Perpres Ekstremisme: Inikah Respons terhadap Global War on Terrorism yang Berpotensi Memicu Konflik dan Polarisasi Rakyat di Masa Pandemi?

Tahun baru lagu lama. Program baru konten lama. Ungkapan ini mungkin tepat tersemat pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN-PE) dan telah diteken Presiden Jokowi pada Rabu (6/1/2021). 

Kebijakan ini menandakan pemerintah masih memandang penting untuk menyikapi apa yang mereka anggap sebagai ekstremisme, radikalisme dan terorisme. Pembentukan RAN-PE disebut untuk merespons tumbuh kembang ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah terorisme. Dan telah menciptakan kondisi rawan yang mengancam hak atas rasa aman dan stabilitas keamanan nasional. 

Terlebih di masa pandemi Covid-19. Di satu sisi, tingkat penggunaan internet (media sosial) sangat tinggi. Di sisi lain, pemerintah mewaspadai hadirnya narasi yang dianggap menyudutkan kinerjanya. Pun aksi yang dipandang mengarah pada terorisme. Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar menyatakan, ada keterkaitan pandemi Covid-19 dengan program penanggulangan terorisme. Menurutnya, harus ada upaya mengidentifikasi dan mengisi kesenjangan dalam merespons pandemi Covid-19 serta ancaman keamanan baru dan peluang yang mungkin muncul terkaitnya.

Menurut dia, ada beberapa fokus pemerintah dalam merespon terkait radikalisme di tengah pandemi Covid-19. Pertama, menyesuaikan kebijakan untuk menghadapi ancaman di masa pandemi seperti penyalahgunaan internet yang bertujuan menyebarkan narasi atau propaganda kelompok terorisme. Kedua, memperkuat ketahanan masyarakat melalui infrastruktur hukum dan kelembagaan (Perpres RAN-PE). Ketiga, membangun kerja sama di kawasan dan internasional melalui pertukaran informasi, untuk mengatasi ancaman yang muncul (liputan6.com, 3/9/2020)

Sebagai bagian dari Global War on Terorrism (GWOT) yang selama ini secara realitas menyasar elemen umat Islam yang gigih memperjuangkan syariat Islam kafah, kebijakan ini layak dikritisi. Berharap agar tidak menjadi alat gebuk tambahan bagi umat Islam demi melanggengkan hegemoni kapitalisme sekuler di negeri berpenduduk mayoritas muslim ini. 


RAN-PE, Kepanjangan Tangan Barat Melancarkan GWOT

Dalam salinan Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang RAN-PE Tahun 2020-2024, yang dimaksud RAN-PE adalah serangkaian kegiatan secara sistematis dan terencana untuk mencegah dan menanggulangi Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme yang digunakan sebagai acuan bagi kementerian, lembaga dan pemerintah daerah dalam mencegah dan menanggulanginya.

RAN-PE bertujuan untuk meningkatkan perlindungan hak atas rasa aman warga negara dari Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme, sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban negara terhadap hak asasi manusia dalam rangka memelihara stabilitas keamanan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.

Lampiran Perpres Nomor 7 Tahun 2012 tentang RAN-PE Tahun 2020-2024 menyebutkan, latar belakang Perpres ini ialah perkembangan terorisme sebagai ancaman global berbanding lurus dengan meningkatnya situasi pendukung munculnya ekstremisme berbasis kekerasan. Yaitu mudahnya kelompok teroris menyebarkan pahamnya melalui berbagai sarana komunikasi, baik pertemuan di dunia nyata (offine) maupun informasi dan komunikasi, khususnya internet (online). 

Cara tersebut dipandang efektif dalam menyebarluaskan propaganda dan pemahaman ekstrem untuk memengaruhi masyarakat agar bersimpati dan mendukung aksi terorisme. Di Indonesia, beberapa faktor kunci tumbuh kembangnya Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme adalah besarnya potensi konflik komunal berlatar belakang sentimen primordial dan keagamaan, kesenjangan ekonomi, perbedaan pandangan politik, perlakuan yang tidak adil serta intoleransi dalam kehidupan beragama.

Sebagai penjabaran lebih lanjut dari RAN-PE, kegiatan atau program  yang dilakukan antara lain: mendokumentasikan data dan kajian hasil-hasil riset terkait isu ini, riset dan kajian berkala/insidental, penyusunan alat ukur ekstremisme-terorisme di tingkat lokal/nasional, menyusun standar pelaksanaan prosedur untuk membangun sistem deteksi dini berbasis komunitas, penyusunan modul dan kurikulum yang terintegrasi dalam pendidikan dan latihan pra jabatan diklat kepemimpinan serta kursus Lemhanas.

Selain itu, pelatihan berkala bagi ASN di lingkungan kementerian/lembaga/pemda, pelatihan dan sosialisasi bagi komunitas, penghargaan bagi kementerian/lembaga/pemda/ASN yang mendukung upaya pencegahan isu ini, pelatihan bagi penceramah agama untuk mendorong moderasi agama, pelatihan bagi guru pendidikan formal tingkat dasar dan menengah, dst. 

Perpres RAN-PE itu sendiri lahir dari proses cukup panjang. Digagas sejak tahun 2017  oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama jaringan organisasi masyarakat sipil (salah satunya Wahid Foundation). Lalu pada 25 Januari 2019, presiden menyetujui penyusunan Rancangan Perpres mengenai RAN-PE. 

RAN-PE juga merupakan aktivitas yang diserukan secara global oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan didukung oleh berbagai lembaga internasional. Resolusi A/RES/70/291 Majelis Umum PBB mengundang negara anggota mengembangkan rencana penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan, nasional maupun regional. Resolusi  2178 (2014) Dewan Keamanan PBB mendorong negara anggota melibatkan komunitas lokal dan kalangan non pemerintah mengembangkan strategi melawan narasi ekstrimisme kekerasan yang dapat memicu tindakan terorisme. 

United Nations Development Program (UNDP) dan BNPT menyelenggarakan lokakarya regional melalui proyek “Preventing Violent Extremism through Promoting Tolerance and Respect for Diversity (PROTECT),” pada 24 Januari 2020. PROTECT telah mendukung pemerintah Indonesia dalam pembuatan RAN-PE. Proyek ini juga berfokus pada pelibatan kaum muda untuk mempromosikan toleransi dan penghormatan terhadap keberagaman serta melakukan penelitian tentang PE di Indonesia.

Adapun pada 24 September 2020, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan United States Agency for International Development (USAID), menyelenggarakan Rapat Komite Teknis (Komtek) Program HARMONI . HARMONI merupakan salah satu program USAID untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan berbasis ekstremisme dengan melibatkan berbagai kementerian/lembaga (K/L) yang terkait dengan PE di Indonesia.

Menilik keterlibatan organisasi internasional di balik kehadiran RAN-PE, penulis menduga kebijakan ini tak lepas dari GWOT yang digawangi oleh Barat khususnya negara adidaya Amerika Serikat (AS) yang memiliki pengaruh besar di PBB. Pasca keruntuhan WTC pada 11 Maret 2001, AS menggulirkan GWOT (perang melawan terorisme) yang sejatinya adalah perang melawan Islam. Indikasinya sangat jelas. 

Pertama, jika dilihat korbannya sebagian besar adalah negara muslim, kelompok muslim dan orang yang beragama Islam. Misalnya Irak dan Afganistan menjadi negeri korban perang melawan terorisme ala Amerika. Kedua, dari narasi dan label yang disematkan. Mereka sering menggunakan istilah teroris Islam, ekstremis Islam, radikal Islam. Tidak pernah menyebut teroris Yahudi, teroris Hindu, dst.   

Pada faktanya, Indonesia adalah negara yang sangat aktif menjalankan berbagai program GWOT ala AS. Hal ini nampak dari peraturan yang dikeluarkan seperti Perppu tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (mengambil momentum Bom Bali 2002) yang disahkan menjadi UU No.15 tahun 2003. Berikutnya, di tahun sama membentuk Densus 88. Pada tahun 2010, terbit Perpres No. 46 tahun 2010 tentang pembentukan BNPT. 

Dalam penanggulangan terorisme, ada dua pendekatan yang dilakukan pemerintah: hard power dan soft power. Pendekatan hard power lebih menekankan pada law enforcement, yakni penegakan hukum terhadap pelaku tindak terorisme. Selama ini pendekatan ini direpresentasikan oleh Densus 88. Adapun pendekatan soft power, selain menguatkan legal frame yakni dengan disahkannya UU Intelijen Negara, UU Ormas, penyusunan RUU Keamanan Nasional, juga dengan melakukan program deradikalisasi.

Keseriusan pemerintah menjalankan deradikalisasi dimulai sejak pembentukan BNPT. Ini menandai perluasan objek  sasaran war on terrorism (WOT), dari perang melawan terorisme menjadi perang melawan radikalisme. Kini, RAN-PE pun menjadi representasi penanggulangan terorisme dengan mengedepankan pendekatan lunak (soft approach), di mana deradikalisasi menjadi pilar kedua di samping pilar pencegahan, penegakan hukum dan penguatan kerangka legislasi, serta kemitraan dan kerjasama internasional. RAN-PE menandai perluasan objek sasaran WOT, dari perang melawan terorisme dan radikalisme, menjadi perang melawan ekstremisme (agama).

Dengan demikian, kebijakan RAN-PE tak lebih sebagai kepanjangan tangan negara Barat dalam melancarkan GWOT.  Isu ekstremisme, radikalisme dan terorisme dipilih sebagai “isu antara” agar lebih menjual dan diterima masyarakat. Seiringnya, isu ini akan diarahkan dan disematkan pada Islam dan kaum muslimin. 

Bagaimanapun, menyerang Islam secara langsung akan sangat beresiko bukan? Karena pasti menuai berbagai penolakan dan perlawanan. Terlebih sasaran Barat banyak dilakukan di negeri-negeri Islam.


RAN-PE, Berpotensi Memecah-belah Umat Islam dan Menyulut Konflik

Menanggapi RAN-PE, Prof. Suteki (pakar hukum dan masyarakat) menegaskan pentingnya memahami terlebih dahulu definisi dari nomenklatur ekstremisme tersebut. Menurut Merriam-Webster Dictionary, ekstremisme secara harfiah artinya “kualitas atau keadaan yang menjadi ekstrem” atau “advokasi ukuran atau pandangan ekstrem.” Istilah ekstremisme banyak dipakai dalam esensi politik atau agama, merujuk kepada ideologi yang dianggap berada jauh di luar sikap masyarakat pada umumnya. 

Setelahnya, beliau mempertanyakan apakah label ini hanya akan disematkan pada rakyat, anggota nasyarakat atau lebih khusus lagi umat Islam. Mengingat berdasarkan pengalaman sejarah, war on radicalism hampir seluruhnya dialamatkan kepada umat Islam sehingga terkesan umat dipojokkan dengan propaganda radikalisme yang jenis kelaminnya tidak jelas. 

Beliau memprediksikan, hal ini akan mengakibatkan suasana kian gaduh, bahkan rakyat akan terpolarisasi ketika penyematan ekstremisme ini serampangan dengan jenis kelamin yang tidak jelas. Pun mempertanyakan formulasi delik apa yang mendasarinya sehingga rasa fobia terhadap kata ekstremisme ini benar-benar terstruktur, sistemik dan massif (TSM) dan terkesan indonesia darurat ekstremisme. 

Berikut ini dampak negatif yang mungkin muncul jika RAN-PE ini diarahkan pada umat Islam:

Pertama, memecah-belah umat Islam.

Istilah-istilah ‘asing' seperti Islam garis keras, radikal, teroris, ekstrem, yang diversuskan dengan Islam moderat, liberal, dst., adalah bagian dari proyek imperialisme epistemologis penjajah Barat di dunia Islam. Tujuannya adalah agar kaum muslimin terpecah-belah dengan dan saling melontarkan tuduhan satu sama lain.  

Kedua, menyulut konflik vertikal dan horizontal. 

Umat Islam  yang telah terbelah (terpolarisasi) akan mudah menyulut terjadinya konflik. Baik sesama anak bangsa, maupun antara penguasa kaki tangan Barat dengan rakyat muslim yang enggan tunduk aturan Barat.

Ketiga, monsterisasi ajaran Islam, khususnya khilafah.

Fenomena munculnya ISIS dengan karakter buruk yang ditampilkan ditengarai sebagai upaya monsterisasi ajaran Islam, terutama khilafah. Demikian pula saat ekstremisme disematkan pada pejuang syariat dan khilafah, maka ini pun bagian dari monsterisasi tersebut. Khilafah berikut pejuangnya menjadi hal menakutkan yang layak dijauhi.

Keempat, umat Islam kian jauh dari syariat dan pemikiran Islam.

Saat sebagian umat Islam memercayai bahwa orang/kelompok yang berpegang teguh pada ajaran Islam dikategorikan ekstrem, atau syariat kafah dikatakan ekstrem, maka ia akan enggan berdekatan dengan keduanya. Padahal merugilah seseorang jika ia menjauhkan diri dari syariat kafah. 

Kelima, terjadi penyesatan hakikat permasalahan.

Yakni mengalihkan hakikat permasalahan yang tengah terjadi di masyarakat, dari kapitalisme sekuler menjadi Islamlah biang kerok persoalan bangsa. Hal ini sudah nampak di negeri ini. Pemerintah dan kaum sekuler menuding penerapan syariat Islam adalah tindakan berlebihan, menimbulkan disintegrasi, mengancam kebhinekaan, dst. Padahal problematika negeri ini sejatinya berakar pada penerapan sistem kapitalisme sekuler.

Keenam, hegemoni Barat berikut sistem kehidupannya kian eksis.

Jika di poin 1-5 telah terjadi, maka tentu kondisi tersebut akan kian mengeksiskan hegemoni kaum Barat di negeri ini. Sistem hidup berikut pemikiran-pemikirannya juga kian kuat diikuti oleh masyarakat.
 
Demikianlah, andai RAN-PE diberlakukan dengan motif dan pola yang sama sebagaimana undang-undang dan peraturan anti terorisme sebelumnya, maka umat Islamlah yang pertama kali merasakan dampak buruknya. Jika begitu, tentu sebagai bagian dari umat Islam kita mesti waspada dan berupaya meminimalisasi bahaya yang ditimbulkannya.


Strategi Umat Islam menghadapi RAN-PE dan Kebijakan GWOT Menyasar Islam

Barat dengan ideologi kapitalisme sekuler akan terus berupaya memerangi Islam dan kaum muslimin. Setelah isu terorisme yang belakangan tidak lagi laku dijual, mereka membuat brand radikalisme. Kini, mereka pun memproduksi brand baru, ekstremisme. Apakah ini pertanda isu radikalisme juga kian tak laku di pasaran?

Namun, pergeseran atau penambahan isu tersebut hanyalah “rebranding” belaka. Membuat nama baru tanpa mengubah esensinya, yakni perang melawan Islam. Terlebih saat ini geliat kebangkitan umat Islam kian terlihat. Nampak di kalangan umat Islam, kerinduan untuk kembali pada ajaran ilahi. Pun semangat menjalankan serta memperjuangkan syariat-Nya. Sementara tanda-tanda kebangkrutan negara-negara pengusung kapitalisme juga mulai terkuak. Pandemi Covid-19 menjadi cermin kegagalan sistem hidup buatan manusia dalam menyelesaikannya. 

Jelas bahwa isu terorisme, radikalisme dan ekstremisme bukanlah isu yang bergulir alami. Isu ini direkayasa sedemikian rupa sehingga mengarah pada satu sasaran yaitu Islam.  Karena itu diperlukan pula upaya sistematis agar rekayasa Barat melalui penguasa di negeri ini jauh dari keberhasilan.

Langkah-langkah yang bisa kita tempuh antara lain:

Pertama, membina diri dan umat dengan basis akidah dan tsaqofah Islam.

Akidah adalah landasan utama cara berpikir dan bersikap bagi seorang muslim. Berikut tsaqofah (pengetahuan) Islam sebagai modal sekaligus filter terhadap ide/pemikiran yang datang dari luar khazanah Islam. Aktivitas pembinaan hendaknya dilakukan sistematik dan berkesinambungan agar mendapatkan gambaran utuh ajaran Islam. Juga mendakwahkan seluruh ajaran Islam tak boleh berhenti apapun resikonya.

Kedua, menanamkan kesadaran politik umat.

Banyaknya umat Islam yang terpengaruh propaganda Barat bahkan terlibat dalam skenario mereka, termasuk dalam isu ini adalah karena rendahnya kesadaran politik. Maka harus ada upaya untuk mengungkap makar Barat agar diketahui secara terbuka oleh umat Islam. 

Umat mesti menyadari bahwa isu terorisme dan ekstremisme adalah bagian upaya Barat memerangi Islam. Tunjukkan pula pengkhianatan penguasa, kaum elit, intelektual muslim yang menjadi kaki tangan Barat. Dan tidak boleh terpengaruh dengan isu ini.

Ketiga, mengokohkan persaudaraan Islam dan menyamakan persepsi tentang common enemy.

Mengingatkan bahwa musuh bersama kita adalah negara kapitalis global, bukan sesama umat Islam. Perpecahan hanya akan memperlemah tubuh umat Islam sekaligus memperkuat penjajah. 

Karenanya, jangan mau diadu domba. Hubungan antarelemen umat kian dikokohkan agar terjalin komunikasi dan koordinasi langkah. Selain itu, menyamakan common value (nilai bersama). Yaitu nila apa yang harus kita perjuangkan bersama, apakah sekularisme kapitalisme atau akidah dan syariah Islam?

Keempat, memperjuangkan hadirnya kekuatan politik untuk menghadapi propaganda musuh Islam. 

Saat ini terjadi “pertarungan” yang tidak seimbang. Di satu sisi, ideologi kapitalisme sekuler diemban oleh banyak negara. Di sisi lain, Islam hanya diemban oleh individu dan kelompok dakwah. Agar pertarungan melawan Barat menjadi seimbang, umat harus memiliki kekuatan politik. Tanpanya, umat Islam akan senantiasa menjadi korban, sasaran dan bulan-bulanan Barat. 

Kekuatan politik Islam yang dapat mengimbangi bahkan mengalahkan hegemoni Barat adalah khilafah Islam. Karena itu, umat Islam harus fokus dan serius memperjuangkan tegaknya sesuai metode dakwah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.

Semoga dengan niat lurus, tekad kuat dan upaya optimal, Allah Swt berkenan menurunkan pertolongan-Nya. Dan dominasi sistem kehidupan berikut penguasa yang mengingkari hukum Allah Swt akan segera sirna.[]

Oleh: Puspita Satyawati, Analis Politik dan Media & Dosol Uniol 4.0 Diponorogo


Pustaka:
- Salinan Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang RAN PE Tahun 2020-2024
‐ Lampiran Perpres Nomor 7 Tahun 2012 tentang RAN PE Tahun 2020-2024
- Wahid Foundation, Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pasca Terorisme (RAN-PE), Mengapa? Minggu (3/2/2019)
- Prof. Suteki, Mungkinkah Pemerintah Berpaham Ekstremisme?
- Luthfi Affandi, S.H., M.H., Dari Terorisme ke Radikalisme, Al Wa’ie, 1 Januari 2018

Posting Komentar

0 Komentar