Pernikahan: Mendatangkan Keberkahan (Pertolongan) dari Allah



Pernikahan yang ditunaikan demi meraih keridhaan Allah dengan menjadikannya sebagai sarana beribadah kepada-Nya, memelihara kehormatan diri dari perbuatan nista (‘iffah) merupakan sebab di antara sebab turunnya pertolongan Allah, dan salah satu bentuk pertolongan Allah tersebut telah Allah dan Rasul-Nya gambarkan, yakni diberikan kecukupan oleh Allah.

Namun perlu diingat bahwa Allah telah menjanjikan kepada hamba-hamba-Nya dengan pertolongan-Nya selama mereka beriman dan bertakwa, serta berjuang di jalan-Nya demi meraih keridhaan-Nya:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ {٦٩}
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-Ankabût [29]: 69)

Dimana berjuang di jalan-Nya termasuk ketakwaan dan perbuatan baik (ihsân) yang akan diganjar dengan kebersamaan dengan-Nya (adanya taufiq-Nya):

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ {١٢٨}
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. Al-Nahl [16]: 128)

Dimana salah satu bentuk ketakwaan tersebut adalah pernikahan yang dijalin demi memelihara diri dari keburukan, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ {٣٢}
“Dan nikahkan lah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Nûr [24]: 32)

Imam Ahmad Al-Qasthallani (w. 923 H) dalam Al-Irsyâd menukilkan tafsir ayat ini, menjelaskan:

Zhahir dari ayat ini adalah janji atas setiap orang fakir yang menikah (diberikan) kecukupan, dan janji Allah itu wajib (pasti), maka jika kita menyaksikan seorang fakir yang menikah namun tidak mendapati kecukupan, hal itu bukan berarti Allah menyalahi janji-Nya, sesuatu yang mustahil bagi Allah, akan tetapi (bisa jadi) karena sikapnya yang menyalahi tujuan yang semestinya (yang dituntut), karena Allah ’Azza wa Jalla semata-mata berjanji atas hal yang baik tujuannya, maka siapa saja yang belum meraih kecukupan, maka hendaknya ia menyalahkan (mengevaluasi) dirinya.[1]

Ayat yang agung di atas diperjelas oleh hadits dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi ﷺ bersabda:

«ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُعِينَهُم: الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ، وَالنَّاكِحُ يُرِيدُ أَنْ يَسْتَعِفَّ، وَالْمُكَاتبُ يُرِيدُ الْأَدَاءَ»
“Tiga orang hak bagi Allah untuk memberikan pertolongan kepada mereka: orang yang berjihad di jalan Allah, orang yang menikah karena ingin memelihara diri dan budak yang ingin menebus dirinya.” (HR. Al-Hakim, Ibn Hibban)[2]

Dimana Allah telah mengkhususkan sebagian orang untuk meraih tambahan pertolongan dari-Nya, yakni bagi mereka yang disebutkan dalam hadits, yaitu: orang yang berjihad di jalan Allah, orang yang menikah yang ingin menjaga dirinya (dari perbuatan haram) dan mukâtibyang benar-benar ingin membayar tebusan dirinya. Dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa seseorang yang beriman, kesulitan yang mungkin ia hadapi tatkala berjuang di jalan-Nya (jihad, menikah untuk memelihara diri dan budak yang ingin menebus dirinya), tidak mengendurkan semangatnya untuk meraih apa yang ingin ia capai, berbekal keimanan pada-Nya, yakni keimanan adanya pertolongan dari-Nya sehingga ia mantap melangkah.

Imam al-Munawi al-Qahiri (w. 1031 H) pun menguraikan makna al-nâkih alladzi yurîdu al-‘afâf, yakni seseorang yang menikah dengan maksud menjaga kemaluannya dari zina dan liwath (praktik sodomi), dimana dikhususkan tiga pihak tersebut karena ketiganya termasuk hal sulit dan menyulitkan ketiganya.[3]

Betapa indahnya keberkahan di balik pernikahan, dimana keberkahan tersebut bahkan ditegaskan al-Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H) sebagai salah satu buah dari untaian do’a bârakaLlâhu laka (بارك الله لك) yang dihaturkan untuk pengantin, dimana Ali al-Qari pun menukilkan dalil-dalil di atas.[4]Siapa yang tak tergiur dengan kebaikan-kebaikan tersebut?


Oleh: Ustaz Irfan Abu Naveed, M.PdI
Catatan dalam Bedah Buku Risalah Nikah & Walimah


Catatan Kaki
[1] Ahmad bin Muhammad al-Qasthallani al-Mishri, Irsyâd al-Sârî li Syarh Shahîh al-Bukhârî, Mesir: Al-Mathba’ah al-Kubra al-Amiriyyah, cet. VII, 1323 H, juz VIII, hlm. 18.
[2] HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (no. 2859), Abu Isa mengomentari: “Hadits shahih, sesuai syarat Imam Muslim meskipun al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya”, Al-Hafizh al-Dzahabi menyetujuinya dengan berkomentar dalam Al-Talkhîsh: “Sesuai syarat Imam Muslim”; Ibn Hibban dalam Shahîh-nya (no. 4030), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Isnad-nya hasan”.
[3] Abdurra’uf bin Taj al-Arifin al-Munawi, Al-Taysîr bi Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Riyadh: Maktabat al-Imam al-Syafi’I, cet. III, 1408 H, juz I, hlm. 474.
[4] Abu al-Hasan Nuruddin al-Mulla’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz IV, hlm. 1696.

Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=202711231403402&id=100049935790429

Posting Komentar

0 Komentar