Kisruh Amerika Serikat: Wajah Asli Demokrasi



Situasi mencekam. Suara ledakan, desingan peluru, teriakan protes massa, hingga para senator dan legislator yang kocar-kacir menyelamatkan diri mengubah gedung Copitol Hill, Washington DC bak medan perang. Suatu insiden yang dinilai memalukan pada Rabu (6/1/21) siang waktu setempat, atau Kamis dini hari WIB yang akan dikenang sepanjang sejarah politik Amerika. Ketika itu, massa pendukung Donald Trump menyerbu tempat berlangsungnya penetapan Joe Biden sebagai Presiden ke-46 AS itu. Sedikitnya, ada empat perusuh tewas dalam insiden tersebut.

Merespon insiden ini, Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson mengatakan kerusuhan tersebut sebagai insiden yang memalukan. “AS adalah simbol demokrasi di seluruh dunia dan sangat penting bagi AS untuk melakukan transisi kekuasaan dengan damai dan tertib,” cuit johnson dalam akun Twitternya. Begitu juga Menlu Irlandia Simon Coveney yang mengatakan, “Seluruh dunia melihat! Kami berharap restorasi keadaan kembali tenang.” Menurutnya, insiden tersebut menjadi “serangan terhadap demokrasi” (http://beritasatu.com, 7/1/2021)

Sistem Demokrasi-Sekularisme, Biang Masalah Bagi Manusia

Sebelumnya, kekacauan ini bermula dari pernyataan Donald Trump di media sosial, terkait pemilihan presiden pada November lalu yang berpuncak pada seruan untuk melakukan aksi di Gedung Copitol Hill, AS. Melalui unggahannya di Twitter, Trump yang menolak kalah dari Joe Biden mendesak para pendukungnya untuk datang ke Washington, AS. “Secara statistik tidak mungkin kalah dalam pemilu 2020,” ujar Trump dalam cuitannya pada 20 Desember. “Protes besar di DC pada 6 Januari. Berada di sana, akan menjadi liar” tambahnya.

“Kami tidak akan pernah menyerah, kami tidak akan pernah menyerah,” kata Trump, menyenagkan kerumunan dengan menyebut kemenangan Partai Demokrat sebagai produk dari apa yang dia sebut ‘ledakan omong kosong.’ Kemudian, terjadilah kekacauan yang belum pernah terjadi sebelumnya (m.liputan6.com).

Selain para diplomat dunia di atas, Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier (7/1), juga mengecam serangan itu. Ia yang menyaksikan tayangan tersebut membandingkannya dengan peristiwa ketika “penentang demokrasi menduduki tangga parlemen Reischtag” di Berlin pada Agustus lalu. “Ini adalah serangan di jantung demokrasi Amerika, serangan yang menewaskan empat orang. Tayangan-tayangan ini mengejutkan kita dan menunjukkan betapa rentannya demokrasi bahkan bagi demokrasi tertua dan paling berpengaruh di dunia,” komentarnya (voaindonesia.com).

Begitu pula Politikus Indonesia Fadli Zon (8/1), melalui akun Twitternya/@fadlizon bahwa Trump telah tumbang sebagai pemimpin yang sewenang-wenang dan Amerika Serikat gagal menjaga nilai demokrasi. “Dua hari mengikuti dinamika demokrasi di AS, ternyata di negara kampiun demokrasi saja gagal menjaga nilai demoktasi,” ujar Fadli. Namun demikian, ia mengapresiasi keberhasilan mereka menjaga konstitusi dan Undang-Undang. “Tapi mereka berhasil menjaga sistem sehingga lebih kuat dari figur dan sistem itu yang jadi tempat kembali, konsitusi dan UU. Akhirnya, Trump yang sewenang-wenang patah sendiri,” lanjut Fadli (suara.com).

Memang, kerusuhan yang terjadi di Amerika Serikat (AS) ini menorehkan catatan merah bagi perjalanan politiknya, terlebih kedudukan negara ini sebagai pentolan demokrasi. Sebab, selama ini demokrasi dinilai sebagai asas politik dan ketatanegaraan paling baik yang tidak terbantahkan, termasuk sistem paling adil untuk penegakan hukum yang digadang-gadang sebagai pilihan terbaik di antara berbagai pilihan lainnya. 

Dalam teori, demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat, dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih melalui sistem pemilihan bebas, yaitu Pemilu secara demokratis. Hal ini menjadikan tidak ada satupun tanggapan yang menolak sistem ini sebagai landasan yang paling tepat dan ideal bagi semua organisasi politik dan organisasi modern dengan slogannya “goverment of the people, by the people, and for the people (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat).” Namun, pada kenyataannya tidak selalu demikian. Di balik semua itu, sistem ini bahkan dicaci maki sejak di negeri asalnya, Yunani.

Menurut Aristoteles (348-322 SM), demokrasi sebagai mabocracy atau pemerintahan segerombolan orang. Demokrasi adalah sebuah sistem bobrok karena pemerintahan dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkisme. Plato (472-347 SM) mengatakan, liberalisasi adalah akar demokrasi sekaligus biang petaka mengapa negara demokrasi akan gagal selamanya. Dalam bukunya The Republic Plato mengatakan, “Mereka adalah orang-orang merdeka, negara penuh dengan kemerdekan dan kebebasan berbicara dan orang-orang di dalam sana boleh melakukan apa yang mereka sukai.” Orang-orang akan mengejar kemerdekaan dan kebebasan tidak terbatas. Akibatnya, bencana bagi negara dan warganya. Setiap orang ingin mengatur diri sendiri dan berbuat sesuka hati sehingga menimbulkan kekerasan, ketidaktertiban atau kekacauan, tidak bermoral, dan tidak kesopanan (m.merdeka.com).

Benar saja jika melihat tren politik demokrasi hari ini, khususnya negara AS sebagai “role modelnya” telah menampakkan wajah aslinya. Perbuatan anarkis sebagai rutinitas dalam perebutan kekuasaan telah mengekspos kampiun demokrasi itu apa adanya. Dan munculnya pandangan dunia terkait insiden ini sebagai serangan terhadap demokrasi karena menodai arti demokrasi yang sebenarnya, kerusakan bahkan kematiannya tampak semakin jelas.

Di dalam buku How Democracies Die yang ditulis oleh profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menjelaskan bagaimana demokrasi mati secara perlahan di tangan pejabat terpilih atau presiden. Bagi Levitsky dan Ziblatt, “Kemunduran demokrasi hari ini dimulai dari kotak suara.” Adapaun empat indikator utama yang harus diperhatikan yaitu penolakan (atau komitmen yang lemah terhadap) aturan main yang demokratis, penolakan legitimasi lawan politik, toleransi atau dorongan kekerasan serta kesiapan untuk membatasi kebebasan sipil lawan termasuk media.

Di dalam buku ini juga, keduanya memperingatkan bahwa demokrasi di Amerika Serikat dalam “masalah.” Politikus di Amerika membuang norma lama yang telah menjaga keseimbangan politik Amerika dan mencegah jenis konflik yang dapat mengarah pada situasi negara yang represif (tirto.id).

Tidak dapat dihindari, bahwa sudah menjadi hukum alam jika demokrasi akan membunuh dirinya sendiri, dengan meniscayakan terjadinya kekacauan, kerusuhan dan kerusakan. Sebab, di dalam kungkungan sistem ini setiap orang bebas berbuat atas nama Hak Asasi Manusia (HAM) tanpa peduli akan dampaknya, apakah melanggar norma atau merugikan pihak lain. Adapun dalam hal pemilihan wakil rakyat, penganutnya kerap bertindak curang demi memperoleh kemenangan. Jika akhirnya ada yang kalah, mereka akan berpura-pura sportif dan diwaktu yang berbeda akan bermain dengan licik di balik layar, berkonspirasi secara jahat untuk saling menghancurkan satu sama lain. 

Realitas ini menunjukkan bahwa penerapan demokrasi di dunia (selain Amerika) tidak akan ada bedanya. Sisi demokrasi yang kental dengan ide kebebasan telah nyata gagal sebagai sistem perpolitikan yang konon pilihan terbaik. Ideologi sekularisme sebagai tumpuannya telah meminggirkan campur tangan agama bahkan mencampakkan hukum Allah Subhanahu wa ta’ala dalam menjalankan kekuasaan. Pertimbangan dalam meraih tahta tidak berpijak pada nilai-nilai moral dan agama, melainkan hawa nafsu kekuasaan. Dengan orientasi duniawi, alhasil penguasa yang ada justru memicu malapetaka politik dengan memproduksi kekacauan, baik dari sisi para kandidat maupun rakyat di bawahnya. 

Di samping itu, ketika melihat sepak terjang penguasa dalam menjalankan pemerintahannya, jargon kedaulatan rakyat adalah nihil belaka. Sebab dominasi darinya adalah kekuatan yang mengaku sang “wakil rakyat,” yang selalu sukses mencuri kedaulatan rakyat sehingga sesungguhnya rakyat sendiri tidak memiliki kedaulatan itu. Merekalah yang berdaulat, sedangkan rakyat sering tertindas dalam sistem demokrasi. Lihat saja, bagaimana sistem ini menjadikan kaum Muslim menjadi kambing hitam/terdzolimi atas kebobrokannya, menjamin penghinaan kepada ajaran Islam secara keseluruhan dan banyak lagi bentuk lainnya. Sungguh, kehadiran penguasa dengan “wajah nyatanya” hanya memikirkan kepentingan, kemudian menginjak-injak rakyat dan menjerumuskannya ke dalam jurang kerusakan demokrasi. 

Semua ini membuktikan, peradaban demokrasi-sekularisme ala adidaya Barat dan juga bercokol di negeri-negeri Muslim telah gagal mewujudkan kebaikan bagi manusia di bumi Allah Subhanahu wa ta’ala dan umat tidak bisa menaruh harap dari sistem yang rusak sejak kelahirannya ini, semakin memperjuangkannya, semakin nampak pula kebobrokannya.

Sistem Islam, Solusi Bagi Dunia

Demokrasi-sekularisme adalah ide khayal, yaitu memberikan kebebasan untuk memuaskan penguasa yang haus tahta kekuasaan. Sistem ini tidak membawa pada peningkatan kesejahteraan, melainkan melahirkan kekacauan sosial dengan beragam efek negatifnya. Berbeda halnya dengan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) yang memberikan kemaslahatan total kepada seluruh rakyat dalam setiap situasi dan kondisi. Pemerintahan ini dibuat untuk menegakkan hukum syariat yang bersumber dari Allah Subhanahu wa ta’ala semata secara adil. 

Kedaulatan di dalam Islam adalah milik syara’ bukan rakyat. Artinya, yang berhak mengatur manusia hanyalah syariah, bukan hukum yang lain (produk manusia). Adapun kekuasaan berada di tangan umat. Artinya seorang pemimpin menerapkan syariah Islam secara total dengan pertimbangan kemaslahatan bagi umat/rakyat. Hal ini dikabarkan oleh Allah SWT di dalam firman-Nya: “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah SWT. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Qs. Yusuf: 40).

Sistem pemerintahan Islam datang dengan dibangun atas aqidah Islam yang senantiasa menaati Allah SWT. Sosok pemimpinnya (Khalifah) mengemban amanah besarnya sebagai wakil umat dalam menjalankan aturan Allah SWT tersebut, yakni melaksanakan penertiban (law and order), mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran, pertahanan dan menegakan keadilan rakyatnya. Dengan kata lain, keberhasilannya diukur dengan barometer kesejahteraan masyarakat, jaminan perlindungan yang baik kepada warganya (Muslim maupun non Muslim). 

Maka, dengan wajah buruk demokrasi, people power maupun metode yang lain tidak akan mampu mewujudkan hal ini. Sebab, demokrasi sendiri bertentangan dengan Islam yang memiliki ciri khas dalam meraih dan mengelola kekuasaan, yaitu senantiasa menjadikan aturan Sang Pencipta, Allah SWT sebagai nafas dalam setiap aturan yang diterapkan, tanpa hawa nafsu duniawi. Maka, menolak sistem demokrasi dan memperjuangakan Khilafah adalah cara terbaik untuk menyelamatkan umat dan mengantarkan manusia pada kesejahteraan. Sistem Allah SWT sebaik-baik sistem untuk umatnya. Wallahu a’lam bi shawab.[]

Oleh: Mustika Lestari
(Pemerhati Sosial)

Posting Komentar

0 Komentar