Mungkinkah Pemerintah Berpaham Ekstremisme?

Jakarta, Id-Times 15/1/2021 mewartakan bahwa Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE). 

Sasaran umum RAN PE adalah untuk meningkatkan pelindungan hak atas rasa aman warga negara dari ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban negara terhadap hak asasi manusia dalam rangka memelihara stabilitas keamanan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Kita perlu memahami lebih dahulu tentang definisi dari nomenklatur ekstremisme tersebut. Menurut Merriam-Webster Dictionary, ekstremisme secara harfiah artinya “kualitas atau keadaan yang menjadi ekstrem” atau “advokasi ukuran atau pandangan ekstrim”.  Istilah ekstremisme banyak dipakai dalam esensi politik atau agama, yang merujuk kepada ideologi yang dianggap berada jauh di luar sikap masyarakat pada umumnya. 

Menurut Dr. Alex P. Schmid (2014), kelompok ekstremis merupakan kelompok yang menganut paham kekerasan ekstrem atau ekstremisme. Dibandingkan radikalis, ekstremis cenderung berpikiran tertutup, tidak bertoleransi, anti-demokrasi dan bisa menghalalkan segala cara, termasuk penipuan, untuk mencapai tujuan mereka. Kelompok ekstremis juga berpikiran tertutup. Kelompok ini berbeda dengan kelompok radikalis, kelompok yang menganut paham radikal atau radikalisme. (“Radicalisation, De-Radicalisation, Counter-Radicalisation: A Conceptual Discussion and Literature Review”, 2014: h. 56) 

Setelah memahami definisi konsep ekstremisme, selanjutnya perlu dipertanyakan siapa saja yang berpotensi melakukan tindakan ekstrem atau berpaham ekstremisme? Apakah hanya rakyat atau mungkinkah Pemerintah (Rezim atau oknum pejabat yang berkuasa) berpaham ekstremisme? 

Perpres RAN PE mempunyai 5 sasaran, yaitu: 

Pertama. Meningkatkan koordinasi antarkementerian/lembaga dalam mencegah dan menanggulangi ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme (ekstremisme); 

Kedua. Meningkatkan partisipasi dan sinergitas pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan ekstremisme yang dilakukan kementerian/lembaga, pemda, masyarakat sipil, dan mitra lainnya; 

Ketiga. Mengembangkan instrumen dan sistem pendataan dan pemantauan untuk mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme; 

Keempat. Meningkatkan kapasitas aparatur dan infrastruktur secara sistematis dan berkelanjutan, untuk mendukung program-program pencegahan dan penanggulangan ekstremisme; 

Kelima. Meningkatkan kerja sama internasional, baik melalui kerja sama bilateral, regional, maupun multilateral, dalam pencegahan dan penanggulangan ekstremisme. 

Jika kita perhatikan, sasaran Perpres ini terkesan menyasar kepada ekstremisme yang dilakukan rakyat saja bukan kepada Pemerintah sendiri atau pejabat pemerintah sendiri. Hal ini disebabkan ada kemungkinan besar pejabat pemerintah pun terpapar paham ekstremisme. 

Pejabat pemerintah harus menjadi contoh bagi rakyatnya untuk tidak bertindak secara ekstrem dalam menyelesaikan permasalahan dan menghadapi rakyatnya. Dalam mempertahankan status quo, pejabat pemerintah dapat juga cenderung berpikiran tertutup, tidak bertoleransi, anti-demokrasi dan bisa menghalalkan segala cara, termasuk penipuan, untuk mencapai tujuan Pemerintah. 

Sesuai konsensus nasional tanggal 18 Agustus 1945, para founding fathers menjadikan Pancasila sebagai DASAR NEGARA. Bukan hanya sebagai Dasar Negara, Pancasila juga sebagai IDEOLOGI bangsa yang konon disebut sebagai ideologi terbuka. Pancasila merupakan milik semua masyarakat Indonesia, bukannya milik individu atau golongan saja, isi yang terkandung didalam Pancasila bersifat terbuka, dapat diikuti atau dimengerti oleh setiap generasi bangsa tanpa harus mengubah isi dari Pancasila, dan Pancasila juga dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sehingga Pancasila merupakan ideologi yang relevan dan actual. Pancasila menghargai pluralitas, perumusan definitif Pancasila dicapai justru karena didorong oleh semangat untuk tetap menghargai pluralitas tersebut, termasuk pluralitas ideologi. 

Sejarah membuktikan bahwa negara-negara bangsa yang ada di dunia ini pernah menggunakan 3 ideologi besar, yaitu liberal kapitalisme, sosial komunisme dan Islam. Itu fakta pluralitas ideologi. Bagaimana dengan Pancasila? Saya kira kita tidak bisa serta merta menampik bahwa Pancasila itu murni dari Indonesia. Jika kita simak proses perumusannya, ternyata Pancasila disusun atas pertarungan pluralitas ideologi yang ada. Warna sosialisme ada, warna liberalisme ada dan juga warna Islamnya ada. Atas fakta ini saya kira para pejabat pemerintah tidak boleh menutup mata relasi Pancasila dengan ideologi-ideologi yang dimiliki warga bangsa Indonesia dengan kata lain mesti bersifat terbuka. Setidaknya tetap memelihara karakter dialogis antar ideologi. Selama tidak ada unsur tindakan makar, maka pejabat pemerintah tidak boleh memberangus, menutup, mematikan ideologi dengan kekerasan apalagi mempersekusi, memidana bahkan membunuh para penganut ideologi tersebut. 

Ideologi yang dianut oleh kelompok, membutuhkan organisasi sebagai sarana untuk mengejawantah-kan ide-ide dasar yang diakui kebenarannya. Ada ormas, ada orpol, ada lembaga swadaya masyarakat, ada negara yang semua organisasi tersebut akan dipakai sebagai kendaraan implementasi ideologi. Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dan Organisasi Politik (Orpol) dalam perjalanan sejarah Indonesia juga memiliki ideologi, misalnya Ormas Islam NU, Muhammadiyah, HTI, FPI dan lain sebagainya adalah ormas yang mengaku berideologi Islam. Apakah salah? Tentu saja tidak karena kita juga telah bersepakat bahwa diperbolehkan oleh UU sesuatu ormas atau orpol untuk memiliki asas atau ideologi lain selain Pancasila yang penting tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Islam jelas tidak mungkin dikatakan bertentangan dengan Pancasila dan oleh karenanya ormas dan orpol yang memiliki asas Islam tidak boleh dikatakan ormas / orpol ekstrem atau menganut paham ekstremisme. Itu logika yang seharusnya dibangun. 

Memusuhi ormas atau orpol yang berbasis ideologi Islam sama artinya membuat Pancasila bukan sebagai ideologi terbuka melainkan ideologi tertutup yang justru akan rentan keambrukannya. Penggunaan kekerasan oleh pejabat pemerintah dalam berkonflik dengan ormas Islam tertentu dapat dikatakan sebagai tindakan ekstrem karena boleh jadi pejabat pemerintah tersebut cenderung berpikiran tertutup, tidak bertoleransi, anti-demokrasi dan bisa menghalalkan segala cara, termasuk penipuan, untuk mencapai tujuan mereka. 

Atas dasar pemikiran ini, tidak berlebihan kiranya jika peristiwa extrajudicial killings atas 6 anggota laskar FPI dapat disebabkan oleh karena pemerintah atau setidaknya pejabat pemerintah telah melakukan tindakan ekstrem atau menganut paham ekstremisme dalam menghadapi rakyatnya. Jadi penggunaan kekerasan justru diutamakan tanpa adanya kondisi emergensi sehingga oleh Komnas HAM disimpulkan bahwa tindakan aparat pemerintah (aparat penegak hukum) telah melanggar HAM meskipun tidak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM. Tindakan polisi ini bukan saja dikatakan ekstremisme tetapi juga vandalisme dalam bentuk eighenrichting (main hakim sendiri). 

Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa ekstremisme itu berpotensi dilakukan oleh rakyat juga oleh pejabat pemerintah sendiri. Oleh karena itu, agar sasaran umum dan sasaran khusus RAN PE melalui Perpres No. 7 Tahun 2021 ini berhasil, ke depan Pemerintah harus memberikan contoh untuk secara dialogis menyelesaikan permasalahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan tindakan yang toleran, terbuka, dialogis dan tidak mengutamakan tindakan kekerasan. Pemerintah juga tidak boleh main tuduh terhadap kelompok agama, khususnya Islam telah melakukan ekstremisme, radikalisme lantaran umat Islam berusaha untuk menjalankan syariat Islam secara kafah mengingat hal itu merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh Alloh, Tuhan Yang Maha Pencipta alam seisinya. Sebaliknya rakyat juga harus memahami rambu-rambu hukum dalam menjalankan syariat Islam secara kaffah agar benturan dengan kepentingan status quo tidak melebar. Yang perlu dipahami bersama adalah bahwa Islam tidak mengajari umatnya untuk berbuat ekstrem tetapi mengajarkan umatnya untuk istiqomah dengan jalan dakwah bil hikmah. Tidak boleh ada makar dan penggunaan jalan kekerasan dalam membumikan ajaran Islam yang agung di bumi Indonesia khususnya. Jadi, jika pemerintah ingin agar rakyatnya tidak melakukan tindakan ekstremisme, berikan contoh kepada rakyat untuk menghindari berpikiran tertutup, tidak bertoleransi, anti-demokrasi dan bisa menghalalkan segala cara, termasuk penipuan, untuk mencapai tujuan pemerintah. Tabik!.[]

Semarang, Sabtu: 16 Januari 2021

Oleh: Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum
(Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat)

Posting Komentar

0 Komentar