujuan peningkatan perekonomian dengan sistem muamalah yang berdasarkan syariah Islam. Kami berpendapat hal tersebut justru tampak ambigu dan terkesan dipaksakan.

Padahal, dari sisi paradigmanya saja sistem muamalah syariah Islam sangat berbeda dengan sistem muamalah ala kapitalis-liberalisme yang berjalan di atas kepentingan segelintir orang dan dengan target untung-rugi semata. Yang dikejar dalam muamalah sistem ekonomi kapitalisme juga hanyalah tentang pertumbuhan saja, dengan memanfaatkan sumber daya yang ada yakni sumber daya alam, teknologi, modal atau tenaga kerja (manusia).

Berbeda dengan muamalah sistem prekonomi Islam, yang tidak hanya mengejar pertumbuhan. Karena sejatinya pertumbuhan itu sesuatu yang alami. Ketika jumlah manusia bertambah, kebutuhan pun bertambah, kemudian kreativitas manusia juga akan bertambah, dan secara otomatis dengan sendirinya ekonomi itu akan tumbuh. Maka yang dikejar dalam ekonomi Islam yaitu pertumbuhan dari sektor riil saja. Sehingga pertumbuhan dalam sistem ekonomi Islam itu adalah pertumbuhan yang benar-benar nyata.

Dengan demikian, jika negeri ini benar-benar menginginkan kemajuan dan pertumbuhan secara ekonominya, maka negeri ini haruslah menerapkan sistem ekonomi yang lebih mengedepankan memanusiakan manusia. Baik posisinya sebagai pekerja, pemilik modal atau perantara di antara keduanya, maka posisi-posisi itu ditempatkan pada posisi yang adil yaitu memanusiakan manusia. Artinya bukan atas dasar azaz manfaat apalagi peeksploitasian satu pihak dengan yang lainnya yang mengatasnamakan syariah Islam. Seperti apa yang tampak dalam program Masyarakat Ekonomi Syariah yang digencarkan Pemerintah saat ini.

Sistem muamalah yang diterapkan hendaklah yang akan menumbuhkan pertumbuhan ekonomi yang ideal. Yaitu saat semua orang bisa diharapkan bisa masuk pasar atau bisa bersaing di pasar. Bukan pada persaingan segelintir orang tertentu. Adapun wakaf, zakat, waris, hibah, sedekah dan lainnya, Itu untuk mengimbangi mereka yang tidak bisa masuk pasar. Yakni orang-orang mempunyai keterbatasan-keterbatasan tertentu, mungkin fisik atau sudah renta. Maka di sinilah mekanisme muamalah ekonomi berbasis syariah mempunyai solusi yaitu mekanisme non pasar untuk menyejahterakan seluruh golongan masyarakatnya. 

Tahukah kita muamalah dalam sistem apakah itu? Ya, muamalah seperti itu hanya akan mampu diterapkan dalam bingkai sistem yang berlandaskan akidah dan syariat Islam, yaitu khilafah Islamiyyah yang dulu pernah diterapkan dan menyejahterakan masyarakat dunia. Bukan dengan sistem kapitalisme yang hanya menjadikan ajaran sebagai tameng dalam mengeksploitasi potensi keuangan masyarakat semata. Hanya dengan muamalah dalam sistem Islam yang secara hakiki dapat mewujudkan kemakmuran dan mencukupi kebutuhan masyarakat, baik dari sektor pasar maupun non pasar. 

Secara praktis, mekanisme muamalah dalam prekonomian sistem Islam yang berlandaskan akidah akan mengharamkan adanya praktik-praktik riba. Karena riba merupakan suatu bentuk kedzaliman yang dapat merugikan pihak satu oleh pihak yang lainnya. Seperti pasar modal yang menjadi tempat berhimpunnya para pemilik modal atau pengusaha (para kapitalis) yang menguasai peraturan dalam prekonomian negeri kita hari ini. Adapun lembaga-lembaga keuangan yang ada, di dalam Islam akan murni sebagai wadah jasa yang menunjang efektivitas pembayaran, menunjang keamanan dan kenyamanan di dalam pembayaran serta memelihara keadilan dan akurasi transaksi dan menghindarkan perbuatan saling mencurangi.

