Ironi Negeri Tahu Tempe yang Bergantung Kepada Impor Kedelai


Hari Senin, Harga Tahu-Tempe Naik! "Hari Senin, tahu dan tempe akan ada lagi di pasar dengan harga yang berbeda, kira-kira naik maksimal 20%," ungkap Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin kepada detikcom, Sabtu (2/1/2021). Sebelumnya harga tahu dan tempe yang biasa beredar di pasaran ialah Rp 2.500-3.000 per potong, dengan berat sekitar 250 gram. Jadi satu Kg rata-rata Rp 11.000. Dengan kenaikan ini, maka diperkirakan harga tahu tempe per per potong naik Rp 14.000-15.000/kg. Maka diperkirakan harga tahu dan tempe akan naik menjadi Rp 3.500-4.000 per potong.

Para produsen atau perajin tahu-tempe telah melakukan mogok produksi 3 hari, yang berakhir hari Minggu (3/1/2020). Ada lebih kurang 90% dari jumlah perajin tahu tempe (di Indonesia) atau sebanyak 160.000 perajin yang tersebar di seluruh Indonesia melakukan aksi tersebut. Mogok itu disebabkan oleh tingginya harga kedelai sebagai bahan baku tahu dan tempe. Harga kedelai memang mengalami lonjakan drastis selama pandemi virus Corona (COVID-19). Normalnya, harga kedelai ada di kisaran Rp 6.100-6.500 per kilogram (Kg), kini naik menjadi sekitar Rp 9.500/Kg.

Harga kedelai naik karena perkembangan pasar global. Faktanya, kebutuhan kedelai di Indonesia dipasok oleh kedelai impor, sehingga harganya mengikuti pasar global. Mekanisme perdagangan bebas saat inilah yang membuat harga kedelai naik. Berdasarkan keterangan resmi Kementerian Perdagangan (Kemendag), pada Desember 2020 harga kedelai dunia tercatat sebesar US$ 12,95/bushels, naik 9% dari bulan sebelumnya yang tercatat US$ 11,92/bushels. Berdasarkan data The Food and Agriculture Organization (FAO), harga rata-rata kedelai pada Desember 2020 tercatat sebesar US$ 461/ton, naik 6% dibanding bulan sebelumnya yang tercatat US$ 435/ton.

Menurut Kasubdit Kedelai Direktorat Serealia Ditjen Tanaman Pangan Kementan Mulyono mengatakan produksi kedelai di beberapa negara produsen turun. Saat pandemi produksi kedelai di AS, Brasil, Argentina, Rusia, Ukraina, dan lain-lain menurun. Sementara itu, permintaan impor dari China justru naik tajam menjadi 92 juta ton atau naik 28%. Hal itu disinyalir membuat harga kedelai global naik. 

Selain itu, ongkos angkut kedelai dengan kapal laut pun naik karena waktu tempuh impor dari negara asal ke tujuan lebih lama akibat pembatasan yang dilakukan karena pandemi Corona. Ongkos angkut kapal naik karena waktu tempuh impor dari negara asal ke tujuan semula 3 minggu menjadi 6-9 minggu.

Sekretaris Jenderal Kemendag Suhanto menerangkan, kenaikan harga kedelai disebabkan oleh tingginya permintaan dari China kepada Amerika Serikat (AS) selaku eksportir kedelai terbesar dunia. Pada Desember 2020 permintaan kedelai China naik 2 kali lipat, yaitu dari 15 juta ton menjadi 30 juta ton. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kontainer di beberapa pelabuhan Amerika Serikat, seperti di Los Angeles, Long Beach, dan Savannah sehingga terjadi hambatan pasokan terhadap negara importir kedelai lain termasuk Indonesia.


Faktor-Faktor yang Menyebabkan Negeri Tahu Tempe ini Masih Bergantung kepada Impor Kedelai

Tahu dan tempe dikenal sebagai makanan khas bangsa Indonesia. Namun, mirisnya bahan baku tahu dan tempe, kedelai, harus diimpor dari luar negeri. Padahal produksi tahu dan tempe menjadi bahan makanan yang membutuhkan kedelai sebesar dua per tiga dari total penyediaan kedelai Indonesia. 

Komoditas kedelai merupakan komoditas yang bukan berasal dari Indonesia melainkan berasal dari negara subtropis. Sehingga produksi kedelai di Indonesia tidak setinggi di negara subtropis seperti Amerika, Brazil, Argentina, China, India, dan Paraguay yang memberikan kontribusi sebesar 92,04 persen terhadap rata-rata produksi kedelai dunia sebesar 271,02 juta ton (Kementan, 2016). 

Di sisi lain, produksi lokal juga tak bisa mendukung kebutuhan nasional kedelai. Komoditas kedelai bukan merupakan tanaman pangan yang menjadi andalan dan diutamakan oleh petani untuk dibudidayakan. Hal ini disebabkan oleh menurunnya minat petani untuk menanam kedelai yang memiliki daya saing dan nilai ekonomis lebih rendah dibandingkan komoditas tanaman pangan lainnya seperti padi dan jagung. Kondisi ini terlihat dari adanya trend yang menurun pada luasan panen kedelai di Indonesia mulai dari periode 2002 hingga 2017. 

Sedangkan konsumsi kedelai nasional memiliki trend peningkatan pada setiap tahunnya. Penyebabnya adalah tingginya permintaan masyarakat terhadap kedelai sebagai bahan pangan sumber protein nabati, adanya peningkatan jumlah penduduk Indonesia dan adanya peningkatan kesadaran dari masyarakat terhadap tingkat kesehatan. Hal ini mengindikasikan adanya gap antara produksi dan konsumsi kedelai yang cukup siginifikan memengaruhi pemenuhan ketersediaan kedelai nasional dimana produksi kedelai dalam negeri hanya mampu mencukupi kebutuhan domestik tidak lebih dari 15 persen. Oleh karena itu sebagian besar kebutuhan kedelai dalam negeri atau 86,95 persen harus dipenuhi dari impor (Kementan, 2017).

Dikutip dari data BPS, Minggu (3/1/2021), sejak tahun 2010, jutaan ton kedelai diimpor tiap tahunnya. Di tahun 2010 Indonesia mengimpor 1,74 juta ton kedelai. Jumlahnya naik pesat di tahun 2011, kedelai diimpor hingga 2,08 juta ton. Jumlahnya menurun selama medio dua tahun berikutnya, impor kedelai menjadi 1,92 juta ton di tahun 2012, dan turun menjadi 1,78 juta ton di tahun 2013. Namun, jumlah itu kembali melonjak di tahun 2014, impor kedelai mencapai 1,96 juta ton saat itu. Kemudian di 2015 jumlahnya menembus angka 2 juta ton, tepatnya 2,25 juta ton.

Sejak tahun 2015, impor kedelai terus berada di angka 2 juta ton. Masuk ke tahun 2016 jumlah impor kedelai mencapai 2,26 juta ton, dan melonjak tajam di tahun 2017 dengan jumlah 2,67 juta ton. Kemudian di tahun 2018, jumlah impor kedelai kembali turun menjadi 2,58 juta ton. Namun, di tahun 2019 jumlahnya meningkat lagi menjadi 2,67 juta ton. Sementara itu, di tahun 2020, hingga bulan Oktober, Indonesia sudah mengimpor kedelai sebanyak 2,11 juta ton kedelai.

Kondisi ini semakin sulit, ketika konsumen dan produsen pangan olahan kedelai lebih memilih kedelai impor dibandingkan kedelai lokal karena memiliki ukuran yang seragam, lebih besar, lebih sedikitnya kadar kotoran dalam kedelai dan akses akan kedelai impor mudah didapatkan di pasaran serta tidak adanya standar mutu bagi kedelai lokal. Hal ini mengakibatkan Indonesia sebagai salah satu negara importir kedelai terbesar di dunia.

Menurut Kasubdit Kedelai Direktorat Serealia Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Mulyono, pemerintah memang tak bisa banyak menahan arus impor kedelai. Pasalnya kedelai tidak masuk dalam komoditas berlabel lartas alias pelarangan dan pembatasan. Mulyono mengatakan impor kedelai akan masuk kapan saja dan berapapun banyak volumenya tanpa perlu rekomendasi dari pihak manapun, termasuk Kementan.

Pada tahun 1992 Indonesia pernah mengalami tingkat produksi yang cukup tinggi yaitu sekitar 1,88 juta ton. Namun tingkat produksi terus menurun dan makin parah ketika _Letter of Intent_ (LOI) IMF ditandatangani saat krisis moneter menerjang Indonesia pada tahun1998. Berdasarkan LOI IMF tersebut importir swasta bebas mendatangkan kedelai dari luar negeri. Disusul pada tahun 2000 yaitu terkait dengan kebijakan pemerintah pasca reformasi dan kebijakan pemerintah AS (sebagai produsen utama kedelai dunia) yang memberikan fasilitas kredit lunak kepada importir yang bersedia mengimpor kedelai dari AS mendapat kredit tanpa bunga sampai enam bulan. Tingkat harga kedelai impor yang lebih murah dibanding kedelai dalam negeri menyebabkan produksi kedelai dalam negeri merosot drastis.


Dampak Ketergantungan Negeri Tahu Tempe Terhadap Impor Kedelai

Kedelai merupakan komoditas pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung yang mempunyai posisi strategis dalam seluruh kebijakan pangan nasional karena perannya sangat penting dalam menu pangan penduduk Indonesia. Ketergantungan Indonesia pada impor kedelai, yang makin meningkat baik volume maupun nilainya, sangat membahayakan terhadap ketahanan pangan nasional. Bukti empiris adanya lonjakan harga kedelai di atas ambang batas psikologis telah membuat susah banyak orang karena adanya "multiplier effect" dari adanya gejolak ini.

Aktivitas pangan (termasuk kedelai) di Indonesia secara prinsip dijalankan berdasarkan mekanisme pasar bebas. Konsekuensinya pedagang yang menguasai cadangan paling besar dibandingkan dengan pemerintah dan rumah tangga. Dalam era globalisasi pasar bebas, arus barang akan sangat ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran masing-masing negara. Negara pengekspor yang mampu bersaing di pasar internasional adalah negara yang mampu memproduksi secara efisien. Sebaliknya negara pengimpor yang mampu bersaing untuk memperoleh barang dari pasar internasional adalah negara yang sanggup membayar lebih mahal atau minimal sama dengan harga internasional. Ini berarti bahwa untuk memperoleh barang dari pasar internasional masyarakat suatu negara harus mempunyai daya beli yang memadai. Jika daya beli masyarakat lemah maka kemampuan untuk membeli bahan pangan asal impor juga lemah, sehingga ketahanan pangan menjadi rentan. 

Kedelai sebagai komoditas pangan yang strategis, mungkin terlalu berisiko bila diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Pertimbangan pokoknya adalah komoditas ini memegang peranan sentral dalam seluruh kebijakan pangan nasional karena sangat penting dalam menu pangan penduduk. Kedelai berperan sebagai sumber nabati yang penting dalam rangka peningkatan gizi masyarakat karena selain aman bagi kesehatan juga relatif murah dibandingkan sumber protein hewani. Selain itu kedelai mempunyai kandungan sosial ekonomi, psikologis, dan politis cukup tinggi.

Adanya gejolak seperti berkurangnya pasokan yang diikuti dengan lonjakan harga akan membuat susah banyak orang. Bukan hanya perajin tahu dan tempe yang terancam gulung tikar, tetapi juga pihak-pihak yang ada di dalam mata rantai perdagangan seperti pedagang makanan dan juga konsumen tahu tempe. Rentetan lebih panjang dari adanya gejolak ini bisa berimbas ke peternak dan pembudidaya ikan terkait dengan meningkatnya harga pakan, sehingga kenaikan harga kedelai dapat berpengaruh pada produksi dan harga telur, daging dan ikan. 

Dampak lebih luas dapat meningkatkan angka kemiskinan dan 
penganggguran. Kenaikan harga pangan akan berdampak serius bagi pemenuhan gizi masyarakat. Ketika harga masih murah saja Indonesia mengalami persoalan gizi serius pada masyarakat kelas bawah apalagi sekarang. 

Bagi negara berkembang swasembada pangan merupakan kunci utama untuk memperkokoh ketahanan pangan. Ketergantungan pada impor pangan dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi, dan politik. Kemampuan memenuhi konsumsi pangan dalam negeri akan sangat ditentukan oleh kinerja pasar internasional yang berada di luar jangkauan kendali 
pemerintah. 

Krisis kedelai seperti juga krisis komoditas pangan lain sebenarnya merupakan akumulasi dari tidak adanya kesungguhan pemerintah dalam membangun ketahanan pangan. Salah satu indikasinya adalah masih tingginya ketergantungan pada impor. Pemerintah seharusnya tidak mengganggap remeh dengan mengatakan krisis sebagai fenomena global. Memang ada fenomena global, tetapi ini karena persoalan dalam negeri Indonesia yang sudah sangat tergantung pada impor. Setiap ada kenaikan harga di pasar dunia, Indonesia panik karena tidak mandiri.


Strategi Islam Membebaskan Negeri Tahu Tempe dari Ketergantungan Terhadap Impor Kedelai

Dampak kenaikan harga pangan dunia tidak akan membuat kondisi pangan Indonesia seperti saat ini apabila pemerintah menyediakan "peredam"
sejak awal. Peredam tersebut berupa produksi komoditas pangan yang 
memadai, stok pangan yang cukup untuk pengamanan dan stabilitas harga, dan jaringan distribusi kuat. 

Islam dengan serangkaian hukumnya mempunyai strategi yang mampu menyediakan "peredam" terhadap dampak ketersediaan dan kenaikan harga pangan dunia . Secara umum hal ini tampak dalam politik pertanian yang akan dijalankan Khilafah sebagai berikut:

Pertama: Kebijakan di sektor hulu yaitu kebijakan untuk meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi.

Intensifikasi ditempuh dengan jalan penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih baik. Untuk itu, Khilafah akan menerapkan kebijakan pemberian subsidi untuk keperluan sarana produksi pertanian. Keberadaan diwan ‘atha (biro subsidi) dalam baitulmal akan mampu menjamin keperluan-keperluan para petani menjadi prioritas pengeluaran baitulmal.

Kepada para petani diberikan berbagai bantuan, dukungan dan fasilitas dalam berbagai bentuk; baik modal, peralatan, benih, teknologi, teknik budidaya, obat-obatan, research, pemasaran, informasi, dsb; baik secara langsung atau semacam subsidi. Maka, seluruh lahan yang ada akan produktif. Negara juga akan membangun infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi, dsb., sehingga arus distribusi lancar.

Ekstensifikasi pertanian dilakukan untuk meningkatkan luasan lahan pertanian yang diolah. Untuk itu negara akan menerapkan kebijakan yang dapat mendukung terciptanya perluasan lahan pertanian tersebut. Di antaranya adalah bahwa negara akan menjamin kepemilikan lahan pertanian yang diperoleh dengan jalan menghidupkan lahan mati (ihya’ul mawat) dan pemagaran (tahjîr) bila para petani tidak menggarapnya secara langsung. Negara juga dapat memberikan tanah pertanian (iqtha’) yang dimiliki negara kepada siapa saja yang mampu mengolahnya. Persoalan keterbatasan lahan juga dapat diselesaikan dengan pembukaan lahan baru, seperti mengeringkan rawa dan merekayasanya menjadi lahan pertanian lalu dibagikan kepada rakyat yang mampu mengolahnya, seperti yang dilakukan masa Umar bin Khaththab di Irak.

Selain itu, negara akan menerapkan kebijakan yang dapat mencegah proses alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian. Hanya daerah yang kurang subur yang diperbolehkan menjadi area perumahan dan perindustrian. Di samping itu, negara juga tidak akan membiarkan lahan-lahan tidur, yaitu lahan-lahan produktif yang tidak ditanami oleh pemiliknya. Jika lahan tersebut dibiarkan selama tiga tahun maka lahan tersebut dirampas oleh negara untuk diberikan kepada mereka yang mampu mengolahnya.

Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil.” (HR. Bukhari)

Kedua: Menjaga keseimbangan supply dan demand.

Jika terjadi ketidakseimbangan supply dan demand (harga naik/turun drastis), negara melalui lembaga pengendali seperti Bulog, segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang baik dari daerah lain. Inilah yang dilakukan Umar Ibnu al-Khaththab ketika di Madinah terjadi musim paceklik. 

Ia mengirim surat kepada Abu Musa ra. di Bashrah yang isinya: “Bantulah umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam! Mereka hampir binasa.” Setelah itu ia juga mengirim surat yang sama kepada ‘Amru bin Al-‘Ash ra. di Mesir. Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, terdiri dari makanan dan bahan pokok berupa gandum. Bantuan ‘Amru ra. dibawa melalui laut hingga sampai ke Jeddah, kemudian dari sana baru dibawa ke Makkah. Ibn Syabbah meriwayatkan dari Al-Walîd bin Muslim Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku telah diberitahukan oleh Abdurahmân bin Zaid bin Aslam ra. dari ayahnya dari kakeknya bahwa Umar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan ‘Amr bin ‘Ash ra. untuk mengirim makanan dari Mesir ke Madinah melalui laut Ailah pada tahun paceklik.” Dalam riwayat lain, Abu Ubaidah ra. pernah datang ke Madinah membawa 4.000 hewan tunggangan yang dipenuhi makanan. Umar ra. memerintahkannya untuk membagi-bagikannya di perkampungan sekitar Madinah. 

Apabila pasokan dari daerah lain juga tidak mencukupi maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor. Impor hukumnya mubah. Ia masuk dalam keumuman kebolehan melakukan aktivitas jual beli. Allah SWT berfirman: “Allah membolehkan jual beli dan mengharamkan riba." (TQS Al-Baqarah: 275). Ayat ini umum, menyangkut perdagangan dalam negeri dan luar negeri. Karenanya, impor bisa cepat dilakukan tanpa harus dikungkung dengan persoalan kuota. Di samping itu, semua warga negara diperbolehkan melakukan impor dan ekspor (kecuali komoditas yang dilarang karena kemaslahatan umat dan negara). Perajin tempe secara individu atau berkelompok bisa langsung mengimpor kedelai. Dengan begitu, tidak akan terjadi kartel importir.

Ketiga: Kebijakan distribusi; cepat, pendek dan merata.

Penataan distribusi kekayaan oleh negara pun tak luput menjadi perhatian negara mulai dari penentuan kepemilikan harta kekayaan, pengelolaannya, dan juga pendistribusiannya bagi kemaslahatan warga negaranya. Bahkan apabila masyarakat mengalami kesenjangan antar individu, negara dalam hal ini khalifah diwajibkan memecahkannya dengan mewujudkan pemerataan dan keseimbangan harta dalam masyarakat. Hal ini dilakukan dengan cara memberikan harta negara yang menjadi hak miliknya kepada orang-orang yang memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya. Dan kesemua itu dilaksanakan melalui mekanisme yang cepat, pendek, dan merata sehingga seluruh individu rakyat dapat dengan mudah memperoleh hak-haknya, terutama terkait dengan aspek vital kebutuhan mereka, seperti kebutuhan pokok pangan.

Khalifah juga harus mencegah masuknya tangan-tangan asing dalam pengelolaan bidang pertanian ini, baik lewat industri-industri pertanian swasta maupun asing melalui perjanjian multilateral, seperti WTO, FAO, dan lain-lain, karena ini akan sangat membahayakan kedaulatan pangan negara Khilafah sendiri.

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Oleh: Tri Widodo

Referensi:

- Mahdi, Naufal Nur & Suharno. "Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Impor Kedelai Di Indonesia." Dalam Jurnal Agribusiness Forum, 9, 2, (2019).

- Supadi. "Dampak Impor Kedelai Berkelanjutan Terhadap Ketahanan Pangan." Dalam Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 7, 1, (2009). 

- "Biang Kerok Naiknya Harga Kedelai Yang Bikin Perajin Tempe Mogok." Dalam www.finance.detik.com diakses pada 3 Januari 2021.

- "Bukti RI 'Kecanduan' Impor Kedelai, 2010-2020 Nggak Pernah Absen!" Dalam www.finance.detik.com diakses pada 3 Januari 2021. 

- "Imbas 160.000 Perajin Tahu-Tempe Mogok:Hari Senin Harga Naik!" Dalam www.finance.detik.com diakses pada 3 Januari 2021. 

- "Kebijakan Khilafah Dalam Mengatasi Kelangkaan Pangan." Dalam www.muslimahnews.com diakses pada 3 Januari 2021. 

- "Khilafah Menjawab Krisis Pangan." Dalam www.tegas.co diakses pada 3 Januari 2021.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Ironi memang, apalagi sejak ada filosofi "bid'ah" kapitalisme dan komunisme.

    Jadi petani/pekerja diidentikkan dengan komunis akhirnya jatuh mentalnya kemudian bisa omong saja, jadi pengusaha diidentikkan kapitalis akhirnya jatuh juga mentalnya terus cuma bisa ngomong saja.

    Harusnya sumber daya itu tidak perlu dikelola pengusaha atau pekerja/petani, cukup diomongin saja?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Akhirnya kebutuhan sehari-harinya untuk modal omong kesana-kemari dapat dan belinya dari negara kapitalis dan negara komunis

      Hapus