As-Sunnah an-Nabawiyah Merupakan Dalil Syar’iy Sama Seperti Al-Qur'an al-Karim



Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Syaikh Atha’, saya punya pertanyaan sangat penting. Yaitu: apakah hukum rajam disebutkan di al-Quran atau dengan hadits-hadits shahih mutawatir? 

Saya mencari dalam hal itu dan saya tidak paham kenapa hukum syara’ ini diderivasi dan tidak disebutkan oleh al-Quran semisal hukum as-sâriqu wa as-sâriqatu fa[i]qtha’û aydiyahuma -pencuri laki-laki dan pencuri perempuan maka potonglah kedua tangannya- misalnya atau az-zâniyatu wa az-zâniyu fa[a]jlidû –perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka cambuklah ...-?  Apakah kita mengikuti syara’ dan undang-undangnya dari al-Quran atau dari hadits-hadits? 

Anda akan mengatakan kepada saya kenapa misalnya gerakan-gerakan shalat atau wudhu tidak disebutkan oleh al-Quran dan bahwa tidak semua hal disebutkan oleh al-Quran ... Tetapi, hukum ini baku yakni bersifat asasi semisal kaedah matematika 1+1=2. Yakni segala perkara yang ada dengan al-Quran kita hukumi dan apa yang tidak ada maka tidak kita ambil sebagai undang-undang yang bersifat asasi. Benar, kita bisa mencari dan berijtihad dengan rincian-rincian dan bisa mengambil hadits dengan rinci, tetapi tidak mungkin mengambil asas dari hadits dan kita tinggalkan yang pokok (al-ashlu). Terima kasih. (Ahmad al-Qairuwan)
 

 
Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Pertama: apa yang ada di pertanyaan Anda berupa ucapan Anda: (segala perkara yang ada dengan Al-Qur'an kita hukumi dan apa yang tidak ada maka tidak kita ambil sebagai undang-undang yang bersifat asasi) ini merupakan perkara yang asing bagi Islam dan kaum Muslim. 

Seorang Muslim mengimani bahwa as-Sunnah an-Nabawiyah merupakan dalil syar’iy sama seperti Al-Qur'an al-Karim, dan mengimani bahwa apa yang ada di dalam as-Sunnah merupakan wahyu dari Allah SWT dan bahwa itu wajib diikuti tanpa membedakannya dengan apa yang ada di dalam Al-Qur'an al-Karim ... Ini adalah sikap kaum Muslim sejak para shahabat ridhwanullah ‘alaihim hingga masa kita sekarang ini ... 

Kami telah menjelaskan masalah ini di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah dalam dua pembahasan: “as-Sunnah Dalîlun Syar’iyyun ka Al Qur’ân -as-Sunnah Merupakan Dalil Syar’iy seperti al-Quran-“ dan “al-Istidlâl bi as-Sunnah -Beristidlal dengan as-Sunnah-“. Demikian juga di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah III  pada pembahasan “ad-Dalîl ats-Tsâniy: as-Sunnah -Dalil Kedua: as-Sunnah-“. 

Jadi rujuklah kepadanya, di dalamnya adalah kecukupan dengan izin Allah. Dan saya kutipkan apa yang ada di dalam pembahasan “as-Sunnah Dalîlun Syar’iyyun ka al-Qur’ân -as-Sunnah Merupakan Dalil Syar’iy seperti al-Quran-“ di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah I:

[As-Sunnah merupakan dalil syara’ seperti al-Quran dan dia merupakan wahyu dari Allah SWT. Membatasi pada al-Quran dan meninggalkan as-Sunnah merupakan kekufuran yang gamblang (kufrun sharâh) dan itu merupakan pemikiran yang keluar dari Islam. Adapun as-Sunnah merupakan wahyu dari Allah SWT maka itu dinyatakan secara gamblang di dalam al-Quran al-Karim. Allah SWT berfirman:

﴿قُلْ إِنَّمَا أُنذِرُكُم بِالْوَحْيِ﴾

"Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu..." (TQS al-Anbiya’ [21]: 45).

﴿إِن يُوحَى إِلَيَّ إِلَّا أَنَّمَا أَنَا نَذِيرٌ مُّبِينٌ﴾

“Tidak diwahyukan kepadaku, melainkan bahwa sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang nyata". (TQS Shad [38]: 70).

﴿إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ﴾

“Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku..." (TQS al-An’am [6]: 50; Yunus [10]: 15; al-Ahqaf [46]: 9).

﴿قُلْ إِنَّمَا أَتَّبِعُ مَا يِوحَى إِلَيَّ مِن رَّبِّي﴾ 

"Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku" (TQS al-A’raf [7]: 203).

﴿وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى﴾

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (TQS an-Najm [53]: 3-4).

Ayat-ayat ini qath’iy ats-tsubût dan qath’iy ad-dalâlah dalam membatasi apa yang dibawa oleh Rasul saw, apa yang beliau gunakan memberi peringatan dan apa yang beliau ucapkan, bahwa itu bersumber dari wahyu dan tidak mengandung penakwilan apapun. Jadi as-Sunnah merupakan wahyu seperti al-Quran.

Adapun as-Sunnah wajib diikuti seperti al-Quran maka itu juga dinyatakan secara gamblang di dalam al-Quran. Allah SWT berfirman:

﴿وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا﴾

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah” (TQS al-Hasyr [59]: 7).

﴿مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ﴾

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah” (TQS an-Nisa’ [4]: 80).

﴿فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (TQS an-Nur [24]: 63).

﴿وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ﴾

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka” (TQS al-Ahzab [33]: 36) .

﴿فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً﴾

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (TQS an-Nisa’ [4]: 65).

﴿أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ﴾

“Taatilah Allah dan taatilah Rasul” (TQS Muhammad [47]: 33).

﴿قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ﴾

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kamu“ (TQS Ali Imran [3]: 31).

Semua ini gamblang dan jelas tentang wajibnya mengikuti Rasul saw dalam apa yang Beliau bawa dan dalam penilaian ketaatan kepada Beliau merupakan ketaatan kepada Allah SWT.

Jadi al-Quran dan hadits dari sisi wajibnya mengikuti apa yang ada di dalam keduanya merupakan dalil syar’iy dan hadits itu seperti al-Quran dalam topik ini. Karenanya tidak boleh dikatakan, kita punya Kitabullah kita ambil. Sebab yang demikian itu darinya dapat dipahami meninggalkan as-Sunnah. 

Tetapi, as-Sunnah harus dikaitkan dengan al-Kitab. Jadi hadits diambil sebagai dalil syara’ sebagaimana al-Quran. Dan tidak boleh keluar dari seorang Muslim apa yang memberi isyarat bahwa dia mencukupkan diri dengan al-Quran tanpa al-hadits. Rasul saw telah memberi perhatian kepada yang demikian itu. Dinyatakan bahwa Nabi saw bersabda:

«يُوشِكُ أَنْ يَقْعُدَ الرَّجُلُ مِنْكُمْ عَلَى أَرِيكَتِهِ يُحَدِّثُ بِحَدِيثِي، فَيَقُولُ: بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللَّهِ، فَمَا وَجَدْنَا فِيهِ حَلَالاً اسْتَحْلَلْنَاهُ، وَمَا وَجَدْنَا فِيهِ حَرَاماً حَرَّمْنَاهُ، وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ كَمَا حَرَّمَ اللَّهُ» أخرجه الحاكم والبيهقي

“Hampir-hampir seorang laki-laki dari kalian duduk menceritakan haditsku, lalu dia katakan: “di antara aku dan kalian ada Kitabullah, apa yang kita temukan di dalamnya sebagai halal maka kita halalkan dan apa yang kita temukan di dalamnya sebagai haram maka kita haramkan. Dan sesungguhnya apa yang diharamkan Rasulullah sebagaimana yang diharamkan oleh Allah” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).

Beliau bersabda dalam riwayat dari Jabir secara marfu’:

«مَنْ بَلَغَهُ عَنِّي حَدِيثٌ فَكَذَّبَ بِهِ، فَقَدْ كَذَّبَ ثَلَاثَةً: اللَّهَ، وَرَسُولَهُ، وَالَّذِي حَدَّثَ بِهِ» مجمع الزوائد عن جابر

“Siapa saja yang telah sampai kepadanya satu hadits dariku lalu dia mendustakannya maka sungguh dia telah mendustakan tiga pihak: Allah, Rasul-Nya dan apa yang dia ceritakan” (Majma’ az-Zawâ`id dari Jabir).

Dari sini, merupakan kesalahan dikatakan, kita bandingkan al-Quran dengan al-hadits, dan jika al-hadits tidak sesuai dengan al-Quran maka kita tinggalkan. Sebab yang demikian itu menyebabkan kepada meninggalkan al-hadits jika al-hadits itu datang mengkhususkan al-Quran, atau membatasinya atau merinci kemujmalannya. Sebab tampak bahwa apa yang dibawa oleh al-hadits tidak sesuai dengan Al-Qur'an atau tidak ada di dalam Al-Qur'an. 

Hal itu seperti al-hadits yang datang mengaitkan cabang dengan pokok. Apa yang dibawa oleh al-hadits berupa hukum yang tidak dibawa oleh Al-Qur'an, apalagi banyak dari hukum rinci tidak dibawa oleh Al-Qur'an dan dibawa oleh al-hadits saja. Karenanya al-hadits tidak diqiyaskan (dibandingkan) terhadap Al-Qur'an, sehingga apa yang dibawanya diterima dan yang selainnya ditolak. 

Tetapi perkaranya dalam hal itu bahwa jika hadits datang kontradiksi dengan apa yang ada di dalam Al-Qur'an yang qath’iy maknanya, maka al-hadits ditolak secara dirayah yakni secara matan. Sebab maknanya kontradiksi dengan al-Quran. Hal itu semisal apa yang diriwayatkan dari Fathimah binti Qais bahwa dia berkata:

«طَلَّقَنِي زَوْجِي ثَلَاثاً عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ فَلَمْ يَجْعَلْ لِي سُكْنَى، وَلَا نَفَقَةً»

“Suamimu menceraikanku dengan talak tiga pada masa Rasulullah saw lalu aku datang kepada Nabi saw dan Beliau tidak menjadikan untukku tempat tinggal dan tidak pula nafkah”.

Hadits ini ditolak sebab kontradiksi dengan Al-Qur'an. Al-hadits ini bertentangan dengan firman Allah SWT:

﴿أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ﴾

“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu” (TQS ath-Thalaq [65]: 6).

Maka hadits tersebut ditolak sebab bertentangan dengan al-Quran yang qath’iy tsubut dan qath’iy ad-dalâlah.  Adapun jika hadits tidak bertentangan dengan Al-Qur'an, berupa hadits itu mencakup sesuatu yang tidak dibawa oleh Al-Qur'an atau tambahan dari apa yang ada di dalam Al-Qur'an maka al-hadits diambil dan Al-Qur'an diambil. 

Tidak boleh dikatakan, kita mencukupkan diri dengan Al-Qur'an dan apa yang dinyatakan di dalam Al-Qur'an. Sebab Allah SWT memerintahkan keduanya sekaligus dan keyakinan itu wajib pada keduanya sekaligus] selesai kutipan dari buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz I.

Jelas dari apa yang disebutkan di atas bahwa hukum syara’ diambil dari as-Sunnah al-muthaharah, sebagaimana diambil dari Al-Qur'an al-Karim tanpa ada perbedaan. Tidak harus hukum itu disebutkan di dalam Al-Qur'an al-Karim sehingga wajib diambil. Tetapi, hukum syara’ itu diambil hingga meskipun hanya disebutkan oleh as-Sunnah an-Nabawiyah.

Topik rajam bagi pezina muhshan adalah dari bab penjelasan as-Sunnah untuk al-Quran karena as-Sunnah menjelaskan al-Quran dengan mengkhususkan keumumannya. Rajam bagi pezina muhshan adalah takhshîsh (pengkhususan) untuk keumuman ayat yang mewajibkan jilid (cambuk) bagi pezina sebagaimana yang akan dijelaskan berikutnya ... 

Tidak boleh dikatakan bahwa as-Sunnah bebas berdiri sendiri dengan hukum rajam bagi pezina sebab hukum rajam bagi pezina adalah dari bab sanksi pezina yang telah dijelaskan di dalam Al-Qur'an, yakni bahwa pokok masalah sanksi pezina telah dijelaskan di dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah datang menjelaskan al-Quran dengan mengkhususkan keumuman ayat yang ada kaitannya dan mengecualikan pezina muhshan dan menjadikan sanksinya berupa rajam sampai mati ... dan pengkhususan keumuman al-Kitab menggunakan as-Sunnah banyak terjadi dan tidak terbatas pada topik rajam pezina muhshan saja ...

Kedua: kami telah menjawab pada 12 Muharam 1441 H-11 September 2019 pada topik rajam pezina muhshan. Saya kutipkan apa yang ada di jawaban tersebut karena di dalamnya ada jawaban atas pertanyaan Anda:

[Anda menanyakan hukuman pezina muhshan appakah itu qath’iy di dalam Fikih Islam? Dan apakah itu termasuk bagian dari hudud atau bukan bagian dari hudud, tetapi termasuk ta’zir sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama pada masa ini?

Jawaban pertanyaan Anda sebagai berikut:

Pertama- Hukuman pezina muhshan dengan rajam sampai mati masuk dalam bab hukum syara’ dan bukan bagian dari bab akidah. Jadi dia seperti hukum-hukum syara’ lainnya, untuk diambil tidak disyaratkan dalilnya qath’iy. Tetapi cukup ghalabatu azh-zhann (dugaan kuat) sebagaimana yang sudah maklum di dalam ushul fikih … 

Oleh karena itu, keberadaan dalil atas hukuman ini apakah qath’iy atau tidak qath’iy, tidak memiliki pengaruh dalam mengambilnya. Tetapi yang penting adalah tetapnya dalil terhadapnya di dalam syara’. Telah dinyatakan dalil-dalil yang banyak dan shahih di dalam syara’ yang menjelaskan dengan penjelasan yang tidak menyisakan ruang untuk keraguan bahwa hukuman pezina muhshan adalah rajam sampai mati sebagaimana yang disebutkan di bawah ini.

Kedua- Catatan atas sebagian ulama pada masa sekarang bahwa mereka tidak berjalan pada jalan yang shahih dalam mengambil hukum syara’ dari dalil-dalilnya. Hal itu karena mereka ketika membahas hukum syara’ memperhatikan untuk menyesuaikan dengan zaman dan mencapai pandangan yang sesuai dengan hukum dan pandangan yang mendominasi dunia yang dipaksakan oleh peradaban barat kepada manusia dengan nama hukum internasional, piagam HAM dan lainnya … 

Dan perkara ini tidak benar. Sebab yang dituntut adalah hukum Allah bukan sembarang hukum. Juga bukan hukum yang sesuai dengan hukum, undang-undang, piagam dan pandangan yang memimpin dunia … Dan yang wajib adalah mengambil hukum syara’ sebagaimana adanya dari dalil-dalilnya dan menjadikannya diterapkan dan diimplementasikan dan didakwahkan serta diserukan di seluruh dunia. Hukum itu adalah hukum yang layak untuk umat manusia seluruhnya. Sebab hukum itu berasal dari Pencipta manusia yang Mahatahu keadaan mereka. 

﴿أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ﴾

“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (TQS al-Mulk [67]: 14).

﴿أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ﴾

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam” (TQS al-A’raf [7]: 54). 

Oleh karena itu, tidak seharusnya memperhatikan pendapat mereka yang di dalam istinbath, mereka memperhatikan untuk menyesuaikan zaman dan menyelaraskan dengan peradaban barat, baik mereka melakukan hal itu di bawah tekanan fakta atau untuk mendapatkan keridhaan orang-orang kafir barat …

Ketiga- Hukuman zina muhshan adalah rajam sampai mati dan untuk selain muhshan adalah dijilid seratus kali cambukan. Hukuman itu di dalam Islam masuk di dalam bab hudud. Kami telah menjelaskan hukum-hukum had zina di dalam Nizhâm al-‘Uqûbât secara rinci dan mencukupi. Saya kutipkan dari buku Nizhâm al-‘Uqûbât sebagian yang ada di bab Had az-Zinâ:

[Sebagian mengatakan bahwa had pezina perempuan dan pezina laki-laki adalah dijilid seratus kali baik untuk muhshan atau ghayru muhshan, tidak ada perbedaan di antara keduanya karena firman Allah SWT:

﴿اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيُ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِاَئةَ جَلْدَةٍ وَلاَ تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللهِ﴾

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah” (TQS an-Nur [24]: 2).

Mereka mengatakan, tidak boleh meninggalkan Kitabullah yang qath’iy dan yakin dikarenakan khabar ahad yang di dalamnya mungkin ada kebohongan dan karena hal itu mengantarkan kepada penasakhan al-Kitab dengan as-Sunnah padahal itu tidak boleh. Sementara para ahli ilmu umumnya dari kalangan sahabat, tabiin dan para ulama setelah mereka di semua penjuru mengatakan bahwa ghayru muhshan dijilid seratus kali dera, sedangkan muhshan dirajam sampai mati, karena Rasul saw: “merajam Ma’iz”. Dan karena diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah:

«أَنَّ رَجُلاً زَنَى بِاِمْرَأَةٍ فَأَمَرَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجُلِدَ ثُمَّ أُخْبِرَ أَنَّهُ مُحْصَنٌ فَأَمَرَ بِهِ فَرُجِمَ»

“Seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan lalu Nabi saw memerintahkan dengannya maka dia dijilid kemudian diberitahukan bahwa dia muhshan maka beliau memerintahkan dia dirajam”. 

Orang yang memperhatikan dalil-dalil, dia memandang bahwa firman Allah SWT:

﴿اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيُ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِاَئةَ جَلْدَةٍ ﴾

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera” (TQS an-Nur [24]: 2).

Ayat ini bersifat umum. Kata az-zâniyatu (pezina perempuan) dan kata az-zâniyu (pezina laki-laki) termasuk lafazh umum. Dia mencakup muhshan dan ghayru muhshan. Dan ketika datang hadits yaitu sabda Nabi saw:

«وَاَغْدِ يَا أُنَيْسَ إِلَى اِمْرَأَةٍ هَذَا فَإِنْ اِعْتَرَفَتْ فَاَرْجُمْهَا»

“Pergilah ya Unais kepada perempuan ini, jika dia mengakui maka rajamlah dia”.

Dan terbukti bahwa Rasulullah saw merajam Ma’iz setelah Beliau menanyakan kemuhshanan Ma’iz. Dan Beliau juga merajam al-Ghamidiyah. Dan masih ada hadits-hadits shahih lainnya.  Maka hadits-hadits itu mengkhususkan ayat tersebut. Hadits-hadits ini mengkhususkan keumuman yang ada di dalam ayat tersebut pada ghayru muhshan, dan darinya dikecualikan muhshan. 

Jadi hadits-hadits itu mengkhususkan keumuman ini dan tidak menasakh al-Quran. Dan pengkhususan al-Quran dengan as-Sunnah adalah boleh dan terjadi di dalam banyak ayat yang datang bersifat umum dan datang hadits-hadits yang mengkhususkannya.

Hukum syara’ yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syara’, yakni al-Kitab dan as-Sunnah bahwa hukuman pezina adalah jilid untuk ghayru muhshan sebanyak seratus kali dera sebagai pengamalan Kitabullah dan pengasingan sebagai pengamalan sunnah Rasulullah. Hanya saja, pengasingan itu bersifat boleh, dan bukan wajib, dan itu diserahkan kepada keputusan imam (khalifah). Jika dia mau, dia boleh menjilid dan mengasingkannya setahun, dan jika dia mau maka dia boleh menjilidnya dan tidak mengasingkannya. 

Tetapi, tidak boleh mengasingkannya tanpa menjilidnya. Sebab hukumannya adalah jilid. Adapun hukuman muhshan adalah dirajam sampai mati, mengamalkan sunnah Rasulullah saw yang datang mengkhususkan kitabullah. Dan pada muhshan, terhadapnya boleh digabungkan jilid dan rajam, jadi dijilid dahulu kemudian dirajam. Dan boleh juga hanya dirajam tanpa dijilid. Tetapi tidak boleh dijilid saja sebab hukumannya yang wajib adalah rajam.

===============°==============

Adapun dalil hukuman muhshan maka ada banyak hadits. Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid, keduanya berkata: “seorang laki-laki dari arab baduwi datang kepada Rasulullah saw lalu berkata: “ya Rasulullah, saya adukan Anda kepada Allah kecuali Anda putuskan untukku dengan kitabullah”. Lawan sengketanya berkata dan dia lebih fasih darinya: “benar, putuskan di antara kami dengan Kitabullah, dan beritahukan kepadaku”. Maka Rasulullah saw bersabda: “katakan!”. Laki-laki itu berkata: “anak laki-lakiku bekerja kepada ini lalu berzina dengan isterinya dia. Aku diberitahu bahwa terhadap anakku hukumannya rajam, lalu aku menebusnya dengan seratus ekor domba dan induk. Lalu aku bertanya kepada ahlul ilmi dan dia memberitahuku bahwa hukuman anakku jilid seratus kali dan pengasingan setahun dan hukuman bagi isterinya dia adalah rajam”. Lalu Rasulullas saw bersabda:

«وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللهِ، اَلْوَلِيْدَةُ وَالْغَنَمُ رُدَّ، وَعَلَى اِبْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ، وَتَغْرِيْبُ عَامٍ، وَاغْدُ يَا أُنَيْسَ - لِرَجُلٍ مِنْ أَسْلَمَ - إِلَى اِمْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اِعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا، قَالَ: فَغُدَا عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَأَمَرَ بِهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرُجِمَتْ»

“Demi Zat yang jiwaku ada di genggaman tangan-Nya, sungguh aku putuskan d antara kamu berdua dengan Kitabullah. Induk onta dan domba dikembalikan. Hukuman terhadap anakmu jilid seratus dera dan pengasingan setahun. Dan pergilah ya Unaias -kepada seorang laki-laki dari Bani Aslam- kepada isterinya ini, jika dia mengaku maka rajamlah dia”. Dia berkata; “lalu Unais pergi kepada wanita itunya dan dia mengaku maka Rasulullah saw memerintahkan diterapkan dengannya lalu dia dirajam”.

Al-‘asîf adalah al-ajîr (pekerja). Jadi Rasul saw memerintahkan rajam terhadap muhshan dan tidak menjilidnya. Dan dari asy-Sya’biy, “bahwa Ali ra ketika merajam seorang wanita, Ali memukulnya pada hari Kamis dan merajamnya pada Jumat. Ali berkata: “aku menjilidnya menurut Kitabullah dan aku rajam dia menurut sunah Rasulullah saw”. Dan dari Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:

«خُذُوْا عَنِّيْ، خُذُوْا عَنِّيْ، قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيْلاً اَلْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ، وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ»

“Perhatikan aku, perhatikan aku, Allah telah menjadikan jalan untuk mereka, perjaka (berzina) dengan gadis maka dijilid seratus kali dera dan pengasingan setahun, dan yang sudah menikah dengan yang sudah menikah sanksinya jilid seratus kali dera dan rajam”.

Jadi Rasul saw bersabda bahwa hukuman muhshan adalah jilid dan rajam. Dan Ali menjilid muhshan dan merajamnya. Dan dari Jabir bin Samurah bahwa Rasulullah saw merajam Ma’iz bin Malik, dan Jabir tidak menyebutkan jillid. Dan dalam riwayat al-Bukhari dari Sulaiman bin Buraidah bahwa Nabi saw merajam al-Ghamidiyah, dan dia tidak menyebutkan jilid. 

Dan dalam riwayat Muslim, bahwa Nabi saw telah memerintahkan terhadap seorang wanita dari Juhainah, lalu pakaiannya dikencangkan kemudian diperintahkan dilakukan terhadapnya lalu dia dirajam, dan dia tidak menyebutkan jilid. Maka yang demikian itu menunjukkan bahwa Rasul saw merajam muhshan dan tidak menjilidnya. Sementara beliau juga bersabda: 

«وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ»

“dan yang sudah menikah dengan yang sudah menikah (sanksinya) jilid seratus kali dera dan rajam”.

Maka hal itu menunjukkan bahwa rajam adalah wajib. Adapun jilid maka itu boleh, dan diserahkan kepada pandangan khalifah. Tidak lain ditetapkan had muhshan adalah jilid bersama dengan rajam sebagai kompromi di antara hadits-hadits. Tidak dikatakan bahwa hadits Samurah bahwa Rasul saw tidak menjilid Ma’iz, tetapi beliau hanya merajamnya saja, adalah menasakh hadits Ubadah bin ash-Shamit yang mengatakan “ats-tsayyibu bi ast-tsayyibi jaldu miatin wa ar-rajmu -dan yang sudah menikah dengan yang sudah menikah jilid seratus kali dera dan rajam-”. 

Tidak dikatakan demikian karena tidak terbukti apa yang menunjukkan lebih akhirnya hadits Ma’iz daripada hadits Ubadah. Karena tidak terbukti lebih akhirnya maka ditinggalkannya jilid tidak mewajibkan pembatalannya dan menasakh hukumnya, dikarenakan tidak terbuktinya mana yang lebih dahulu dan mana yang lebih akhir dari kedua hadits itu, hal itu menafikan nasakh. Dan tidak ada murajih untuk salah satunya terhadap yang lain. 

Apa yang ada di dalam hadits berupa tambahan atas rajam dianggap sebagai perintah mubah bukan wajib, sebab yang wajib adalah rajam. Sedangkan tambahan atas yang demikian, maka imam diberi pilihan untuk menghimpun di antara kedua hadits itu …] selesai kutipan dari buku Nizhâm al-‘Uqûbât.

Ringkasnya, bahwa hukuman pezina muhshan adalah rajam sampai mati. Hal itu ditunjukkan oleh dalil-dalil yang shahih terbukti dari sunnah Rasulullah saw di dalam ash-Shahîhayn dan kitab hadits lainnya. Dan itu merupakan hukuman yang masuk di dalam hudud, dan bukan bagian dari bab at-Ta’zir] selesai kutipan dari Jawab Soal terdahulu.

Sebagai penutup, Anda telah menghukumi diri Anda sendiri, Anda katakan: (Anda akan mengatakan kepada saya kenapa misalnya gerakan-gerakan shalat atau wudhu tidak disebutkan oleh al-Quran dan bahwa tidak semua hal disebutkan oleh al-Quran ... Tetapi, hukum ini tetap yakni asasai semisal kaedah matematika 1+1=2. Yakni segala perkara yang ada dengan al-Quran kita hukumi dan apa yang tidak ada maka tidak kita ambil sebagai undang-undang yang asasi. 

Benar, kita bisa membahas dan berijtihad dengan rincian-rincian dan bisa mengambil hadits dengan rinci, tetapi tidak mungkin mengambil asas dari hadits dan kita tinggalkan yang pokok (al-ashlu). Terima kasih). Anda memperbolehkan di sini kita mengambil dari as-Sunnah apa yang menjelaskan tatacara pelaksanaan shalat. Anda katakan, ini boleh sebab itu bersifat baku semisal 1+1=2! Padahal, itu tidak berbeda dari istidlal dengan as-sunnah untuk pezina muhshan ... Dalam keadaan shalat 

﴿وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ﴾

“Dan dirikanlah shalat”.

Ayat ini mujmal. Dan hadits-hadits yang menjelskan tatacara shalat hingga meskipun para mujtahid berbeda pendapat tentangnya dari sisi tatacara ruku’, sujud, membaca ... Hadits-hadits ini merupakan penjelasan untuk mujmal ... Demikian juga ayat:

﴿وَالزَّانِيَةُ وَالزَّانِي﴾

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina”.

 

Ayat ini bersifat umum, karena lafal az-zâniyatu merupakan lafal umum. Dan hadits-hadits berkaitan dengan muhshan mengkhususkan keumuman yang di dalamnya dinyatakan jilid ini, mengkhususkannya dengan pezina ghayru muhshan. 

Jadi masalah itu di sini ada pada bab pengkhususan yang umum ... Jika Anda mempelajari ushul maka Anda pasti menemukan bahwa penjelasan yang mujmal, pengkhususan yang umum dan pembatasan yang mutlak ... Hal itu termasuk pembagian al-Kitab dan as-Sunnah yang wajib beristidlal dengannya menurut ketentuan syar’iy.

Atas dasar itu, pembedaan antara penjelasan yang mujmal dalam kondisi shalat dan pengkhususan yang umum dalam kondisi zina adalah pembedaan yang tidak benar dan tidak boleh kecuali jika Anda tidak memiliki pengetahuan yang sempurna tentang ushul fikih. 

Dan saya memohon kepada Allah SWT untuk Anda petunjuk ke perkara yang paling lurus dan agar Anda dapat mengerahkan segenap usaha dalam memahami ushul fikih sehingga pertanyaan yang terlontar itu pada tempatnya dan bukan dalam konteks yang lain.

Saya berharap masalah tersebut telah menjadi jelas sekarang.[]

Oleh: Syekh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
02 Jumadal Akhirah 1442 H
15 Januari 2021 M

Posting Komentar

0 Komentar