Ibu Jual Anak Jadi PSK, Buah Penerapan Demokrasi Sekuler



Sosok ibu dikenal sebagai malaikat tanpa sayap. Fitrah seorang ibu yang penuh kelembutan dan kasih sayang, membuat kenyamanan bagi rumah tangga, khususnya bagi anak. Tapi, realita hari ini menunjukkan fakta sebaliknya. Ibu seakan berubah menjadi sosok “monster” yang mengerikan bagi anaknya sendiri. Seperti yang terjadi baru-baru ini, seorang wanita berinisial ASN (42) tega menjadikan putri kandungnya sebagai pekerja seks komersial (PSK) untuk dijual kepada pria hidung belang. Aksinya terbongkar oleh petugas Sat Reskrim Polretsabes Medan di sebuah hotel di Jalan Dahlia, Kelurahan Indra Kasih, Kecamatan Medan Tembung pada Sabtu (09/01/2021) dini hari (Medan, Kompas, 13/01/2021).

Miris! Sosok ibu hari ini seakan kehilangan naluri dan fitrah keibuan. Posisi ibu bukan lagi sebagai pelindung bagi anak-anak mereka. Mudah bagi ibu menjual bahkan menghilangkan nyawa anaknya sendiri. Ibu tak lagi menjadi benteng dan sebagai tempat ternyaman bagi anak. Fungsi ibu yang harusnya sebagai pemberi kelembutan dan kasih sayang tak lagi terlihat. Akibatnya anak kering kasih sayang dan tak jarang anak tumbuh menjadi generasi broken home. Himpitan ekonomi terus-menerus menjadi penyebab dari “kegilaan” semua ini.

Sosok ibu diibaratkan sebagai tiang penyangga suatu negara yang kini telah dirusak oleh pemikiran kapitalisme-sekuler. Jika tiangnya saja sudah rusak, bagaimana mungkin menghasilkan bangunan yang kokoh? Malah yang terjadi adalah bangunannya rapuh dan mudah ambruk. Para ibu yang terpapar pemikiran kapitalisme-sekuleris, pasti orientasi hidupnya berbalut pada kehidupan materialistik dan hedonis. Sehingga keharmonisan rumah tangga pun diukur pada nilai materi duniawi. Alih-alih menjaga anak sebagai amanah dari Yang Maha Kuasa, anak malah bisa dijadikan pelampiasan nafsu duniawi ibunya. Ibu tega menjual anak demi mendapat uang, bahkan tega membunuh anaknya sendiri agar terbebas dari beban ekonomi. 

Kapitalisme-sekuler telah sukses menggeser peran seorang ibu. Pergeseran peran ini adalah buah dari mengadopsi aqidah sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Ketika seorang ibu tak memiliki keimanan di dada untuk menjaga dan merawat buah hatinya, maka pemandangan buruk seperti ini akan terus menerus terjadi. Terlebih lagi, bila peran hakiki seorang ibu tergantikan oleh sulitnya perekonomian yang mengakibatkan ibu harus bekerja untuk menghasilkan uang. Lantas dimana peran negara untuk mengatasi problematika pelik ini?

Harusnya negara tak berlepas tangan dari permasalahan ini. Meskipun anak adalah tanggung jawab keluarga, namun negara berkewajiban mengatur pola asuh keluarga dengan aturan yang benar. Negara memang memiliki kekuatan hukum mengadili kriminalitas imbas penerapan budaya liberalis-sekuler. Tapi, negara tak berupaya penuh melakukan tindakan preventif untuk mencegah munculnya kriminalitas. Bahkan tak membereskan penyebab utamanya. 

Saat ini negara menjalankan perekonomian ala kapitalisme-sekuler. Kekayaan negri yang harusnya bisa menjadi sumber pendapatan utama, kini bebas dikelola dan dinikmati para kapitalis semata. Rakyat hanya menjadi pengagum negri karena melimpah ruahnya hasil hutan, laut, tambang, kebun dan lainnya. 

Padahal, jika negara mengelola sumber daya alam yang melimpah ruah ini secara mandiri dan mendistribusikan hasilnya kepada masyarakat, pasti beban perekonomian masyarakat menjadi ringan. Tapi faktanya, rakyat tak bisa mencicipi penuh hasil kekayaan di negrinya sendiri. Walhasil, rakyat terus menerus berada dalam himpitan ekonomi dan tak kunjung keluar dari berbagai masalah.

Inilah yang terjadi bila suatu negri menganut sistem kapitalis-sekuler. Negara tak hadir memberi perlindungan bagi kaum ibu dan generasi. Bagaimana mungkin suatu negri mampu kokoh berdiri sedang penyangganya telah rusak akibat terpapar pemikiran kapitalis-sekuler? Sungguh, kaum ibu dan generasi tak akan mendapat keselamatan, kesejahteraan dan keamanan jika negara masih menerapkan sistem kufur ini. 
 
Hal ini akan berbeda bila sistem kehidupan yang diterapkan adalah sistem Islam Kaffah dibawah naungan Khilafah Islamiyyah. Khilafah adalah institusi pemerintahan Islam yang menerapkan aturan Islam dalam semua lini kehidupan. Sistem Islam tak hanya mampu menjamin perekonomian masyarakatnya. Namun, mampu mengembalikan sekaligus mendudukan peran seorang ibu sesuai fitrah dan nalurinya.

Islam memiliki cara khusus dalam mengelola perekonomian negara, baik dari segi pengumpulan harta sampai pada pendistribusian harta. Dalam kitab al Amwal Fii Daulah al Khilafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah) Syekh Abdul Qadir Zallum menjadikan 12 jenis sumber pemasukkan negara dalam menyokong perekonomian, yaitu : (1) Anfal, Ghanimah, Fa’i, dan Khumus; (2) al Kharaj; (3) al Jizyah; (4) macam-macma harta milik umum; (5) Pemilikkan negara berupa tanah, bangunan, sarana umum dan pemsukannya; (6) al Usyur; (7) harta tidak sah para penguasa dan pegawai, harta yang didapat secara tidak sah dan harta benda; (8) Khumus Rikaz (barang temuan) dan tambang; (9) harta yang tidak ada pewarisnya; (10) harta orang yang murtad; (11) zakat; dan (12) pajak (bersifat temporal atau sewaktu-waktu) sebagai alternatif terakhir saat Baitul Maal tidak mampu lagi memenuhi seluruh kebutuhan. Sementara pos-pos pendistribusian juga harus jelas kemana harta akan beredar.

Negara dalam sistem pemerintahan Islam turut hadir mengatasi problem perekonomian keluarga. Islam mewajibkan negara memenuhi kebutuhan dasar masyarakatnya. Sehingga, negara harus menyediakan lapangan kerja bagi kepala keluarga. Merekalah yang menunaikan kewajiban menafkahi keluarga, bukan kaum ibu. Apabila mereka seorang janda yang tidak memiliki wali, maka negaralah yang bertanggung jawab atas kebutuhan mereka. Karenanya, para ibu tak perlu beralih peran bekerja diluar rumah menjadi tulang punggung keluarga. 

Dengan demikian, ibu bisa fokus menjalankan perannya menjadi ummu wa rabbatul bait yang mendidik, mengasuh dan menjaga anak. Anak-anak akan tumbuh dan berkembang dalam dekapan kehangatan seorang ibu sehingga anak merasakan kenyamanan, keamanan dan jauh dari marabahaya. Sehingga, anak akan tumbuh menjadi generasi yang ber-akhlakul karimah. Tentu hal ini akan terwujud bila negara mengentaskan faktor utamanya, yakni mengganti sistem kapitalis-sekuler dengan sistem Islam kaffah. Wallahua’lam bisshowab.[]


Oleh: Qisti Pristiwani
Mahasiswi UMN AW

Posting Komentar

0 Komentar