Mosi tidak Percaya Akibat Lunturnya "Trust" Rakyat: Benarkah hanya Pemakzulan atau Pengunduran Diri sebagai Solusi?



TintaSiyasi.com-- Merujuk pada KBBI, kata ‘mosi’ diartikan sebagai keputusan rapat, misal parlemen, yang menyatakan pendapat atau keinginan para anggota rapat. Oleh karenanya mosi tidak percaya diartikan sebagai pernyataan tidak percaya dari DPR kepada kebijakan pemerintah. 

Dalam tesaurus tematis yang diterbitkan oleh Kemdikbud, mosi tergolong ke dalam nomina gerak dan konflik. Mosi tidak percaya sendiri masuk ke dalam istilah konflik politik bersama dengan pemakzulan, pemecatan, penghentian, kudeta, dan subversi. Dengan kata lain, setiap pihak yang "dijatuhi" mosi tidak percaya pada dasarnya diminta untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Mosi ini biasanya datang dari parlemen, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

Ketika berbicara tentang hak-hak DPR, pembahasan akan merujuk pada UUD 1945 Pasal 20A Ayat 2. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa DPR mempunyai hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Dari ketiga hak DPR tersebut, mosi tidak percaya acap kali dihubungkan dengan hak DPR dalam menyatakan pendapat. Dengan menggunakan analogi, DPR sebagai wakil rakyat memiliki hak untuk menyatakan mosi, maka rakyat sebagai pemilik hak seharusnya secara politis juga berhak untuk menyatakan mosi tidak percaya sebagai akibat adanya untrust kepada DPR dan Pemerintah. Bukankah posisi Rakyat di atas DPR dan Pemerintah dalam sistem pemerintahan demokrasi? Jadi, rakyat berhak memberikan mosi tidak percaya kepada pemerintah bahkan kepada DPR yang mewakilinya karena dianggap tidak mampu lagi mengemban amanat penderitaan rakyat. Oleh karenanya trust rakyat telah luntur. 

Luntur, satu diksi yang menggambarkan memudarnya sesuatu (warna, cahaya, sifat, perbuatan) yang melekat pada sesuatu. Kepercayaan atau trust juga termasuk di dalamnya. Sesuatu modal sosial yang dapat timbul, tenggelam hingga memudar, dan hilang. 

Jousairi Hasbulah (2006: 9) menjelaskan unsur-unsur pokok dalam modal sosial meliputi: (1) Partisipasi Dalam Suatu Jaringan; (2) Resiprocity; (3)Trust; (4) Norma Sosial; (5) Nilai-nilai; serta (6) Tindakan yang Proaktif. Trust atau rasa percaya merupakan bentuk keinginan untuk mengambil risiko dalam hubungan sosial yang didasari perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung dan tidak merugikan diri dan kelompoknya. 

Trust, begitu penting dalam membina keberlangsungan dan keutuhan sebuah relasi. Ketika trust mulai luntur dari sesuatu pihak maka sudah barang tentu akan mendorong makin renggangnya suatu relasi bahkan sesuatu pihak itu dapat menarik kembali amanah yang telah dititipkan kepada pihak lain. Bukan hanya menarik amanah itu, bahkan pihak yang telah kehilangan trust itu akan dimintai pertanggungjawabannya baik secara administrasi, perdata hingga pidana. 

Di bidang Hukum Tata Negara, lunturnya trust dari rakyat dapat berakhir pada pemakzulan (impeachment) terhadap seseorang pemimpin yang dahulu pernah dititipi sebuah amanah, tepatnya amanat penderitaan rakyat yang memilihnya dalam sebuah sistem pemilu atau jenis yang lainnya. Berdasarkan KBBI, arti makzul adalah berhenti memegang jabatan atau turun takhta. Sedangkan pemakzulan atau impeachment berarti proses, cara, perbuatan memakzulkan. Istilah pemakzulan dapat pula kita rujuk dari bahasa Arab yakni "makzul", yang artinya diturunkan dari jabatan. 

Salah satu tokoh hukum Indonesia Jimly Asshidiqie mengatakan, "Impeachment adalah tuduhan atau dakwaan sehingga impeachment lebih menitikberatkan pada prosesnya dan tidak mesti berakhir dengan berhenti atau turunnya Presiden atau pejabat tinggi negara lain dari jabatannya." 

