Hipokrisi Demokrasi: Seragam Jilbab Dihujat, Larangan Siswi Berjilbab Dibiarkan




TintaSiyasi.com-- “Vox populi vox dei” (suara rakyat suara tuhan) yang digembar-gemborkan demokrasi hanya sebatas jargon semata. Bagaimana tidak? Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat bagaikan halusinasi yang didengungkan di balik hipokrisi demokrasi. Fakta demokrasi sering mengkhianati jargon yang mereka suarakan. Sebagaimana kasus baru-baru yang mencuat perihal seragam jilbab. Hanya karena satu siswi non Muslim di sana, pejabat dan publik gaduh mendiskreditkan aturan seragam jilbab. Seyogyanya jika demokrasi ini sesuai dengan jargonnya, tidak ada yang keliru daerah yang nuansa Islami begitu kuat memberlakukan aturan wajib seragam jilbab. Tetapi, hal itu berbeda dengan fakta yang ditemui.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim turut mempersoalkan seragam jilbab di Padang. Ia mengatakan, akan memberikan sanksi hingga pemecatan kepada Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 2 Padang Sumatera Barat lantaran membuat aturan seragam wajib jilbab (Ahad, 24/1/2021). Sebenarnya seragam jilbab di Sumatera Barat sudah lama diberlakukan. Alasan dari pemerintah setempat memberlakukan seragam jilbab karena nuansa Islami di sana begitu kental. Mantan Wali Kota Padang Fauzi Bahar Effendi sudah menjelaskan sejak zaman dirinya menjadi wali kota, yakni tahun 2005 sekitar 16 tahun yang lalu, seragam jilbab diwajibkan hanya untuk Muslimah. Bagi yang non Muslimah tidak ada paksaan.

Tuduhan negatif sempat dialamatkan kepada pihak sekolah tersebut. Dilansir dari CNN Indonesia (23/1/2021), Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menyebut kasus intoleransi yang terjadi di SMKN 2 Padang, termasuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dia menegaskan bahwa peserta didik tidak boleh dipaksa mencopot maupun mengenakan maupun jilbab seperti yang dialami siswi non Muslim di SMKN 2 Padang. Kasus pemaksaan penggunaan jilbab bagi siswi non Muslim di SMKN 2 Padang terus berlanjut. Sabtu lalu (25/1/2021) Komnas HAM bertemu dengan pihak Pemerintah Provinsi Sumatera Barat untuk membahas kasus ini.

Aneh tapi nyata. Penolakan satu siswi non Muslim terhadap aturan sekolah seragam jilbab membuat banyak pejabat publik hingga menteri ikut berkomentar memojokkan kebijakan seragam jilbab yang sudah lama diterapkan di Padang. Di sisi lain, mereka diam dan tak peduli terhadap kasus pelarangan busana Muslimah di Bali (2014) dan Manokwari (2014) beberapa tahun lalu. 

Seharusnya jika ingin dikritisi dan dibuat heboh adalah aturan yang melarang pelajar Muslim mengenakan busana sesuai keyakinan Islam yang hal itu dilindungi oleh undang-undang di negeri ini. Sekali lagi, tak ada komentar heboh seperti yang terjadi hari ini. Selain itu, adanya pakaian atau busana asusila yang kerap dikenakan peserta didik atau pendidik juga tidak mendapat tanggapan serius dari pemerintah. Jika ditelisik lebih jauh ada apa di balik kehebohan tersebut? Apakah ini bukti bahwa demokrasi telah mengkhianati dirinya sendiri?

*
Mendedah di Balik Tindakan Menghujat Seragam Jilbab di Sumbar dan Pembiaran Pelarangan Siswi Berjilbab di Bali sebagai Bentuk Hipokrisi Demokrasi

Menilik laporan Komnas HAM 2014 lalu, hampir seluruh sekolah di Bali melarang Muslimah untuk mengenakan kerudung (21/2/2014). Pada saat itu tidak ada kehebohan yang tercipta hingga ancaman sanksi dan pemecatan dari pejabat negara. Padahal, hal itu menimpa hampir semua siswi Muslim di Bali. Berbeda dengan kasus wajib seragam jilbab di Padang. Tanpa ada komando yang satu, seolah semua berirama ramai-ramai membela satu siswi non Muslim yang keberatan soal kebijakan seragam berjilbab. 

Polemik seragam jilbab yang masih panas diperbincangkan dan mendapat tanggapan berbagai kalangan telah menyisakan banyak tanya. Pertama, kekompakan pejabat publik, dari Mendikbud Nadiem Makarim, KPAI, hingga Komnas HAM ikut turun gunung memberikan tanggapan dan penanganan. Padahal, masih banyak kasus pelanggaran HAM yang dialami rakyat dalam kasus yang lain. Kedua, tidak hadirnya pemerintah di kala ada siswi Muslim yang kesusahan berjilbab. Ketiga, diamnya pemerintah terhadap banyaknya busana asusila yaitu yang melanggar norma hingga mengundang syahwat dikenakan. Keempat, didengungkan kembali narasi intoleransi yang menyerang syariat Islam. 

Mencermati poin pertama, kekompakan pejabat publik menanggapi satu siswi non Muslim di Padang yang kebaratan dengan aturan seragam jilbab di sekolahnya. Melihat hal tersebut, seolah menunjukkan bahwa pemerintah mengidap fobia Islam yang berdampak kepada fobia jilbab. Hanya karena aduan via sosial media yang viral, tanggapan dan tindakan dilakukan untuk membela kasus ini. Padahal, aturan tersebut sudah berjalan lama, maka, aneh jika pemerintah sahut-sahutan menggoreng isu intoleransi dan pelanggaran HAM.

Berbicara tentang toleransi, Wali Kota Padang Fauzi Bahar Effendi sudah mengatakan aturan itu lahir karena nuansa Islami di sana begitu kuat. Seharusnya, jika berbicara toleransi, umat bearagama lain mengikuti kearifan lokal yang ada di daerah tersebut. Selain itu, soal busana, tidak ada aturan khusus dari agama lain yang melarang untuk menutup aurat sebagaimana aurat ditutup meggunakan jilbab. 

Nah, dari sini kiranya intoleransinya di mana soal seragam jilbab? Bukankah seragam terdebut mencerminkan kearifan lokal di sana? Maka dari itu, tak pantas dikatakan jika seragam jilbab intoleransi, sejatinya yang intoleransi adalah mereka yang memojokkan aturan seragam jilbab.

Soal pelanggaran HAM. Ya, negara ini sesuai gembar-gembor demokrasi menyuarakan perlindungan HAM. Justru, jika benar melindungi HAM, pemerintah membela dan tidak memojokkan aturan seragam jilbab. Pemerintah juga tidak boleh mendesak pemerintah daerah melakukan sanksi atau pemecatan kepada pihak terkait aturan tersebut. Mengapa? Karena seragam jilbab ini sesuai dengan kearifan lokal di sana yang Islami.

Pemerintah seharusnya membantu pihak sekolah mengedukasi orang tua siswi non Muslim tersebut, agar tidak salah paham. Karena, seragam jilbab hanya untuk Muslim dan kepada non Muslim tidak paksaan. Dari sini, seharusnya negara hadir sebagai juru damai, bukan malah membuat panas kondisi.

Mengamati poin kedua, pemerintah belum hadir dalam kasus siswa Muslim dan Muslimah yang kesusahan untuk mengenakan baju takwanya. Seperti kejadian di Manokwari dan Bali beberapa tahun yang lalu. Mengapa kasus tersebut tidak dianggap kasus intoleransi dan pelanggaran HAM? Yang mampu membuat pihak sekolah mendapat sanksi hingga pemecatan? Dari sini saja sudah terlihat sikap diskrimatif yang dialami oleh umat Islam. Bahkan, umat Islam sebagai umat mayoritas di negeri ini tidak bebas untuk melaksanakan syariat-Nya.

Bagaimana tidak dikata diskriminatif, jika ada pelajar yang rajin ngaji, taat, gemar berdakwah tak luput dari stereotip radikalis, teroris, dan ekstremis. Wajar, jika umat Islam mempertanyakan di mana keadilan untuk umat Islam sebagai warga mayoritas. Katanya demokrasi? Katanya melindungi HAM? Giliran umat Islam berusaha menjalankan perintah agamanya malah dituduh macam-macam. Umat Islam bagaikan terjerembab dalam tirani minoritas yang diciptakan demokrasi.

Menyoal poin ketiga, diamnya pemerintah terhadap busana asusila yang dipertontonkan oleh peserta didik, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Sudah menjadi rahasia umum, di sekolah dituntun menjadi anak yang baik, tetapi di televisi dan sosial media dipertontonkan menjadi generasi yang hedonis dan liberalis. Lalu, di mana peran negara melindungi generasi bangsa? Di mana suaranya yang lantang menghapus konten-konten merusak generasi bangsa?

Diketahui bersama bagaimana aurat dipamerkan dengan busana yang minim. Artis-artis yang berperan sebagai pelajar juga memamerkan gaya pelajar hedon, liberalis, dan membuka auratnya. Nah, di mana suara Mendikbud, di mana suara KPAI, di mana suara Komnas HAM untuk melindungi generasi dari paparan hedonisme atau liberalisme yang dibawa konten-konten sosmed? Mengapa pemerintah tidak hadir dalam kasus ini? Padahal busana asusila selain dosa di dalam pandangan Islam, juga dapat memicu kejahatan seksual. Karena, aurat yang terbuka tersebut sebagai pembisik kejahatan seksual itu terjadi.

Membahas poin keempat, didengungkan narasi intoleransi menyerang Islam. Benar, isu intoleransi dan HAM bagaikan pisau bermata dua yang bebas menebas ke atas dan ke bawah tak ada tolok ukur yang jelas. Jika umat Islam yang tidak bisa menjalankan aturan agamanya tidak dibela dengan isu toleransi. Giliran umat Islam ingin mentaati aturan-Nya dicap intoleran dan melanggar HAM. Hal itu mengindikasikan isu toleransi dan HAM adalah narasi yang dijadikan dalil pembenaran untuk seeorang bebas melanggar syariat-Nya. Ini jahat sekali, narasi yang dibuat untuk mendiskreditkan Islam.

Apabila mencermati hal tersebut dapat ditarik benang merah bahwa pemerintah telah mengidap fobia Islam. Fobia Islam tersebut menyebabkan munculnya fobia terhadap jilbab. Fobia tersebut membuat pemerintah bersikap bukan sebagai pengayom umat Islam sebagai umat mayoritas, tetapi pemerintah malah mendiskreditkan Islam. 

Apabila disesuaikan dengan jargon demokrasi yang memihak suara mayoritas, seharusnya pemerintah mendukung aturan wajib seragam berjilbab, karena memang di Padang khususnya, dan di negeri ini pada umumnya adalah umat mayoritas yang seyogyanya dilindungi hukum dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Jangan hanya karena satu orang non Muslim yang keberatan, seluruh umat Islam harus mengalah dengan dalil toleransi dan HAM. Karena seharusnya satu orang ini yang seharusnya menghargai nuansa Islami di sana. Inilah wujud hipokrisi demokrasi, kebebasan dilindungi, ajaran Islam diserang.

**
Membaca Dampak di Balik Kontroversi Seragam Jilbab terhadap Hak Menjalankan Keyakinan Agama Islam di Sekolah

Memang dapat dilihat bagaimana serangan kaum kufar kepada aturan jilbab cukup tinggi. Setahun yang lalu saat 1 Februari dijadikan hari hijab internasional. Ada sekelompok kaum feminis yang mengkampanyekan ‘no hijab day’. Tapi, semakin kuatnya pemahaman Islam di tengah masyarakat, kampanye itu dapat dikatakan gagal karena mendapat penolakan keras dari warganet. Dan sekarang narasi penolakan jilbab kembali dimunculkan di permukaan.

Kontroversi seragam jilbab tidak hanya berhenti di situ. Oleh kaum pembenci Islam, hal ini digunakan untuk menyerang perda-perda syariah. Dengan senjata narasi intoleransi dan pelanggaran HAM, perda syariah diserang. Dilansir dari laman antaranews.com (26/01/2021) Pemerhati Pendidikan Vox Populi Institute Indonesia, Indra Charismiadji menyesalkan sikap Mendikbud yang hanya fokus pada sanksi pendidik. Ia mengatakan aturan seragam jilbab sudah terstruktur sejak lama. Ia meminta Kemendikbud meninjau perda yang dianggap olehnya memicu diskriminasi.

Kabid Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri menyayangkan Nadiem yang hanya merespon kasus yang sedang menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Ia punn turut menganggap perda syariah yang telah lama diterapkan di Padang sebagai perda intoleran. Mengapa perda syariah diserang? Mengapa perda yang melarang siswi Muslim berjilbab tidak ikut diserang?

Oleh karena itu, terendus upaya menyerang perda Islami yang selama ini sudah berjalan di Padang. Selain itu, di Padang sudah berjalan lama, banyak siswi non Muslim yang patuh kepada aturan seragam jilbab tanpa protes dan kerelaan. Aneh jika dikata ini kasus diskriminatif. Secara, dari puluhan siswi non Muslim hanya satu yang keberatan. Seharusnya pemerintah mengedepankan edukasi kepada satu orang yang keberatan ini. Bukan malah merambat hingga ke perda syariah di Padang.

Sejatinya, jika pemerintah mau bersikap adil sebagai negara demokratis yang mengambil suara terbanyak, harusnya pemerintah menerapkan syariat Islam untuk mengatur urusan rakyat. Karena apa? Karena umat Islam menjadi umat mayoritas. Nyatanya, syariat Islam juga terbukti mampu menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan membawa rahmat bagi semua. Tetapi faktanya, umat Islam semakin susah untuk taat kepada ajaran agamanya. Bahkan, cenderung mendapat perlakuan yang tidak baik. Contohnya saja, ulama yang getol menyuarakan Islam dan mengoreksi penguasa yang keliru kerap mendapatkan tudingan radikal, ekstrem, dan mendapat persekusi hingga kriminalisasi.

Jika, faktanya demikian lalu di mana demokrasi? Di mana HAM? Di mana toleransi kepada umat Islam? Jika gegara penolakan satu siswi non Muslim tentang seragam jilbab dijadikan alasan untuk mengebiri perda syariah di Padang, hal itu adalah bukti ketidakadilan yang nyata. Pemerintah telah berlaku hipokrit terhadap demokrasi yang selama mereka puja. Kembali ditanyakan, di mana posisi pemerintah, ketika umat Islam di Bali kesusahan menjalankan syariah Islam?

Pada faktanya, jika umat Islam yang kesusahan menjalankan tuntunan agamanya para pendekar toleransi membisu. Tetapi, ketika umat Islam menerapkan aturannya karena kearifan lokal dicap intoleransi. Ini adalah contoh standar ganda yang menyerang Islam. hal tersebut telah memverifikasi bahwa hipokrisi demokrasi itu nyata adanya. Umat Islam harus memahami bahwa demokrasi bukan rumah mereka. Syariat Islam tidak akan pernah bisa diterapkan secara totalitas (kaffah) dalam rumah demokrasi. Justru demokrasi yang mencabut dan menjauhkan Islam dari umatnya.

Mengapa syariat Islam banyak menuai penolakan, padahal keadilan dan kesejahteraan jaminannya? Tidak lain ini karena nafsu manusia yang congkak tidak mau tunduk dan patuh kepada syariat Islam. Walhasil, berbagai bentuk perlawanan dilakukan untuk memerangi dakwah Islam. Begitu juga dengan cara membuat narasi negatif yang dialamatkan kepada umat Islam dan ajarannya. Syariat Islam hanya dapat diterapkan secara kaffah dalam bingkai khilafah. Insyaallah, keberkahan akan turun dari langit dan keluar dari bumi.

***
Strategi Islam Menjaga Kehormatan Muslimah di Area Publik, khususnya di Sekolah untuk Menjaga Peradaban Islam

Islam memuliakan wanita. Islam menjaga kehormatan wanita. Islam mampu menciptakan keadilan untuk wanita. Justru, mereka yang menanggalkan ketaatan kepada Islam telah membuka pintu masuk setan untuk melecehkan dan merendahkan kehormatan wanita. Dalam Islam, aurat dijaga dengan cara menutupinya sesuai syariat. Berbeda dengan sudut pandang sekuler kapitalisme, yaitu, aurat dieksploitasi untuk memenuhi syahwat mereka. Mengekang aurat atau menahan nafsu bisa dicap melanggar HAM dan intoleran. Wajar saja kemaksiyatan berlindung di balik narasi kebebasan HAM dan kata intoleransi.

Islam melalui syariat yang diterapkan dalam bingkai negara mampu menciptakan kondisi yang menjaga kehormatan perempuan. Islam mewajibkan perempuan mengenakan jilbab. Dalam ayat Al-Qur’an yang menyebut kata “jalaabiib” adalah firman Allah Swt. (artinya),”Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin,’Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (Arab : yudniina ‘alaihinna min jalaabibihinna). (QS Al Ahzab [33] : 59). 

Imam Al Qurthubi mengatakan, “Kata jalaabiib adalah bentuk jamak dari jilbab, yaitu baju yang lebih besar ukurannya daripada kerudung (akbar min al khimar). Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa jilbab artinya adalah ar ridaa` (pakaian sejenis jubah/gamis). Ada yang berpendapat jilbab adalah al qinaa’ (kudung kepala wanita atau cadar). Pendapat yang sahih, jilbab itu adalah baju yang menutupi seluruh tubuh (al tsaub alladzy yasturu jamii’ al badan).” (Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, 14/107).

Sedangkan Imam Ibnu Katsir menyebutkan, “Jilbab adalah rida‘ (selendang untuk menutupi bagian atas) yang dipakai di atas khimar. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, Al Hasan Al Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An Nakha’i, Atha’ Al Khurasani, dan selain mereka.” (Tafsir Ibni Katsir, 6/481). Dari makna jilbab yang disampaikan kedua ulama tersebut dapat dikatakan bahwa dalam Al Qur’an ada perintah kepada perempuan muslimah untuk memakai jilbab, yakni mengenakan kain untuk menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.

Pernyataan Syaikh Atha juga menjelaskan, di masa kekhilafahan semua perempuan mengenakan jilbab baik Muslimah maupun non Muslimah. “ Sebagian kampung yang di situ ada wanita muslimah dan non-muslimah, pakaian mereka tidak bisa dibedakan. Hingga setelah tiadanya khilafah, pengaruh hal itu masih ada sampai pada batas tertentu. Seandainya Anda tanya wanita yang berusia lanjut di atas tujuh puluh dan delapan puluh tahun, niscaya mereka mengatakan kepada Anda tentang kesaksian mereka untuk sebagian kampung di Palestina bagaimana mereka melihat para wanita nasrani dan muslimah dalam pakaian yang serupa di kampung-kampung itu.” (Tanya Jawab asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di akun Facebooknya, 18/8/2014)

Mengutip dari tintasiyasi.com, KH Hafidz Abdurrahman mengatakan, di dalam Islam menutup aurat yaitu dengan jilbab wajib untuk Muslim dan non Muslim. Hal ini, bukan bentuk diskriminatif, tetapi bentuk penjagaan Islam kepada seluruh perempuan. Memuliakan perempuan adalah dengan mengajaknya menutup aurat bukan malah membiarkan mereka mengumbar aurat hingga auratnya dieksploitasi.

Dalam Islam ketika perempuan keluar rumah, untuk menunaikan hajatnya, mereka diwajibkan untuk menutup aurat. Hal ini bukan untuk mengekang perempuan tetapi hal ini untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan mereka. Baik ketika mereka berpergian maupun pergi untuk menuntut ilmu. Kewajiban untuk menutup aurat itu wajib dilakukan oleh para perempuan. Bahkan dikatakan, dalam penjelasan di atas. Hampir tidak ada beda antara wanita Muslim dan non Muslim, karena semua mengenakan jilbab untuk menutup aurat.

Berjilbab selain menjaga perempuan juga membuat kaum adam lebih menundukkan pandangannya. Karena tidak dipungkiri, dipertontonkannya aurat perempuan ini menjadi pemicu bangkitnya naluri seksual yang berpotensi menimbulkan kejahatan jika tidak dipenuhi sesuai syariat Islam. Oleh karena itu, mengapa jilbab ini dapat dikatakan sebagai langkah menjaga peradaban mulia. 

Sedikit contoh, jika sebuah peradaban itu semakin memamerkan auratnya hingga telanjang, apa bedanya mereka dengan zaman purba kala yang belum ditemukan pakaian sebagai penutup rasa malunya ketika auratnya terbuka? Dari sini dapat diketahui semakin tinggi peradaban semakin terjaga pula auratnya, berbeda dengan peradaban kapitalisme sekuler liberal yang menunjukkan kemundurannya dari cara mereka berpakaian yang semakin telanjang.

Sebagai bangsa yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, seyogyanya mencampakkan peradaban kufur kapitalisme demokrasi dan menerapkan syariat Islam. Karena hanya dengan Islam, mampu memanusiakan manusia menjadi manusia beradab, berbeda dengan peradaban kufur, justru semakin mempertontonkan kebrutalan hawa nafsu yang membuat mereka kehilangan adab.


Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama. Apabila disesuaikan dengan jargon demokrasi yang memihak suara mayoritas, seharusnya pemerintah mendukung aturan wajib seragam berjilbab, karena memang di Padang khususnya, dan di negeri ini pada umumnya adalah umat mayoritas yang seyogyanya dilindungi hukum dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Jangan hanya karena satu orang non Muslim yang keberatan, seluruh umat Islam harus mengalah dengan dalil toleransi dan HAM. Karena seharusnya satu orang ini yang seharusnya menghargai nuansa Islami di sana. Inilah wujud hipokrisi demokrasi, kebebasan dilindungi, ajaran Islam diserang. Hipokrisi demokrasi yang berdampak fobia kepada Islam telah menjadikan pemerintah bersikap mendiskreditkan Islam.


Kedua. Dampak dari kontroversi seragam jilbab digunakan untuk menyerang perda-perda syariah. Dengan senjata narasi intoleransi dan pelanggaran HAM, perda syariah diserang. Pada faktanya, jika umat Islam yang kesusahan menjalankan tuntunan agamanya para pendekar toleransi dan HAM dalam lingkup demokrasi membisu. Tetapi, ketika umat Islam menerapkan aturannya karena kearifan lokal dicap intoleransi. Ini adalah contoh standa ganda yang menyerang Islam. Umat Islam harus memahami bahwa demokrasi bukan rumah mereka. Syariat Islam tidak akan pernah bisa diterapkan secara totalitas (kaffah) dalam rumah demokrasi. Justru demokrasi yang mencabut dan menjauhkan Islam dari umatnya.

Ketiga. Di dalam Islam menutup aurat yaitu dengan jilbab wajib untuk Muslim dan non Muslim. Hal ini, bukan bentuk diskriminatif, tetapi bentuk penjagaan Islam kepada seluruh perempuan. Memuliakan perempuan adalah dengan mengajaknya menutup aurat bukan malah membiarkan mereka mengumbar aurat hingga auratnya dieksploitasi. Sebagai bangsa yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, seyogyanya mencampakkan peradaban kufur kapitalisme demokrasi dan menerapkan syariat Islam. Karena hanya dengan Islam, mampu memanusiakan manusia menjadi manusia beradab, berbeda dengan peradaban kufur, justru semakin mempertontonkan kebrutalan hawa nafsu yang membuat mereka kehilangan adab.[]


Oleh: Ika Mawarningtyas, S. Pd.
Analis Muslimah Voice dan Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo
#Lamrad #LiveOpperessedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar