Rapor Merah Penegakan Hukum 2020



Sebagaimana yang kita ketahui Indonesia dikenal dan dideklarasikan sebagai negara hukum, artinya semua kehidupan di dalamnya harus didasarkan pada hukum. Dengan itu pula, maka ada dua hal seperti perlindungan hukum dan penegakan hukum juga haruslah diupayakan dengan baik, agar konsep negara hukum itu benar-benar terlaksana secara nyata dan sebenar-benarnya.

Bertepatan dengan penghujung akhir tahun 2020 ini, layak kiranya jika kita mencoba mencermati bagaimana rapor penegakan hukum selama kurun waktu setahun belakangan di bawah pemerintahan Presiden Jokowi. Apakah selama itu juga keberadaan sistem hukum telah benar-benar digunakan sebagai sarana yang ditujukan untuk melindungi harkat, martabat atau pun hak asasi semua warga negara? yang telah menjadi prinsip negara hukum yaitu wajib melakukan perlindungan hukum kepada semua warga negaranya tanpa terkecuali.

Bagaimana indeks penegakan hukum yang berlangsung di tahun 2020 ini? dan apakah keberadaan sistem hukum yang ada telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan untuk berpihak pada kebenaran dan menegakkan keadilan untuk semua warga negara?


Indikator dan Dampak Rapor Merah dalam Pembentukan dan Penegakan Hukum di Indonesia

Dari pengamatan melalui sejumlah fakta penegakan hukum yang berlangsung dalam waktu setahun terakhir ini, penulis menilai kinerja Kabinet Indonesia Maju Periode Kedua 2020 di bidang hukum dengan nilai Rapor Merah. Mengapa? Ada tiga alasan yang menjadi argumen penilaian bagi penulis atas hal tersebut, yakni: 

Penilaian Pertama

Dalam kurun waktu setahun pemerintahan presiden Jokowi-Ma'ruf Amin ini, penulis tidak melihat dengan jelas kemajuan yang berarti dari proses hukum, yang meliputi pembentukan dan penegakan hukum.

Buktinya: 

(1) Secara kuantitatif proses hukum itu dapat dilihat dari INDEKS PENEGAKAN HUKUM yang bersifat KONTROVERSIAL. 

Di tahun ini, Nilai keseluruhan prinsip hukum Indonesia meningkat 1,3% dalam Index tahun ini. Indonesia menduduki peringkat 59 dari 128 negara dan wilayah hukum di seluruh dunia, naik 4 peringkat dalam urutan global. 

Nilai Indonesia menempatkannya pada peringkat 9 dari 15 negara di wilayah Asia Timur dan Pasifik serta peringkat 5 dari 30 di antara negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah. 

Kemajuan Penegakan hukum (ROL) yang baik hanya terwujud jika Indonesia mampu menerapkan hukum dan menyelenggarakan pemerintahan bebas dari pengaruh asing dan aseng. Independensi di bidang hukum dan pemerintahan, menjadi parameter penting apakah suatu negara berdaulat atau masih terjajah. Namun kenyatannya LAW MAKING + LAW ENFORCEMENT: BELUM MANDIRI 

Dalam konteks hukum, baik perancangan hukum dan perundangan juga penerapannya, rasanya dengan sangat menyesal penulis mengatakan bahwa Indonesia belum merdeka. Infiltrasi kekuatan asing terutama kelompok pemodal dalam dunia politik, menyebabkan produk legislasi tak berorientasi merdeka untuk melayani rakyat, namun terpenjara untuk melayani kepentingan asing, kepentingan kaum pemodal. 

Ngototnya DPR dan Presiden membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja hingga menjadi UU No. 11 Tahun 2020 di tengah penentangan rakyat, menjadi penanda bahwa pengelolaan hukum dan pemerintahan belum merdeka, belum terbebas dari belenggu swasta bahkan asing. Produk legislasi tak berorientasi pada kepentingan rakyat, melainkan untuk melayani kepentingan kaum pemodal (kapitalisme global). 

Kasus Joko S Tjandra yang sempat menjadi buron, meskipun pada akhirnya berhasil ditangkap, menjadi bukti nyata bahwa penegakan hukum di negeri ini belum merdeka. Kuasa uang dan harta, mampu menjadi 'Komando Utama' yang dapat mengatur penegakan hukum di negeri ini. 

Akibatnya, Indonesia tercatat menjadi negara dengan tingkat korupsi yang tinggi jika dibandingkan negara-negara lain di dunia ini. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia. Saat ini Indonesia memiliki poin 39 di dalam indeks tersebut. Alhasil Indonesia masih tergolong ke dalam negara korup. 

(2) Standarnya tidak jelas: SSK 

Di sisi lain, hukum di era rezim Jokowi ini tak memiliki standar yang jelas. Hukum bisa dibilang suka-suka Aparat Penegak Hukum (APH). Polisi menangkap jika mau, membiarkan laporan jika mereka suka. Polisi juga menangguhkan jika mereka berkehendak, mengabaikan permohonan penangguhan jika mereka tak berkehendak. Tak ada ukuran objektif, polisi suka suka memperlakukan Tersangka, meskipun sama-sama mengajukan penangguhan dan sama-sama dijamin. 

Kasus penahanan Harisy yang bertentangan dengan Putusan MK No. 7 Tahun 2009 (terkait dengan Pasal 160 sebagai delik Materiil) dan Putusan MK No. 21 Tahun 2014 ( terkait dengan pemeriksaan calon tersangka sebelum penetapan sebagai tersangka), menggenapi dugaan tiadanya standar yang jelas dalam penegakan hukum di Indonesia. KUHP dan KUHAP plus Putusan MK seolah tidak diikuti lagi dalam due process of law. 

(3) Brutality Law Enforcement 

Penegakan hukum BRUTAL (Brutality Law Enforcement): penanganan kasus novel baswedan, kasus HRS, terbunuhnya 6 laskar FPI secara extrajudicial killing. 

Berdasar realitas di atas tampak bahwa hukum dan politik Hubungannya sangat erat praktik hukum yg mengabaikan kedailan dan kebenaran. Telah berdiri industri hukum dengan slogan "NEGARA TIDAK BOLEH KALAH" yang dalam praktik diterapkan secara keliru. Prinsip ini menjauhkan karakter negara benevolen, negara pemurah dan menghadap hadapkan PEMERINTAH dengan RAKYAT bahkan cenderung membangun relasi permusuhan antara keduanya. Rakyat bukan musuh pemerintah. Namun ketika atmosfer politik dituntut oleh slogan negara tidak boleh kalah, maka negara akan bertindak otoriter dan hukum akan cenderung dipakai sebagai sarana untuk "melegitimasi kekuasaannya", sehingga hukum sangat represif. Brutality enforcement dimulai dari sini, contohnya extrajudicial killing. 

Penilaian Kedua

Penegakan hukum semakin ambyar (kacau), dengan adanya fenomena tebang pilih, seperti kasus kerumunan HRS vs kerumunan Pilkada, kriminalisasi ulama kritis dan pembiaran para buzzer pendukung rezim, pencopotan baliho FPI oleh TNI. 

Dalam praktik penegakan hukum masih kita temukan DISKRESI CENDERUNG DISKRIMINATIF 

Aparat Penegak Hukum (APH) punya hak untuk to do or not to do, ada diskresi untuk menegakkan hukum ataukah ada policy of non enforcement of law. Hukum yang adil adalah hukum yang memperlakukan sama untuk kasus yang sama (sejenis). Memperlakukan berbeda untuk kasus yang beda. Jadi mesti ada EQUALITY BEFORE THE LAW. Jika tidak maka yang akan terjadi adalah PENEGAKAN HUKUM YANG AMBYAR alias kacau balau. 

1. Penegakan hukum tebang pilih (kasus kerumunan (HRS (DKI: AGAMA) vs GIBRAN (SOLO: PILKADA)).
2. Kriminalisasi Ulama Kritis vs pembiaran para buzzer pendukung rezim.
3. Abuse of power Pencabutan baliho FPI oleh TNI, Tdk sesuai dgn Tupoksi TNI.
4. Penangguhan penahanan (kasus Pembakaran Gedung Kejagung vs Gus Nur).

Penilaian Ketiga

Hubungan rezim dan rakyat sudah mengalami titik nadir bahkan defisit kepercayaan, sehingga zero trust society semakin nyata di tengah Otoritarianisme Oligarki korporasi.

Penulis memandang bahwa OLIGARKI itu PERUSAK MODAL SOSIAL, khususnya TRUST. Oligarki (elit penguasa-pengusaha) itu sumber perusak DEMOKRASI yang menghendaki adanya PARTISIPASI RAKYAT oleh karena TRUST RAKYAT masih tinggi. Keterlibatan oligarki, khususnya CUKONG dalam kekuasaan tidak perlu diragukan lagi sebagaimana dikemukakan oleh Menkopolhukam yang menyatakan bahwa 92% pilkada didanai oleh Cukong---82% menurut KPK. Akhirnya demi kelangsungan usaha dan kuasa sangat mungkin mereka bertindak secara otoriter yang sebenarnya MEMBUNUH demokrasi itu sendiri. 

Indeks penegakan hukum (PH) memang cenderung naik (dari 62 ke 59), tetapi Direktur Eksekutif World Justice Project Elizabeth Andersen menyampaikan, penurunan di banyak negara terjadi pada faktor pembatasan kekuasaan pemerintahan secara konstitusional. Hal ini mengindikasikan penguatan otoritarianisme. Sebanyak 61 negara menurun capaiannya pada faktor itu, 23 negara stagnan dan 29 negara lain membaik. 

Kalau dikatakan TRUST RAKYAT itu dititik nadir tentu tidak untuk keseluruhan. Kalau trust dari golongan oposisi, pasti nadir titik menyentuh angka 0. Kita bisa bayangkan, untuk kasus RUU KPK, RUU HIP, RUU BPIP, RUU COVID, RUU OL CIPTA KERJA begitu banyak PENOLAKAN tetapi REZIM LEGISLATOR TETAP MELENGGANG. 

Tapi buat pendukung rezim, pasti akan berdallih BERDASARKAN HASIL SURVEY, kepercayaan rakyat masih tinggi. Benarkah? 

Hasil survei Indo Barometer menunjukkan ada sejumlah lembaga negara yang memiliki tingkat kepercayaan publik paling tinggi. Institusi TNI menempati posisi teratas dengan presentase 94 persen. "Ada empat lembaga negara yang memiliki tingkat kepercayaan publik tinggi yaitu TNI (94 persen), Presiden RI (89,7 persen), organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah (86,8 persen), dan KPK (81,8 persen)," kata Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (24/2/2020). 

SAIFUL Mujani Research and Consulting (SMRC) baru saja menyatakan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Joko Widodo dalam menyelesaikan permasalahan dan membawa Indonesia keluar dari krisis masih tinggi. 

Hal tersebut terlihat dari sekitar 79% masyarakat yang percaya terhadap kebijakan Presiden Jokowi dan Hanya sekitar 20% yang menyatakan tidak percaya. 

Strategi Meningkatkan Nilai Rapor Kinerja dalam Pembentukan dan Penegakan Hukum Sehingg dapat Mewujudkan Nilai Keadilan dan Kebenaran

Berangkat dari fakta rapor merah atas penegakan hukum yang telah diuraikan di muka, tentu hal tersebut menjadi sesuatu yang tidak bisa dibiarkan untuk masa depan jalannya penegakan hukum di negara kita. Maka kita pun harus segera mencari jalan keluarnya, agar tujuan mulia untuk mewujudkan nilai keadilan dan kebenaran itu dapat tercapai dengan nyata dan sebenar-benarnya.

Menurut kami, harus ada jalan keluar yang tersistematis yaitu revolusi akhlak sebagai solusi yang sistemisnya. Namun bukan sembarang revolusi akhlak biasa tapi revolusi akhlak negara atau penyelenggara negara. Karena idealnya, penyelenggara negara harus paham dan mengerti betul bagaimana menjalankan tugas negara yang diembannya.

Selama ini sudah seringkali negeri ini mencoba mencari jalan keluar, namun dengan cara yang pragmatis atau tidak tersistematis. Seperti reformasi, namun berujung tanpa bukti. Atau pun dengan nyanyian revolusi mental seperti yang menjadi jargon pemerintahan Jokowi, namun lagi-lagi tampaknya revolusi mental malah menjadi mental (tidak sesuai tujuan). Karena tanpa bantalan atau dasar yang jelas dan benar dalam perwujudannya.

