Reshuffle Kabinet di Akhir Tahun: Mampukah Menjawab Jeritan Rakyat Sepanjang Tahun 2020?


TintaSiyasi.com-- Tak dinyana jelang akhir tahun 2020 rakyat kembali disuguhi kejutan akhir tahun. Belum kering luka umat Islam atas meninggalnya enam laskar FPI dan dugaan kasus kriminalisasi yang menimpa HRS. Bak petir di siang bolong, tetiba Presiden Jokowi mengumumkan susunan kabinet barunya.

Mengutip dari laman detikcom, Jokowi dan Ma'ruf mengumumkan menteri-menteri baru kabinet Indonesia Maju di beranda Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Selasa (22/12/2020). Jokowi memperkenalkan satu per satu menteri dan mereka duduk di kursi yang telah disediakan.

Berikut ini menteri-menteri baru yang diumumkan Jokowi. Pertama, Tri Rismaharini sebagai Menteri Sosial. Kedua, Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Ketiga, Budi Gunadi Sadikin sebagai Menteri Kesehatan. Keempat, Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menteri Agama. Kelima, Sakti Wahyu Trenggono sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Keenam, M Luthfi sebagai Menteri Perdagangan.

Hal itu langsung menjadi perbincangan hangat di sosial media. "Reshuffle menteri tidak berguna kalau otak boneka dungu tidak di-reshuffle," cuit Rocky Gerung di akun Twitter @rocky_gerungrg, (22/12/2020).

Guru Besar Universitas Negeri Diponegoro, Prof. Suteki juga ikut heran dengan terpilihnya nama baru masuk dalam jajaran menteri kabinet Jokowi. "Andai kita tahu akhirnya begini, buat apa ada pilpres? buat apa ada kampanye berdarah-darah? buat apa aku memilih? buat apa? perih, pedih merasakan tingkah polah kalian! aku benci!," kata Prof. Suteki dalam akun Facebook Vladimir Sutekof (22/12/2020).

Belum juga dilantik, ada saja yang sudah menggoreng narasi radikalisme ketika Jokowi memilih Gus Yaqut sebagai Menteri Agama. "Bos FPI masuk tahanan, Bos Banser masuk Istana jadi Menteri! Realita ketegasan akhir tahun! Lawan terus radikalisme!," cuit Ferdinand Hutahean girang saat mendengar Gus Yaqut dipilih menjadi Menteri Agama dalam akun Twitter @FerdinandHaean3.

Kiranya, akankah perombakan kabinet mampu menjawab permasalahan negeri? Ataukah berpotensi malah membuat gaduh?


Menelisik Pemerintah Jokowi Melakukan Perombakan Kabinet Kerja Indonesia Maju

Masih panas dalam ingatan terkait korupsi paling menyakitkan sepanjang 2020. Ya, korupsi dana bansos (bantuan sosial) Covid-19 dan juga kasus gratifikasi lobster yang menyeret dua nama menteri hingga menjadi tersangka kasus korupsi. Perombakan kabinet itu, terutama untuk mengisi dua posisi menteri nonaktif yang berkasus di Komisi pemberantasan Korupsi (KPK), yakni Mensos Juliari Peter Batubara dan Menteri KKP Edhy Prabowo.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin mengatakan, soal siapa menteri yang akan diganti bila reshuffle kabinet terjadi itu tergantung Presiden Jokowi.

"Namun jika melihat dari kinerja menteri yang dianggap tak memuaskan dan kontroversi, ada menkes, menag, mendikbud, menparekraf, menteri (Koperasi dan) UKM, menaker," ungkap Ujang saat dihubungi JPNN.com, Selasa (22/12).

Benar jika dikata susunan menteri baru ini cukup mengundang kontroversi. Hal tersebut karena sebagai berikut.

Pertama, dua menteri yang sebelumnya terlibat kasus korupsi dan harus diganti, menunjukan kegagalan pemerintah dalam memberantas korupsi. Bagaimana korupsi bisa diberantas jika harga yang harus dibayar demokrasi begitu mahal? Hal ini telah menjawab, sejatinya yang menyuburkan korupsi adalah sistem demokrasi itu sendiri. 

Kedua, digantinya Menteri Kesehatan tak lepas dari karut marutnya pemerintah dalam menangani Covid-19. Ini sebenarnya telah menunjukan pemerintah gagal tangani pandemi. Pemerintah terkesan ceroboh, bukannya karantina wilayah, pemerintah hanya melakukan PSBB. Belum berhasil PSBB, pemerintah mewacanakan new normal.

Dilansir dari CNN Indonesia (22/12/2020), hampir 10 bulan Indonesia dihantam pandemi virus corona (Covid-19). Sejak pasien pertama positif virus corona diungkap pemerintah, 2 Maret lalu, jumlah kasus positif sampai hari ini terus melonjak tanpa ada tanda-tanda menurun. 