Sejarah pemakzulan pertama kali terjadi di daratan Eropa tepatnya di Inggris pada bulan November 1330 di masa pemerintahan Edward III terhadap Roger Mortimer, Baron of Wigmore yang kedelapan, dan Earl of March yang pertama. House of Common sebagai Penyidik dan Penuntut, House of Lord yang mengadili. Di Indonesia House of Lord itu sama seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

Dalam Hukum Tata  Negara di Indonesia, impeachment terhadap seorang Presiden diatur di dalam konstitusi kita, UUD NRI 1945, yaitu pada Pasal 7A. Pasal 7A selengkapnya berbunyi: 

"Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden." 

Yang bisa dijadikan alasan impeachment itu apabila: 

1. Presiden dan atau wakilnya, melakukan tindak pidana berat, yaitu pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana korupsi, dan penyuapan.
2. Presiden dan atau wakil presiden melakukan perbuatan tercela, dan
3. Presiden dan atau wakilnya terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden. 

Proses pemakzulan itu melibatkan tiga lembaga. Yakni, DPR (proses politik), Mahkamah Konstitusi (MK) (proses hukum), dan MPR (proses politik). MK itu yang akan menilai apakah presiden memenuhi perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan  Pasal 7A UUD NRI 1945. Pertanyaan besarnya adalah, apakah luntur-nya kepercayaan rakyat kepada Presiden itu dapat menjadi sebab terjadinya sebuah upaya pemakzulan atau impeachment ketika Presiden dan atau Wakil Presiden tidak melakukan perbuatan hukum yang memenuhi ketentuan Pasal 7A UUD NRI 1945? 

Selain pemakzulan Presiden yang secara legal dijamin oleh konstitusi, ada cara lain untuk mengakhiri kekuasaan rezim pemerintahan tertentu, yaitu dengan mekanisme pengunduran diri sebagai Presiden dan wakil Presiden. Mengundurkan diri dari jabatan dapat ditempuh oleh Presiden sebagai cara paling elegan untuk menunjukan sikap bertanggungjawab, namun sangat jarang ada yang mau melakukan. Ketika seorang Presiden atau Pejabat Politik lainnya merasakan bahwa bebannya terlalu berat dibanding kemampuannya memikul beban tanggungjawab itu maka ia dapat secara elegan menyatakan mundur. 

Proses pengunduran diri ini juga dilindungi secara konstitusional, berdasarkan Tap MPR RI No. VI/MPR-RI/2001 tentang etika kehidupan berbangsa. Dalam Tap MPR ini, diatur pokok-pokok Etika Kehidupan Berbangsa. Dalam bagian etika politik dan pemerintahan, disebutkan bahwa: 

"Etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat." 

"Etika ini diwujudkan dalam sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif, dan tindakan tidak terpuji lainnya." 

Pilih mana, pemakzulan ataukah pengunduran diri ketika Presiden atau Pejabat Politik lainnya merasa tidak mampu menjalankan tugasnya karena terbukti tidak amanah dan tidak lagi dipercaya (distrust) oleh rakyatnya atau dengan kata lain telah terjadi mosi tidak percaya? Keduanya sama-sama konstitusional, namun yang terpenting adalah terpenuhi syarat-syarat bukan hanya yang bersifat legal tetapi juga moral sehingga jauh dari kesan perbuatan makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden atau pejabat politik lainnya. Apakah Anda termasuk yang menyatakan "mosi tidak percaya" akibat trust Anda telah luntur? 

Saya berharap, trust rakyat kepada Pemerintah dan DPR tidak luntur lantaran kedua lembaga negara ini tidak lagi mampu mengemban amanat penderitaan rakyat sehingga pemakzulan dan atau pengunduran diri pejabat negara tidak perlu terjadi. Solusinya jitunya adalah menghilangkan kondisi kondusif dan konteks struktural yang memicu trust rakyat luntur, yaitu: (1) kesenjangan ekonomi, (2) marginalisasi dan diskriminasi, (3) tata kelola pemerintahan yang buruk, (4) pelanggaran HAM dan (5) lemahnya penegakan hukum, (6) konflik vertikal dan horisontal berkepanjangan. Apakah para punggawa negeri ini masih sanggup melakukan kerja keras ini? Kerja keras ini perlu bukti, tanpa harus bermanuver kanan kiri dengan memberikan stempel telah terpapar radikalisme, ekstremisme bahkan terorisme kepada kelompok yang berseberangan dengan mosi tidak percayanya. Tabik...!!!

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum
Pakar Hukum dan Masyarakat
Semarang, Rabu: 10 Februari 2021

Posting Komentar

0 Komentar