Mengapa kegagalan itu selalu tampak terjadi? Karena selama ini negara mengemban dan disetir oleh konsep ROL ala kapitalis barat, yang tidak akan pernah dapat mencukupi kebutuhan umat untuk mencapai tujuan nasionalnya. Maka tawaran negara pengurus dengan model negara hukum dalam perspektif Islam adalah sumber referensi terbaik yang hendak kami tawarkan. Pembentukan negara hukum baru yang mampu menjamin terwujudnya tujuan nasional. 

Karena sepatutnya, negara mesti hadir dalam mengatasi segala permasalahan. Karena pada prinsipnya, negara haruslah berperan sebagai negara pengurus. Bagaimana bentuk dari negara pengurus? Yaitu negara yang meri'ayah rakyatnya dan betul-betul menghadirkan kesejahteraan secara umum yang bisa dirasakan oleh semua golongan. Selain dari itu, negara pengurus yaitu negara yang menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, menjaga harta, menjaga kehormatan, menjaga keamanan dan negara yang mampu menjaga dirinya sendiri. 

Penerapan sistem dengan dasar akidah dan syariat Islam adalah satu-satunya opsi terbaik untuk sebuah perubahan. Karena dengan sistem negara hukum yang berdasarkan syariat Islam selain akan membawa kemaslahatan, yakni mencegah pelanggaran dan mencegah kriminalitas, juga karena penegakannya diwajibkan oleh Sang Pencipta. 

Seperti yang dituliskan oleh Muhammad Husain Abdullah dalam kitabnya ‘Mafahim Islamiyah’ (2002), bahwa Islam akan mendatangkan ‘maslahah Dhoruriyaat’, kemaslahatan-kemaslahatan yang menjadi keharusan, yang diperlukan oleh kehidupan individu masyarakat sehingga tercipta kehidupan yang harmonis. Jaminan ini menjadi akhlak negara terhadap rakyatnya karena negaralah yang menjadi pengurus (meriayah) pemenuhan kebutuhan rakyatnya. 

Jika kemaslahatan-kemaslahatan ini tidak ada, maka sistem kehidupan manusia menjadi cacat, manusia hidup anarki dan rusak, dan akan mendapatkan banyak kemalangan dan kesengsaraan di dunia serta siksa di akhirat kelak. 

Negara hukum dalam perspektif Islam tersebut akan menjadi akhlak negara yang dapat menjamin terwujudnya delapan tujuan dari bernegara hukum, yaitu sebagai berikut: 

1. Menjaga Agama (Hifdzud Diin). 

Syariat telah menetapkan bahwa siapa saja yang murtad/keluar dari Islam, Ia akan dihukum mati. Sanksi tersebut harus ditegakkan sebagai Undang-Undang, sebab jika tidak, sanksi tersebut akan diabaikan oleh masyarakat. Dan ketika saat ini Islam diabaikan, tidak diterapkan, realitas yang terindera adalah begitu mudahnya dan banyaknya manusia keluar masuk agama Islam, seolah keluar dari Islam adalah gaya hidup modern yang tidak memiliki konsekuensi dosa. 

2. Menjaga Jiwa (Hifdzun Nafs). 

Islam memandang bahwa jiwa manusia harus ditempatkan pada tempat yang terhormat, yang layak. Maka Islam mengharamkan membunuh jiwa tanpa haq. Siapa saja yang membunuh jiwa tanpa haq, maka akan diberlakukan hukum qishash, yaitu hukuman bunuh dibalas dengan bunuh. (lihat al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 178). Hukum Qishash ini harus ditegakkan sebagai UU, sebab jika tidak hanya akan menjadi etika atau norma yang mudah diabaikan oleh masyarakat, pelakunya hanya akan mendapatkan sanksi sosial, seperti dijauhi, dikucilkan, dihina, dll. 

3. Menjaga Akal (Hifdzul Aqli). 

Islam telah menempatkan akal manusia pada tempatnya yang tinggi dan layak. Akal ini menjadi objek pembebanan hukum (manaathut takliif). Islam telah mendorong untuk menggunakan akal dalam proses keimanan sehingga bisa sampai pada aqidah yang benar dan akal terpuaskan dengan aqidah tersebut. Penjagaan Islam terhadap akal adalah bahwa Islam telah mengharamkan setiap perkara yang bisa merusak akal seperti minum KHAMR (MINOL), mengkonsumsi narkotika, menjadi tukang sihir, pornografi, dll. Dan Islam telah menetapkan sanksi bagi siapa saja yang melakukan aktivitas yang bisa merusak akal tersebut. Semua itu dalam rangka untuk memelihara akal. 

4. Menjaga Keturunan (Hifdzul Nasl). 

Rasulullah sebagai teladan terbaik telah menganjurkan umatnya untuk memperbanyak keturunan. Bahkan dinyatakan oleh beliau bahwa beliau akan membangga-banggakan umatnya yang banyak di hadapan para Nabi dan Rasul kelak. Islam telah menganjurkan untuk menikahi wanita-wanita yang penyayang dan subur, mengharamkan pengebirian, memerintahkan untuk memelihara keturunan, mengharamkan zina serta menetapkan sanksi bagi yang melanggarnya. 

5. Menjaga Harta (Hifdzul Maal). 

Islam membolehkan bagi siapa saja untuk memiliki harta kekayaan berdasarkan ketentuan syariat. Islam juga telah menetapkan hak bagi orang-orang faqir dalam harta orang-orang kaya serta mengharamkan mengambil harta orang lain tanpa haq. Penjagaan Islam terhadap harta adalah dengan pengharaman pencurian, perampokan atau aktivitas yang mengambil harta orang lain tanpa haq, serta memberikan sanksi terhadap pelakunya dengan hukuman potong tangan jika mencapai kadar tertentu yang ditetapkan syariat (mencapai Nishab). 

6. Menjaga Kehormatan (Hifdzul karamah). 

Islam telah memuliakan manusia sejak penciptaannya. Sebagaimana tertuang jelas dalam kitab suci-Nya yang mulia, Al-Qur’an al-Kariim, bahwa Allah telah memerintahkan kepada malaikat untuk bersujud (hormat) kepada Nabi Adam. 

Islam bukan hanya menjaga kehormatan manusia semasa hidupnya, pun ketika setelah matinya, Islam memerintahkan untuk memandikan, mengafani, menguburkan dan melarang bertindak sewenang-wenang atas tubuh manusia. 

7. Menjaga Keamanan (Hifdzul amn). 

Bagi orang-orang yang merusak keamanan yaitu orang yang melakukan pembegalan, sewenang-wenang atas harta benda dan jiwa serta menakut-nakuti manusia, Islam telah menetapkan had yaitu memerangi mereka. 

8. Menjaga Negara (Hifdzud Daulah). 

Islam telah memerintahkan kaum muslimin untuk menegakkan sebuah Negara yang menerapkan hukum-hukum Islam di dalam negeri dan mengemban dakwah dan jihad ke luar negeri. Islam memerintahkan kaum muslimin untuk membaiat seorang Khalifah saja untuk menjalankan Al-Qur’an dan as-Sunnah serta mengharamkan kekosongan Khalifah dan Khilafah lebih dari tiga hari. Negara Khilafah lah yang akan menjaga kaum muslimin dan mengurusi seluruh urusan kaum muslimin. Negara Khilafah yang akan menjaga aqidah kaum muslimin dan sistem kehidupannya. 

Maslahah dhuroriyah yang tidak lain adalah akhlak negara tersebut rasanya memang seperti fiksi. Sebatas energi positif yang dapat membangkitkan seseorang, kelompok orang untuk mencapai tujuan mulia tertentu. Namun tentu hal itu adalah rasa atau pendapat yang keliru. Maslahah itu bukanlah fiksi, apalagi fiktif melainkan realitas. Maslahah Dhuroriyaat itu juga sudah dikaji berdasarkan wahyu, ra'yu (olah akal) dan pengalaman sejarah ratusan bahkan ribuan tahun. Namun, ketiga hal itu sering kita kibaskan hanya karena nafsu yang ingin semakin lepas menjauh dari syariat Islam. Kita mesti ingat, tidak ada sebuah komunitas masyarakat di muka bumi ini homogen, tetapi heterogen. Bukankah Islam hadir untuk tetap menghargai keragaman dengan tetap menyerukan amar ma'ruf nahi munkar. 

Semoga dari uraian ini dapat menjadi pertimbangan sekaligus perenungan, khususnya masyarakat bangsa Indonesia yang bermayoritaskan muslim namun cenderung phobia terhadap syariat Islam yang sangat mulia tersebut. Kami tidak dalam kapasitas memaksakan dan menggunakan kekerasan untuk mengarahkan orang lain agar sepaham dengan kami. Syariat Islam bukan binatang buas yang mesti diburu untuk dihancurkan, melainkan ajaran yang menuntun ke arah kemaslahatan umat manusia, kemarin, kini dan yang akan datang. 

Hanya dengan syariat di bawah naungan sistem khilafah Islamlah yang dapat menjadi harapan untuk perubahan yang hakiki. Dan hanya ideologi Islam yang mampu menuntun untuk dapat dilaksanakan revolusi akhlak negara, bukan ideologi yang lain, apalagi ideologi kapitalisme dan komunisme yang tumbuh subur dalam sistem demokrasi yang diterapkan saat ini. 

Dari uraian di atas maka dapat kami tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Pertama. Penulis menilai kinerja Kabinet Indonesia Maju Periode Kedua 2020 di bidang hukum dengan nilai Rapor Merah. Ada tiga alasan yang menjadi argumen penilaian bagi penulis atas hal tersebut, yakni: 

Penilaian pertama: Tidak ada kemajuan yang berarti dari proses hukum, yang meliputi pembentukan dan penegakan hukum.

Buktinya: (1) Secara kuantitatif proses hukum itu dapat dilihat dari indeks penegakan hukum yang bersifat kontroversial. (2) Standarnya tidak jelas: SSK (3) Brutality Law Enforcement 

Penilaian kedua: Penegakan hukum semakin ambyar (kacau), dengan adanya fenomena tebang pilih, seperti kasus kerumunan HRS vs kerumunan Pilkada, kriminalisasi ulama kritis dan pembiaran para buzzer pendukung rezim, pencopotan baliho FPI oleh TNI. Dalam praktik penegakan hukum masih kita temukan diskresi cenderung diskriminatif.

Penilaian ketiga: Hubungan rezim dan rakyat sudah mengalami titik nadir bahkan defisit kepercayaan, sehingga zero trust society semakin nyata di tengah Otoritarianisme Oligarki korporasi.

Kedua. Harus ada jalan keluar yang tersistematis yaitu revolusi akhlak sebagai solusi sistemiknya. Namun bukan sembarang revolusi akhlak biasa tapi revolusi akhlak negara atau penyelenggara negara. Karena idealnya, penyelenggara negara harus paham dan mengerti betul bagaimana menjalankan tugas negara yang diembannya.

Konsep ROL ala kapitalis barat, tidak akan pernah mencukupi kebutuhan umat untuk mencapai tujuan nasionalnya. Maka tawaran negara pengurus dengan model negara hukum dalam perspektif Islam adalah sumber referensi terbaik yang hendak kami tawarkan. Pembentukan negara hukum baru yang mampu menjamin terwujudnya tujuan nasional. 

Karena pada prinsipnya, negara haruslah berperan sebagai negara pengurus. Bagaimana bentuk dari negara pengurus? Yaitu negara yang meri'ayah rakyatnya dan betul-betul menghadirkan kesejahteraan secara umum yang bisa dirasakan oleh semua golongan. Selain dari itu, negara pengurus yaitu negara yang menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, menjaga harta, menjaga kehormatan, menjaga keamanan dan negara yang mampu menjaga dirinya sendiri.

Hanya dengan syariat dibawah naungan sistem khilafah Islamlah yang dapat menjadi harapan untuk perubahan yang hakiki. Dan hanya ideologi Islam yang mampu menuntun untuk dapat dilaksanakan revolusi akhlak negara, bukan ideologi yang lain, apalagi ideologi kapitalisme dan komunisme yang tumbuh subur dalam sistem demokrasi yang diterapkan saat ini. []



Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Liza Burhan (Analis Mutiara Umat)

Posting Komentar

0 Komentar