Kritik Berpotensi Delik: Inikah Implikasi Politik Bermuka Dua dalam Hipokrisi Demokrasi?



TintaSiyasi.com-- “Anda bebas berbicara tetapi saya tidak menjamin kebebasan Anda setelah berbicara.” “Kritiklah daku, kau kutangkap.” Itulah beberapa satire warganet merespons pernyataan Presiden Jokowi saat meminta masyarakat lebih aktif memberikan masukan dan kritik pada pemerintah sebagai bagian mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik. Demikian salah satu isi sambutan Jokowi dalam Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI, Senin, 8 Februari 2021 (TEMPO.CO, 8/2/2021).

Menyambung ucapan presiden, dalam peringatan Hari Pers Nasional, Selasa (9/2/2021), Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyampaikan bahwa bagi pemerintah, kebebasan pers, kritik, saran, masukan, itu seperti jamu, menguatkan pemerintah. Baginya, pemerintah memerlukan kritik terbuka, pedas dan keras, untuk membangun lebih terarah dan benar (wartaekonomi.co.id, 9/2/2021).

Pernyataan presiden tersebut sontak mengundang tanggapan berbagai elemen masyarakat. Aroma distrust menguar. Beberapa pemerhati politik dan aktivis berbagai organisasi masyarakat sipil menilainya bak tong kosong berbunyi nyaring. Tersebab apa yang keluar dari lisan berkebalikan dengan laku tindakan. 

Sejumlah bukti diajukan. Dari ancaman kebebasan sipil dengan maraknya pelaporan dan penangkapan aktivis, hingga pembungkaman ruang kritik melalui kepungan regulasi dalam beberapa pasal karet di UU ITE dan KUHP yang berpotensi digunakan untuk kriminalisasi ekspresi.

Mereka khawatir, kritik yang disampaikan bakal dibayangi oleh ulah para pendengung (buzzer) pro pemerintah atau berujung pada kasus hukum berdalih melanggar Undang-undang No.19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Selama ini, UU ITE menjadi momok masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya lantaran banyak kasus yang terjadi. 

Ya, paradoks berpolitik tengah dipertontonkan. Beranjak dari fakta yang telah dan tengah berlangsung, dengan mudah masyarakat bisa menilai bahwa penguasa sedang memainkan wajah ganda. Berwajah manis namun berperilaku bengis. Apa yang diucapkan tak lebih sebagai ‘abang-abang lambe’ atau lip service. Sebuah fenomena yang sangat mungkin terjadi dalam penerapan demokrasi, sistem politik ambigu nan hipokrit (munafik).  

Rezim Menjadikan Kritik sebagai Delik, Lahir dari Hipokrisi (Kemunafikan) Demokrasi

Permintaan Presiden Jokowi agar masyarakat lebih aktif mengkritik pemerintah, tak hanya terjadi saat ini. Dalam video yang diunggah pertama kali pada 18 Juli 2012, ketika Jokowi masih menjabat Walikota Solo (hanya beberapa bulan sebelum dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta), ia menyatakan kangen dan minta didemo karena pemerintah perlu dikontrol. 

Namun lidah tak bertulang. Pada pertengahan tahun 2017, CNN Indonesia merilis artikel bertajuk Gejala Anti Kritik Rezim Jokowi. Saat itu marak terjadi penangkapan aktivis, baik dengan tudingan makar maupun penghinaan terhadap presiden melalui jejaring media sosial yang dipandang melanggar UU ITE.

Menengok apa yang terjadi pada tahun 2020, sikap anti kritik tak lagi sebatas gejala. Penguasa nampak terang benderang menampakkan diri sebagai anti kritik seraya -salah satunya- melekatkannya dengan narasi perang melawan radikalisme dan ujaran kebencian alias hate speech. 

Bahkan 2020 sering disebut sebagai tahun kelam demokrasi. Pasalnya, banyak kasus terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dipersoalkan melalui pidana atau pun dengan cara di luar proses hukum terhadap aktivis, mahasiswa, hingga jurnalis. Modus yang muncul sepanjang 2020 adalah penangkapan sewenang-wenang, kekerasan yang berlebihan, pembubaran paksa, penghalangan ruang gerak, intimidasi, pembiaran kekerasan oleh kelompok organisasi masyarakat (Ormas), peretasan akun media sosial, pencitraan buruk hingga penghalangan akses bantuan hukum.

Selain itu, tak ada definisi baku yang disebut pendapat, masukan, kritikan, protes, nyinyiran dan hujatan. Rezim hanya punya satu perspektif menilainya. Selama yang dinarasikan berkonten berseberangan dengan kepentingannya maka berpotensi sebagai ujaran kebencian. 

Berbagai perangkat pun dibuat. Pasal karet dalam UU ITE menjadi alat kebiri suara kritis masyarakat terhadap berbagai kebijakan penguasa. Pasukan buzzer yang diduga dibiayai APBN, telah disiapkan untuk menghempas opini kritis di media sosial. Khusus ASN, ada satgas pengawas dan pembina ASN yang siap menerapkan sanksi tegas bagi yang terbukti mengkritisi pemerintah dan dipandang radikal. 

Adapun pembentukan kabinet jilid dua yang meletakkan isu radikalisme sebagai core of the core terus membuat program-program turunan. Wacana aktivasi polisi siber pada 2021 akan menjadi momok baru yang menghantui curhat kritis di dunia maya. Terakhir, penerbitan Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanggulangan Ekstremisme. Kurang perangkat apa lagi demi memberangus kebebasan berekspresi? 

Diakui atau tidak. Dampak kebijakan zalim yang terus diproduksi penguasa telah memutus urat takut sebagian rakyat. Ada kecenderungan nekat meski tahu resikonya bakal dibawa ke penjara atau pulang tinggal nama. Mengapa penguasa seolah bergeming atas semua kritik rakyatnya, bahkan tak khawatir dengan cap represif yang dilekatkan kepadanya?

Inilah harga yang harus dibayar penguasa, saat memilih konsisten menerapkan sistem demokrasi kapitalis neoliberal yang pro kepentingan kapitalis. Pada praktiknya, sistem seperti ini pasti akan menabrak proses partisipasi rakyat, sekaligus menihilkan proses dialog yang akomodatif terhadap kepentingan dan maslahat rakyat banyak.

Maka, jangan pernah menaruh asa terhadap pembelaan hak-hak asasi manusia, kemanusiaan yang adil dan beradab, permusyawaratan dalam hikmat kebijaksanaan, keadilan bagi seluruh rakyat dan hal-hal normatif lainnya akan menjadi tolok ukur pembangunan atau pengambilan keputusan. Kalaupun isu ini diangkat, hanya ada dalam konsep dan wacana di ruang-ruang sidang. 

Harga kebutuhan pokok yang gagal ditekan meski kran impor dibuka lebar, melangitnya tarif layanan publik, merangseknya pekerja asing di tengah gunungan pengangguran, kriminalitas dan dekadensi moral yang kian mengancam tapi terkesan tak serius diselesaikan, terlebih di tengah lara pandemi saat ini, jelas menyakiti hati rakyat dan membuat mereka merasa hidup tanpa perlindungan dan pengurusan penguasa. Lantas, rakyat mesti mengadu kemana?

Ini diperparah dengan perselingkuhan penguasa dan pengusaha. Pun tingkah laku pejabat yang cenderung pro asing dan rela menjadi makelar proyek penyejahteraan negara-negara asing. Sementara di saat sama, banyak pejabat yang tersandung kasus korupsi dan berujung pelemahan fungsi lembaga anti rasuah selevel KPK. Padahal, yang terkena kasus adalah orang-orang yang kerap lantang berteriak “Saya Pancasila dan NKRI Harga Mati” serta julid terhadap mereka yang dianggap oposisi.

Fakta-fakta inilah yang terus memupuk kekecewaan masyarakat. Wajar jika negeri ini tak steril dari protes dan keriuhan. Kalaulah tak terjun di aksi massa, rakyat tanpa tabu mengungkap keluh kesahnya di ruang-ruang publik sebebas media sosial. Jagat maya begitu ramai membincang realitas hidup yang kian sulit. Menyurhat tentang penguasa yang minus hati nurani. Mengisah tentang asing yang kian memenuhi sudut negeri.

Hingga di satu titik, tentu kondisi ini dianggap membahayakan. Bagaimanapun, penguasa tetap butuh legitimasi alias dukungan dari rakyat. Meski harus diperoleh dengan cara paksa (curang). Sebagai pemegang kendali atas sumber-sumber kekuatan, rezim akan mudah melakukan semuanya. Media mainstream, kekuatan militer, polisi, ormas, bahkan dana negara, semua digerakkan demi membangun dukungan. Dan di saat sama, digunakan untuk memberangus kebebasan berpendapat dan berorganisasi di tengah masyarakat yang berpotensi melakukan penolakan.

Upaya memberangus kebebasan tak hanya menunjukkan bermuka duanya penguasa. Pun sekaligus menguak hipokrisi demokrasi, sebagai sistem politik tumbuh dan berkembangnya rezim. Demokrasi hipokrit melahirkan rezim hipokrit adalah keniscayaan tak terbantahkan. Jargon kedaulatan rakyat hanyalah utopi. Ide kebebasan dan HAM yang diagung-agungkan pun sekadar mimpi. 

Justru dengan ide kebebasan ala demokrasi inilah yang menjadi titik kritis untuk dimainkan pengembannya sesuka hati. Jadilah kebebasan berstandar ganda. Lahirlah penguasa SSK ( Suka-suka Kami). Pun karakter rezim yang anti kritik. Kebebasan hanya milik penguasa dan orang (kelompok) yang berada di lingkaran tahta. Bukan bagi kaum oposan yang berdiri di seberang istana penguasa. 

Inilah wajah asli demokrasi dan rezim yang dibesarkannya. Sama-sama hipokrit. Buruknya karakter sistem dan sikap rezim ini –disadari atau tidak- telah mengantarkannya pada gerbang keterpurukan. Salah satu gejalanya nampak dari hasil jajak pendapat yang dilakukan lembaga survei Indikator Politik pada 1-3 Februari 2021.

Dalam survei tersebut, tingkat kepuasan publik terhadap presiden hanya 62,59 persen di mana turun sekitar 5 persen dari 2019. Bahkan ini merupakan titik terendah sejak 2016. Di survei yang sama, Indikator juga mengungkap tingkat kepuasan publik terhadap kinerja demokrasi sebagai sistem pemerintahan hanya sebesar 53 persen. 

Jika ‘pengkhianatan’ terhadap hak-hak rakyat terus berlangsung, maka hakikatnya rezim dan demokrasi tengah bunuh diri yang pelan namun pasti akan mengantarkan pada kematiannya yang hakiki. Begitulah kerapuhan sistem hidup buatan manusia. Penuh kelemahan, keraguan dan ketidakjelasan dalam memberikan aturan. Jika telah terbukti keburukannya, akankah rezim dan sistem ini terus dibela dan dipertahankan?

Politik Bermuka Dua, Minta Dikritik Versus Pengkritik Dikenai Delik

Di era pemerintahan siapa pun dan kapan pun, kritik adalah satu hal yang tak bisa dihindari. Dalam mengelola urusan rakyat, kebijakan penguasa berpotensi tak memuaskan semua pihak. Pun sebagai manusia, kepemimpinannya pasti diliputi kekurangan. Di sinilah kritik hadir sebagai katarsis kekuasaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kritik bermakna kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya.

Terkait cara rezim merespons kritik yang ditujukan padanya, pemerintahan Jokowi sering mendapat sorotan publik. Banyak pihak membandingkan sikap rezim saat ini dengan sebelumnya yang bermuara pada kesimpulan ‘emoh’ dikritik dan lebih emosional. Maka, saat presiden dan sekretaris kabinet koar-koar minta dikritik, berbagai ungkapan ketidakpercayaan bahkan sinisme muncul. 

Salah satunya berasal dari KontraS. Peneliti KontraS Rivanlee Anandar menilai pernyataan presiden sebagai ironi. Karena justru menunjukkan presiden tidak memerhatikan situasi dan kondisi penyusutan kebebasan sipil yang ditunjukkan dengan serangkaian pelaporan sampai dengan penangkapan individu yang sedang menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyeimbangkan diskursus negara.

KontraS mencatat, hingga Oktober 2020, ada sebanyak 10 peristiwa dan 14 orang yang diproses karena mengkritik Presiden Jokowi. Juga ada 14 peristiwa, 25 orang diproses dengan objek kritik Polri, serta 4 peristiwa dengan 4 orang diproses karena mengkritik Pemda. Menurut Rivan, jika presiden menginginkan kritik, beri dan jamin ruangnya dari ancaman pasal karet yang ada selama ini (TEMPO.CO, 10/2/2021).

Senada dengan KontraS, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto menilai pernyataan presiden tepat mengingat kebebasan berpendapat dijamin konstitusi. Namun yang menjadi masalah, ruang kritik itu justru kerap dibungkam. Pernyataan presiden tidak disertai dengan jaminan perlindungan kebebasan. 

SAFEnet memetakan sejumlah aturan yang dinilai membuka celah pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Di antaranya Pasal 26 UU ITE, Pasal 27 ayat 1 UU ITE dan Pasal 40 UU ITE terkait blokir konten. Kemudian, Pasal 40 ayat 2b UU ITE terkait internet shutdown. 

Selanjutnya, Pasal 27 ayat 3, Pasal 28 ayat 1 dan 2, Pasal 29 UU ITE, KUHP 310-311, 156, 156a yang dinilai berpotensi untuk kriminalisasi ekspresi. Pasal karet dinilai paling banyak terdapat di UU ITE. Studi koalisi masyarakat sipil berdasarkan kasus yang dikumpulkan sepanjang 2016-2020, tingkat penghukuman dengan UU ITE sangat tinggi, yakni 96,8 persen (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan 88 persen (676 perkara) (TEMPO.CO, 11/2/2021).

Berangkat dari fakta ini, wajar jika banyak kalangan mempertanyakan motif pernyataan Jokowi yang minta lebih banyak dikritik. Ada beberapa kemungkinan latar belakang ucapannya. Pertama, didorong oleh fakta atau riset terbaru tentang indeks demokrasi yang turun drastis. Kedua, merosotnya indeks kepercayaan terhadap pemerintah. Ketiga, takut citranya rusak dan terus dicap sebagai pemimpin otoriter. Keempat, untuk meredam para pengkritik yang menilai kondisi pemerintahan saat ini kurang berjalan baik.

Disadari atau tidak, sikap kontradiktif penguasa kian menampakkan wajah aslinya. Jika ucapan ini tulus, maka akan mencerminkan sikap kenegarawanan. Namun jika hanya basa-basi, maka itu tak lebih dari aksi pencitraan. Lebih jauh, pernyataan tersebut menunjukkan praktik politik bermuka dua. Kekuasaan berwajah hipokrit. Di satu sisi, menunjukkan pesan positif untuk bersedia dikritik. Di sisi lain, terus menangkap atau menghantam pihak yang lantang mengkritik kekuasaan.

Dalam politik negara, komitmen kepada rakyat adalah hal utama. Memainkan politik muka dua sejatinya sama saja dengan bentuk hipokrisi politik. Hipokrisi selalu menumbuhkan sikap politik plin-plan dan mencla-mencle. Esuk dhele, sore tempe. Bahkan, dalam bertindak tidak segan menempuh penghalalan segala cara demi kepentingan diri dan kelompoknya.

Pada taraf ini, hipokrisi politik tentu berbahaya. Politisi merupakan ujung tombak dalam membela kepentingan rakyat. Pada merekalah rakyat berharap dan menitipkan aspirasi (amanah) untuk diperjuangkan. Namun bagaimana jadinya bila amanah itu dikhianati?

Permainan politik jenis ini adalah kejam. Kekejaman politik bermuka dua adalah menampilkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan untuk menumbuhkan harapan dan citra positif di mata rakyat. Sedangkan subtansinya adalah demi keuntungan pribadi dan kelompoknya belaka.

Adagium politik yang menyatakan ‘tidak ada kawan atau lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi,’ benar-benar dipraktikkan oleh politisi hipokrit. David Runciman, dalam bukunya Political Hypocricy: The Mask of Power, from Hobbes to Orwell and Beyond (2010) menjelaskan, politik muka dua merupakan cermin hipokrisi politisi. Di atas panggung politik, para politisi berpura-pura memainkan peran yang sama sekali bukan dirinya.

Politisi hipokrit seakan memiliki keahlian lain dalam menampilkan dirinya di depan setiap orang. Kepiawaian mereka bertutur kata manis dan bertopengkan seribu wajah tidak diragukan. Mereka sering menampilkan topeng wajah kebaikan yang mendatangkan tepuk tangan meriah dan kekaguman. Padahal sesungguhnya itu hanyalah tipuan.

Jika yang terjadi seperti ini, mungkinkah pernyataan presiden akan mendapatkan respon positif dan diamini oleh rakyat? Sebenarnya masyarakat tidak segan menyampaikan kritik kepada pemerintah. Namun, masyarakat sudah lebih dulu hidup dalam ketakutan. Diduga, kita tengah dalam fase masyarakat jeri atau mengalami keengganan menyampaikan pendapat akibat eksisnya regulasi yang membatasi kebebasam berekspresi. 

Masyarakat tentu berhitung. Jika menyampaikan kritik, apakah ada jaminan tidak akan terciduk UU ITE. Dan faktanya, tak ada satu jaminan pun saat ini. Maka, hendaknya pemerintah jangan hanya mengimbau masyarakat kritis, namun juga harus menjamin kebebasan berpendapat. Jika tidak, masyarakat berada dalam situasi dilematis. Kalau bersuara masuk penjara, jika tidak bersuara praktik buruk terus ada.

Lantas, benarkah pernyataan minta dikritik sebagai ungkapan tulus dan simbol cinta penguasa terhadap rakyatnya? Ataukah sekadar basa-basi (lip service) untuk mengejar rating citra demi mempertahankan kursi kuasa? In syaa Allah, masyarakat telah cerdas untuk menjawabnya.

Strategi Pengelolaan Kritik dalam Komunikasi Politik Islam 

Jika demokrasi dengan wajah aslinya yaitu tirani minoritas atas mayoritas telah melahirkan penguasa anti kritik, maka Islam melalui penerapan sistem pemerintahan khilafah justru membuka ruang kritik bagi masyarakat. Bahkan dalam Islam, kritik termasuk ajaran Islam yaitu amar makruf nahi mungkar, sebagaimana firman Allah Swt, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)

Rasulullah Saw menyatakan dengan spesifik kewajiban serta keutamaan melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa. Al-Thariq menuturkan sebuah riwayat, “Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah Saw seraya bertanya, ‘Jihad apa yang paling utama?’ Rasulullah Saw menjawab, ‘Kalimat hak (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang zalim.'” (HR. Imam Ahmad)

Muhasabah atau kritik terhadap penguasa merupakan bagian dari syariat Islam yang agung. Dengan muhasabah, tegaknya Islam dalam negara akan terjaga dan membawa keberkahan. Seorang pemimpin yang beragama Islam harusnya tak perlu alergi kritik. Terlebih jika sampai membungkam lawan politik dengan kebijakan represif.

Budaya muhasabah atau kritik inilah yang dihidupkan dan dijaga dalam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Rasulullah Saw adalah contoh terbaik dalam menjaga budaya kritik ini, beliau menerima kritik terhadap kebijakan yang tidak dituntun wahyu. Dalam perang Uhud, beliau menyetujui pendapat para Sahabat yang menghendaki untuk menyongsong pasukan Quraisy di luar kota Madinah, meskipun beliau sendiri berpendapat sebaliknya.

Sikap Rasulullah Saw diikuti para khalifah setelah beliau. Khalifah Abu Bakar r.a. misalnya. Ketika dibaiat menggantikan Rasulullah Saw, ia berkhotbah meminta rakyat mengkritiknya. “Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku.”

Dalam pandangan Islam, politik negara adalah meriayah/mengatur urusan umat berdasarkan syariat Allah Swt. Kekuasaan (kekhilafahan) merupakan jalan menerapkan syariat kafah demi kemaslahatan umat. Meskipun aturan hukum yang diterapkan buatan Allah yang Maha Sempurna, namun khalifah sebagai pelaksananya adalah manusia tak luput dari salah dan lupa. Karenanya, kritik bukanlah ancaman. Bahkan dibutuhkan sebagai standar optimalisasi kinerja khalifah yang akan dipertanggungjawabkan dunia-akhirat. 

Kritik umat terhadap penguasa adalah sunah Rasul dan tabiat dalam Islam. Kritik menjadi saluran komunikasi publik sekaligus bentuk cinta rakyat terhadap pemimpin agar tak tergelincir pada keharaman yang dimurkai Allah Swt. 

Secara umum, Islam mengatur etika dalam menyampaikan kritikan, di antaranya:

Pertama, menasihati dan mengkritik kebijakan penguasa dalam kerangka menjalankan kewajiban. Pun sebagai bentuk ketakwaan kepada Allah Swt dan kemaslahatan umat. Bukan demi kepentingan pribadi/kelompok. Kita tidak boleh melancarkan kritik dengan tujuan menonjolkan diri, termotivasi oleh hasad (kedengkian) atau berbagai tendensi tertentu, namun semata-mata untuk memperoleh ridlo Allah ta’ala.  

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam al-Fatawa mengatakan, “Wajib bagi setiap orang yang memerintahkan kebaikan dan mengingkari kemungkaran berlaku ikhlas dalam tindakannya dan menyadari bahwa tindakannya tersebut adalah ketaatan kepada Allah. Dia berniat untuk memperbaiki kondisi orang lain dan menegakkan hujah atasnya. Bukan untuk mencari kedudukan bagi diri dan kelompok, tidak pula untuk melecehkan orang lain." 

Kedua, mengkritik harus disertai ilmu. Artinya, kritikan benar-benar didasari dengan ilmu di bidangnya. Kita tidak boleh mengritik tanpa ilmu dan basirah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam al-Fatawa mengatakan, “Hendaknya setiap orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar adalah seorang yang alim terhadap apa yang dia perintahkan dan dia larang.”  

Hal ini akan menghindarkan seorang muslim bersikap ‘asal njeplak’, jauh dari perilaku mencela dan menghujat. Ia mengkritik berdasarkan ilmu, baik berlandaskan dalil agama maupun data secara fakta dan keilmuan yang menunjang.

Ketiga, tidak diperbolehkan mengkritik penguasa dengan menghina pribadi penguasa itu, sebab semua yang terkait fisik adalah ciptaan Allah Swt yang tidak boleh dihina. Misalnya, fisiknya hitam, putih, kurus, gemuk, keriting, dan sebagainya. Ranah yang dikritik adalah kebijakan/aturan yang dibuat penguasa saat melanggar hukum Allah Swt dan atau tidak memenuhi hak umat yang menjadi tanggung jawab pengelolaannya. 

Keempat, menyampaikan dengan bahasa ahsan sesuai adab Islam. Kritik adalah bagian amar ma’ruf nahi mungkar atau dakwah. Dalam aktivitas menyeru kepada sesama manusia, Allah Swt telah memberikan panduan, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik. Dan berdebatlah dengan cara yang baik..” (QS. An Nahl: 125).

Bila kita mampu menerapkan hal di atas, maka kritikan yang kita lontarkan in syaa Allah akan bernilai ibadah, mendatangkan pahala dan akan memberi kebaikan bagi orang yang kita kritisi.

Menjadi tanggung jawab besar bagi setiap muslim untuk menghidupkan kewajiban muhasabah lil hukkam. Terutama kalangan pemuda dan intelektual karena mereka adalah martir kebangkitan umat. Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin menyatakan, tradisi intelektual masa lalu adalah mengoreksi penguasa untuk menerapkan hukum Allah Swt. Sementara karakter pemuda Islam sejak awal Islam datang, merekalah yang menyambut dakwah Rasul, sebagaimana terdapat dalam wasiat Rasulullah Saw. terkait pemuda.

Meskipun sistem dan rezim saat ini represif, pantang menyurutkan umat Islam menyuarakan kebenaran ajaran Islam dan kebutuhan khilafah sebagai solusi negara ini. Apa pun risikonya, cukuplah balasan terbaik dari Allah Swt.

Pesan Rasulullah Saw berikut menjadi indah untuk diingat. “Pemimpin syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri menghadap pemimpin yang zalim untuk melakukan amar makruf nahi mungkar, lalu penguasa itu pun membunuhnya.” (HR. Al-Hakim).[]


Oleh: Puspita Satyawati
Analis Politik dan Media
Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo

Pustaka
Moch Hisyam, Etika Mengkritik, Republika, 6 Agustus 2020
Luluk Farida, Khilafah Merespons Sikap Kritis Warga Negara terhadap Kebijakan, muslimahnews.com, 13 Oktober 2020 
Hamdani, Benarkah Tuduhan Politisi Bermuka Dua sebagai Munafik? Kompasiana.com, 6 Juni 2019

Posting Komentar

0 Komentar