Utang Meroket: Inikah Tanda Runtuhnya Sistem Kapitalisme?



Tahun 2020 meninggalkan catatan pahit bagi Indonesia. Utang Indonesia hingga akhir Oktober 2020 mendekati Rp 6000 triliun. Apabila hutang ini dibagi rata dengan jumlah penduduk Indonesia 268,5 juta jiwa, maka setiap orang Indonesia akan menanggung beban utang negara sebesar Rp 22 Juta. 

Sebagaimana dilansir dari Surya.co.id, berdasarkan data dari Bank Dunia, Indonesia berada dalam urutan nomor tujuh negara berkembang yang memiliki utang luar negeri tertinggi, dengan total nilai 402 ,08 miliar dollar AS. (Surya.co.id, 16 Oktober 2020)

Dalam sistem kapitalisme, utang sangat berbahaya bagi negara karena menyebabkan negara tidak bisa mandiri dalam menentukan kebijakannya. Ini adalah salah satu cara yang ditempuh untuk menjajah secara ekonomi negara-negara yang menerima utang tersebut. Dengan kata lain, negara penerima utang akan dijadikan “sapi perahan” belaka, yang diambil dan disedot segala harta dan kekayaan oleh negara-negara pemberi hutang. 

Berbeda dalam Islam, meskipun defisit anggaran yang menyebabkan utang juga berpotensi terjadi pada APBN Negara Islam, namun dalam konteks Indonesia, jika menggunakan syariah Islam maka potensi pendapatan negara akan sangat besar, terutama dari pos harta milik umum, seperti sumber daya alam yang dikelola oleh negara. 

Ketika negara mengalami defisit, maka terdapat tiga sumber pembiayaan yang dibenarkan, yakni mengambil dana dari harta milik umum yang diproteksi untuk negara, mengenakan pajak atas kaum Muslim, dan mencari pinjaman yang sesuai koridor syariah.


Bahaya Utang Berbasis Riba

Tahun 2020 menorehkan catatan pahit dalam buku utang Indonesia. Pemerintah menarik utang yang besar guna meredam anjoknya ekonomi akibat wabah COVID-19 yang merebak dari Wuhan China akhir 2019. Pada masa pandemi, pemerintah harus menggelontorkan belanja negara yang lebih besar dari pendapatannya. Sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit di atas 3 persen, sesuai Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020.

Kementrian keuangan memperkirakan defisit APBN 2020 akan melebar dari target yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 sebesar Rp1.039, 2 triliun atau 6,34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Mengapa utang Indonesia bisa membengkak? Begini alur penambahan utang Indonesia di masa pandemi ini:

1. Pemerintah butuh pembiayaan Rp1.039,2 triliun untuk APBN 2020

Defisit atau kebutuhan pembiayaan APBN dalam Perpres 72 Tahun 2020 ditargetkan sebesar Rp1.039,2 triliun atau 6,34 persen dari PDB Indonesia melonjak drastis dari UU Nomor 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun Anggaran 2020. Sebelum Covid-19 terdeteksi di Wuhan, China, dan sebelum merebak ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, kebutuhan pembiayaan APBN 2020 ditargetkan sebesar Rp307,2 triliun atau sebesar 1,76 persen. Artinya naik sekitar 70 persen.

Pembiayaan yang melonjak tersebut ditetapkan dalam Perpres 72 Tahun 2020 berasal dari pembiayaan utang, pembiayaan investasi, dan pemberian pinjaman. Kemudian, kewajiban penjaminan dan pembiayaan lainnya, termasuk berbagi beban dengan atau burden sharing Bank Indonesia.

2. BI dan Kementerian Keuangan berbagi beban

Akibat lonjakan defisit yang terjadi dalam APBN 2020 karena penanganan Covid-19, Bank Indonesia melibatkan diri untuk membiayai APBN. Hal itu dilakukan melalui skema berbagi beban atau yang kemudian menjadi biasa disebut kebijakan burden sharing. Kebijakan itu dimulai setelah ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh Gubernur BI dan Menteri Keuangan. SKB terbagi menjadi dua, yakni SKB I dan SKB II yang masing-masing memiliki ketentuan tersendiri.

SKB I pada 16 April 2020 membolehkan BI untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana. Sementara itu, melalui SKB II pada 7 Juli 2020 pemerintah dan BI akan membagi beban pembiayaan berdasarkan kelompok barang publik dan barang non publik. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, sampai dengan 15 Desember 2020, Bank Indonesia telah membeli SBN di pasar perdana melalui mekanisme pasar sesuai dengan SKB I, sebesar Rp75,86 triliun. Termasuk dengan skema lelang utama, Greenshoe Option (GSO) dan Private Placement. 

Sementara itu, realisasi pendanaan dan pembagian beban untuk pendanaan Public Goods dalam APBN 2020 oleh Bank Indonesia melalui mekanisme pembelian SBN secara langsung sesuai dengan SKB II berjumlah Rp 397,56 triliun. "Dengan demikian secara keseluruhan Bank Indonesia telah melakukan pembelian SBN untuk pendanaan dan pembagian beban dalam APBN 2020 guna program pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 473,42 triliun," kata Perry, 17 Desember 2020. 

Selain itu, Bank Indonesia, kata Perry, juga telah merealisasikan pembagian beban dengan Pemerintah atas penerbitan SBN. Untuk pendanaan, Non Public Goods-UMKM sebesar Rp114,81 triliun dan Non Public Goods-Korporasi sebesar Rp62,22 triliun sesuai SKB II.

Padahal, secara moneter Internasional, BI tidak diperbolehkan membeli obligasi pemerintah di pasar perdana. Namun, ternyata pemerintah merubah aturan itu dengan Perppu nomor 1 tahun 2020. Dalam Perppu ini, menunjukkan semakin kapitalisnya Indonesia. Dengan Perppu ini, BI diperbolehkan membiayai defisit APBN melalui pembelian SUN di pasar perdana yang sebenarnya melanggar kebijakan moneter karena ini akan memperparah inflasi.

3. Utang meroket

Bank Indonesia mengumumkan, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia kembali naik pada Oktober 2020 menjadi US$413,4 miliar atau sekitar Rp5.828,94 triliun kurs Rp14.100 per dolar AS. Lebih tinggi dari posisi akhir September 2020 sebesar US$408,5 miliar. Rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir Oktober 2020 sebesar 38,8 persen. meningkat dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya sebesar 38,1 persen.

Sementara itu, Kementerian Keuangan mengumumkan, posisi utang pemerintah per akhir November 2020 sebesar Rp5.910,64 triliun. Sebagian besar utang pemerintah dari Surat Berharga Negara (SBN) Rp5.085,04 triliun. Total utang dari pasar SBN domestik Rp3.891,91 triliun dan SBN valuta asing atau valas Rp1.193,12 triliun. Sisanya, berasal dari pinjaman Rp825,59 triliun, terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp11,55 triliun dan pinjaman luar negeri Rp814,05 triliun. Dengan demikian, rasio utang pemerintah terhadap PDB pada bulan itu sebesar 38,13 persen. Lebih tinggi dari rasio utang pemerintah terhadap PDB pada Januari 2020 yang sebesar Rp4.817,55.

Pengelolaan utang pemerintah telah diatur di dalam UU Keuangan Negara nomor 17 tahun 2003 dan UU APBN yang ditetapkan setiap tahunnya. UU Keuangan Negara membatasi defisit APBN sebesar 3 persen dari rasio PDB serta batas maksimal rasio utang sebesar 60 persen PDB. Namun dengan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 pada 31 Maret 2020, defisit pembiayaan APBN bisa dimungkinkan di atas 3 persen.

Di Perppu ini pemerintah tidak dianggap melanggar, kalau defisit APBN di atas 3 dari PDB. Pemerintah menetapkan defisit APBN sebesar 6,34 persen. Sampai 30 November, sudah terealisasi sebesar 5,6 persen dari PDB. Selain itu, pejabat yang melaksanakan Perppu ini juga tidak bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana. Artinya seolah-olah korupsi atau penyalahgunaan dana Covid-19 itu kemudian bisa ditolerir.

4. Indonesia masuk daftar 10 Negara dengan utang terbesar di dunia

Bank Dunia merilis International Debt Statistics (IDS) 2021 pada Oktober 2020. Data statistik setebal 194 halaman tersebut merinci utang banyak negara-negara di dunia hingga akhir 2019. Mulai dari besaran total, sumber utang hingga rasio utang. 

Berdasarkan data tersebut, 10 besar negara dengan utang terbesar adalah China berada pada posisi pertama dengan total ULN mencapai US$2,1 triliun. Diikuti Brasil US$569,39 miliar, India US$560,03 miliar dan Rusia US$490,72 milar. Setelahnya baru Meksiko US$ 469,72 miliar, Turki US$ 440,78 miliar, dan Indonesia dengan nilai utang US$402,08 miliar. Kemudian Argentina US$279,30 miliar, Afrika Selatan US$188,10 miliar dan Thailand US$180,23 miliar.

Penyebab utama dari kenaikan utang ini adalah defisit anggaran yang diterapkan oleh Pemerintah. Artinya, Pemerintah lebih banyak melakukan pengeluaran daripada mengumpulkan pemasukan. Setiap tahunnya Pemerintah harus membayar cicilan utang luar negeri dengan model ribawi yang cukup besar nominalnya. Hal itu tentu mempengaruhi besaran persentase APBN untuk membayarnya sekaligus mengorbankan sektor lain, seperti militer, pendidikan dan kesehatan. Uang untuk kesehatan dan pendidikan makin turun.

Utang Pemerintah ini rawan. Apalagi bentuknya sebagian besar adalah obligasi. Sebagian besar obligasi di pegang asing. Ini bisa membuat kedaulatan Pemerintah atas ekonominya lemah dan sangat terpengaruh oleh kondisi keuangan global. Misal, rencana The Fed menaikkan suku bunga lebih dari tiga kali dalam setahun membuat rupiah goyang, pasar saham goyang, karena kedaulatan makin dipegang pihak luar.

Membangun Negara dengan utang merupakan cara pandang ekonomi kapitalis. Dampak peningkatan utang ini jelas akan menyebabkan beban berat pada generasi mendatang. Pemerintah tentu akan melakukan penekanan pengeluaran dan penambahan pemasukan atau dengan peningkatan pajak. Penekanan pengeluaran biasanya dengan mengurangi subsidi untuk rakyat. Di sisi lain pajak makin tinggi.

Efisiensi pengeluaran Pemerintah sangat jarang dijadikan sebagai kebijakan utama. Pemerintah lebih sering memilih menambah utang dan menaikkan pajak dalam jangka panjang, serta mencetak uang sebagai jalan terakhir.

Utang yang diberikan negara-negara kapitalis kepada negeri-negeri berkembang pada hakikatnya adalah salah satu cara yang ditempuh untuk menjajah secara ekonomi negara-negara yang menerima utang tersebut. Dengan kata lain, negara penerima utang akan dijadikan “sapi perahan” belaka, yang diambil dan disedot segala harta dan kekayaan oleh negara-negara pemberi hutang. Faktanya, jumlah pembayaran kembali cicilan dan bunga hutang-hutangnya telah menyedot porsi yang sangat besar dari belanja negara.

Utang luar negeri sebenarnya sangat melemahkan dan membahayakan sektor keuangan (moneter) negara pengutang. Utang ada yang berjangka panjang dan ada yang berjangka pendek. Yang berjangka pendek berbahaya karena akan dapat memukul mata uang domestik dan akhirnya akan dapat memicu kekacauan ekonomi dan kerusuhan sosial dalam negeri. Sebab bila hutang jangka pendek ini jatuh tempo, pembayarannya tidak menggunakan mata uang domestik, melainkan terutama harus dengan dolar AS. Padahal dolar AS termasuk hard currency. Maka dari itu, negara penghutang tidak akan mampu melunasi utangnya dengan dolar AS karena langka, ataupun kalau dipaksakan membeli dolar, maka dolar akan dibeli dengan harga yang sangat tinggi terhadap mata uang lokal, sehingga akhirnya akan membawa kemerosotan nilai mata uang lokal.

Utang jangka panjang juga berbahaya karena makin lama jumlahnya semakin menggila, yang akhirnya akan dapat melemahkan anggaran belanja negara penghutang dan membuatnya tidak mampu lagi melunasi utang-utangnya. Pada saat inilah negara-negara kreditor akan dapat memaksakan kehendak dan kebijakannya yang sangat merugikan kepada negara penghutang.


Kapitalisme Mengatasi Pandemi dengan Utang

Ketidaksigapan menghadapi pandemi Covid-19, terutama dalam aspek pembiayaan, mendorong Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. Dengan Perppu tersebut, Pemerintah berharap mendapatkan tambahan anggaran sebesar Rp 405,1 triliun yang belum ada dalam APBN 2020.

Menurut Kementerian Keuangan, jumlah tersebut merupakan simulasi anggaran yang dibutuhkan untuk penanganan pandemi Covid-19 yaitu:

1. Anggaran untuk bidang kesehatan sebesar Rp 75 triliun. Antara lain untuk belanja penanganan kesehatan seperti: a) Alat Kesehatan Alat Pelindung Diri (APD), Rapid test, Reagen; b) Sarana Prasarana Kesehatan; c) Dukungan SDM, dan untuk Insentif Tenaga Medis.

2. Anggaran untuk perlindungan sosial, antara lain: Program Keluarga Harapan (PKH) kepada 10 juta keluarga, Kartu Sembako untuk 20 juta  keluarga, Kartu Prakerja sebesar Rp 20 triliun, pembebasan biaya listrik 3 bulan untuk 24 juta pelanggan listrik 450VA, dan diskon 50% untuk 7 juta pelanggan 900VA; insentif perumahan bagi pembangunan perumahan MBR; dukungan logistik sembako dan kebutuhan pokok sebesar Rp25 triliun;

3. Anggaran untuk mendukung dunia usaha sebesar Rp 70,1 triliun antara lain pajak sebesar Rp 52 triliun, pembebasan Bea Masuk sebesar Rp 12 triliun dan Kredit Usaha Rakyat sebesar Rp 6,1 triliun.
 
Perppu tersebut juga memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk meningkatkan defisit lebih dari 3% (tiga persen) dari PDB hingga tahun 2022. Dengan kata lain, Pemerintah meningkatkan belanja yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan negara. Dengan defisit yang semakin besar tersebut, utang Pemerintah akan semakin besar. Memang Pemerintah dapat menggunakan sumber lain seperti Sisa Anggaran Lebih (SAL) dan dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan. Namun, jumlahnya relatif kecil.

Untuk mempermudah Pemerintah meningkatkan jumlah utang, Perppu juga membolehkan Pemerintah untuk menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang dapat dibeli oleh Bank Indonesia. Tentu selain para investor swasta yang lazim membeli surat utang Pemerintah.

Dengan demikian, kebijakan selama ini, bahwa BI dilarang membeli langsung surat utang Pemerintah, tidak lagi berlaku. Dengan kata lain, BI dapat mencetak uang secara langsung untuk membiayai defisit Pemerintah. Ini mirip dengan kasus di AS, Eropa dan negara-negara lain. Artinya, bank sentral dapat membeli surat utang Pemerintah secara langsung, atau yang lazim disebut dengan quantitative easing.

Perppu ini juga memberikan relaksasi pajak. Pajak penghasilan perusahaan diturunkan dari 25% menjadi 22% untuk tahun 2020-2021 dan 20% mulai tahun 2022. Uniknya lagi, dalam Perppu tersebut, Pemerintah mendapatkan kekebalan hukum dalam kegiatan pembiayaan dan pembelanjaan APBN untuk menangani Covid-19. Dengan demikian, klausul ini berpotensi ditunggangi oleh pejabat-pejabat yang berniat buruk untuk mengambil keuntungan saat pandemi.

Beberapa hari setelah Perppu tersebut terbit, Kementerian Keuangan tancap gas untuk mencari utang baru. Salah satunya adalah menerbitkan global bond, obligasi dengan mata uang asing, sebesar USD 4,3 miliar. Jumlah itu setara dengan Rp 68,8 triliun (kurs Rp 16.000). Penerbitan obligasi untuk mengatasi pandemi Covid-19 ditargetkan mencapai Rp 449,9 triliun. Selain itu, penerbitan obligasi tersebut juga bertujuan untuk menambah cadangan devisa Bank Indonesia yang tergerus hebat karena harus mengintervensi pasar mata uang. Nilai tukar Rupiah sempat mendekati Rp 17 ribu per dolar AS.

Penerbitan obligasi di tengah tingginya turbulensi ekonomi membuat suku bunga yang ditawarkan Pemerintah menjadi relatif mahal. Tingkat bunga atau yield surat utang Pemerintah dari obligasi di atas tersebut bervariasi dari 3,90% hingga 4,50%. Selain itu, di antara surat utang tersebut ada yang jatuh tempo hingga 50 tahun alias baru lunas tahun 2070. 

Padahal, semakin panjang jangka waktunya, maka bunga surat utang semakin mahal. Bahkan jika dihitung, akumulasi bunganya akan lebih besar dibandingkan pokok utang itu sendiri. Obligasi yang bertenor 50 tahun, misalnya, nilainya US$ 1 miliar dan bunganya 4,5%. Selama 50 tahun, nilai bunganya akan mencapai 255% atau dua setengah kali lipat dari pokok utang.

Langkah Pemerintah mengobral utang untuk mendapatkan dana membiayai pandemi Covid-19, dalam kacamata efisiensi, banyak celahnya. Sebab, masih ada alternatif pembiayaan bencana Covid-19 selain menerbitkan utang. Pemerintah, misalnya, dapat meningkatkan penghematan anggaran dari pos-pos yang tidak terlalu urgen. Pemerintah sendiri mengatakan dapat menghemat Rp 190 triliun dari total kebutuhan dana yang mencapai Rp 405,1 triliun. Jika Pemerintah serius, masih banyak pos anggaran yang sebenarnya tidak terlalu urgen yang dapat dihemat.

Selain itu, Pemerintah dapat menunda atau bahkan membatalkan belanja modal yang tidak mendesak dilakukan. Pada APBN 2020, total belanja modal mencapai Rp 187 triliun. Peruntukan belanja modal tersebut antara lain untuk proyek-proyek infrastruktur, seperti jalan, bandara, pelabuhan, dan kereta api. Anggaran tersebut juga mencakup anggaran pemindahan ibukota. 

Secara kumulatif, menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, anggaran pemindahan ibukota sekitar Rp 466 triliun. Dari jumlah itu, sebanyak 19,2 persen atau sekitar Rp 89,2 triliun bersumber dari APBN. Sisanya dari swasta dan kerja sama Pemerintah dan badan usaha (KPBU). Dalam situasi seperti saat ini, rencana pemindahan ibukota bukanlah hal yang bersifat penting dan mendesak.

Peningkatan pembiayaan lewat utang juga akan berdampak buruk pada beban keuangan negara. Pasalnya, anggaran APBN untuk membayar bunga akan semakin besar. Pada APBN 2020, biaya untuk membayar bunga utang mencapai Rp295 triliun. Tentu yang akan membayar utang-utang tersebut adalah rakyat yang dipungut Pemerintah lewat pajak dan non-pajak. Dampak negatif lainnya adalah pembayaran cicilan bunga utang tersebut akan menambah defisit transaksi berjalan sebab Pemerintah harus rutin membayar bunganya dalam bentuk dollar AS. Dengan demikian, nilai tukar rupiah akan semakin tertekan.

Sistem penyusunan anggaran juga membuat Pemerintah kesulitan untuk melakukan realokasi budget secara cepat dalam jumlah besar. Hal ini karena Pemerintah terikat pada UU yang telah mengatur peruntukan masing-masing pos. Akibatnya, ketika terjadi lonjakan anggaran untuk bencana, maka yang dilakukan adalah menambah defisit, bukan dengan merelokasikan dana yang ada untuk kebutuhan dana yang di luar perencanaan tersebut. Salah satu contohnya, penetapan anggaran pendidikan sebesar 20% dari pengeluaran. Pada saat Pemerintah menaikkan anggaran untuk mengatasi pandemi, anggaran pendidikan, yang tercermin pada kementerian pendidikan, ikut melambung dari Rp 36 triliun menjadi Rp 71 triliun. Padahal, pos anggaran kementerian lain, kecuali Kementerian Kesehatan, telah dipotong.

Persoalan lainnya adalah Undang-undang APBN yang selama ini harus dibahas dan disetujui oleh Parlemen telah dikunci. Bukan rahasia lagi, banyak alokasi anggaran telah dialokasikan untuk kepentingan pihak tertentu. Dalam hal ini, proyek-proyek dari anggaran telah dijual oleh legislator kepada para pengusaha atau vendor bahkan sebelum anggaran itu disetujui atau disahkan. Akibatnya, Pemerintah tidak dapat mengoptimalkan penggunaan anggaran untuk kemaslahatan rakyat. Karena itu, tidak heran jika banyak fasilitas umum, seperti jalan, jembatan dan sekolah yang rusak parah tidak dapat segera diperbaiki oleh Pemerintah lantaran ia tidak dianggarkan oleh Pemerintah.

Solusi Islam Mewujudkan Negara Tanpa Utang

Dalam perspektif Islam, pos pendapatan dan pengeluaran anggaran telah ditetapkan oleh syariah. Besar nilainya diserahkan kepada ijtihad Khalifah. Ia dapat menetapkan besaran nilai untuk masing-masing pos penerimaan dan pengeluaran dalam setiap tahunnya.

Sebagaimana halnya, APBN dalam sistem Kapitalisme, defisit anggaran juga berpotensi terjadi pada APBN Negara Islam. Meskipun dalam konteks Indonesia, jika menggunakan syariah Islam maka potensi pendapatan negara akan sangat besar, terutama dari pos harta milik umum, seperti sumber daya alam yang dikelola oleh negara.

Ketika negara mengalami defisit, maka terdapat tiga sumber pembiayaan yang dibenarkan, yaitu: mengambil dana dari harta milik umum yang diproteksi untuk negara, mengenakan pajak atas kaum Muslim, dan mencari pinjaman.

Sumber pembiayaan lainnya adalah melalui pajak yang ditarik dari penduduk Muslim yang kaya. Penggunaan pajak tersebut dilakukan untuk membiayai jihad, membayar gaji pegawai, menyantuni fakir miskin, membangun infrastruktur vita dan menangani bencana. Meskipun demikian, pajak baru boleh diberlakukan jika kas negara tidak cukup untuk membiayai dan bantuan sukarela (tabarru’at) yang diberikan kaum Muslim tidak memadai.

Adapun pembiayaan melalui pinjaman harus bebas dari bunga dan syarat yang merugikan negara. Keduanya haram menurut ajaran Islam. Oleh karena itu, pinjaman luar negeri dari negara dan lembaga-lembaga asing, seperti yang lazim di Indonesia, diharamkan.  Sebab, mereka mengenakan bunga pada setiap pinjaman tersebut. Mereka juga mengenakan berbagai syarat yang kenyataannya telah menjadi tunggangan untuk memasukkan kepentingan-kepentingan mereka. Akhirnya, negara dipaksa tunduk pada kemauan mereka. Hal ini juga dilarang di dalam Islam, sebab orang-orang kafir tidak boleh menguasai kaum Muslim.

Adapun dalam penanganan bencana, negara sebagai pihak yang bertanggung jawab mengurus rakyat harus mengerahkan segala potensinya untuk mengurus rakyat yang terkena bencana. Oleh karena itu, di dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Khilafah, terdapat pos pengeluaran yang dikhususkan untuk penanganan bencana. Pos bencana ini mencakup pembiayaan segala bencana yang menimpa rakyat seperti gempa, topan, kelaparan, dan semisalnya. Sumber dananya berasal dari Pos Fai dan Kharaj dan Pos Harta Milik Umum. Jika anggaran tersebut tidak mencukupi alias negara mengalami defisit, kekurangannya diambil dari kaum Muslim, yang melalui pungutan pajak.

Penarikan pajak untuk membiayai bencana seperti kelaparan, gempa bumi, banjir dan penganan wabah merupakan hal legal dalam pandangan Islam. Sebabnya, syariah telah memerintahkan kaum Muslim untuk memberi makan orang yang kelaparan, menolong orang yang kesulitan dan menyelamatkan orang dari bahaya.

Pada faktanya, penanganan bencana tersebut membutuhkan penanganan yang cepat sehingga harus negara dituntut untuk mengumpulkan dana dari kaum muslim dengan segera. Namun, jika dikhawatirkan terjadi dampak buruk, misal karena penanganan bencana tersebut terlambat karena harus menunggu penarikan pajak tadi, maka terlebih dulu negara dapat mencari pinjaman. Setelah itu, utang tersebut dilunasi dari pajak yang dipungut dari kaum Muslim tadi.

Hal tersebut sejalan dengan perintah Nabi saw untuk meniadakan madarat. Nabi saw bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan menyebabkan bahaya bagi orang lain.” (HR Ibnu Majah).

Menunda penanganan hingga dana terkumpul jelas akan mengakibatkan madarat. Karena itu dalam kondisi tersebut negara harus berutang untuk menghilangkan bahaya tersebut. Meskipun demikian, pinjaman tersebut tetap harus sesuai koridor syariah sebagaimana yang disebutkan di atas. Salah satu alternatif yang untuk mendapatkan utang tersebut adalah menerbitkan surat utang tanpa bunga kepada kaum Muslim.

Terakhir, dalam pengelolaan anggaran tersebut, Khalifah dan para pejabat negara tetap wajib terikat pada syariah Islam, seperti tidak boleh menggelapkan anggaran, menerima suap atau hadiah dari pihak lain. Tidak ada diskresi hukum untuk pejabat yang melanggar aturan, meskipun dengan alasan untuk memangkas birokrasi di saat bencana.

Berdasarkan uraian dari pembahasan di atas, berikut ada beberapa kesimpulan, yaitu:

Utang luar negeri Indonesia dari tahun ke tahun semakin membengkak. Hal ini disebabkan karena defisit anggaran yang diterapkan oleh Pemerintah. 

Utang luar negeri ini sangat membahayakan negara. Dalam jangka pendek berbahaya karena akan dapat memukul mata uang domestik dan akhirnya akan dapat memicu kekacauan ekonomi dan kerusuhan sosial dalam negeri. Sedangkan dalam jangka panjang juga berbahaya karena makin lama jumlahnya semakin menggila, yang akhirnya akan dapat melemahkan anggaran belanja negara dan membuatnya tidak mampu lagi melunasi utang-utangnya. 

Kapitalisme menyelesaikan pandemi dengan utang. Hal ini terlihat dari ketidaksiapan pemerintah dalam mengatasi pandemi. Bukannya mencari solusi lain justru malah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan yang membuka peluang Pemerintah untuk menambah utang.

Untuk mempermudah Pemerintah meningkatkan jumlah utang, Perppu juga membolehkan Pemerintah untuk menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang dapat dibeli oleh Bank Indonesia. Tentu selain para investor swasta yang lazim membeli surat utang Pemerintah.

Dalam Islam, ketika negara mengalami defisit, maka terdapat tiga sumber pembiayaan, yakni mengambil dana dari harta milik umum yang diproteksi untuk negara, mengenakan pajak atas kaum Muslim, dan mencari pinjaman.

Di dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Khilafah juga terdapat pos pengeluaran khusus untuk penanganan bencana. Pos bencana ini mencakup pembiayaan segala bencana yang menimpa rakyat seperti gempa, topan, kelaparan, dan semisalnya. Sumber dananya berasal dari Pos Fai dan Kharaj dan Pos Harta Milik Umum. Jika anggaran tersebut tidak mencukupi alias negara mengalami defisit, kekurangannya diambil dari kaum Muslim, yang melalui pungutan pajak.[]


Oleh: Achmad Mu'it
Analis Politik Islam dan Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo

Referensi

1. https://www.google.com/amp/s/surabaya.tribunnews.com/amp/2020/10/16/ini-10-negara-dengan-utang-tertinggi-indonesia-peringkat-tujuh

2. https://www.viva.co.id/amp/berita/bisnis/1334179-kaleidoskop-2020-utang-ri-10-terbesar-dunia-nyaris-rp6-000-triliun?page=all&utm_medium=all-page

3. https://al-waie.id/opini/bahaya-utang/amp/

4. https://al-waie.id/iqtishadiyah/mengatasi-pandemi-tanpa-utang/amp/

#LamRad
#LiveOpressedOrRiseUpAgainst 

Posting Komentar

0 Komentar