Ngaku Muslim tapi Benci Islam Dijadikan Dasar Negara, Kok Bisa?




TintaSiyasi.com-- Bila non-Muslim membenci Islam dijadikan dasar negara masih bisa dipahami, tetapi bila seorang Muslim menunjukkan hal yang sama tentulah sangat aneh. Keanehan tersebut terjadi pula pada Sidang Konstituante (1956-1959). 

“Keanehan abad XX yang kita persaksikan dalam Gedung Konstituante kita ini, yaitu keanehan beberapa intelektual Islam mendemonstrasikan pengakuan cintanya kepada Islam tetapi dalam pada itu (waktu bersamaan, red) benci kepada Islam sebagai dasar negara,” ujar anggota fraksi Masyumi Osman Raliby di hadapan lebih dari 500 peserta sidang Konstituante, Gedung Merdeka, Bandung.

“Herankah Saudara Ketua, kalau kita dalam sidang pleno Konstituante sekarang ini kita melihat keanehan abad XX seperti yang saya sebutkan tadi? Buat saya itu tidak aneh Saudara Ketua!” tegasnya.

Ia pun mengungkap alasan mengapa dirinya tidak heran. “Jelas mereka itu adalah hasil yang murni dari sistem pendidikan kolonial Belanda di masa yang lampau itu,” ungkapnya sebagaimana tertulis dalam buku kumpulan pidato peserta Sidang Konstituante yang berjudul Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante Djilih III yang disusun oleh Wilopo, Ketua Konstituante 1955-1959, pada 1958.

Menurutnya, sistem pendidikan Belanda di zaman penjajahan dahulu dibuat sedemikian rupa sehingga pemuda-pemuda yang beragama Islam tamatan sekolah-sekolah Belanda, baik sekolah-sekolah menengah maupun sekolah-sekolah tinggi, tidak bakal mengetahui sama sekali tentang hakikat dari agama mereka, lebih-lebih tidak bakal mengetahui bahwa agama Islam yang mereka anut adalah satu agama yang mempunyai aturan hidup yang lengkap, satu way of life. 

Menurut Osman, yang dikesankan selalu Islam itu agama peribadatan semata-mata. Ajaran-ajaran Islam di lapangan politik, sosial, ekonomi dan lain-lain soal kemasyarakatan, ditutup rapat di sekolah-sekolah pemerintah, sehingga sekolah-sekolah Belanda itu menghasilkan satu golongan intelektual yang buta sama sekali dalam ajaran-ajaran agama di bidang-bidang hidup tersebut. 


Tiga Prinsip Pokok

“Politik Islam Belanda di zaman kolonial sudah sama-sama kita ketahui, yaitu didasarkan atas tiga prinsip pokok yang tujuannya hendak menghapuskan Islam di Indonesia ini. Sekurang-kurangnya hendak melemahkan agama itu sehingga tidak berpengaruh dalam kehidupan rakyat Indonesia,” bebernya. 

Ketiga prinsip pokok itu adalah sebagai berikut. Pertama, terhadap urusan peribadatan semata-mata pemerintah kolonial Belanda memberikan kebebasan yang seluas-luasnya dan sejujur-jujurnya.

Kedua, terhadap urusan kesosialan, muamalat, pemerintah kolonial Belanda menghormati adanya badan-badan agama yang sudah ada, tetapi sambil berusaha membuka jalan agar badan-badan itu berangsur-angsur menuju ke arah tujuan Belanda. Malah yang demikian itu dimestikan diajak dan digemarkan. 

Ketiga, terhadap persoalan-persoalan yang mengenai politik, pemerintah kolonial Belanda menolak dan memberantas sekeras-kerasnya cita-cita politik umat Islam dan kehendak-kehendak yang bersifat Pan Islamisme. 

“Demikian Saudara Ketua, politik Islam pemerintah kolonial Belanda dahulu terhadap berjuta-juta umat Islam Indonesia. Politik pendidikan Belanda pun sesuai dengan semangat politik Islam ini. Sehingga selama masa penjajahan itu Belanda telah menciptakan satu golongan intelektual yang merupakan satu traicomedia bagi perjuangan umat Islam di tanah air kita ini,” ujarnya.

Ia pun menyebutkan rujukan buku-buku yang memuat tiga prinsip pokok politik Islam Belanda. 

“Saudara Ketua, apa yang saya sebutkan tentang “politik Islam” Belanda itu dan tujuan-tujuan sistem pendidikannya itu masih dapat dikaji kembali sekarang ini antara lain dalam Verspreide Geschriften dari Prof. C. Snouck Hurgronje atau dari buku-buku buah tangannya Prof. GH Bousquet yang berjudul La Politique Musulmane de Pays Bas (Politik Islam dari Belanda) dan Introduction AEtude de L'Islam Indonesia (Mukaddimah terhadap Studi Islam di Indonesia),” ungkapnya.

