Vaksinasi: Inikah Strategi Bisnis Kapitalis yang Mampu Mengakhiri Pandemi?


Sebagaimana diwartakan Kompas.com bahwa Pemerintah diketahui sudah mengonfirmasi pemesanan 329,5 juta dosis vaksin Covid-19 dari berbagai produsen. Seluruhnya berasal dari luar negeri atau impor. Pemerintah lewat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menetapkan jenis vaksin yang resmi digunakan untuk program vaksinasi nasional, baik vaksinasi yang dibiayai pemerintah maupun vaksinasi mandiri.

Hal ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/ 9860/ 2020 tentang Penetapan Jenis Vaksin Untuk Pelaksanaan Vaksinasi Corona Virus Disesase 2019 (Covid-19). Seluruh vaksin yang disetujui pemerintah tersebut sudah mendapatkan izin edar atau persetujuan penggunaan pada masa darurat (emergency use athorization/EUA) dari badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). (Kompas.com, 9 Januari 2021).

Dalam sistem kapitalisme kepentingan ekonomi diatas segalanya. Oleh sebab itu meskipun dalam kondisi pandemi, para kapitalis tetap memanfaatkan pandemi demi keuntungan pribadi, salah satunya adalah bisnis vaksin. Padahal vaksin bukanlah solusi akhir dalam mengatasi pandemi. Dibutuhkan kerjasama antara negara dan rakyat dalam menghadapi pandemi ini. 

Berbeda dalam Islam, vaksinasi bukanlah langkah awal dalam mengatasi pandemi. Vaksinasi dilakukan setelah melakukan serangkaian strategi mitigasi.


Menyelamatkan Nyawa Rakyat dengan Vaksin Murahan

Hampir 41 juta manusia di muka bumi telah terjangkit virus berbahaya yang menyebabkan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). WHO sendiri menyebutkan hingga saat ini ada kurang lebih 50 juta orang yang bekerja di sektor kesehatan, ada 650 juta lansia di muka bumi dan ada 7,8 miliar orang yang hidup di dunia ini, kebutuhan vaksin globalnya mencapai 4,265 miliar dosis.

Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 260 juta tentu akan menghadapi masalah jika hanya mengandalkan vaksin dari luar. Untuk menciptakan kekebalan kelompok atau "herd immunity" terhadap Covid-19 perlu sekitar 70 persen dari penduduk Indonesia harus diberikan vaksin. Dari jumlah tersebut diperlukan lebih dari 520 juta dosis vaksin.

Oleh sebab itu, untuk memenuhi kebutuhan vaksin, Indonesia telah mengimpor vaksin dari luar negeri. Vaksin pertama sekaligus paling besar berasal dari perusahaan farmasi Cina Sinovac sebanyak 125,5 juta dosis. Vaksin impor kedua didatangkan dari pabrikan vaksin Amerika Serikat-Kanada Novavax sebesar 50 juta dosis. Ketiga dari kerja sama multilateral WHO dan Aliansi Vaksin Dunia (Covax-GAVI) sebesar 50 juta dosis.

Keempat, pemerintah Indonesia juga mengimpor vaksin dari pabrikan Inggris AstraZeneca sebanyak 50 juta dosis, dan kelima perusahaan farmasi gabungan Jerman dan Amerika Serikat Pfizer BioNTech sebesar 50 juta.

Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan enam poin yang menjadikan alasan pemerintah membeli vaksin Covid-19 dari perusahaan biofarmasi asal Cina, Sinovac.

Pertama, pembelian vaksin tersebut mempertimbangkan keamanan dan mutu. Menurutnya, vaksin ini adalah salah satu yang telah masuk dalam rekomendasi WHO. Oleh karena itu, ia menilai vaksin Sinovac yang kini sudah diterima pemerintah itu dipastikan aman, bermutu, berkhasiat baik. Kedua, harganya terjangkau. Menurutnya, jika khasiat vaksin baik tetapi harga mahal tentu akan menjadi pertimbangan karena pemerintah punya keterbatasan dana dalam membeli vaksin yang berkualitas.

Ketiga, vaksin Sinovac juga sudah masuk uji klinis tahap ketiga. Terlebih lagi, kata dia, pemerintah juga ikut melakukan riset sendiri dalam uji klinik fase ketiga ini. Keempat, pemerintah melihat vaksin ini memiliki efek samping yang rendah.

Kelima, vaksin ini memiliki dosis tunggal. Artinya tidak perlu penyuntikan berkali-kali dalam kurun waktu tertentu. Dan yang keenam menurutnya, mudah dalam sistem distribusinya.

Salah satu vaksin Covid-19 yang dipesan Indonesia sudah tiba di Tanah Air pada Ahad (6/12/2020) sekitar pukul 21.30 WIB melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Vaksin yang dikemas dalam kontainer berpendingin tersebut diangkut menggunakan pesawat Garuda Indonesia dari Beijing, Cina.

Vaksin ini disebut dengan nama Corona Vac dan diproduksi oleh perusahaan bioteknologi asal Cina, yang bermarkas di Beijing, Sinovac Biotech Ltd. Perusahaan yang satu ini memang fokus pada bidang riset, pengembangan dan pembuatan hingga komersialisasi vaksin-vaksin untuk mencegah terjadinya penularan penyakit pada manusia.

Bio Farma telah menetapkan harga per dosis vaksin Sinovac ini sekitar Rp 200.000. Direktur Utama Bio Farma, Honesti Basyir mengungkapkan bahwa harganya tidak akan memberatkan pemerintah. Kisaran harganya Rp 200.000 Harga ini, disebut lebih murah daripada vaksin sejenis yang dipasarkan di China dengan harga 29,75 dollar Amerika Serikat atau lebih dari Rp 400.000 per dosisnya.

Melalui uji klinis yang telah dilakukan di sejumlah negara, CoronaVac yang dibuat dari virus Sars-CoV-2 nonaktif ini bekerja dengan cara memicu respons kekebalan tubuh dengan cepat. Namun demikian, antibodi yang dihasilkan oleh vaksin ini di dalam tubuh tidak lebih banyak dari antibodi yang berhasil terbentuk pada orang yang telah pulih dari Covid-19. Ini berdasarkan publikasi Sinovac pada 18 November 2020 terkait dengan hasil uji klinis mereka. Meski tidak sebanyak itu, akan tetapi antibodi yang dihasilkan dengan vaksinasi menggunakan vaksin ini disebut sudah cukup, berdasarkan studi pra klinis yang dilakukan terhadap kera.

Ketua Tim Uji Klinis Vaksin Covid-19 Sinovac di Indonesia, Prof. Kusnadi menyebut vaksin dapat dikatakan aman, karena tidak terjadi hal-hal yang merugikan pada relawan yang menerima vaksinasi. Efek samping ditemukan namun dalam skala kecil dan tingkat ringan pada sebagian sukarelawan. Sementara itu, Manajer Lapangan Tim Penelitian uji klinis fase tiga vaksin Sinovac, dr Eddy Fadliana menyebut efek samping yang ditemukan misalnya berupa nyeri di tempat suntikan (20-25 persen relawan).

Kendati demikian, vaksin Covid-19 yang tengah dikembangkan sejumlah perusahaan masih belum lulus atau selesai uji klinis fase tiga. Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia (UI), Zubairi Djoerban mengungkap, ada 18 jenis vaksin termasuk Sinovac yang masih diuji klinis fase ketiga, yang gunanya untuk menilai keamanan dan efektivitasnya.

Kebijakan impor vaksin yang belum lulus uji klinis fase tiga tentu berbahaya bagi masyarakat. Semestinya pemerintah tidak menjadikan nyawa rakyat sebagai uji coba dengan vaksin murahan. Jika benar, pemerintah berempati ingin mengatasi pandemi dan meminalisir jumlah korban, tentunya pemerintah harus menyediakan vaksin dengan kualitas terbaik bagi rakyatnya.

Di saat Indonesia mempercayakan keselamatan nyawa rakyatnya pada Sinovac, negeri tetangga Kamboja melalui Perdana Menterinya Hun Sen mengatakan negaranya tidak akan menerima vaksin corona yang tidak disertifikasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Ia mengungkapkan bahwa Kamboja bukan tempat sampah dan bukan tempat untuk uji coba vaksin Sinovac buatan Cina.

Lebih aneh lagi, ketika Indonesia mengimpor vaksin dari Cina, Cina justru malah impor vaksin dari Jerman. Perusahaan farmasi Cina pada Rabu (16/12/2020) mengatakan bahwa pemerintah telah menyetujui impor 100 juta dosis vaksin Covid-19 asal Jerman, BioNTech. 

Hal ini menunjukkan adanya persaingan para kapitalis dalam bisnis penyediaan vaksin. Mereka memanfaatkan pandemi untuk kepentingan pribadi. Tentu bisnis vaksin sangat menjanjikan. Apalagi hingga kini pandemi belum juga teratasi dan negara-negara di dunia membutuhkan vaksin untuk mengatasi pandemi.


Vaksinasi Bukan Solusi Atasi Pandemi

Pemberian vaksin merupakan salah satu upaya yang dinilai paling efektif untuk mengatasi pandemi COVID-19 yang masih terus berlangsung. Mari ketahui apa saja manfaat dari  pemberian vaksin Covid-19.

Saat ini, vaksin Covid-19 sudah tiba di Indonesia dan sedang dipersiapkan untuk didistribusikan ke masyarakat luas. Vaksinasi dilaksanakan untuk melengkapi upaya pencegahan penyakit Covid-19, seperti memakai masker, mencuci tangan, juga menjaga jarak dan menghindari kerumunan.

Vaksinasi atau imunisasi merupakan prosedur pemberian suatu antigen penyakit, biasanya berupa virus atau bakteri yang dilemahkan atau sudah mati, bisa juga hanya bagian dari virus atau bakteri. Tujuannya adalah untuk membuat sistem kekebalan tubuh mengenali dan mampu melawan saat terkena penyakit tersebut.

Sebenarnya, sistem kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit bisa terbentuk secara alami saat seseorang terinfeksi virus atau bakteri penyebabnya. Namun, infeksi virus Corona memiliki risiko kematian dan daya tular yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan cara lain untuk membentuk sistem kekebalan tubuh, yaitu vaksinasi.

Berikut ini beberapa manfaat yang diharapkan jika seseorang mendapat vaksin Covid-19, di antaranya:

Pertama. Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat COVID-19

Seperti yang disebutkan sebelumnya, vaksin Covid-19 dapat memicu sistem imunitas tubuh untuk melawan virus Corona. Dengan begitu, risiko seseorang untuk terinfeksi virus ini akan jauh lebih kecil. Kalaupun seseorang yang sudah divaksin tertular Covid-19, vaksin ini diharapkan bisa mencegah terjadinya gejala yang berat dan komplikasi. Dengan begitu, jumlah orang yang sakit atau meninggal karena Covid-19 diharapkan juga akan menurun.

Kedua. Mendorong terbentuknya herd immunity

Seseorang yang mendapatkan vaksin Covid-19 diharapkan dapat melindungi orang-orang di sekitarnya, terutama kelompok yang sangat berisiko, seperti lansia. Hal ini karena kemungkinan orang yang sudah divaksin untuk menularkan virus Corona sangatlah kecil. Bila diberikan secara massal, vaksin Covid-19 juga akan mendorong terbentuknya kekebalan kelompok (herd immunity) dalam masyarakat. Artinya, orang yang tidak bisa mendapatkan vaksin, misalnya bayi baru lahir, lansia, atau penderita penyakit autoimun, bisa mendapatkan perlindungan dari orang-orang di sekitarnya. 

Namun untuk mencapai herd immunity  dalam suatu masyarakat, penelitian menyebutkan bahwa minimal 70% penduduk dalam negara tersebut harus sudah divaksin. Herd immunity itu seperti pembiaran. Siapa yang kuat dia yang akan selamat. Sedangkan yang lemah dia akan sekarat. Untuk mencapai herd immunity, tentu saja akan memakan banyak korban jiwa. Dan ini tentu saja menjadi hal yang kontra produktif.

Ketiga. Meminimalkan dampak ekonomi dan sosial

Manfaat vaksin Covid-19 diharapkan tidak hanya untuk sektor kesehatan, tetapi juga sektor ekonomi dan sosial. Jika sebagian besar masyarakat sudah memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik untuk melawan penyakit COVID-19, maka kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat diharapkan bisa kembali seperti sediakala.

Kendatipun demikian, vaksin bukanlah solusi untuk mengakhiri pandemi Covid-19 yang sudah hampir setahun ini melanda dunia. Vaksin tidak cukup dalam menyudahi pandemi ini namun juga gaya hidup masyarakat yang perlu diubah agar memastikan pandemi tidak akan terjadi lagi.

Untuk menyudahi pandemi ini, bukan hanya menggunakan vaksin. Tetapi dibutuhkan sinergi antara negara dan rakyat. Masyarakat harus disiplin protokol kesehatan berupa 3M (Memakai Masker, Mencuci Tangan, Menjaga Jarak) sebagai pilar pengendalian dan mengakhiri pandemi. Sedangkan negara harus melakukan 3T (Testing, Tracing, Treatment), penguatan perawatan di rumah sakit dan menyediakan vaksinasi yang halal, aman dan manjur. 

Di samping itu dalam melaksanakan kebijakannya, negara juga harus adil. Jika ada yang dihukum karena kasus berkerumun, semestinya hukuman yang sama juga diperlakukan pada yang lain, walaupun yang berkerumun itu temannya, pendukungnya, maupun kroni-kroninya. 


Solusi Islam Mengatasi Pandemi dengan Vaksin

Pemberian vaksin bukanlah solusi mengatasi pandemi. Justru vaksinasi akan berpotensi ke arah herd immunity yang dalam prosesnya akan meningkatkan jumlah korban jiwa. Namun negeri ini sepertinya latah. Sebagai negeri yang tidak berideologi, Indonesia hanya ikut-ikutan negara lain. Jika negeri kapitalis Amerika menyerukan program vaksinasi, Indonesia ikut. Demikian juga saat negeri komunis Cina menawarkan vaksin. Meski belum terbukti kualitasnya, vaksin pun dibeli. Begitulah gambaran dari proses penanganan pandemi di Indonesia. 

Tak sedikit pun negeri sekuler ini melirik peran Islam dalam mengatasi pandemi. Padahal Islam sebagai agama yang syumulan dan kamilan telah memberikan contoh strategi penanganan wabah.
Wabah bukanlah hal baru dalam khazanah Islam.

Pada masa Nabi Muhammad SAW terdapat wabah Shirawayh. Wabah pertama pada awal sejarah Islam ini terjadi di Al-Mada’in (Ctesiphon), pusat pemerintahan Persia, pada 627–628 M. Wabah ini menjadi salah satu sumber kemunculan riwayat-hadits mengenai wabah pada era kenabian khususnya saat di Kota Madinah, saat Nabi sedang hijrah pada tahun 622 M. 

Wabah berikutnya adalah Amwas. Michael Walters Dols, sejarawan Amerika Serikat, dalam Plague in Early Islamic History menjelaskan, wabah ini dinamai demikian karena menyerang tentara Arab di Amwas, Emmaus, sebuah wilayah di Jerusalem. Peristiwa ini terjadi pada masa Kekhalifahan Umar bin Khathab tahun 638/639. Wabah Amwas menelan korban jiwa 25.000 tentara muslim dan meluas ke seluruh Suriah, Irak, dan Mesir. Dua gubernurnya, yaitu Abu Ubaidah dan Muadz bin Jabbal wafat secara berturutan. Kemudian Amr bin Ash dipanggil untuk memimpin penanganan wabah tersebut hingga akhirnya wabah dapat berhenti.

Nah, bagaimana sebenarnya cara Islam mengakhiri wabah?

Pertama, sejak awal pemimpin dalam sistem Islam Khilafah akan memisahkan orang sehat dari orang sakit. Tes massal dapat dilakukan secara gratis bagi warganya untuk mengetahui siapa yang terinfeksi dan siapa yang sehat. Bagi mereka yang terinfeksi, negara melacak siapa saja yang telah berdekatan dengannya, kemudian mengurus pengobatan mereka hingga sembuh.

Kedua, Khalifah berupaya maksimal menutup wilayah sumber penyakit, sehingga penyakit tidak meluas. Sementara itu, daerah yang tidak terinfeksi dapat menjalankan aktivitas sosial ekonomi mereka secara normal tanpa takut tertular.

Ketiga, bagi masyarakat di daerah wabah, Khalifah akan menjamin seluruh kebutuhan pokok mereka. Hal ini karena masyarakat di daerah wabah tidak mampu menjalankan roda ekonomi sehingga pemenuhan kebutuhannya harus diberikan oleh negara.

Keempat, Khalifah menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan yang cukup dan memadai bagi rakyat, tanpa menzalimi tenaga medis/instansi kesehatan. Kelima, Khalifah mendukung penuh dengan menyediakan dana yang cukup untuk melakukan riset terhadap vaksin agar segera dapat ditemukan.

Supremasi khilafah, dengan kestabilan sistem pemerintahan, ekonomi, peradilan dan suprasistem lainnya, mampu memastikan kelima solusi di atas berjalan bukan sekedar di atas kertas. Masyarakat pun bisa beraktivitas dengan perasaan tenang walau dalam kondisi wabah. 

Sebagaimana tersirat dalam disertasi Nukhet Varlik yang berjudul Disease and Empire: A History of Plague Epidemics in the Early Modern Ottoman Empire (1453-1600), kesultanan Utsmaniyah selama 64 tahun terus diterjang epidemi secara berkala. Dengan jumlah korban jiwa dan kesedihan yang tak sedikit, tiap peristiwa wabah ternyata mampu memantik solidaritas bersama seluruh rakyat dan penguasa. 

Khilafah Utsmaniyah mengembangkan pusat-pusat karantina untuk memisahkan yang sakit dari yang sehat. Tempat tersebut diberi nama tahaffuzhanes. Mulanya, bangunan ini didirikan di Tuzla dan Urla. Seiring waktu, khususnya sejak abad ke-18 konstruksi serupa juga diadakan di banyak wilayah, termasuk sekitaran Istanbul, Edirne, dan kawasan pesisir Laut Hitam. Sesuai namanya, tahaffuzhanes berfungsi sebagai tempat sementara untuk mengisolasi orang-orang yang diduga terpapar wabah. Bila memerlukan pertolongan medis, mereka dapat dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Khalifah memastikan ada penutupan area wabah. Pulau Chios di Laut Aegea, lepas pantai Yunani, pernah dijadikan sebagai lokasi karantina warga, pelancong, dan/atau pedagang pada abad ke-16. Siapapun yang terbukti baru saja datang dari kawasan yang terjangkit wabah mesti dikarantina di sana. Pulau Adalar dekat pantai Istanbul juga menjadi tempat karantina, khususnya bagi para tamu raja. Duta besar Habsburg untuk Utsmaniyah, Ogier Ghiselin de Busbecq (1554-1562), pernah menetap tiga bulan lamanya di sana demi menghindari wabah.

Para penguasa Utsmaniyah terus menggiatkan pembangunan rumah-rumah sakit, setidaknya sejak seabad pasca-penaklukan Konstantinopel (Istanbul). Oleh karena itu, mereka cenderung siap saat menghadapi fenomena wabah. Sedikitnya, terdapat enam unit rumah sakit di ibu kota Istanbul. Tata kota itu menunjukkan, tiap rumah sakit berlokasi di pinggiran kota. Hal ini sebagai langkah antisipasi agar jangan sampai penyakit yang sedang diidap para pasien menulari kebanyakan warga yang sehat.

Khalifah memimpin langsung penanganan epidemi dengan memanfaatkan birokrasi yang efisien. Salah satu bukti efektivitas sistem penanganan ini dapat dilihat ketika wabah berkecamuk di Mesir pada 1579. Begitu mendapatkan kabar itu, Istanbul pun memerintahkan gubernur Mesir di Iskandariah untuk segera mengambil langkah antisipasi. Lalu-lintas transportasi rute Mesir-Istanbul langsung ditutup sementara.

Sistem peradilan yang tegas dan tidak tebang pilih, memungkinkan Khalifah menindak langsung bawahannya yang melanggar aturan. Misalnya, pada 1568 seorang qadi Istanbul dihukum karena membiarkan para pengemis berkeliaran di jalan saat wabah terjadi. Ketentuan yang berlaku saat itu, tidak boleh ada kerumunan di daerah wabah. Bagi mereka yang fakir-miskin, otoritas setempat segera mendatanya untuk kemudian bantuan negara disalurkan.

Apakah pada saat itu Khalifah sudah mampu melakukan vaksinasi? Ya, vaksinasi dilakukan setelah melaksanakan serangkaian strategi mitigasi. Vaksinasi bukan hal yang tabu dalam peradaban Islam. Kekhilafahan Turki Usmani adalah promotor vaksinasi. Dalam buku 1001 Inventions Muslim Heritage in Our World disebutkan “The Anatolian Ottoman Turks knew about methods of vaccination, they called vaccination Ashi or engrafting, and they had inherited it form older Turkic tribes” (Turki Utsmaniyah Anatolia mengetahui metode vaksinasi. Mereka menyebutnya Ashi atau engrafting, dan mereka mewarisinya dari suku Turki yang lebih tua).

Pada saat itu, di Eropa belum dikenal metode ini. Lady Mary Wortley Montague (1689-1762), istri dari duta besar Inggris untuk Turki, melihat efektivitas vaksin di Turki dan membawa ilmu ini ke Inggris untuk mengatasi wabah cacar (smallpox). Upaya wanita tersebut sayangnya tidak berjalan lancar karena terbentur peradaban Eropa yang masih anti terhadap ilmu pengetahuan.

Tarikh Ad-Daulah Al-Utsmaniyah karya Yilmaz Oztuna menyebutkan, pada tahun 1695 Utsmaniyah sudah menerapkan vaksinasi smallpox untuk rakyatnya. Sementara itu, Eropa justru masih menentang vaksinasi secara terus menerus. Raja Prancis Louis XV, yang menolak divaksin karena takut stigma dari gereja, terjangkit cacar dan meninggal pada Mei 1774. Baru setelahnya, Eropa mulai mengembangkan vaksin.

Kaum muslim tidak anti terhadap vaksinasi karena hukum vaksinasi secara syara’ adalah sunah (mandub, mustahab) sesuai dengan hukum asal berobat. Namun demikian, terkait dengan vaksinasi yang saat ini akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia, menurut KH. Shiddiq Al Jawi, ada 5 hukum turunan yang perlu dijabarkan, yaitu:

Pertama, hukum asal vaksin. Vaksinasi adalah proses memasukkan vaksin (bakteri/virus yang telah dilemahkan) ke dalam tubuh manusia dengan tujuan untuk mendapatkan kekebalan (imunitas). Hukum asalnya mandub. Namun hal ini harus memenuhi dua syarat, yaitu bahan vaksinnya tidak mengandung zat najis dan tidak menggunakan bahan yang menimbulkan mudarat. Hukum berobat yang asalnya sunah ini bisa berubah menjadi wajib jika seseorang yang memilih tidak berobat dapat terancam jiwanya. Hal itu karena memilih tidak berobat ini dapat digolongkan bunuh diri yang telah diharamkan (QS An Nisaa` : 29).

Kedua, hukum terkait uji klinis yang menjadikan manusia sebagai bahan uji coba. Uji klinis (clinical test) adalah suatu pengujian khasiat obat baru pada manusia, dimana sebelumnya diawali oleh pengujian pada binatang. Hukum uji klinis sendiri adalah mubah (dibolehkan syara’), berdasarkan dalil syara’ yang membolehkan pembuatan obat. Namun uji klinis itu diharamkan secara kasuistik bagi individu-individu tertentu yang berpotensi mendapatkan bahaya berat akibat uji klinis.

Ketiga, hukum seputar politik kesehatan Islam. Menurut KH Shiddiq Al Jawi, ada tiga macam kebutuhan umat Islam yang harus dijamin secara gratis oleh negara, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Untuk perihal kesehatan, haram hukumnya negara menetapkan harga. Berdasarkan politik kesehatan dalam syariah Islam ini, maka rencana pemerintah untuk menjual vaksin kepada masyarakat jelas-jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Keempat, hukum syariat seputar pengadaan vaksin dari luar negeri yang dibeli dari Cina, maka harus dipahami fakta bahwa Republik Rakyat Cina adalah negara kafir harbi secara de facto (muharriban fi’lan). RRC terbukti menyiksa dan membunuh umat Islam etnis Uighur di provinsi Xin Jiang. Karena itu, diharamkan umat Islam untuk bermuamalah dengan negara kafir harbi fi’lan. Jika pun untuk urusan vaksin memang hendak impor, maka harus dilihat dulu negara mana selaku produsen yang diajak bermuamalah.

Kelima, hukum syara’ vaksinasi paksa dengan denda. Memang, hukum mentaati kebijakan penguasa (ulil amri), dalam ajaran Islam adalah wajib, sesuai firman Allah dalam Al-Quran surat An-Nisa’ 59. Hanya saja, pemimpin yang wajib ditaati adalah yang beragama Islam (muslim) dan menerapkan Syariah Islam secara komprehensif (kaffah) dalam segala bidang kehidupan, bukan hanya menerapkan Syariah Islam secara parsial. Maka dari itu, mentaati penguasa sekarang tidaklah wajib hukumnya bagi Umat Islam, karena mereka tidak memenuhi definisi “Ulil Amri” yang wajib ditaati sesuai QS An Nisaa`: 59.

Maka jika penguasa memaksa vaksinasi Covid-19 kepada rakyat yang muslim, tidak ada kewajiban bagi Umat Islam untuk mentaatinya. Adapun denda yang akan dikenakan penguasa bagi yang tidak mau divaksin, maka denda itu hukumnya haram karena 2 (dua) alasan, yakni penguasa yang ada sekarang bukanlah “Ulil Amri” yang wajib ditaati menurut Syariah Islam dan umat tidak akan ridho membayar denda tersebut sehingga harta itu akan menjadi harta haram bagi penguasa yang akan menjadi bekal mereka menuju neraka. 

Sabda Rasulullah SAW: “Ingatlah, janganlah kamu berlaku zalim. Ingatlah, tidak halal harta dari seseorang, kecuali yang dia diberikan atas dasar kerelaan hati darinya.” (HR Ibnu Hajar Al Asqalani, hadits hasan).


Penutup

Kebijakan impor vaksin yang belum lulus uji klinis fase tiga tentu berbahaya bagi masyarakat. Semestinya pemerintah tidak menjadikan nyawa rakyat sebagai uji coba dengan vaksin murahan. Jika benar, pemerintah berempati ingin mengatasi pandemi dan meminalisir jumlah korban, tentunya pemerintah harus menyediakan vaksin dengan kualitas terbaik bagi rakyatnya.

Vaksin bukanlah solusi untuk mengakhiri pandemi Covid-19 yang sudah hampir setahun ini melanda dunia. Vaksin tidak cukup dalam menyudahi pandemi ini namun dibutuhkan sinergi antara negara dan rakyat. 

Masyarakat harus disiplin protokol kesehatan berupa 3M (Memakai Masker, Mencuci Tangan, Menjaga Jarak) sebagai pilar pengendalian dan mengakhiri pandemi. Sedangkan negara harus melakukan 3T (Testing, Tracing, Treatment), penguatan perawatan di rumah sakit dan menyediakan vaksinasi yang halal, aman dan manjur. Di samping itu dalam melaksanakan kebijakannya, negara juga harus adil.

Cara Islam mengakhiri wabah

Pertama, sejak awal pemimpin dalam sistem Islam Khilafah akan memisahkan orang sehat dari orang sakit. Kedua, Khalifah berupaya maksimal menutup wilayah sumber penyakit, sehingga penyakit tidak meluas.

Ketiga, bagi masyarakat di daerah wabah, Khalifah akan menjamin seluruh kebutuhan pokok mereka. Keempat, Khalifah menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan yang cukup dan memadai bagi rakyat, tanpa menzalimi tenaga medis/instansi kesehatan. Kelima, Khalifah mendukung penuh dengan menyediakan dana yang cukup untuk melakukan riset terhadap vaksin agar segera dapat ditemukan.

Vaksinasi dilakukan setelah melaksanakan serangkaian strategi mitigasi.[]

Oleh: Achmad Mu'it, Analis Politik Islam dan Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

Referensi:
1. Muhammad Idris, "RI Impor 329 Juta Vaksin Corona, Ini Detailnya Berdasarkan Negara Asal," 2021.
2. Dian Erika Nugraheny, "6 Alasan Pemerintah Mengapa Beli Vaksin Covid-19 dari Sinovac China," 2020.
3. Luthfia Ayu Azanella, "Mengenal Vaksin Sinovac yang Telah Tiba di Indonesia," 2020.
4. Tommy Patrio Sorongan, "Vaksin Covid-19 Saja Tak Bisa Akhiri Pandemi di RI, Tapi...," 2020.
5. dr.Toreni Yurista, "Mungkinkah Mengakhiri Pandemi dengan Vaksin? Ilusi Negeri Sekuler Vs Program Vaksinasi Era Khilafah", 2020.

#LamRad

#LiveOpressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar