Potret dan Proyeksi Penegakan Hukum 2020/2021 di Indonesia



Pasca pembunuhan terhadap enam laskar EfPei yang ditengarai adanya dugaan kuat telah terjadi pelanggaran HAM, yakni extrajudicial killing, dan kemarin pada 12 12 2020 kembali terjadi peristiwa yang semakin menambah kepedihan sebagian umat Islam, pasalnya Imam Besar Harisy telah dinyatakan resmi ditahan dengan tuduhan melakukan tindak pidana penghasutan sebagaimana diatur dalam Pasal 160 KUHP. Padahal banyak sudah para ahli menyatakan pendapat bahwa sesuai dengan Putusan MK Nomor 7/PUU-VII/2009, delik Pasal 160 adalah delik materiil, yang hanya dapat disangkakan jika telah ada bukti adanya tindak pidana sebagaimana hasutannya tersebut. Namun tampaknya pendapat para ahli hukum itu sama sekali tidak dihiraukan oleh Pemerintah--yang sering mengatasnamakan NEGARA, c.q. penyidik kepolisian. Lalu, inikah wujud penerapan dari slogan "negara tidak boleh kalah" yang kerap disenandungkan itu? 

Ya, betapa sering kita mendengar pernyataan dari para pejabat negeri ini yang menyatakan prinsip "negara tidak boleh kalah." Namun di lain kesempatan pejabat itu juga mengutip adagium dari Cicero yang berbunyi: "salus populi suprema lex esto". Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Anda mungkin masih ingat pernyataan Presiden Joko Widodo (17 November 2020) yang menginstruksikan TNI-Polri beserta Satuan Tugas Penanganan Covid-19 untuk menindak tegas siapa pun yang melanggar protokol kesehatan Covid-19. Presiden menekankan, keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi yang harus jadi pedoman. Sehari sebelumnya Menko Polhukam Mahfud MD menyoroti pihak-pihak yang melanggar protokol kesehatan hingga perusak fasilitas umum di tengah pandemi COVID-19. Mahfud meminta negara tidak boleh kalah terhadap para pelanggar aturan tersebut. Pernyataan itu penulis duga untuk merespons kepulangan Harisy yang menimbulkan dugaan pelanggaran protokol kesehatan yang berbuntut panjang hingga terbunuhnya 6 anggota EfPeiA. Apakah prinsip bahwa negara tidak boleh kalah itu juga akan membenarkan meskipun aparatur pemerintah negara bertindak apa pun bahkan ketika salah sekali pun tindakan itu? 

Penggunaan prinsip negara tidak boleh kalah "yang keliru" sebenarnya menunjukkan bahwa sistem pemerintahan negara yang sedang dijalankan adalah sistem otoriter represif yang menghadap- hadapkan rakyat dan aparat negara, termasuk Aparat Penegak Hukum (APH). Di Pemerintahan yang otoriter maka APH akan digunakan oleh penguasa sebagai alat untuk mempertahankan status quo yang di-back up oleh hukum sebagai alat legitimasi tindakan jahat pemerintah. Akhirnya, potret wajah bening hukum yang awalnya harus memberikan guidance bagaimana pemerintah negara menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya menjadi potret wajah buram tercemar oleh kerakusan penguasa negara yang tidak mau kalah dengan rakyatnya. 


Wajah Praktek Sistem Penegakan Hukum Indonesia di Tahun 2020 Sekarang

Menurut Lawrence M Friedman hukum itu sebuah sistem yg terdiri dari 3 komponen, yakni legal substance (peraturan), legal structure (kelembagaan dan APH) dan legal culture (ILC dan ELC). Ketiganya sangat berpengaruh dlm PROSES HUKUM, yakni pembentukan hukum dan penegakannya. 

Penulis melihat proses hukum di tahun 2020 ini berjalan dying sehingga terkesan "ugal-ugalan" dan berada pada titik belum merdeka. Yang puncaknya ditandai dengan dua peristiwa terakhir yang bisa dikatakan telah memuat adanya penyimpangan hukum yang secara nyata telah menciderai fungsi hukum itu sendiri, yaitu:

(1) Pembentukan hukum: lahirnya UU CK yang cacat baik dari sisi formil maupun materiil. (2) Penegakan hukum: terbunuhnya 6 laskar FPI secara extrajudicial killing.

Begitulah potret penegakan hukum sekarang, yang berubah dari substansi keadilan dan hidup berkeadilan menjadi teks, skema, kebahasaan, sehingga kita berhadapan dengan substansi pengganti, bukan lagi substansi keadilan yang asli. Kita dipaksa untuk berhukum dengan menggunakan akal sehat, pemahaman sebuah teks hukum yang ada, dan pemaknaan-pemaknaan suatu hal.

Secara konstitusional seharusnya pemerintahlah yang bertanggungjawab terhadap bagaimana kondisi penerapan hukum itu untuk mencapai tujuan negara, karena penegakan hukum menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan darinya. Untuk itu, sudah seharusnya pula negara tanggap terhadap tindakan-tindakan yang terkategori penyimpangan penegakkan hukum, seperti peristiwa pengambil alih tindakan hukum kepada warga negara oleh suatu ormas yang di luar wewenang dan kapasitasnya yang pernah terjadi juga di tahun 2020 ini.

Hal tersebut juga didukung oleh kondisi kinerja para penegak hukum hari ini yang terkesan tidak menjalankan tanggung jawab sebagaimana semestinya, nampak sejumlah status jabatan sebagai penegak hukum dimanfaatkan untuk merekayasa perbuatan sehingga mendapatkan pembenaran, oknum penegak hukum tidak sepenuhnya memperjuangkan kebenaran dan keadilan, dengan fakta tersebut sudak cukup dijadikan alasan untuk menyebut penegakan hukum terkesan ugal-ugalan dan belum berada pada titik kemerdekaan. Penegakan hukum masih berada di bawah kekuasaan kepuasan oknum yang tidak pernah merasa kenyang dengan hakikat eksistensi atau keberadaannya sebagai pelindung masyarakat dan negara.

Bila hal demikian terus dibiarkan maka akan menurunkan maruwah para penegak hukum, yang sebenarnya dan juga berpotensi semakin menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada para penegak hukum yang berwenang maupun ke negara sendiri sehingga akan semakin menyuburkan fenomena eigenrichting ataupun aksi persekusi baik oleh ormas, individu maupun kelompok masyarakat yang mengambil alih fungsi para penegak hukum.

Ketidak pedulian negara pada kondisi hukum yang kacau balau, dan tidak dapat memberi rasa keadilan tersebut dapat memunculkan tindakan masyarakat yang akan menyelesaikan persoalan hukum dengan caranya sendiri. Ketidak hadirannya negara maupun penegak hukum adalah sebagai alasan utamanya, padahal bukankah membangun dan menjaga kepercayaan rakyat merupakan suatu pencapaian tersendiri bagi para penegak hukum dan pemerintah. Namun apabila rakyat telah menaruh kepercayaan kepada keduanya, kemerdekaan kewewenangan para aparat penegak hukum dapat berjalan dan dirasakan sehingga rakyatpun dapat dengan mudah mengikuti petunjuk dan peraturan yang berlandaskan pada rasionalitas antara metode dengan perwujudan suatu tujuan yang ingin dicapai.

Selain dari itu, praktek hukum yang mengabaikan keadailan dan kebenaran itu kini kian nampak telah berdiri, yang berwujud melalui industri hukum dengan slogan "negara tidak boleh kalah" yang dalam praktik penerapannya secara keliru. Prinsip ini menjauhkan karakter negara benevolen, negara pemurah dan menghadap hadapkan pemerintah dengan rakyat bahkan cenderung membangun relasi permusuhan antara keduanya. Padahal rakyat bukan musuh pemerintah. Namun ketika atmosfer politik dituntut oleh slogan negara tidak boleh kalah maka negara akan bertindak otoriter dan hukum akan cenderung dipakai sebagai sarana untuk "melegitimasi kekuasaannya", sehingga hukum sangat represif. Brutality enforcement dimulai dari sini, contohnya extrajudicial killing yang terjadi menimpa keenam laskar FPI pada waktu terakhir ini.


Kemungkinan Praktek Hukum ke Depan yang Akan Terjadi dan Cara Kita Dalam Menyikapi

Pada dasarnya, penggunaan keliru prinsip "negara tidak boleh kalah" sangat bertentangan dengan Etika Penegakan Hukum Berkeadilan yang meniscayakan (APH) Aparat Penegak Hukum harus berbuat secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warga negara di hadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah atau menyimpang sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.  

Prinsip "negara tidak boleh kalah" juga dapat menggiring kekuasaan ke arah constitutional dictatorship. Mengapa, karena dengan memosisikan negara c.q. Pemerintah di atas rakyat maka hukum yang ada akan dikendalikan sebagai sarana represif kepada rakyat sekaligus melegitimasi semua tindakan diktator Pemerintah. Ini yang kita sebut otoritarianisme. Hukum dijalankan untuk melegalkan tindakan jahat Pemerintah terhadap rakyatnya. Kalau misi itu diback up oleh poilisi, maka negara hukum itu akan menjadi police state. 

Atas dasar itulah kemudian muncul pertanyaan di benak kita, adakah penyelenggaraan pemerintahan kini mencerminkan etika kehidupan berbangsa itu? Pada realitasnya penggunaan keliru prinsip negara tidak boleh kalah telah memperkuat dugaan adanya extrajudical killings, abuse of power, mal administrasi, SSK, tindakan non promoter, diskresi yang diskriminatif dll. Hal ini menkomfirmasi dan telah menujukkan lumpuhnya hukum, matinya demokrasi sekaligus adanya pelanggaran HAM. Ketiga komponen yang memiliki hubungan piramidal. 

Tidak mungkin terwujud demokrasi kalau hukum diacak-acak dan ditegakkan secara ugal-ugalan plus otoriter. Tidak mungkin HAM di-protect jika demokrasi telah mati. Matinya demokrasi dapat terjadi karena penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara telah bergeser ke arah otoritarianisme. Jadi, berdasar hubungan yang erat antara negara hukum dan demokrasi itu dapat dikatakan bahwa hidup matinya demokrasi sangat ditentukan bagaimana hukum ditegak ataukah tidak. 

Dari potret buramnya hukum di tahun 2020 pertama periode kedua Kabinet Kerja Jokowi ini, yakinkah Anda bahwa tahun depan (2021) potret hukum kita akan lebih bening? Terus terang, penuli sendiri tidak yakin, bahkan dapat diproyeksikan kekuasaan rezim akan tampak semakin otoriter dan oleh karenanya represif. Bentuk negara kita memang masih republik demokrasi tetapi sebenarnya kita sudah meninggalkan sistem itu menuju okhlokrasi, yakni ketika negara dikendalikan oleh kelompok perusak yang sebenarnya tidak mengerti bagaimana cara menjalankan negara untuk membahagiakan rakyatnya (benevolen). Negara boleh kalah dengan rakyatnya demi perwujudan perlindungan dan kebahagian bersama. Jadi, haruskah negara tidak boleh kalah dengan rakyatnya? 

Konsep negara boleh kalah dengan rakyatnya itu terwujud jika prinsip negara pengurus telah diterapkan. Yang seharusnya adalah tugas negara itu meriayah dan mengurusi rakyat-nya. Pasca Okhlokrasi, sebenarnya ada tawaran dari Ian Dallas dlm bukunya The Entire City yakni sistem pemerintahan yang didasarkan pada hukum Alloh, yakni sistem pemerintahan kekhalifahan. Mungkinkah? Ramalan NIC (Desember 2004) menyebutkan bhw seharusnya tahun 2020 ini new caliphate is rising! 

Lalu bagaimana keharusan kita dalam menyikapinya? What will be, will be! Alloh yang menentukan semuanya, yang terpenting adalah kokohkan koordinat kita sebagai bagian umat yang memperjuangkannya bukan menjadi kaum penentangnya. 


Sistem Penegakan Hukum di Dalam Islam

Sejatinya kondisi buruknya penegakan hukum yang tidak sesuai dengan prinsip untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang sedang berlangsung di hadapan kita saat ini, merupakan wujud dari produk hukum yang berazaskan sekularisme, yang bersifat lemah, gampang berubah-ubah sesuai kepentingan sehingga sering kali kontradiksi dan memunculkan ketidakpuasan pubik.

Sumber yang digunakan dalam sistem hukum sekuler yakni akal dan hawa nafsu manusia, akal manusia bersifat lemah dan penuh kepentingan ini tidak mampu menentukan apakah sesuatu perbuatan itu terpuji ataukah tercela, termasuk dalam kategori kejahatan atau bukan, berimplikasi pahala ataukah dosa. Maka adalah suatu kelaziman jika produk yang dihasilkan banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sehingga tak heran ketika seringkali terdapat penyimpangan di dalam penerapannya yang pada akhirnya melahirkan banyak kebijakan yang tidak sejalan dengan harapan rakyat.

Pembuatan hukum-hukum dalam sistem demokrasi sekuler dibuat secara kolektif oleh anggota parlemen, pihak-pihak yang diberikan kewenangan membuat hukum cenderung membuat aturan hukum yang sarat dengan berbagai kepentingan kelompok tertentu. Akibatnya, dalam penerapannya sering kali kita jumpai terjadinya revisi atau perubahan secara terwacana ataupun dadakan dalam tiap pasal atau isi dari UU yang telah ditetapkan.

Dalam prinsip hukum sekularisme, hukum agama haruslah dipisahkan dari kehidupan, terutama hukum agama akan dipisahkan dari kehidupan politik dan negara. Oleh karena itu selalu terjadi penentangan ketika ada gagasan untuk mengambil hukum agama sebagai dasar dalam aturan penegakan hukum yang hendak diterapkan pada suatu perkara. Karena bagi sistem sekuler, mencegah adanya hukum agama ke dalam penerapan hukum negara adalah keharusan.

Dengan demikian penting sekali bagi negeri yang bermayoritaskan umat Islam ini untuk menengok bagaimana sistem penegakan hukum dalam pandangan Islam, sistem khilafah Islam yang pernah tegak dan berjaya selama tiga belas abad lebih lamanya. Sungguh berbeda dengan sistem hukum dalam sekuler demokrasi, legislasi dalam sistem Islam mampu menghasilkan produk hukum yang lengkap, kokoh, terpadu, harmonis, dan selalu relevan/tak tergerus oleh zaman. Sistem hukum Islam bersifat kokoh dan baku, bersumber dari wahyu yang menjamin kepastian hukum serta membawa kebaikan serta kebahagiaan hakiki bagi masyarakat. 

Sistem penegakan hukum dalam Islam berazaskan akidah, yaitu hukum yang bersumber dari Sang Khaliq, Allah SWT. Yang berasal dari kesadaran bahwa semua datang dari Allah Yang Mahasempurna dan Maha Adil dalam mengatur kehidupan, maka dipastikan hukum yang diturunkan pun akan mengandung kesempurnaan, kebaikan dan keadilan untuk seluruh kehidupan dan umat manusia. Serta merupakan kunci keselamatan dunia dan akhirat.

Sumber-sumber hukum dalam Islam pun sangat jelas, yang telah disepakati para ulama. Yaitu: al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas Syar’i. Dengan kejelasan sumber hukumnya seperti ini, maka akan menghindarkan kita dari perselisihan, ataupun segala macam bentuk penyimpangan karena rujukannya jelas, kokoh dan baku, yakni wahyu Allah SWT. 

Legislasi atau penerapan hukum Islam tersebut tentunya dengan melewati aktivitas penggalian hukum yang pada akhirnya melahirkan hukum dari sumber-sumber syar'i oleh para mujtahid dari kalangan kaum Muslim. Mereka berkewajiban memahami nash syariah, menggali serta melahirkan hukum-hukum dengan ijtihad dari sumber hukum utama, yakni al-Quran dan as-Sunnah.

Penerapan hukum di dalam Islam diterapan melalui sistem sanksi (‘uqubat), yang menjadi tanggung jawab seorang khalifah sebagai pemimpin yang ditunjuk dan diberi amanah dalam menegakkan hukum-hukum Allah. Adapun bentuk-bentuk dari sistem sanksi tersebut bisa diklasifikasikan menjadi empat macam: Hudud, Jinayat, Ta'zir dan Mukhalafat. Keempat macam sanksi tersebut masing-masing mempunyai kriteria dan fungsinya sendiri tergantung jenis pelanggaran hukum atau kejahatan yang dilakukan.

Karakter sistem sanksi yang jelas dan tegas dalam Islam akan mampu menjadi solusi sekaligus penyelamat bagi kehidupan dunia dan akhirat, yaitu pertama sebagai zawajir (pencegah kejahatan/maksiat) yaitu mencegah orang lain untuk berbuat kejahatan/maksiat yang serupa. Sebagaimana firman Allah SWT:

وَلَكُمۡ فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
“Dan dalam (hukum) qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (TQS. al-Baqarah: 179).

Ibnu Abbas menafsirkan surat al-Baqarah ayat 179 bahwa “Dan dalam (hukum) qishash/hukuman mati bagi pembunuh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, dan sebagai pelajaran bagi orang-orang yang berakal (orang-orang yang menggunakan akalnya), supaya kalian bertakwa (supaya kalian takut melakukan pembunuhan sebagian dari kalian atas sebagian yang lain).” (Ibn Abbas, Tanwir Miqbas I, hlm. 28)

Kedua sekaligus sebagai jawabir (penebus dosa) yang artinya karena pelaku kejahatan/maksiat sudah mendapatkan sanksi di dunia, maka Allah akan menghapus dosanya dan meniadakan baginya sanksi di akhirat (siksa neraka), bahkan mendapat pahala, sebagaimana sabda Rasulullah saat mengomentari seorang wanita yang dirajam hingga mati karena mengaku berzina :“Sungguh dia telah bertaubat, seandainya dibagi antara 70 penduduk Madinah, sungguh akan mencukupi mereka semuanya.” (HR. Muslim) (Abdurrahman al Maliki, Sistem Sanksi dalam Islam, Bogor, Pustaka Tariqul Izzah, 2002, hlm. 5)

Itulah perbedaan sekaligus keunggulan sistem penegakan hukum Islam yang sangat berbeda dengan hukum dalam demokrasi sekuler. Dengan penerapan hukum yang bersifat kokoh dan jelas, penegakan hukum Islam tidak bisa dimanipulasi atau pun diintervensi oleh siapa pun dengan kepentingan apa pun di dalamnya. Apalagi oleh berbagai penyelewengan atau penyimpangan melalui kekuasaan mana pun. Fungsi negara sebagai pengurus dan pelindung bagi rakyat yang tidak boleh kalah oleh kedzaliman akan mampu terwujud dengan nyata dan sebenar-benarnya.



Dari uraian di atas dapat kami tarik beberapa kesimpulan antara lain sebagai berikut:

Pertama. Penulis melihat proses hukum di tahun 2020 ini berjalan dying sehingga terkesan "ugal-ugalan" dan berada pada titik belum merdeka. Hal tersebut juga didukung oleh kondisi kinerja para penegak hukum hari ini yang terkesan tidak menjalankan tanggung jawab sebagaimana semestinya, nampak sejumlah status jabatan sebagai penegak hukum dimanfaatkan untuk merekayasa perbuatan sehingga mendapatkan pembenaran, oknum penegak hukum tidak sepenuhnya memperjuangkan kebenaran dan keadilan, dengan fakta tersebut sudak cukup dijadikan alasan untuk menyebut penegakan hukum terkesan ugal-ugalan dan belum berada pada titik kemerdekaan.

Kedua. Penggunaan keliru prinsip negara tidak boleh kalah telah memperkuat dugaan adanya extrajudical killings, abuse of power, mal administrasi, SSK, tindakan non promoter, diskresi yang diskriminatif dll. Dari potret buramnya hukum di tahun 2020 pertama periode kedua Kabinet Kerja Jokowi ini, yakinkah Anda bahwa tahun depan (2021) potret hukum kita akan lebih bening? Mungkinkah Ramalan NIC (Desember 2004) menyebutkan bhw seharusnya tahun 2020 ini new caliphate is rising! What will be, will be! Alloh yang menentukan semuanya, yang terpenting adalah kokohkan koordinat kita sebagai bagian umat yang memperjuangkannya bukan menjadi kaum penentangnya. 

Ketiga. Sungguh berbeda dengan sistem hukum dalam sekuler demokrasi, legislasi dalam sistem Islam menghasilkan produk hukum yang lengkap, kokoh, terpadu, harmonis, dan selalu relevan dengan zaman. Sistem penegakan hukum dalam Islam berazaskan akidah, yaitu hukum yang bersumber dari Sang Khaliq, Allah SWT. Dengan penerapan hukum yang bersifat kokoh dan jelas, penegakan hukum Islam tidak bisa dimanipulasi atau pun diintervensi oleh siapa pun dengan kepentingan apa pun di dalamnya. Apalagi oleh berbagai penyelewengan atau penyimpangan melalui kekuasaan mana pun. Fungsi negara sebagai pengurus dan pelindung bagi rakyat yang tidak boleh kalah oleh kedzaliman akan mampu terwujud dengan nyata dan sebenar-benarnya. Tabik...!


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum* dan Liza Burhan**
* Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat 
**Analis Mutiara Umat
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar