Pekerja Digaji dari Manfaatnya, Bukan Persentase Penjualan!


Apa yang dimaksud dengan ketenagakerjaan itu? Dalam istilah fiqih, ketenagakerjaan itu biasa disebut dengan istilah ijaratul-ajir atau sering disingkat dengan sebutan ijarah saja.

Makna ijarah itu sendiri biasa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai sewa. Sedangkan ajir diterjemahkan sebagai pekerja. Sehingga, terjemahan bebas dari ijaratul-ajir adalah sewa tenaga kerja.

Selanjutnya, marilah kita fahami apa definisi syar’i dari ijarah itu? Definisi syar’i dari ijarah adalah sebagai berikut (An-Nabhani, 2003; As-Sabatin, 2009):

أَلْإِجَرَةُ هِيَ عَقْضٌ عَلَى الْمَنْفَعَةٍ بِعِوَاضٍ

“Al-ijarah adalah aqad atas suatu manfaat dengan imbalan atau upah.”

Definisi lain yang memiliki pengertian yang sama adalah (Al-Kasani, Bada'iush Shana'i', 4/174; Hasyiyah Ibnu Abidin, 5/1):

الإجارة هي تَمْلِيْكُ مَنْفَعَةٍ بِعِوَضٍ

“Ijarah adalah akad untuk memiliki suatu manfaat dengan pengganti (kompensasi).”

Dari definisi di atas kita dapat memahami bahwa ijarah dalam pandangan syari’ah Islam adalah pertukaran antara manfa’at dengan kompensasi atau upah. Dengan demikian, yang menjadi fokus dari ijarah adalah manfa’at. Sebab, dengan adanya manfa’at yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain itulah yang mengharuskan adanya balasan yang berupa imbalan. Oleh karena itu, selanjutnya kita dapat memahami, apa yang dimaksud dengan manfa’at menurut definisi syar’i.

Istilah manfa’at dalam definisi di atas dapat muncul dari dua kemungkinan, yaitu: yang pertama adalah manfa’at yang muncul dari aktivitas manusia (juhdul insan); yang kedua, manfa’at yang muncul dari barang (maal).

Manfa’at yang muncul dari aktivitas manusia itu juga ada berbagai macam. Contohnya adalah maanfa’at yang berupa aktivitas berpikir (al-juhdul fikri), seperti manfaat layanan dokter, manfaat jasa arsitek, manfa’at jasa pendidikan dsb. contoh yang lain adalah manfa’at yang berupa aktivitas fisik (al-juhdul jismi), seperti manfaat tukang kayu, manfaat pembantu rumah tangga, manfaat buruh dan sebagainya.

Sedangkan yang disebut sebagai pengganti ('iwadh) dalam definisi ijarah di atas tidaklah harus berupa uang. Dalam ketentuan syari’ah Islam, iwadh dapat juga berupa manfaat yang lain. Contoh manfaat yang lain misalnya adalah: seseorang yang melakukan ijarah mengajar bahasa Inggris kepada orang lain, kemudian dibayar dengan manfa’at yang lain berupa diajari bahasa Arab oleh orang tersebut.

Selanjutnya, pengganti ('iwadh) biasa disebut dengan istilah upah. Berdasarkan definisi di atas, dalam pandangan syari’ah Islam dasar penentuan upah manfa’at. Hal itu sangat berbeda dengan sistem ekonomi yang lain. Marilah kita lihat perbandingannya:
Menurut doktrin ekonomi kapitalisme, upah didasarkan pada taraf kebutuhan fisik minimum (KFM), yang dirumuskan dalam UMR atau UMP.
Menurut doktrin ekonomi sosialisme, upah didasarkan pada nilai dari barang yang diproduksi.
Menurut pandangan ekonomi Islam, upah didasarkan pada manfaat yang diberikan pekerja kepada yang mempekerjakannya.

Mengapa dalam pandangan Islam, upah harus didasarkan pada manfa’at yang diberikan pekerja kepada yang mempekerjakan? Marilah kita lihat dalil-dalil yang menjadi landasannya. Kita mulai dari firman Allah SWT:

فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ﴿٦﴾

“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. Ath-Thalaq: 6)

Ayat di atas memang berkaitan dengan istri yang ditalaq. Dalam ayat di atas ditunjukkan bahwa jika istri yang ditalaq itu mau menyusukan anak-anaknya, maka dia berhak untuk mendapatkan upahnya. Dari ayat tersebut kita dapat menimpulkan bahwa dasar pemberian upah kepada istri yang ditalaq adalah karena dia telah memberikan manfa’at menyusui anak-anaknya. Manfa’at menyusui anak-anak itulah yang menjadi dasar kepada mantan suaminya untuk memberikan upah kepada mantan istrinya.

Dari ayat di atas juga dapat diqiyaskan pada semua aktivitas seorang pekerja yang telah memberikan manfa’at kepada majikannya, maka pekerja tersebut berhak untuk mendapatkan upahnya.

Seorang majikan yang telah mengontrak pekerja, kemudian pekerja sudah menunaikan pekerjaannya, namun majikannya tidak mau membayar upahnya, maka besok di hari kiamat akan menjadi orang yang akan dimusuhi Allah SWT. Dasar penentuan upah adalah manfa’at yang telah diberikan oleh pekerja kepada majikannya. Penentuan upah tidak boleh dikaitkan dengan tinggi rendahnya nilai barang, laku atau tidaknya penjualan dari barang tersebut.

Oleh karena itu, produk barang yang dihasilkan oleh pekerja itu bernilai tinggi atau tidak, laku dijual atau tidak, ketika seorang pekerja sudah memberikan manfa’atnya kepada seorang majikan (pemberi kerja), maka majikan itu tetap wajib membayar upah pekerja tersebut. Jika itu tidak ditunaikan, maka majikan itu akan berdosa di sisi Allah SWT.[]

Oleh: Ustaz Dwi Condro Triono, Ph.D

Posting Komentar

0 Komentar