Lagi, Prof. Din Dituduh Radikal: Inikah Cara Mendegradasi Karakter Kampus yang Bertugas Meruhanikan Ilmu


Beredar luas pemberitaan di berbagai media bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Din Syamsuddin dilaporkan kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) atas tuduhan radikalisme oleh Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB). Pelaporan tersebut berkenaan dengan pelanggaran kode etik dan kode perilaku. Awalnya, pelaporan tersebut sudah dilayangkan ke KASN melalui e-mail dan surat pada Oktober tahun lalu (2020). Kemuadian GAR ITB mendatangi langsung KASN berharap pelaporan tersebut langsung ditanggapi. Salah satu isi laporan yakni soal sikap Din yang dianggap mengeksploitasi sentiman agama.  

Langkah GAR sebenarnya bukan hal yang baru. Kelompok ini pernah meminta agar Din Syamsuddin dicopot dari Majelis Wali Amanat ITB. Permintaan ini tertuang dalam surat yang ditujukan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Ketua Wali Amanat ITB. Sebagaimana diberitakan oleh Tempo.com, 26 Juni 2020 Gerakan Alumni itu menuntut Din Syamsudin mundur dari MWA ITB karena 3 alasan: 

Pertama, dianggap terlalu sering mengkritik pemerintah; kedua, dianggap terlibat dalam Webinar pemakzulan Presiden; ketiga, dianggap tak segan menyerang Pemerintah Jokowi. 

Pada prinsipnya Prof. Din Syamsudin dianggap telah melanggar ketentuan Statuta ITB dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 2013 tentang Statuta ITB dan Peraturan MWA tentang Penetapan Tri Dharma dan Otonomi Pengelolaan ITB PTNBH. Peraturan tersebut di antaranya menegaskan bahwa hubungan eksternal dengan pihak pemerintah, alumni, tokoh masyarakat, dan komunitas harus dikelola dengan baik dan berkesinambungan. 

Benarkah cara berpikir alumni yang notabene merupakan bagian kampus yang tidak terpisahkan? Apakah mereka tidak memahami bahwa tugas kampus itu meruhanikan ilmu yanh berarti karakter berpikir kritis (critical thinking) adalah andalannya? 

Atas peristiwa tuntutan mundur dan usulan pemeriksaan oleh KASN terhadap insan kampus yang kritis, mengingatkan saya pada peristiwa penyematan kampus radikal di Indonesia berdasarkan hasil penelitian Setara Institute sebagaimana diberitakan oleh Suara.com, 31 Mei 2019. Direktur Riset Setara Institute, Halili mengungkapkan, sebanyak 10 perguruan tinggi negeri di Indonesia terpapar paham radikalisme, termasuk di dalamnya adalah ITB. Bahkan, dikatakan yang paling parah itu ITB. 

Tahun 2018 dan 2019 memang banyak muncul berita tentang radikalisme di kampus. Tahun-tahun itu seperti musim panen raya isu radikalisme, termasuk masjid dan pesantren. Itu fakta atau propaganda? Dikatakan fakta, ternyata banyak bukti yang menunjukkan tidak nyatanya fenomena itu di kampus yang dituduh radikal. Jika oleh Setara Institute disebutkan ada 10 kampus terpapar radikalisme, setidaknya ada 7 kampus negeri di Indonesia yang diframe melalui riset BNPT sebagai kampus radikal. Namun sayangnya, mahasiswa di kampus-kampus tersebut justru merasa heran dengan penyematan status radikal itu karena mereka merasa tidak ada fenomena radikalisme di setiap kegiatan kampusnya. Tidak ada unsur pemaksaan kehendak apalagi penggunaan kekerasan untuk menerapkan suatu ideologi tertentu. Mereka beraktifitas biasa, aktivitas badan-badan kegiatan mahasiswa semuanya berjalan normal, tidak terpapar hingga "gosong" wajahnya karena radikalisme. 

Singkat cerita waktu itu mahasiswa menolak penyematan status radikal pada kampus yang dicintainya. Mereka juga menanyakan tentang narasi hukum itu apa? Ini narasi ilmiah, narasi hukum ataukah narasi politik? Semuanya belum jelas, sehingga membuat orang membuat narasi sendiri sesuai kepentingannya. Bila para mahasiswa di kampus-kampus yang disematkan status radikal itu menolak bahkan heran dengan temuan riset pihak tertentu itu, lalu apakah radikalisme di kampus itu fakta atau propaganda? Anda mungkin bisa menilai sendiri. 

Tugas kampus adalah meruhanikan ilmu pengetahuan. Ruhani itu berarti bicara tentang cipta, rasa dan karsa. Ini yang kita sebut dengan akal. Akal inilah yang mendasari mengapa seorang ilmuwan harus berkarakter radikal. Narasi saya tentang radikal adalah: ramah terdidik berakal. Artinya "critical thinking" adalah cara insan kampus berpikir terlepas dari kepentingan hegemoni kekuasaan rezim bahkan kalau perlu berani memberikan kritik atas kekeliruan kebijakan rezim penguasa, bukan membebek dan mengamini kekeliruan tersebut. Itu baru bisa disebut kampus yang meruhanikan ilmu. Bila tidak, sebenarnya kampus itu tidak ubahnya seperti "kepanjangan tangan" rezim. 