Negara dalam sistem Islam dalam regulasinya akan lebih banyak menekankan pada akad-akad kerja yang jelas sesuai Syara'. Maka keadilan terhadap manusia/masyarakat dalam status apa pun itu akan terjaga sepenuhnya. Negara dengan segala otoritasnya akan mendapat kepercayaan, pabila ingin membentuk organisasi yang berhubungan dengan kepentingan umat/masyarakat. Namun ketika sistem prekonomi kapitalisme yang saat ini diterapkan menjadi dasar pengelolaan atas potensi keuangan masyarakat, yang secara fakta telah banyak dikritisi oleh banyak pihak karena ketidakmampuannya dalam menyejahterakan dan menjaga amanah rakyat, maka wajar ketika masyarakat cenderung tidak percaya apalagi diyakini dapat dijadikan alternatif bagi kondisi prekonomian negara.

Alhasil sistem pemerintahan Islam menjadi satu-satunya yang dapat diharapkan, dan selaras dengan program Masyarakat Ekonomi Syariah dalam suatu negara religius. Yang meletakkan Kitab Suci di atas aturan Konstitusi, Itulah pemikiran secara teoretik. Tidak mungkin masyarakat bisa berharap kepada negara dengan sistem pemerintahan sekuler demokrasi, yang tidak memiliki komitmen utama kepada syariat Islam, namun memberlakuan prinsip-prinsip hukum kitab suci hanya didasarkan pada konsensus yang mengatasnamankan kedaulatan rakyat bukan atas kedaulatan hukum Allah atau syariat Islam. Jadi, selama tidak ada sistem pemerintahan yang sesuai dengan Islam, mustahil prinsip Kitab Suci di Atas Konstitusi dapat diterapkan apalagi diharapkan dapat menerapkan muamalah prekonomian yang berbasis pada syariah Islam. Itulah nalar berpikir yang logis dan sesuai dengan fitrah manusia serta bukan dibuat-buat. 


Berdasarkan analisa di atas, maka sebagai penutup dapat kami tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Konsekuensi Indonesia sebagai negara religius yang penduduknya bermayoritaskan muslim seharusnya dapat menerapkan ajaran Islam secara keseluruhan. Namun pada realitasnya ternyata tidak menjadikan sumber Hukum Islam sebagai sumber pembentukan hukumnya, karena sistem pemerintahan Indonesia tidak menganut sistem pemerintahan Islam melainkan sistem pemerintahan Demokrasi-Sekularisme yang pembuatan hukumnya hanya didasarkan pada konsensus para legislator. Semua tergantung pertimbangan untung rugi yang hanya ditinjau dari kepentingan duniawi. Keberadaan praktik Pasar Muamalah yang diinisiasi umat Islam namun dipermasalahkan ini, adalah sebuah fakta teraktual bagaimana keberadaan ajaran Islam hanya diambil sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsu semata, yang pada saat bersamaan Pemerintah melakukan gerakan Masyarakat Ekonomi Syariah.

Tatkala Islam ternyata tidaklah dijadikan satu-satunya sumber hukum dalam sebuah negara religius, maka yang diharamkan Islam, justru banyak yang diterapkan. Misalnya, lihat saja bagaimana sistem perekonomian yang berbasis ribawi justru terpelihara subur di dalamnya. Yang nampak pada aspek-aspek perniagaannya, bunga bank, asuransi, pegadaian yang tidak sesuai dengan tuntunan syari'at, atau juga penjual belian makanan atau minuman yang diharamkan dalam al-Qur’an namun dilegalkan oleh UU. Mengapa demikian? Karena standar kebenaran yang menjadi dasar bernegara bukanlah standar ilahi, melainkan standar materialisme dan pluralisme. Bahkan ketuhanannya pun menganut prinsip pluralisme ini. 

Jika negeri ini benar-benar menginginkan kemajuan dan pertumbuhan secara ekonominya, maka negeri ini haruslah menerapkan sistem ekonomi di bawah naungan sistem yang berlandaskan akidah Islam, yang lebih mengedepankan memanusiakan manusia. Baik posisinya sebagai pekerja, pemilik modal atau perantara di antara keduanya. Artinya bukan atas dasar azaz manfaat apalagi pengeksploitasian satu pihak dengan yang lainnya yang mengatasnamakan syariah Islam. Seperti apa yang tampak dalam program Masyarakat Ekonomi Syariah yang digencarkan Pemerintah saat ini. Tabik...!


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum dan Liza Burhan
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar