Kemandirian Pangan Terwujud dalam Islam


Di awal tahun 2021 rakyat Indonesia harus menelan kado pahit. Hilangnya tahu dan tempe di pasaran menjadi jeritan dari tukang gorengan dan pedagang warteg. Seperti yang dirilis dari merdeka.com (4/1/2021) lalu, mereka mengeluhkan hilangnya stok tahu dan tempe di lapak pedagang dalam dua hari terakhir akibat mogok kerja dari para perajin kedelai. 

Demikian juga yang dirilis republika.co.id (2/1/2021) di beberapa pasar tradisional di Kota Tangerang, Banten, tahu dan tempe tidak lagi dijual. Ternyata, penyebab tahu dan tempe menghilang karena harga kedelai yang tinggi. Naiknya harga bahan baku kedelai impor membuat para perajin tahu di Bogor hingga se-Jabodetabek melakukan libur produksi massal mulai 31 Desember 2020 hingga 2 Januari 2021. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk protes kepada pemerintah karena tidak ada perhatian pada perajin tahu dan tempe mengenai kenaikan harga kedelai. 

Tahu dan tempe merupakan pangan pokok sebagian rakyat serta menjadi penghasilan bagi produsen serta pedagang kaki lima yang menjual jajanan yang berbahan mentah kedua bahan ini, ketika menghilang di pasaran menjadi pukulan bagi mereka. Bayangkan saja bagi produsen tahu dan tempe atau pedagang yang mengandalkan penghasilannya semata dari kedua bahan pangan tersebut apa yang terjadi dengan kondisi ekonomi mereka. 

Kenaikan harga pangan ini tentu membawa dampak terhadap keluarga. Sudahlah pandemi sejak hampir satu tahun ini telah memukul ekonomi keluarga ditambah dengan kenaikan harga pangan pokok. Bak peribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga. Keluarga dengan kondisi penghasilan pas-pasan berdampak kepada kesehatan anggota keluarganya terutama anak serta tumbuh kembang anak yang terhambat karena untuk memenuhi kebutuhan pokok saja sudah syukur, belum dijamin terpenuhinya nilai gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. 

Sementara kebijakan impor terus dilakukan. UU Cipta Kerja yang diusulkan pemerintahan Joko Widodo dan disahkan DPR RI pada 5 Oktober lalu berpotensi membawa Indonesia terjebak dalam kebiasaan impor produk pertanian. Petani pun waswas dibuatnya. (tirto.id, 26/10/2020). 

Indonesia dengan kepemilikan lahan pertanian yang terbentang luas tetap saja menerapkan kebijakan impor pangan. Padahal kebijakan ini membawa pengaruh kepada harga yang melambung tinggi, sehingga kemampuan daya beli masyarakat berkurang. 

Kebijakan impor yang diterapkan penguasa dalam penyediaan pangan nasional berkebalikan dengan keadaan lahan pertanian yang terbentang luas di bumi zamrud khatulistiwa. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah negara tidak menyediakan fasilitas bagi petani dalam pengeloaan lahan pertanian, mulai dari pengadaan bibit, pupuk serta peralatan yang lengkap. Yang terjadi justru sebaliknya yaitu bibit mahal, pupuk serta peralatan yang serba mahal. Tentu hal demikian tidak mendukung terwujudnya ketahanan pangan. 

Inilah fakta buruknya pengelolaan negara berdasarkan kapitalisme yang mengakibatkan tidak terwujudnya kemandirian pangan yang membawa dampak negara kita bergantung kepada pangan luar negeri. Ketergantungan pangan terhadap negara lain menjadikan negara kita mudah dikuasai dan dijajah. 

Sedangkan di dalam politik pertanian Islam yang berasal dari Pencipta  alam ini, kebijakan pangan mengacu kepada peningkatan produksi pertanian dan distribusi pangan yang adil. Kebijakan terbut antara lain: 

Pertama, hentikan impor kemudian berdayakan pertanian. Sejak menjamurnya sektor industri, pertanian seolah dipandang sebelah mata. Lahan pertanian kian digusur karena disulap menjadi bisnis real estate dan profesi petani pun kian langka  seiring penggusuran lahan sawah milik petani. 

Kedua, kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi dilakukan dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Negara dapat mengupayakan dengan penyebarluasan dan teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani; membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya. 

Adapun ekstensifikasi dapat dilakukan dengan:

Pertama, membuka lahan-lahan baru dan menghidupkan tanah mati. Menghidupkan tanah mati artinya mengelola tanah atau menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami. Setiap tanah yang mati, jika telah dihidupkan oleh seseorang, adalah menjadi milik yang bersangkutan. Rasulullah Saw, sebagaimana dituturkan oleh Umar bin Khaththab telah bersabda, “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya”. [HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Dawud]. 

Kedua, setiap orang yang memiliki tanah akan diperintahkan untuk mengelola tanahnya. Siapa saja yang membutuhkan biaya mengelola tanah, negara akan memberinya modal dari Baitulmal. Sehingga yang bersangkutan bisa mengelola tanahnya secara optimal. 

Namun, apabila orang yang bersangkutan mengabaikannya selama 3 tahun, maka tanah tersebut akan diambil alih dan diberikan kepada yang lain. Khalifah Umar pernah berkata, “Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang telah dipagarinya) setelah (membiarkannya) selama tiga tahun.” Maksud dari ucapan beliau adalah orang yang memagari tanah mati. 

Ketiga, kebijakan distribusi pangan yang adil dan merata. Islam melarang penimbunan barang dan permainan harga di pasar. Dengan larangan itu, stabilitas harga pangan akan terjaga. Selain itu, negara akan memastikan tidak adanya kelangkaan barang akibat larangan Islam menimbun barang. 
Kebijakan distribusi pangan dilakukan dengan melihat setiap kebutuhan pangan per kepala. Dengan begitu, akan diketahui berapa banyak kebutuhan yang harus dipenuhi negara untuk setiap keluarga.

Dengan mengadopsi kebijakan pangan dalam sistem Islam, kemandirian pangan akan terwujud. Namun, jika kita tetap mengambil ideologi kapitalisme sebagai kebijakan pangan negara, kemandirian pangan ibarat ingin memeluk gunung apa daya tangan tak sampai.[]

Oleh: Haryati

Posting Komentar

0 Komentar