Seorang ilmuwan mesti mengutamakan akal dalam bersikap, berpendapat dan bertindak. Seseorang dikatakan berakal bila masih ada ikatan antara cipta, rasa dan karsanya.Cipta: bertugas pada pencarian kebenaran. Rasa: bertugas mewujudkan keindahan, keseimbangan. Karsa: bertugas mengarahkan pada kebaikan. 

Ketika seorang ilmuwan telah: pertama, terinjak kakinya lantaran masalah besarnya; kedua, terbujuk dengan janji manis; ketiga, tidak mampu lagi berArgumentasi;
maka tunggulah kelumpuhan intelektualitasnya hingga tak lagi dapat diharapkan ada perubahan ilmu yang idealogis apalagi berharap keberkahannya. 

Ilmu tanpa praktik hanya menjadi macan kertas. Garang di atas kertas tapi lumpuh di alam nyata. Seonggok kata-kata tanpa makna, sebatas syair jampi-jampi yang meninabobokkan; sedang praktik tanpa ilmu hanya akan menggiring manusia ke arah kehancuran karena kehidupan yang dijalani nir ideologi, nir akal sehat. Maka tugas utama kampus, universitas adalah meruhanikan ilmu sehingga mampu menuntun kehidupan manusia menjadi lebih baik. Itulah kampus yang diharapkan mampu memanusiakan manusia yg hakikatnya adalah mahluk ruhani. Dan, itulah kampus yang mendekatkan dirinya terhadap persoalan masyarakat, bukan menara gading. 

Oleh karena itu, kampus itu harus: pertama, menyuarakan kebenaran sebagai kewajiban pokok ilmuwan; kedua, menampilkan keindahan sebagai tugas mulia ilmuwan; ketiga, mendukung kebaikan sebagai sikap santun seorang ilmuwan. 

Kampus hendaknya tetaplah berkarakter radikal. Ramah, Terdidik dan Berakal. Pemberangusan karakter radikal hanya akan berakhir pada kemandegan ilmu pengetahuan dan kejumudan berpikir yang akan berakhir pada situasi yang dalam bahasa Jawa kasar disebut "micek", yakni membutakan diri dengan tidak peduli terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran serta ketimpangan sosial. 

Prof. Din Syamsudin bukanlah pribadi radikal terorisme, beliau hanya menjadi insan radikal karena pikiran-pikirannya yang mendasar hendak berusaha mencari akar masalah segala kerumitan bangsa dan negara Indonesia. Di negara yang menganut paham demokrasi dan "the open society" siapapun harus bijak menyikapi kritik. Kritikus itu bukan ditempatkan sebagai musuh (enemy), tapi sebagai sparing partner permainan yang harus dirangkul, bukan dipukul. 

Jika karena kritisisme pemikirannya lalu Prof. Din Syamsudin mengundurkan diri atau diberi sanksi disiplin pegawai atas rekomendasi KASN karena tekanan kelompok alumni yang mengklaim dirinya AntiRadikalisme, maka di kampus ITB dan atau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah terjadi proses pelumpuhan karakter kampus yang bertugas meruhanikan ilmu pengetahuan. 

Dan akhirnya di sisi lain patut diduga bahwa kelompok itulah yang justru terpapar sekulerisme radikal serta intoleransi keberagaman. Apakah ini sebuah gejala bahwa kita menuju "new normal baru" berupa sistem neo komunisme Indonesia? Sistem perekonomian-nya dilepas secara liberal kapitalistik, tetapi sistem politiknya dicengkeram dengan balutan otoritarianisme. Betulkah? 

Sebaiknya GAR mencabut laporannya atas Prof. Din Syamsudin karena akan kontraproduktif dengan tekad Presiden Jokowi yang justru meminta kepada masyarakat untuk "mengkritik" kebijakan-kebijakan pemerintah. Bahkan, setahu saya Pramono Anung, Sekab, menekankan bahwa Pemerintah membutuhkan kritik pedas agar kinerjanya menjadi lebih baik. Lalu, apa kata dunia jika kemudian kritik itu lalu membuat warga negara menjadi bergidik? Jika kritik berakhir sanksi, bahkan kritik terancam jeruji penjara maka justru yang terjadi adalah terkesan masyarakat bahkan boleh jadi Pemerintah telah terjangkiti sindrom pobhia. Atau terkait dengan kritik Prof. Din yang nota bene seorang cendekiawan muslim, mungkinkah sebagian masyarakat luas sekarang telah mengidap sindrom Islamopobhia? Tabik! []

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum
(Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat)

Semarang, Sabtu: 13 Februari 2021

Posting Komentar

0 Komentar