SKB "Keroyokan": Pembunuh Demokrasi dan Membinasakan FPI?


Resuffle kabinet IM Periode 2 tampaknya membuahkan hasil sesuai keinginan Presiden Jokowi. Belum berselang lama, Wakil Menteri Hukum dan HAM yang masih "anyar" membacakan Keputusan Bersama tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam. Terus terang hati saya perih menyaksikan "style" penegakan hukum di Indonesia ini yang mengutamakan tindakan memukul dari pada merangkul terhadap ormas-ormas dan atau orang yang dinilai berseberangan dan mengkritisi pemerintah. Sebuah elegi hukum dipertontonkan oleh para penegak hukum di negara yang mengaku dirinya sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan. 

Tampaknya benar, ilmu hukum dan ilmu politik tidak lagi diperlukan di negara ini. Penegakan hukum tidak perlu menggunakan ilmu hukum, cukup "ilmu aturan" yang tidak beraturan bahkan "chaos" karena diracuni oleh arogansi kekuasaan. Kondisi ini menyebabkan krisis dalam penegakan hukum yang didesain dengan slogan "negara tidak boleh kalah dan aparat dilindungi hukum". Cacat hukum dalam memproduksi keputusan hukum pun tidak dapat dihindari. 

Sebenarnya target pembubaran FPI bukan hal yang baru. Pada pertengahan tahun 2019 Presiden Joko Widodo memang tidak memperpanjang izin organisasi "garis keras", Front Pembela Islam (FPI) saat lima tahun kepemimpinan Jokowi periode 2. 

Melalui The Associated Press, ia berujar, sangat mungkin melarang FPI untuk menjalankan aktivitas organisasinya. Ini sebagai bentuk keprihatinan pemerintah terhadap kelompok yang mengancam reputasi Indonesia karena menggabungkan Islam dan demokrasi. Selain itu, kelompok tersebut kerap berlawanan dengan ideologi negara. Hal ini tentunya mengancam kerukunan bangsa. Benarkah?
Dan ternyata diakhir tahun 2020 wacana itu benar dijalankan oleh Pemerintah dengan penerbitan SKB keroyokan (3 Menteri dan 3 Lembaga Papan Atas). 

Kita memang prihatin atas hak berserikat dan berkumpul dalam bentuk ormas di Indonesia ini. Hak konstitusional di negara demokrasi Pancasila ini seringkali harus terberangus oleh ketakutan rezim yang sedang berkuasa karena ormas itu dianggap anti  NKRI, anti Ideologi Pancasila dan intoleran sebagaimana alasan diterbitkannya SKB keroyokan ini. 

Dengan tudingan seperti itu seolah semua kebaikan dan peran serta ormas dalam menghadapi musuh negeri ini terbuang, terlupakan dan dilupakan. Tudingan yang sebenarnya secara hukum sulit untuk dibuktikan di pengadilan yang independen. Tudingan tanpa dasar hukum bahkan lebih bermuatan politik khususnya dalam pembuktian ini seringkali akan menggiring negara ini mengalami bifurkasi yakni secara paksa mengubah haluan negara hukum terjatuh di jurang negara kekuasaan (Machtstaat) yang mana pemerintah akan bertindak secara extractive institution dengan dalil contrarius actus. 

Saudaraku, sebaiknya marilah kita duduk bersama. Berdialog dan mendialektikakan pemikiran itu adalah cara terbaik di era peradaban ini. Pemerintah juga sebaiknya tidak main eighenrichting dalam menangani kasus ormas, tetaplah menggunakan cara-cara beradab sesuai dengan prinsip negara hukum, yakni melalui due process of law bukan vandalisme (gaya hantam dulu urusan lain belakangan). Buktikan bahwa Pemerintah sebagai tangan panjang negara benar-benar melindungi seluruh tumpah darah Indonesia seperti amanat alinea IV UUD NRI 1945. FPI bukan seperti OPM dan atau teroris bukan? 

Mengapa OPM masih tetap ada hingga sekarang dan tdk pernah dinyatakan sebagai teroris agar kita bisa secara mondial menyatakan terhadapnya dengan slogan War On Terorism? Atau dinyatakan sebagi kelompok radikalisme sehingga kita pun bisa memeranginya dengan slogan War On Radicalism? Mengapa hanya dikatakan dengan statemen KKSB? Di sisi lain FPI harus secara jujur diakui telah terbukti membantu menyelesaikan penyakit dan derita rakyat dengan membantu di garda terdepan ketika kita dirundung penderitaan. Soal ada sedikit problem itu saya kira hampir semua ormas yg tulen memperjuangkan nasib rakyat dan umat bisa berbenturan kepentingan dengan pemerintah atau ada conflict of interest. Itu wajar. Maka yang terpenting bukan memukul tapi merangkul. Bukan menggebuk tapi memeluknya. 

Sebagai organisasi yang tua dan telah malang melintang dengan segala derita dan tantangan saya kira anggota FPI tetap akan menjadi insan militan dalam membela keadilan dan kebenaran serta peduli dengan sesama manusia tanpa melihat back ground-nya. Sedih, mendengar Pemerintah membubarkan dan melarang FPI beraktivitas sebagai Ormas. Tindakan itu betul-betul menggunakan pendekatan represifme oleh Pemerintah tanpa mengedepankan sisi pembinaan terhadap ormas, melainkan pembinasaan. Anda tahukah, sebenarnya siapa yang membenci FPI sehingga berhasrat sekali untuk membubarkannya? 

Lagi, Ketidakpatuhan Pemerintah Terhadap UU dan Putusan MK. 

Berapa kali Pemerintah menyatakan bahwa Indonesia itu negara hukum. Artinya, sebenarnya setiap penyelenggara negara sejak awal harus memahami bahwa kekuasaan yang dipegang itu dibatasi, diatur dan diarahkan oleh negara agar tidak digunakan secara suka-suka kami (SSK). Ada rule of the game.  Pada beberapa kesempatan, penanganan kasus HRS dan 6 anggota laskar FPI saya menyatakan bahwa Pemerintah, c.q Polisi tidak patuh pada 2 Putusan MK No. 7/PUU-VII/2009 dan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 jo KUHAP. 

Pada kasus penerbitan SKB Keroyokan ini, Pemerintah mengulangi ketidakpatuhan terhadap UU Ormas dan Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013. 


Ketikdakpatuhan Pemerintah  Pada UU Ormas 2017 

Saya melihat proses penjatuhan sanksi terhadap FPI ini tidak didasarkan pada SOP yang benar, yakni sesuai dengan Pasal 62 UU Ormas 2017, yakni ada 3 tahap yang harus dilalui. 

Tahap 1: Surat Peringatan Tertulis 

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterbitkan peringatan. 

Tahap 2: Surat Penghentian Kegiatan 

Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan. 

Tahap 3: Surat Pembubaran/Pelarangan Ormas

Dalam hal Ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum. 

Ketika tahap-tahap tersebut di atas tidak dilakukan oleh Pemerintah maka Surat Keputusan Pembubaran/Pelarangan Ormas adalah cacat hukum. Setahu saya, Pemerintah belum pernah memberikan Surat Peringatan dan Surat Penghentian Kegiatan sebagaimana diatur dalam Pasal 62 UU Ormas 2017. Cacat hukum tersebut jika terbukti dapat menjadi alasan agar SKB dibatalkan oleh Pengadilan yang berwenang. Oleh karena itu, FPI dapat mengajukan permohonan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menilai adanya prosedur yang cacat dan SKB itu berdampak terhadap kegiatan FPI. Tapi, buat apa jika mengadu ke PTUN hanya akan berakhir dengan menjadi "the loser" seperti yang dialami oleh HTI? 

PTUN sebenarnya tidak berwenang untuk menilai bagaimana substansi organisasi dan ada tidaknya penyimpangan hukum kegiatan FPI. Yang berhak menilai adalah Pengadilan Negeri atas gugatan yang diwakili oleh Kejaksaan sebagai Pengacara Negara. Jadi sudah benar sebenarnya UU No. 17 Tahun 2013 yang mengatur secara detail tahap-tahap mengadili ormas yang dinilai menyimpang. Namun sayang, seluruh ketentuan tersebut telah dihapus oleh Perppu Ormas 2017 yang sangat beraroma menerapkan negara kekuasaan dibandingkan negara hukum. 


Ketidakpatuhan Pemerintah Pada Putusan MK 

Memang betul bahwa negara tidak boleh tunduk pada narasi kebencian, tindakan intoleran dan lainnya, namun di sisi lain, negara harus menghormati, memenuhi dan melindungi HAM yakni kebebasan berserikat dan berorganisasi di negara hukum berlandaskan  prinsip Rule of Law (ROL). 

Menurut saya,  Surat Keputusan Bersama Keroyokan tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam bertentangan dengan prinsip-prinsip ROL, khususnya terkait HAM kebebasan berkumpul dan berserikat. SKB FPI ini, salah satunya, didasarkan pada UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2017 (UU Ormas 2017) yang sejak awal kelahirannya sangat kontroversial, khusunya terkait dengan Perppu Ormas 2017 yang juga sangat bermasalah dari perspektif negara hukum. UU Ormas 2017 memungkinkan pemerintah untuk membubarkan organisasi secara sepihak tanpa melalui proses peradilan (due process of law). Saya menyebutnya Pemerintah sebagai extractive institution, pengayak tunggal dalam menilai tindakan ormas. 

Pernyataan dalam SKB Keroyokan bahwa organisasi yang tidak memperpanjang atau tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), dalam hal ini Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi yang secara de jure bubar, tidaklah tepat. Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas 2013, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT, bertentangan dengan UUD 1945. Konsekuensinya, organisasi yang tidak memiliki SKT dikategorikan sebagai “organisasi yang tidak terdaftar”, bukan dinyatakan atau dianggap bubar secara hukum. 

Penggunaan istilah de jure untuk menyatakan suatu organisasi bubar karena tidak terdaftar atau tidak memperpanjang SKT harus didasarkan pada dasar legalitas yang jelas bukan SSK. Sementara, Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 maupun UU Ormas 2013 tidak menentukan ataupun mengatur hal tersebut.
Justru padab bagian pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan: “berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum”. 

Ketidakpatuhan Pemerintah atas UU Ormas 2017 yang dibuat sendiri dan Putusan MK menunjukkan bahwa Pemerintah sudah turut menjadi penegak hukum secara ugal-ugalan bahkan brutality dengan melakukan eghenrichting (vandalisme) dalam menjatuhkan sanksi kepada FPI. Kecacatan penerbitan SKB Keroyokan ini mestinya menyebabkan SKB tersebut dapat dibatalkan melalui gugatan ke PTUN. Eighenrichting dengan tindakan represif tersebut sebenarnya juga mengindikasikan bahwa Pemerintah sedang membunuh demokrasi itu sendiri.  

Pemerintah betul-betul telah menjadi extractive institution, pengayak tunggal penerapan sanksi atas dugaan pelanggaran hukum oleh Ormas tertentu. Padahal hak untuk berserikat, berkumpul itu termasuk HAM yang seharusnya dihormati, dihargai dan dilindungi oleh Pemerintah Negara yang mengaku dirinya sebagai negada demokratis. Hukum yang tidak dipatuhi oleh Pemerintah berakibat sekaratnya demokrasi dan berakhir pada penindasan atas HAM. Jika demikian, apakah Anda masih berani menepuk dada seraya berucap: Indonesia negara hukum? Tabik! []

Oleh: Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum, Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat

Semarang, Sabtu: 2 Januari 2021

Posting Komentar

0 Komentar