Jejak hitam wabah Covid-19 di Indonesia bermula dari penyanggahan disertai candaan para pejabat publik. Sebut saja, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.

Pada 11 Februari, ketika sejumlah peneliti asing menengarai wabah Covid telah muncul di Indonesia, Terawan dengan jemawa membantahnya sambil menantang para peneliti itu untuk datang ke Indonesia.

Ketiga, munculnya nama Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga menambah luka rakyat terutama umat Islam. Dulu saat pilpres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno (nomor pasangan dua) adalah rival pasangan Jokowi dan Ma'ruf Amin (nomor pasangan satu). Setelah Jokowi menang, Prabowo dilantik menjadi Menteri Pertahanan, dan sekarang Sandiaga Uno juga dipinang sebagai menteri.

Dapat diduga ini adalah salah satu cara untuk memperkuat rezim. Walhasil, rakyat terutama umat Islam kecewa. Sebenarnya hal itu telah membenarkan, demokrasi berhasil melahirkan kader-kader yang hipokrit. Karena, loyalitas kader tidak untuk rakyat, melainkan untuk kepentingan golongan. Selain itu, dalam demokrasi tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi alias asas manfaat.

Keempat, terpilihnya Gus Yaqut sebagai Menteri Agama juga terlihat aneh dan serampangan. Belum juga dilantik, narasi radikalisme sudah didengungkan. Bukankah ini yang sebenarnya membuat gaduh? 

Selama ini narasi radikalisme kerap bahkan selalu dialamatkan dengan umat Islam, baik kelompok, ulama, dan ajarannya yang berseberangan dengan kepentingan penguasa. Andai saja definisi radikalisme itu jelas, tak mungkin narasi radikalisme selalu dijadikan alat gebuk untuk Islam dan ajarannya. Sampai sekarang, narasi tersebut tak jelas dan menyasar siapa saja yang dikehendaki pemilik kepentingan.

Hal di atas seharusnya mampu menyadarkan umat Islam, bahwa masuk ke dalam demokrasi bukan jalan perubahan hakiki. Justru, setelah masuk ke sistem bukan suara rakyat yang didengar, melainkan kepentingan golongan. Inilah penipuan yang terstruktur, sistematis, dan masif yang dilakukan sistem demokrasi kapitalisme.


Mengulik Dampak Perombakan Kabinet Kerja Jokowi-Ma'ruf

Perombakan kabinet menteri menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah kabinet. Menurut analis politik dari lembaga penelitian Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti dalam Kabar24.com (14/05/2019) menyatakan bahwa ada dua alasan kenapa reshuffle kabinet harus dilakukan. Pertama, ada menteri yang memiliki jabatan ganda karena UU melarang seorang menteri memiliki jabatan politik yang ganda dan kedua,  ada menteri yang tersandung oleh kasus korupsi. 

Reshuffle kabinet yang baru-baru ini diwacanakan dan segera terealisasi beberapa waktu ke depan ditengarai juga oleh beberapa pihak disebabkan oleh dugaan kasus korupsi yang menjerat Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Julian Batubara. Berbagai pihak menilai bahwa dengan terjeratnya dua menteri Kabinet Indonesia Maju tersebut telah mengakibatkan kepuasan publik terhadap kinerja kabinet Indonesia maju menjadi menurun. 

Perlu diketahui bahwa berdasarkan hasil survei oleh beberapa lembaga survei akhir-akhir ini, indeks kepuasan masyarakat terhadap kinerja kabinet Indonesia Maju terus menurun. Lembaga Survei Populi Center, Nurul Fatin Afifah dalam cnbcindonesia.com (9/11/2020) menyatakan bahwa hampir 25,6 % masyarakat menilai kinerja pemerintahan ini buruk dan hanya 68,7% yang menjawabnya baik. Sisanya adalah tidak menjawab. Bahkan Litbang Kompas pada periode yang sama juga pernah merilis bahwa hampir 54,4% masyarakat tidak puas dengan kinerja pemerintahan khususnya dalam bidang penegakan hukum. Pada bidang yang lain juga sama, semisal pada bidang politik dan pemerintahan, ada 46.7% masyarakat yang tidak puas dengan kinerja dari pemerintahan ini (Kompas.com, 20/10/2020). 

Timbul pertanyaan sederhana, apakah reshuffle kabinet adalah obat mujarab untuk membawa perbaikan? Setidaknya apa yang dinyatakan oleh pengamat politik Gde Siriana dalam teropongsenayan.com (02/07/2020) cukup mewakili. Ia bahkan dengan tegas menyatakan bahwa reshuffle kabinet Reshuffle Kabinet Indonesia Maju tidak akan ada perbaikan untuk pemerintahan Jokowi. Apa yang disampaikan Gde Siriana bukanlah sesuatu yang tidak punya alasan. 

Ia menyatakan bahwa sejarah masa lalu menjadi cerminan. Beliau menyebutkan kalau di periode pertama, Presiden Jokowi melakukan dua kali reshuffle besar, yaitu pada tahun 2015 dan 2016. Namun, bisa dilihat alih-alih memperbaiki kondisi ekonomi, reshuffle kabinet pada saat itu tidak memperbaiki kondisi pemerintahan Indonesia sama sekali. Agustus 2015, Jokowi janji ekonomi mroket 7%. Hasilnya? Gak gerak di 5%, 16 kebijakan ekonomi sampe 2018 tidak berhasil, padahal sudah ganti menteri di 2016, sekarang dia mau bilang salah pilih menteri lagi.

Beberapa waktu lalu, tim CNNIndonesia.com (09/07/2020) berbincang dengan sejumlah warga biasa untuk mengetahui pendapatnya mengenai gonjang-ganjing yang terjadi di politik Indonesia. Seorang pedagang es dawet di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Muhammad Fajar (38 tahun) terkekeh saat memulai perbincangan soal reshuffle beberapa waktu lalu. Sambil melayani pembeli dawetnya, Fajar berpendapat reshuffle menteri tidak berpengaruh untuk dirinya. Beliau berujar, "Ganti aja [menterinya], toh enggak ada pengaruhnya buat saya," ujarnya pada CNNIndonesia.com, Rabu (8/7).

Pria asal Banyuwangi, Jawa Timur itu mengaku perombakan kabinet tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap warga seperti dirinya. "Dulu pak SBY [Susilo Bambang Yudhoyono] juga pernah ganti menteri. Sekarang juga mau ganti, karena kerjanya enggak bener. Kayak bakal bener aja nanti," kata Fajar. Pernyataan pria yang merantau ke ibu kota sejak 2008 ini diikuti tawa sejumlah pedagang yang juga berada di sekitarnya.

Sepertinya reshuffle tidak akan banyak berdampak dalam kinerja. Maka tepatlah jika beberapa waktu lalu ada netizen viral memakai kaos bertuliskan, tetaplah menjadi pejabat walau tidak berguna. 

Sejatinya, permasalahan yang timbul di negeri ini memang tak lepas dari dua hal, pertama siapa pemimpinnya, dan kedua, apa sistem yang digunakan. Terlebih tentang sistem yang dipilih untuk diterapkan dalam sebuah negara. Jika yang dipakai tetap sistem demokrasi kapitalisme dan hanya ganti personil saja, permasalahan itu akan tetap ada. Karena akar masalah adalah cacatnya sistem yang diterapkan. 

Harusnya pemerintah mampu mengambil keputusan besar dan bijak untuk hijrah total menuju sistem Islam. Tak ada solusi lain, kecuali menyelamatkan negara dengan Islam. Karena jika masih menggunakan demokrasi kapitalisme, siapa saja yang masuk ke dalam sistem akan ikut arus lingkaran setan yang telah dibuatnya.


Strategi Islam dalam Perombakan Kepemerintahan dan Solusi Masalah Negara

Islam adalah agama yang lengkap. Tak hanya tentang ibadah ritual, Islam juga memiliki aturan yang komprehensif untuk mengatur sebuah negara. Ya, sistem pemerintahan di dalam Islam disebut sebagai khilafah. Begitulah yang pernah Nabi Muhammad saw contohkan dan wariskan kepada umatnya. Namun, saat ini umat Islam belum banyak yang menyadarinya. Banyak umat Islam memimpin negaranya menggunakan sistem warisan penjajah yaitu demokrasi kapitalisme.

Pada pengantar buku negara khilafah (sistem pemerintahan dan administrasi), dijelaskan bahwa sistem pemerintahan Islam berbeda dengan seluruh bentuk sistem pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia, baik dari segi asas yang mendasarinya, dari segi pemikiran, pemahaman, maqoyis (standar), dan hukum-hukum untuk mengatur berbagai urusan,dari segi konstitusi dan undang-undang yang dilegalisasi untuk diimplementasikan dan diterapkan ataupun dari segi bentuknya yang mencerminkan daulah islam sekaligus membedakannya dengan bentuk pemerintahan yang lain. 

Sistem pemerintahan Islam bukanlah sistem kerajaan karena dalam sistem pemerintahan islam tidak mengenal pewarisan kekuasaan dengan putra mahkota. Sistem pemerintahan islam juga bukan sistem kekaisaran (imperium), yang memiliki ciri memberikan keistimewaan dalam pemerintahan pusat dalam hal pemerintahan, harta maupun perekonomian. Berbeda perlakuan terhadap wilayah-wilayah imperium. Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem federasi yang memiliki ciri wilayah-wilayah yang terpisah satu sama lain memiliki kemerdekaan sendiri dan mereka dipersatukan dalam masalah pemerintahan (hukum) yang bersifat umum. Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem republik yang kemudian menjadikan kedaulatan dan kekuasaan ada di tangan rakyat. 

Dalam sistem pemerintahan Islam, segala permasalahan yang ada di dalam negeri diselesaikan berdasarkan tuntunan Al Qur'an dan sunnah. Dalam sistem pemerintahan Islam, tidak bisa dipungkiri bahwa perombakan kabinet (reshuffle) dimungkinkan terjadi pada pejabat dalam sistem pemerintahan Islam. Dalam kitab negara khilafah (sistem pemerintahan dan administrasi) menuliskan sub bab tertentu dalam berbagai pembahasan semisal dengan tema pengangkatan dan pemecatan muawin dan pengangkatan dan pemberhentian qadhi mazalim.

Pada sub tema pengangkatan dan pemberhentian muawin, dalam kitab tersebut dituliskan bahwa muawin diangkat dan diberhentikan oleh perintah khalifah. Pada saat khalifah meninggal maka jabatan muawin berakhir, tugas-tugasnya tidak berlanjut kecuali pada saat amir sementara saja. Muawin bisa melanjutkan tugas-tugasnya tatkala diangkat lagi oleh khalifah yang baru. Dalam kitab tersebut juga dijelaskan bahwa jika muawin dipindahtugaskan maka dari posisi ke posisi lain maka tanpa memerlukan pengangkatan yang baru tetapi cukup dengan pengangkatan awal. 

Dalam kitab tersebut menariknya disampaikan pula bahwa muawin khususnya muawin tafwidh (pembantu dalam pemerintahan)  sebagai pembantu khalifah memilik syarat-syarat yang harus dipenuhi seperti laki-laki, merdeka, baligh, berakal, adil, mampu dan termasuk orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan semua tugas yang diwakilkan. Dengan demikian, jika di tengah jalan terjadi hal-hal yang dapat menghilangkan terpenuhinya syarat tersebut, maka khalifah bisa memberhentikannya. 

Dengan demikian, pergantian pejabat semisal muawin pada sistem pemerintahan Islam dimungkinkan terjadi. Asasnya adalah hak khalifah yang memberhentikannnya tentu dipandang dengan kaidah syariah yaitu hilangnya syarat yang menjadi kelayakannya menjadi pejabat.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pergantian pemimpin atau menteri yang belum mampu menjawab masalah negeri, seharusnya mampu menyadarkan umat Islam, bahwa masuk ke dalam demokrasi bukan jalan perubahan hakiki. Kenyataannya, setelah masuk ke sistem bukan suara rakyat lagi yang didengar, melainkan kepentingan golongan. Inilah penipuan yang terstruktur, sistematis, dan masif yang dilakukan sistem demokrasi kapitalisme.

Sejatinya, permasalahan yang timbul di negeri ini memang tak lepas dari dua hal, pertama siapa pemimpinnya, dan kedua, apa sistem yang digunakan. Terlebih tentang sistem yang dipilih untuk diterapkan dalam sebuah negara. Jika yang dipakai tetap sistem demokrasi kapitalisme dan hanya ganti personil saja, permasalahan itu akan tetap ada. Karena akar masalah adalah cacatnya sistem yang diterapkan. Oleh karena itu, perlu keberanian dan keputusan besar untuk beralih menerapkan sistem Islam yang mampu menjadi solusi tuntas permasalahan negeri.

Di dalam Islam, segala bentuk permasalahan negara diselesaikan berdasarkan Al Qur'an dan sunnah. Terkait pergantian penguasa akan diatur oleh syariah. Dengan demikian, pergantian pejabat semisal muawin pada sistem pemerintahan Islam dimungkinkan terjadi. Asasnya adalah hak khalifah yang memberhentikannnya tentu dipandang dengan kaidah syariah yaitu hilangnya syarat yang menjadi kelayakannya menjadi pejabat.

Perjuangan mengembalikan kehidupan Islam tidak boleh berhenti, umat Islam harus bersatu bahu-membahu bersatu memperjuangkan hingga sistem pemerintahan Islam terwujud dalam naungan khilafah Islam. []


Oleh: Ika Mawarningtyas
Analis Muslimah Voice dan Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo


Nb: Materi Kuliah Online UNIOL 4.0 Diponorogo, Rabu, 23 Desember 2020. Di bawah asuhan Prof. Pierre Suteki
#LamRad #LiveOpperessedOrRiseUpAgainst



Posting Komentar

0 Komentar