Mimpi Bersama Kapolri Baru: Mungkinkah Memiliki Polisi Progresif Dalam Penegakan Hukum?


Saya pernah melontarkan rasa keraguan  terhadap kemajuan dalam penegakan hukum di bawah Kapolri Baru, Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Mungkinkah Kapolri Baru definitif sungguh-sungguh  mampu merealisikan kedelapan komitmennya dalam menjalankan tugas pokok kepolisisan RI sementara selama ini yang dikenal dalam penegakan hukum kita adalah industri hukum? Kapolri Baru menyampaikan delapan komitmennya bila memimpin institusi Polri nanti. Delapan komitmen itu terdiri dari: (1) Menjadikan Polri sebagai institusi yang Prediktif, Responsibilitas dan Transparansi Berkeadilan atau PRESISI);  (2) Menjamin keamanan untuk mendukung program pembangunan nasional;  (3) Menjaga soliditas internal;  (4) Meningkatkan sinergisitas dan soliditas TNI-Polri, serta bekerja sama dengan APH dan kementerian/lembaga lain untuk mendukung dan mengawal program pemerintah; (5) Mendukung terciptanya ekosistem inovasi dan kreativitas yang mendorong kemajuan ekonomi Indonesia; (6) Menampilkan kepemimpinan yang melayani dan menjadi teladan; (7) Mengedepankan pencegahan permasalahan, pelaksanaan keadilan restorative justice dan problem solving; (8) Setia kepada NKRI dan senantiasa merawat kebhinekaan. 

Mengapa kita menyangsikan 8 Komitmen Calon Kapolri baru tersebut di muka? Saya tertarik dengan analisis jurnalistik yang dibuat oleh Wartawan FNN Luqman Ibrahim Soemay tanggal 19 Januari 2021 (sebelum Kapolri dilantik). Luqman secara eksplisit meragukan kemampuan kemauan dan komitmen Calo Kapolri tersebut untuk membawa penegakan hukum di Indonesia menjadi lebih baik. Mengapa demikian? Karena menurut Luqman harus diakui bahwa Calon Kapolri mempunyai masalah nyata, yang tidak bisa disederhanakan, juga tidak bisa dibiarkan. Akan sangat membahayakan bangsa dan negara ini ke depan. Apa masalah nyata Sigit itu? Menurut Luqman,  Bareskrim yang dikomandani  itulah  yang memiliki rekam jejak "bopeng"-nya penegakan hukum di Indonesia sehingga terjebak dalam industri hukum yang telah beberapa kali dibahas dalam artikel saya. 

Sebagai negara hukum, Indonesia membutuhkan sebuah sistem hukum di mana negaralah yang mempunyai otoritas penuh dalam menegakkan penerapan hukum. Negara berdaulat penuh untuk melaksanakan seluruh hukum, negara tidak boleh dalam kendali atau intervensi sebuah kelompok tertentu (oligarkh) dalam melaksanakan penegakan hukum. Dan maka dari itu pula para polisi, jaksa atau hakim, pengacara di dalam sistem hukum yang baik, yang diberi amanah untuk mengadili suatu perkara haruslah dari orang-orang yang berderajat sebagai manusia terpilih yang  memahami betul perkara dan hukum-hukum yang telah dibentuk dengan cara terbaik sehingga tidak gegabah bahkan keliru dalam menjatuhkan suatu vonis. 

Dengan penerapan hukum yang berlandaskan kebenaran dan keadilan yang tegas seperti ini akan secara nyata dapat melindungi umat/masyarakat dari berbagai tindakan kejahatan serta memberikan rasa keadilan dan melindungi masyarakat atau para penegak hukum dari praktik-praktik penyimpangan dalam penegakan hukum termasuk terlibat dalam praktik industri hukum. Polri tidak berhak membuat aturan untuk rakyat, yang berlaku umum apalagi disertai ancaman berupa sanksi. Apa haknya? Hanya DPR bersama Presiden dan atau DPRD bersama Kepala Daerah yang bisa melakukannya. Polri tidak berhak membuat regulasi disertai sanksi. Tugasnya menegakkan hukum bukan membuat hukum. Tugasnya mengayomi, dan melayani bukan ikut kompetisi. Bagaimana dengan sekedar maklumat Kapolri? Ini bukan negara polisi, jadi Kapolri juga tidak bisa membuat aturan semaunya sendiri, maklumat apa pun yang dikenakan untuk semua rakyat. Dari sisi hukum, maklumat semacam itu tidak dapat dipertanggungjawbkan, dan harus dianggap tidak ada, dan tidak berlaku. 

Masih ingatkah syair lagu yel-yel para suporter sepak bola yang sering kita dengar? Dengan nada riuh rendah mereka berteriak lantang merajuk dengan kalimat: "...Tugasmu mengayomi..! Tugasmu mengayomi..! Pak Polisi.. Pak Polisi... jangan ikut kompetisi...!" Apa pesan yang tersirat dari syair lagu itu? Para suporter itu sebenarnya sedang menyampaikan "pesan langit" agar polisi itu objektif, netral dan melindungi pelaksanaan pertandingan sepak bola yang ditengarai ada potensi pak polisi ikut "berkompetisi" dalam pertandingan yang sedang berlangsung. Kalau hal itu kita kaitkan dengan kehidupan hukum, politik dan HAM, maka polisi juga harus netral, tidak berpihak ketika ada warga negara sedang menjalankan hak asasinya. Bukan sebaliknya memihak rezim atau bahkan menjalankan "pesanan" tertentu dari sebuah rezim penguasa. 

Ketika ada orang atau sekelompok orang menjalankan haknya secara konstitusional, polisi harus mengayomi dan melindungi potensi terganggunya pelaksanaan hak tersebut dari ancaman, intimidasi, persekusi dari kelompok lain. Dalam satu waktu itu tidak boleh ada masa aksi tandingan yang berusaha menggagalkan acara konstitusional tersebut. Tidak boleh ada pembiaran masa merangsek ke kelompok yang sedang menjalankan haknya untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Ini negara demokrasi, Bung!Untuk menghindari police state dan konsen pada pemihakan terhadap penderitaan rakyat, polisi negara RI harus kembali kepada fungsi pokoknya yaitu: 

(1) Memelihara keamanan dan keteriban masyarakat;
(2) Melindungi, melayani dan mengayomi masyarakat;
(3) Menegakkan hukum yang tetap dibingkai oleh etika kehidupan berbangsa sebagaimana yang telah disebutkan yaitu: 

(1) Meniscayakan penegakan hukum secara adil;
(2) Perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warga negara di hadapan hukum;
(3) dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya. 

Meskipun Polri telah mempunyai tugas menegakkan hukum, polisi tidak boleh menjadikan kewenangan dan aturan hukum sebagai alat gebuk terhadap rakyat yang sedang menjalankan hak konstitusional di tengah penderitaan bersama dalam pandemi corona di negeri ini. Maka dalam hal ini penegakan hukum pun harus dilakukan secara progresif, yakni penegakan hukum yang memperhatikan konteks, pelaku, dan segala faktor yang meliputinya tanpa melakukan pemihakan apalagi turut serta berkompetisi. 

Sebagai penegak hukum yang berhadapan langsung kepada masyarakat, polisi seharusnya bertindak progresif apabila perlu menggunakan kewenangannya untuk menggunakan diskresi secara patut sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.  

Karakter polisi yang progresif itu ditunjukkan dengan perilaku sebagai berikut: 

(1) Dengan kecerdasan spiritualnya (spiritual quoition) seorang penegak hukum termasuk polisi tidak terkungkung oleh peraturan bila ternyata peraturan hukum itu justru tidak menghadirkan keadilan; 

(2) Polisi sebagai penegak hukum mau melakukan penafsiran terhadap peraturan hukum khususnya dalam melakukan penemuan-penemuan hukum (rechtsvinding) melalui pencarian makna yang lebih dalam (deep interpretation) dari suatu teks dan konteks hukum sehingga tidak terjebak dengan makna-makna gramatikal yang dangkal; dan 

(3) Polisi sebagai penegak hukum mau memiliki kepedulian dan keberpihakan terhadap rakyat, pihak-pihak yang lemah yang harsi dijamin dan diindungi hak-haknya (compassion). 

Ada 2 syarat untuk menjadi sosok polisi progresif yaitu: (1)  Braveness (keberanian); (2) Vigilante (jiwa pejuang kebenaran dan keadilan). Keberanian untuk apa? Keberanian untuk menjalankan tugasnya, yakni melindungi dan mengayomi seluruh rakyat meskipun dinilai rakyat itu berseberangan pendapatnya dengan Pemerintah yang sedang berkuasa. Kembali saja kepada aturan normatifnya, bagaimana seharusnya polisi bertindak atas nama rakyat. Keberanian itu akan muncul manakala kesadaran politik setiap insan meyakini kebenaran yang diperjuangkannya. Vigilante! Polisi pun seharusnya menjadi pejuang penegak kebenaran dan keadilan. Sulit memang menemukan sosok untuk berani membela kebenaran dan keadilan jika karakter moralitas dan juga religiusitas pribadinya melemah dan kehilangan sosok panutan. No law without moral, no moral without religion. 

Oleh karena itu, komitmen Kapolri Baru ini bisa jadi hanya macan kertas ketika Polri tidak menegakkan hukum secara progresif dan kita masih terjebak dalam indsutri hukum, bahkan hanya akan menjadi mimpi bersama yang tak kunjung dapat direalisasikan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pokok kepolisian RI. Kasus besar menyangkut pembunuhan 6 anggota laskar FPI dan penahanan HRS serta kasus dugaan rasialisme dan penistaan agama oleh Abu Janda alias Permadi Arya menjadi tantangan serius bagi Kapolri Baru. Akankah: "Equality before the law just a myth that lie daily?" Masihkah hukum laksana pisau dapur, tajam ke bawah tumpul ke atas? Maka, masih tepatkah dikatakan oleh Marc Galanter bahwa: "the haves always come out ahead"? Masihkah akan tetap begitu? Harapan  kita tentu tidak! Tabik!. []

Semarang, Senin: 1 Febuari 2021

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum

Posting Komentar

0 Komentar