Menurutnya, bagi umat Islam yang memahami ajaran Islam tentu saja tidak sukar memilih Islam sebagai dasar negara. 

“Bagi umat Islam Saudara Ketua, the choice is not so difficult, pilihan itu tidaklah begitu sukar. Islam yang kami anut sebagai agama adalah juga filsafat hidup yang meliputi segala segi kehidupan yang saya sebutkan di awal tadi. Kehidupan rohani dan jasmani, kehidupan moril dan materiil, kehidupan sosial, ekonomi, kehidupan politik, kebudayaan dan keagamaan,” tegasnya.

Sebaliknya, bagi orang awam dan yang bukan Islam, begitu juga bagi yang dinamakan golongan intelektual yang mengaku beragama Islam, sukar sekali untuk dapat merasakan kedudukan Islam sebagai filsafat hidup bagi para pemeluknya. 

“Mereka selama ini hanya mengenal Islam sebagai agama peribadatan semata-mata, yaitu shalat, puasa, naik haji dan sekali-kali mereka sampai pada mengetahui juga bahwa perkawinan dan perdagangan pun ada hukumnya di dalam Islam. Lebih dari itu agaknya tidak!” bebernya.

Ia pun mengungkap beberapa faktor penyebabnya. Pertama, pengaruh pendidikan kolonial Belanda yang telah mendalam dalam jiwa raganya. 

Kedua, rasa benci kepada Islam sebagai akibat dari pancaran lingkungan hidupnya semasa pendidikan kolonial Belanda dahulu. Seperti, misalnya, kebarat-baratan atau occidentophilia

Ketiga, rasa kepuasan batin (selbstgenugsamkeit) terhadap ilmu yang diperoleh dari zaman kolonial Belanda. Sehingga tidak punya daya lagi untuk menambah pengetahuannya dalam soal agama yang dipeluknya sendiri.


Ajak Dalami Islam

Osman pun mengajak para intelektual Islam untuk mempelajari Islam lebih mendalam lagi. “Saya mengundang para intelektual kita di dalam Sidang Konstituante ini, terutama yang beragama Islam, agar suka berlapang dada mempelajari dan menyelidiki ajaran-ajaran agama Islam yang dipeluknya itu secara mendalam,” ajaknya.

Karena, lanjut Osman, sesungguhnya apa yang diajarkan oleh Belanda dahulu tentang Islam lewat Juynboll, Kraemer, Obbink dan pengarang Belanda lainnya, adalah akibat dari politik Islam-nya di Indonesia sebagai tanah jajahannya yang tadi telah dipaparkan.

“Saudara Ketua, uraian saya tadi beserta dengan skemanya, dimaksudkan agar dari sekarang ke depan, hendaknya golongan intelektual Indonesia yang beragama Islam menyadari sesungguhnya agama yang dipeluknya itu bukanlah agama semata-mata dalam arti sebagaimana kata agama itu sekarang lazim ditafsirkan.

Islam adalah satu pandangan hidup, satu weltanschauung, yang luas dan dalam, yang bersifat kejiwaan maupun kebendaan, menguasai manusia dan masyarakat, termasuk di dalamnya segala prinsip-prinsip dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban manusia dan negara dan mengenai segala sudut kehidupan, baik sosial ekonomi dan politis, maupun keagamaan dan kebudayaan, baik nasional maupun internasional.

Menurut Osman, sebutan-sebutan yang lazim diperdengarkan orang dewasa ini, seperti “agama dan negara” atau “etik dan politik” dan lain-lain lagi sebagaimana biasa diartikan dan dipahamkan orang-orang Barat, sesungguhnya tidak ada kata persamaannya (equivalent) di dalam leksikografi Islam.

Ia menegaskan, kata “Islam” itu telah meliputi segala konsep ini secara integral dan tiada dapat sekali-kali dicerai-pisahkan. Jika seorang Muslim melakukan ibadat shalatnya di masjid atau menjual barang-barangnya di dalam pasar atau mengambil sesuatu keputusan buat dua pihak dalam pengadilan atau melaksanakan pekerjaan dan persoalan-persoalan negara atau membuat persetujuan dengan negara-negara lain atau bertempur atas nama keadilan di medan-medan pertempuran, segala itu baginya adalah agama. 

“Yaitu, ia harus melakukan segala itu sesuai dengan ajaran-ajaran dan perintah-perintah agama Islam,” pungkasnya.[]


Oleh: Joko Prasetyo
Jurnalis/Pengasuh Rubrik Sejarah KISAH Tabloid Media Umat
  

Posting Komentar

0 Komentar